Fasakh Suatu Perkawinan Karena Murtad (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No: 438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan No: 138/Pdt.G/2006/PA.Sal)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nikah atau perkawinan adalah aqad (ijab/qabul) antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumahtangga sebagai suami istri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditentukan oleh syara’.1 Pengertian perkawinan yang lainnya, diantaranya menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Dari pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 di atas, jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan keluarga yang bahagia, Inilah cita-cita dan idaman bagi tiap-tiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja kebahagiaan itu tidak bisa ditebak, kadang sering datang dan kadang sering pergi, kadang ketika kebahagiaan yang diharapkan, namun kadang juga ternyata kekecewaan yang datang.
Dari semua agama yang diakui di Indonesia, dalam masalah perkawinan masing-masing mempunyai ketetapan bahwa perkawinan itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang seagama. Dalam agama Islam ketetapan ini ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44 yang berbunyi “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Sebenarnya menjadi kewajiban tiap suami istri untuk tetap memelihara hubungan baik antara keduanya. Selain menetapi kewajiban masing-masing dengan dasar saling mencinta, menyayangi, menolong, lapang dada dengan ikhlas. Dengan demikian mereka dapat mengenyam kebahagiaan hidup berumah tangga sebagaimana yang mereka dambakan. Mereka harus saling memaafkan atas kekhilafan yang lain. Keduanya harus ulet didalam menegakkan rumah tangganya agar jangan sampai goyah. Tetapi kalau suasana menjadi ruwet dan timbul permusuhan, sekiranya masing-masing atau salah satunya tidak lagi mampu menetapi kewajibannya dalam hidup berumah tangga, maka untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan dan kesengsaraan hidup karena tidak ada keberesan, tiada lain keduanya terpaksa harus berpisah. Supaya percekcokan tidak berjalan terus dan tidak ada yang menderita batinnya, atau merasa tertekan dan sebagainya. Hal ini akan semakin diperparah, jika salah satu diantara mereka menjadi murtad, secara otomatis, disadari maupun tidak, perjalanan biduk perahu rumah tangga tersebut tidak lagi berjalan mulus. Karena masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda yang tentunya tidak bisa disatukan visi dan misi dari masing-masing keyakinan tersebut, sehingga tidak bisa tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat pada pasal 3 Bab II KHI, yaitu : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Jadi, didalam kondisi seperti ini perceraian merupakan pil pahit, obat terakhir, karena tidak ada jalan lain untuk mengatasi keadaan.
Nabi SAW bersabda :
Dari sabda Rasulullah SAW tersebut, jelas bahwa perceraian itu hukumnya adalah makruh.
Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah tersebut di atas, yang akan dibicarakan adalah mengenai batal atau fasakh suatu perkawinan karena murtad, khususnya pembahasan di sini adalah mengenai putusan tentang fasakh dari Pengadilan Agama No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal. Dalam perkara ini yang menjadi fokus utama adalah mengenai gugatan istri yang muslimah terhadap suami yang murtad, gugatan istri yang murtad terhadap suami yang muslim, kemudian putusan yang dijatuhkan oleh hakim dari Pengadilan Agama mengenai dua perkara gugatan perceraian tersebut. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri lagi. Istri yang hendak memutuskan hubungan perkawinan, pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Bila gugat cerai (khulu’) telah terlaksana, maka dampak atau akibat yang akan diterima istri yakni tidak bisa mendapatkan nafkah kembali dari mantan suaminya. Istri terhadap suami menjadi orang lain, sudah tidak menjadi tanggung jawab suaminya. Suami juga tidak berkewajiban menempatkan atau memberi nafkah kepada istrinya, meskipun hanya sementara saja.
Dalam hal ini Pengadilan Agama berfungsi sebagai tempat untuk menerima, memeriksa, menyidangkan dan memberi putusan atas perkara tersebut. Namun kadang hakim dari pengadilan memiliki pertimbangan tersendiri dalam memberikan putusan pada perkara tersebut, tanpa harus sama persis sesuai dengan peraturan yang ada, kerena hakim memang memiliki wewenang seperti itu. Melihat dari kasus di atas, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi tentang pengajuan gugat cerai istri yang sudah murtad ke Pengadilan Agama, padahal Pengadilan Agama adalah pengadilan yang mengurusi segala permasalahan kaum muslim. Hal ini didasarkan pada UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di BAB I tentang Ketentuan Umum, khususnya pasal 1 (1) dan pasal 2, yang berbunyi “Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang – orang beragama Islam” dan “Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang ini”. Dalam putusan No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal. ini selain menerima perkara yang diajukan oleh orang yang non muslim, yakni oleh penggugat yang bernama Dewi Vimalasari, Hakim – Hakim Pengadilan Agama Salatiga ternyata juga memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara dalam gugatan tersebut, hal ini tentu saja tidak sesuai dengan Pasal 49 (1) UU No 3 Tahun 2006 pada BAB III mengenai Kekuasaan Pengadilan, yang lengkapnya berbunyi : “Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara ditingkat pertama antara orang – orang yang beragama Islam di bidang : (a.) perkawinan, (b.) kewarisan, wasiat, dan hibah, (c.) waqaf, zakat dan shadaqah, (d.) ekonomi Syari’ah”.10 Kemudian juga mengenai istri (Islam) yang mengajukan gugat cerai atas suaminya dikarenakan suaminya telah murtad, sebagaimana dalam putusan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal. atas gugatan dari Sri Dadi Anggraeni terhadap suaminya yang telah murtad yang bernama Tan Tjee Hiap, dan pada akhirnya akan dibahas mengenai putusan dari Pengadilan Agama atas pengajuan dari gugat cerai tersebut, apakah diputus dengan putusnya perkawinan karena gugat cerai sesuai dengan yang diajukan pihak istri, ataukah putusnya perkawinan tersebut dengan difasakh didasarkan karena suami atau istri murtad. Untuk itu penulis mengambil judul : “FASAKH SUATU PERKAWINAN KARENA MURTAD ( Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal ) .
Leave a Reply