ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan Hakim terhadap perkara pembatalan perkawinan yang diajukan di Pengadilan Agama Karanganyar berdasarkan Putusan nomor 36/Pdt.G/2006/ PA.Kra serta pengaturan tentang pembatalan perkawinan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Apabila dilihat dari sifat dan pendekatannya maka termasuk penelitian deskriptif kualitatif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin, sistematis dan menyeluruh mengenai pembatalan perkawinan dalam kasus poligami. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan. Setelah data teridentifikasi secara sistematis kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa pertimbangan Hakim terhadap perkara pembatalan perkawinan sudah sesuai dengan UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Pertimbangan Hakim didasarkan pada adanya pemalsuan identitas yang dilakukan oleh salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan. Pengaturan tentang pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan, Pasal 37 dan Pasal 38 PP Nomor 9 Tahun 1975, serta Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan pengaturan tentang pembatalan perkawinan berdasarkan putusan nomor 36/Pdt.G/2006/PA.Kra diatur dalam Pasal 9 UU Perkawinan, Pasal 22 UU Perkawinan, Pasal 23 huruf c UU Perkawinan jo Pasal 73 huruf c Kompilasi Hukum Islam, Pasal 24 UU Perkawinan jo Pasal 71 huruf a Kompilasi hukum Islam, Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan jo Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, dan Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk mendapatkan daftar lengkap contoh skripsi hukum lengkap / tesis hukum lengkap, dalam format PDF, Ms Word, dan Hardcopy, silahkan memilih salah satu link yang tersedia berikut :
Contoh Tesis
- Daftar Contoh Tesis Hukum Tata Negara
- Daftar Contoh Tesis Hukum Internasional
- Daftar Contoh Tesis Kriminologi
- Daftar Contoh Tesis Kepolisian
- Daftar Contoh Tesis Hukum Agraria
- Daftar Contoh Tesis Hukum Perdata
- Daftar Contoh Tesis Hukum Pidana
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa berkembang biak. Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada di alam ini serba berpasang-pasangan dan berjodoh-jodoh. Manusia diciptakan dalam jenis kelamin yang berbeda-beda, yaitu jenis laki-laki dan jenis perempuan (Imam Al Ghazali, 1995: 120). Dalam firman-Nya Al Qur’an Surah Ar-Ruum ayat 21 :
Artinya, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (Departemen Agama Republik Indonesia, 2002: 406). Ada pula firman-Nya sebagai perintah melakukan perkawinan, yaitu dalam Al Qur’an Surah An-Nuur ayat 32 :
Artinya, “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hambahamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui” (Departemen Agama Republik Indonesia, 2002: 354). Pada dasarnya, Islam menganjurkan (sunnah) perkawinan. Apabila ditinjau dari keadaan yang melakukannya, maka perkawinan dapat dikenai hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram (http://www.gaulislam.com/tinjauan-fiqih-pernikahan-dini).
Menikah hukum asalnya adalah sunnah, sesuai firman Allah SWT dalam Surah An-Nisaa’ ayat 3 “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”. Perintah tersebut merupakan tuntutan untuk menikah, namun tidak bersifat pasti/keharusan, karena boleh memilih antara kawin dan pemilikan budak. Dengan demikian, menunjukkan bahwa tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan atau berhukum sunnah. Hukum sunnah dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram. Hal ini tergantung pada keadaan orang yang melaksanakan nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Alasannya, karena menjaga kesucian dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, jika tidak terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sehingga dengan menikah dapat menyelamatkan kesucian dan akhak seseorang. Pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan membahayakan agama isteri/suami. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu” (http://www.gaulislam.com/tinjauanfiqih- pernikahan-dini).
Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran apabila tidak kawin ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina. Perkawinan hukumnya sunnah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajiban terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama. Perkawinan hukumnya makruh bagi orang yang mampu dalam segi materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap istrinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri; misalnya calon istri tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin. Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan berakibat menyusahkan istrinya. Perkawinan yang sah, menjadikan pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Dengan perkawinan yang sah memberikan keturunan yang bersih, menjadikan generasi yang sehat dan baik. Anak/keturunan dari hasil perkawinan yang sah senantiasa menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan (Ahmad Azhar Basyir, 2000: 1). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya dalam penulisan hukum ini disebut dengan UU Perkawinan) adalah undang-undang yang mengatur tentang perkawinan secara nasional, yang berlaku bagi semua golongan dalam masyarakat Indonesia yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 dengan Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya dalam penulisan hukum ini disebut dengan PP No. 9 Tahun 1975). Perkawinan menurut Pasal 1 Undangundang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua (C.S.T. Kansil, 1989: 227). Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal tersebut berarti KUH Perdata hanya mengakui perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh KUH Perdata, sehingga terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh suatu agama tertentu. Pengertian perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Anjuran melakukan perkawinan diantaranya juga untuk menjaga agar manusia di atas dunia ini hidup aman tenteram penuh kebahagiaan dengan keturunan yang teratur, jadi bukan keturunan yang kacau balau atau promiskwiti (tidak tentu mana bapak, mana ibu, mana anak atau adik, cucu ipar dan lain sebagainya) (Mohd. Idris Ramulyo, 2002: 13). Pada dasarnya perkawinan mempunyai tujuan bersifat jangka panjang sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri dalam rangka membina kehidupan yang rukun, tenteram dan bahagia dalam suasana cinta kasih dari dua jenis makhluk ciptaan Allah SWT. Sebenarnya pertalian dalam suatu perkawinan adalah partalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia bukan saja antara suami dan isteri serta keturunannya akan tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena maksud perkawinan ialah supaya suami dan istri hidup bersama selama mungkin, maka sudah selayaknya bahwa syarat penting untuk perkawinan itu adalah persetujuan yang bersifat sukarela dari kedua pihak (R. Wirjono Prodjodikoro, 1981: 40). Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, maka perkawinan benar-benar diakui sah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan untuk melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, sesuai dengan perumusan npada Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang dimaksud dengan hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini (C.S.T. Kansil, 1989: 227). Hukum perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menganut kebolehan poligami, walaupun terbatas hanya sampai empat orang istri. Poligami yaitu pekawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa wanita. Islam membolehkan poligami, namun melarang poliandri, yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan beberapa laki-laki (Sudarsono, 1991: 119-120). Apabila seorang suami hendak poligami, maka harus memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 41 a PP No.9 Tahun 1975. Alasan tersebut yaitu Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan. Syarat-syarat tersebut yaitu adanya persetujuan istri/istri-istri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka; adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Mengenai syarat persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya untuk melakukan poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan, akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang di Pengadilan Agama (Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, 1997: 20).
Sekarang ini, terkesan bahwa poligami adalah hal yang wajar dan biasa, padahal berdasarkan Undang-undang Perkawinan dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu pula sebaliknya. Pengecualian bagi suami untuk memiliki lebih dari satu istri hanya apabila diizinkan oleh Pengadilan. Izin tersebut dapat diberikan dengan alasan-alasan tertentu antara lain istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri, mendapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat memberikan keturunan. Selain itu, juga harus ada jaminan bahwa suami akan bertindak adil dan mampu menjamin keperluan istri-istri dan anak-anaknya. Pada prinsipnya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawianan bertujuan untuk mengatur sistem dan tata cara perkawinan yang sah tidak hanya menurut agama atau kepercayaan masing-masing tapi juga melegalkan di depan hukum (Al Ashartanto. “Implementasi Undang-Undang Perkawinan” dalam Bangka Pos. 19 Februari 2009). Di samping itu, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai pembatalan perkawinan. UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22 UU Perkawinan. Mengenai hal tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975, bahwa Pengadilan dapat memutuskan pembatalan suatu perkawian. Hubungan perkawinan tidak hanya sebagai kontrak hidup antara seorang suami dengan seorang istri saja, akan tetapi dapat juga seorang suami memiliki istri lebih dari seorang. Pola hubungan seperti inilah yang disebut dengan poligami. Poligami banyak menjadi permasalahan dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga, sehingga keinginan suami untuk melakukan poligami sering tidak dapat diterima oleh istri. Melihat kenyataan bahwa pelaksanaan poligami terutama di Indonesia ini sulit, karena Undang-Undang menetapkan berbagai persyaratan yang tidak mudah untuk dipenuhi begitu saja, maka ada kecenderungan di masyarakat untuk melakukan poligami dengan mengambil jalan pintas dengan cara-cara yang dilarang, sehingga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu secara diamdiam, tanpa sepengetahuan istri, bahkan tanpa didaftarkan dipencatatan nikah, ada juga yang menggunakan identitas palsu. Hal ini juga terjadi di Karanganyar yaitu pada kasus pembatalan perkawinan. Pengadilan Agama Karanganyar juga menangani beberapa kasus pembatalan perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai pertimbangan Hakim terhadap perkara pembatalan perkawinan beserta pengaturannya. Dalam penulisan hukum ini, penulis memilih judul : “PEMBATALAN PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 36/Pdt.G/2006/PA.Kra)”.
Leave a Reply