HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Studi Analisis Pendapat Al-Syafi’i tentang Perkawinan Antar Agama

ABSTRAK

Dalam prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang berbeda agama yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak menutup kemungkinan sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang muncul, bagaimana pendapat Al-Syafi’i tentang perkawinan antar agama? Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi’i tentang perkawinan antar agama? Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan penelitian kepustakaan (Library research). Sedangkan Pendekatannya menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Adapun data primer yaitu karya al-Syafi’i yang berhubungan dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm, dan al-Risalah. Sedangkan data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas. Sebagai tknik pengumpulan data menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), dengan analisis data kualitatif.

Hasil dari pembahasan dapat diterangkan bahwa dalam perkawinan antar agama menurut Imam Syafi’i, laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: walâ tankihul musyrikâti hatta yukminna walâmatun mu’minatun khairun min musyrikatin walau a’jabatkum. Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: walâ tunkihul musyrikîna hatta yukminu wala’abdun mu’minun khairun min musyrikin walau a’jabakum. Laki-Laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim kecuali dengan wanita non muslim yang berasal dari ahli kitab. Menurut al-Syafi’i yang dimaksud dengan ahli kitab tersebut adalah keturunan Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa. Sedangkan Istinbath hukum al-Syafi’i yang membolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslim dari ahli kitab didasarkan atas di takhsis surat al-Baqarah ayat 221 oleh surat al-Maidah ayat 5. Adapun ahli kitab yang dimaksud oleh al-Syafi’i hanya terbatas kepada keturunan Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musadan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa. Disebabkan: (a) Dalam ayat 5 al-Ma’idah terdapat lafal min qablikum yang berarti orang-orang Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa. (b). Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada Bani Israil. Dalam kaitan ini, penulis kurang sependapat dengan pendapat al-Syafi’i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas. Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, maka orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah turunnya al-Qur’an maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab, konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuanperempuan mereka.

 

 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT menciptakan dunia dan seluruh makhluk yang mendiami jagad raya ini dibentuk dan dibangun dalam kondisi berpasang-pasangan. Ada gelap dan terang, ada kaya dan miskin. Demikian pula manusia diciptakan dalam berpasangan yaitu ada pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan dengan disertai kebutuhan biologis. Dalam memenuhi kebutuhan biologis ada aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi dan bila dilanggar mempunyai sanksi baik di dunia maupun di akhirat. Sanksi yang dimaksud yaitu manakala pria dan wanita dalam memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa diikat oleh suatu tali pernikahan. Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu sendiri mempunyai syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadis. Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.Sementara Mahmud Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Sedangkan Zahry Hamid merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijab qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan memenuhi rukun serta syaratnya.3 Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah mengungkapkan menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga sebagai akad atau hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikannya dengan percampuran. As Shan’ani dalam kitabnya memaparkan bahwa an-nikah menurut pengertian bahasa ialah penggabungan dan saling memasukkan serta percampuran. Kata “nikah” itu dalam pengertian “persetubuhan” dan “akad”. Ada orang yang mengatakan “nikah” ini kata majaz dari ungkapan secara umum bagi nama penyebab atas sebab. Ada juga yang mengatakan bahwa “nikah” adalah pengertian hakekat bagi keduanya, dan itulah yang dimaksudkan oleh orang yang mengatakan bahwa kata “nikah” itu musytarak bagi keduanya. Kata nikah banyak dipergunakan dalam akad. Ada pula yang mengatakan bahwa dalam kata nikah itu terkandung pengertian hakekat yang bersifat syar’i. Tidak dimaksudkan kata nikah itu dalam al-Qur’an kecuali dalam hal akad.

Dari berbagai pengertian di atas, meskipun redaksinya berbeda akan tetapi ada pula kesamaannya. Karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara lakilaki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda:
Photobucket
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Sa’id bin Abi Maryam telah memberitahu kepada kami dari Muhammad bin Ja’far dari Himaid bin Abi Humaid ath-Thawail, sesungguhnya dia telah mendengar dari Anas bin Malik r.a., katanya: Ada tiga orang laki-laki datang berkunjung ke rumah isteri-isteri Nabi saw; bertanya tentang ibadat beliau. Setelah diterangkan kepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit. Mereka berkata: “Kita tidak dapat disamakan dengan Nabi. Semua dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni, Allah.” Salah seorang dari mereka berkata: “Untuk saya, saya akan selalu sembahyang sepanjang malam selamalamanya.”
Orang kedua berkata: “Saya akan berpuasa setiap hari, tidak pernah berbuka.” Orang ketiga berkata: “Saya tidak akan pernah mendekati wanita. Saya tidak akan kawin selama-lamanya.” Setelah itu Rasulullah saw. datang. Beliau berkata: “Kamukah orangnya yang berkata begini dan begitu? Demi Allah! Saya lebih takut dan lebih bertaqwa kepada Tuhan dibandingkan dengan kamu. Tetapi saya berpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur, dan saya kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku, tidak termasuk ke dalam golonganku.” (HR. al-Bhukhari)
Dari hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Namun demikian dalam prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang berbeda agama yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak menutup kemungkinan sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang muncul, apakah hukumnya sah perkawinan muslim dengan non muslim? Peristiwa di atas berarti menyangkut perkawinan antar agama yang menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu perkawinan antarorang yang berlainan agama, dalam hal ini, perkawinan orang beragama Islam (pria/wanita) dengan orang beragama non Islam (pria/wanita).Perkawinan antaragama yang dimaksud ini dapat terjadi antara :
1. Calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik “ahlulkitab” maupun musyrik.
2. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik ahlulkitab maupun musyrik.
Akibat hukum dari perkawinan antaragama adalah sebagai berikut: apabilaperkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun ahlul kitab, maka para ulama imamiyah – sebagaimana halnya dengan keempat mazhab lainnya – sepakat bahwa wanita muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki non muslim meskipun ahli kitab. Hal ini berarti apabila perkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun ahlulkitab, maka ulama fikih sepakat hukumnya tidak sah.

Alasannya adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2) ayat 221:
Photobucket
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Photobucket
Artinya: …Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orangorang kafir itu tiada halal pula bagi mereka… (Q.S. Mumtahanah: 10).
Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukumnya tidak sah. Argumen yang dikemukakan adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2) ayat 221. Ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik itu. Selanjutnya apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama Islam dan perempuan yang tergolong ahlul kitab, terdapat beberapa pendapat di antara ulama fikih:
a. Umar bin al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan antara laki-laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya, Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya adalah Tuhannya.
b. Jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah pertama, penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam surah al-Ma’idah ayat 5 dan kedua, pendapat Sayid Sabiq, ahli fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab. namun hukumnya makruh. Sekalipun jumhur ulama fikih sepakat tentang kebolehan seorang laki-laki beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab, namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan wanita ahlul kitab itu sendiri. Dalam hubungannya dengan perkawinan antar agama, menurut al-Syafi’i bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim, akan tetapi dibolehkan menikah antara laki-laki muslim dengan ahli kitab. Hal ini ia nyatakan dalam kitabnya yaitu:
Photobucket
Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi. Dalam kaitannya dengan ahli kitab, menurut Al-Syafi’i, yang termasuk ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi dan atau Nasrani. Di antara alasan yang diajukan adalah (1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang bangsa Israel; dan
(2). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Pendapat al-Syafi’i di atas dapat dijumpai dalam kitabnya yang pada intinya menyatakan:
Photobucket
Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan sembelihannya dan halal dikawini wanitanya. Mengingat kondisi yang demikian, maka terasa masih relevan membicarakan perkawinan antar agama, karena perkawinan merupakan sesuatu yang penting. Kecuali itu, masih banyak orang yang belum memahaminya secara tepat, terutama di kalangan generasi muda. Di sinilah terletak, antara lain urgennya mengkaji pendapat al-Syafi’i. Berdasarkan uraian di atas mendorong diangkatnya tema ini dengan judul: Studi Analisis Pendapat Al-Syafi’i dalam Kitab al-Umm tentang Perkawinan Antar Agama

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?