HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Analisis Fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS Vii/MUI/8/2005 Perkawinan Beda Agama

Judul : Analisis Fatwa MUI Nomor: 4/Munas Vii/mui/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan pengaruh transformasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja membawa kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya. Dalam hal ini fatwa menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat universalitas ajaran Islam. Dengan demikian hukum Islam (baca: fiqh) harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fiqih sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syari’ah dapat berubah sesuai dengan situasi yang sering berubah pula.1 Dengan demikian sifat fiqih sangat fleksibel. Dalam sebuah kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan al-hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan waadaman. Pada dasarnya, hukum Islam (fiqh) dihadirkan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan umat manusia (li-tahqiq mashalih al-nas), yang harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan. Dalam kerangka inilah selalu diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Jangankan perbedaan antara umat sekarang dengan masa lebih seribu tahun lalu; masa hidup Imam Syafi’i saja diperlukan dua pendapat berbeda yang disebut qaul qadim (pedapat Imam Syafi’i di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir) dan qaul jadid (pendapat Imam Syafi’i ketika ia pindah ke Mesir).

Dalam konteks ke-Indonesiaan salah satu upaya merealisasikan hukum Islam yang dinamis adalah dengan adanya fatwa. Fatwa ini dikeluarkan apabila terdapat persoalan hukum yang memerlukan penyelesaian baik dilakukan oleh lembaga yang berkompenten maupun kiai perseorangan. Fatwa merupakan pendapat atau jawaban hukum terhadap persoalan yang diajukan atau terjadi dalam masyarakat.3 Dalam hal ini masyarakat ada yang mengajukan kepada NU yang kemudian dibahas dalam forum bahtsul masail, ada yang mengajukan ke Muhammadiyah yang kemudian menggelar majelis tarjih dan ada pula yang mengajukan ke MUI yang kemudian menggelar sidang fatwa. Dengan demikian, fatwa tentang persoalan hukum biasanya dikeluarkan oleh lembaga atau organisasi sosial keagamaan walaupun memang ada juga yang secara perseorangan. Perlu dijelaskan bahwa dalam dekade 1970 dan 1980-an MUI ditengarai banyak mengeluarkan fatwa yang kontroversial dan cenderung ‘memihak’ pemerintah. Tidak jarang ‘tangan-tangan’ politik politik Orde Baru yang sedang berkuasa sangat intens mengintervensi masalah agama di dalam MUI. Ini tentu tidak lepas dari sejarah Islam masa lalu. Dalam sejarah bisa dilihat pertikain pemikiran “mazhab negara” dan “mazhab non negara” sampai menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah.4 Nampaknya MUI pernah mengalami intervensi negara yang begitu kuat meskipun tidak seluruh fatwanya adalah ‘pesanan’ negara. Dalam hal ini Prof. Ahmad Rofiq menegaskan bahwa di era 1990-an MUI mengalami revitalisasi terutama di era reformasi. Revitalisasi peran MUI ini mengingat sejarah masa lalu MUI yang sering dinilai negatif.

Dalam rangka revitalisasi ini maka MUI bekerjasama dengan Departemen Agama mengumpulkan fatwa-fatwanya. Ini untuk menunjukkan bahwa MUI sangat merespons perkembangan hukum terutama dalam konteks keinian. Dalam pandangan KH. Ma’ruf Amin, MUI tidak akan membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak bisa dibenarkan, baik secara i’tiqady maupun syar’i. Karena itu para ulama dituntut segera memberikan jawaban. Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh umat adalah lembaga yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan persoalan hukum yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun pemerintah. MUI sebagai organisasi keagamaan sangat vital dalam upaya memajukan kehidupan keagamaan dan dijadikan rujukan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Peran yang dimiliki MUI selalu dinantikan realisasinya bukan saja menyangkut bidang keagamaan yang menjadi ciri khasnya, akan tetapi juga dalam bidang lainnya seperti ekonomi dan pendidikan.

Dalam masalah fatwa MUI mempunyai sebuah komisi yang khusus membidangi masalah ini yakni komisi fatwa. Komisi ini dalam menjalankan tugasnya berdasar pada pedomena penetapan fatwa yang ada dalam MUI. Salah satu fatwa yang dikeluarkan MUI adalah masalah pernikahan beda agama yang dikeluarkan pada MUNAS MUI Tahun 2005. Fatwa ini merupakan salah satu dari 11 fatwa MUI yang pada saat difatwakannya banyak memicu kontroversi karena adanya fatwa tentang paham Ahmadiyah, pluralisme dan liberalisme. Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama ini pada prinsipnya mempunyai kesimpulan hukum bahwa wanita muslim diharamkan menikah dengan laki-laki non mulim atau laki-laki muslim diharamkan menikah dengan wanita ahlul kitab. Dengan fatwa ini maka perlu diadakan kajian lebih mendalam mengenai Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tersebut, berikut dasar hukum serta relevansinya dalam konteks keindonesiaan. Penulis memandang perlu mengkaji Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 ini, karena belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan beda agama, dan terjadi kontroversi tentang hukum pernikahan beda agama tersebut di kalangan ulama.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?