Pendahuluan
Kualitas pembelajaran matematika di Indonesia masih menghadapi tantangan yang serius. Hasil survei internasional seperti PISA dan TIMSS menunjukkan capaian siswa Indonesia dalam bidang matematika masih relatif rendah dibandingkan banyak negara lain. Hal ini menandakan bahwa efektivitas pengajaran matematika di kelas belum optimal, meskipun berbagai kebijakan kurikulum telah diperbaharui. Permasalahan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor kurikulum atau fasilitas belajar, tetapi juga oleh faktor internal guru sebagai pendidik yang berperan langsung dalam proses belajar mengajar.
Faktor yang semakin mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir adalah kecerdasan emosional guru matematika. Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi cenderung lebih mampu mengelola emosinya sendiri, memahami perasaan siswa, dan menciptakan suasana kelas yang kondusif. Dalam konteks pembelajaran matematika yang sering dianggap sulit, kemampuan guru untuk mengurangi kecemasan siswa, menumbuhkan motivasi, serta menumbuhkan rasa percaya diri menjadi sangat penting. Tanpa keterampilan emosional ini, meskipun guru memiliki penguasaan materi yang baik, proses pembelajaran bisa tetap kurang efektif.
Selain kecerdasan emosional, kepuasan kerja guru juga menjadi isu penting. Banyak guru di Indonesia menghadapi beban administratif yang berat, kesejahteraan yang belum merata, serta tuntutan kinerja yang tinggi. Ketidakpuasan kerja dapat menurunkan antusiasme mengajar dan berpengaruh pada kualitas instruksional. Guru yang puas dengan pekerjaannya biasanya lebih berkomitmen, lebih sabar menghadapi kesulitan siswa, dan lebih kreatif dalam menggunakan strategi pembelajaran.
Kenapa Penelitian Ini Menarik?
-
Relevansi dengan kualitas pendidikan nasional
Penelitian ini relevan dengan kondisi pendidikan Indonesia yang sedang berupaya meningkatkan mutu pembelajaran melalui Kurikulum Merdeka. Kecerdasan emosional guru, kepuasan kerja, dan efikasi diri adalah faktor psikologis yang sering diabaikan, padahal berpengaruh langsung pada efektivitas pengajaran matematika. -
Menjawab masalah rendahnya capaian matematika
Dengan menjelaskan hubungan antara kecerdasan emosional guru matematika, kepuasan kerja, efikasi diri, dan efektivitas pengajaran, penelitian ini dapat membantu menjawab mengapa pembelajaran matematika di banyak sekolah belum menghasilkan capaian yang optimal. -
Memberikan dasar bagi pengembangan pelatihan guru
Hasil penelitian dapat digunakan untuk merancang pelatihan guru yang tidak hanya berfokus pada peningkatan pedagogi dan konten matematika, tetapi juga pada pengembangan kecerdasan emosional, penguatan kepuasan kerja, dan peningkatan efikasi diri. -
Membuka ruang eksplorasi aspek gender
Dengan memasukkan peran gender sebagai variabel moderasi, penelitian ini dapat memberikan wawasan apakah pengaruh kecerdasan emosional terhadap efektivitas pengajaran berbeda antara guru laki-laki dan perempuan, sesuatu yang jarang diteliti dalam konteks Indonesia. -
Konteks yang praktis dan langsung bisa diimplementasikan
Temuan penelitian dapat langsung diterapkan pada praktik pendidikan, misalnya dalam program pengembangan profesional berkelanjutan (PKB), rekrutmen, atau evaluasi guru. Hal ini membuat penelitian tidak hanya menarik secara akademis, tetapi juga memiliki dampak praktis.
Grand Theory
Teori Kognitif Sosial (Bandura).
Teori ini memandang perilaku sebagai hasil interaksi timbal balik antara pribadi, perilaku, dan lingkungan (reciprocal determinism). Di konteks penelitian, keyakinan guru terhadap kemampuannya—yakni efikasi diri—diposisikan sebagai mekanisme psikologis utama yang mendorong pilihan strategi, ketekunan, dan kualitas instruksional. Kecerdasan emosional dipahami memperkaya sumber efikasi (misalnya penguasaan pengalaman, regulasi emosi saat mengajar), yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran matematika.
Teori penunjang
Teori Kecerdasan Emosional Berbasis Sifat (Trait Emotional Intelligence).
Teori ini menempatkan kecerdasan emosional sebagai disposisi kepribadian yang relatif stabil terkait persepsi, pemahaman, dan pengaturan emosi. Dalam penelitian, kecerdasan emosional dipandang sebagai modal personal yang memampukan guru mengelola tekanan kelas, membina hubungan dengan siswa, dan menjaga suasana belajar positif. Konsekuensinya tampak pada dua jalur: peningkatan efikasi diri guru serta peningkatan kepuasan kerja, yang keduanya dihipotesiskan berkaitan dengan efektivitas pengajaran.
Model Tuntutan–Sumber Daya Pekerjaan (Job Demands–Resources).
Model ini menjelaskan bahwa kinerja dan kesejahteraan kerja ditentukan oleh keseimbangan antara tuntutan (misalnya beban mengajar, tekanan kurikulum) dan sumber daya (misalnya otonomi, dukungan sosial, serta sumber daya personal). Penelitian memosisikan kecerdasan emosional sebagai sumber daya personal yang menekan kelelahan dan mendorong motivasi, sehingga menaikkan kepuasan kerja dan kualitas instruksional. Dengan kacamata ini, jalur kecerdasan emosional ? kepuasan kerja ? efektivitas pengajaran menjadi rasional dan teruji secara empiris.
Hierarki Kebutuhan Maslow.
Teori ini memandang motivasi kerja meningkat saat kebutuhan yang lebih tinggi—rasa dihargai dan aktualisasi diri—terpenuhi. Kepuasan kerja guru ditafsirkan sebagai indikator pemenuhan kebutuhan tingkat tinggi yang menumbuhkan komitmen, kreativitas, dan kesediaan berupaya dalam pengajaran. Kerangka ini memperkuat argumen bahwa kepuasan kerja dapat menjadi mediator antara kecerdasan emosional dan efektivitas pengajaran.
Teori Sosialisasi Gender.
Teori ini menjelaskan bagaimana norma dan ekspektasi budaya membentuk ekspresi emosi, gaya interaksi, dan praktik profesional laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian, gender digunakan sebagai moderator untuk menguji apakah kekuatan pengaruh kecerdasan emosional terhadap efikasi diri, kepuasan kerja, dan efektivitas pengajaran berbeda lintas gender. Lensa ini membantu menafsirkan temuan perbedaan efek lintas gender secara kontekstual, tanpa mengasumsikan satu pola yang seragam.
Model Kerangka Penelitian

Pengaruh Kecerdasan Emosional, Efikasi Diri Guru dan Kepuasan Kerja Guru Terhadap Efektivitas Pengajaran Guru Matematika
Hipotesis Penelitian
1. Hubungan langsung kecerdasan emosional dengan variabel lain
-
H1a: Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap efikasi diri guru matematika.
-
H1b: Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja guru matematika.
-
H1c: Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap efektivitas pengajaran guru matematika.
2. Peran efikasi diri
-
H2a: Efikasi diri guru matematika berpengaruh positif terhadap efektivitas pengajaran.
-
H2b: Efikasi diri guru matematika memediasi hubungan antara kecerdasan emosional dan efektivitas pengajaran.
3. Peran kepuasan kerja
-
H3a: Kepuasan kerja guru matematika berpengaruh positif terhadap efektivitas pengajaran.
-
H3b: Kepuasan kerja guru matematika memediasi hubungan antara kecerdasan emosional dan efektivitas pengajaran.
4. Moderasi gender
-
H4a: Gender memoderasi hubungan antara kecerdasan emosional dan efikasi diri guru matematika.
-
H4b: Gender memoderasi hubungan antara kecerdasan emosional dan efektivitas pengajaran guru matematika.
-
H4c: Gender memoderasi hubungan antara kecerdasan emosional dan kepuasan kerja guru matematika.
Variabel, Indikator, dan Definisi Operasional
| Variabel | Indikator | Definisi Operasional |
|---|---|---|
| Kecerdasan Emosional (X) | 1. Pemanfaatan emosi (kemampuan menggunakan emosi untuk mendukung pemikiran dan tindakan) 2. Regulasi emosi (kemampuan mengatur dan mengendalikan emosi diri maupun orang lain) 3. Penilaian emosi (kemampuan mengenali, memahami, dan menilai emosi pada diri sendiri maupun orang lain) |
Skor yang diperoleh guru matematika pada kuesioner Schutte Emotional Intelligence Scale (33 item, Likert 1–5) yang mengukur sejauh mana guru mampu memahami, mengelola, dan menggunakan emosi dalam konteks pengajaran. |
| Efikasi Diri Guru (Mediating Variable 1) | 1. Efikasi dalam manajemen kelas (kemampuan menjaga disiplin dan keteraturan kelas) 2. Efikasi dalam strategi instruksional (kemampuan memilih dan menggunakan metode pengajaran yang sesuai) 3. Efikasi dalam keterlibatan siswa (kemampuan mendorong partisipasi dan motivasi belajar siswa) |
Skor yang diperoleh dari Teachers’ Sense of Self-Efficacy Scale (12 item, Tschannen-Moran & Hoy, Likert 1–5) yang mengukur keyakinan guru terhadap kemampuan dirinya dalam mengelola kelas, menggunakan strategi instruksional, dan meningkatkan keterlibatan siswa. |
| Kepuasan Kerja Guru (Mediating Variable 2) | 1. Kepuasan terhadap kondisi kerja (beban kerja, lingkungan sekolah, dukungan atasan) 2. Kepuasan terhadap penghargaan dan pengakuan 3. Kepuasan terhadap hubungan dengan rekan kerja dan siswa |
Skor yang diperoleh dari Teacher Job Satisfaction Scale (TJSS, 9 item, Likert 1–5) yang mengukur tingkat kepuasan guru terhadap aspek-aspek pekerjaan mereka, baik lingkungan, penghargaan, maupun relasi sosial di sekolah. |
| Efektivitas Pengajaran (Y) | 1. Intellectual Quality – kejelasan instruksi, dorongan berpikir tingkat tinggi, keterhubungan antar konsep 2. Quality Learning Environment – pengelolaan kelas, suasana positif, dukungan terhadap siswa 3. Significance – keterkaitan pembelajaran dengan pengalaman siswa dan kehidupan nyata |
Skor yang diperoleh dari Instrumen efektivitas pengajaran Lumadi & Acquah (29 item, Likert 1–5) yang menilai kemampuan guru dalam menyajikan materi dengan jelas, mengelola kelas, serta menghubungkan pembelajaran matematika dengan konteks kehidupan siswa. |
| Gender (Moderator) | 1. Laki-laki 2. Perempuan |
Variabel kategori yang menunjukkan jenis kelamin guru, digunakan untuk menguji apakah hubungan kecerdasan emosional dengan efektivitas pengajaran berbeda antar gender. |
Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan desain survei deskriptif potong lintang (descriptive cross-sectional survey). Populasi penelitian adalah seluruh guru matematika di 11 Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN).
Karena jumlah populasi tidak terlalu besar, penelitian menggunakan metode sensus (census sampling), artinya seluruh anggota populasi dijadikan responden penelitian. Dengan metode ini, peneliti berusaha menangkap gambaran menyeluruh tanpa melakukan pengambilan sampel secara acak. Dalam praktiknya, data dikumpulkan melalui kuesioner yang dibagikan ke semua guru matematika di sekolah tersebut.
Metode sensus ini bisa tetap dipakai untuk wilayah terbatas (misalnya satu kota atau kabupaten). Namun, bila jumlah guru sangat besar, metode proportional random sampling atau purposive sampling dapat dipertimbangkan dengan kriteria tertentu (misalnya guru matematika aktif di SMA negeri dan swasta).
Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan Partial Least Squares – Structural Equation Modelling (PLS-SEM) melalui perangkat lunak SmartPLS 4.
Alasan penggunaan PLS-SEM:
-
Cocok untuk model penelitian yang kompleks dengan banyak variabel laten dan hubungan (langsung, mediasi, moderasi).
-
Tidak menuntut asumsi normalitas data yang ketat, sehingga lebih sesuai untuk data survei yang berdistribusi tidak normal.
-
Lebih fokus pada prediksi hubungan antar variabel dibandingkan model berbasis kovarians (CB-SEM).
Tahapan analisis dalam PLS-SEM:
-
Evaluasi model pengukuran (outer model): uji reliabilitas (Cronbach’s Alpha, Composite Reliability), validitas konvergen (Average Variance Extracted/AVE), dan validitas diskriminan (HTMT).
-
Evaluasi model struktural (inner model): uji kolinearitas (VIF), koefisien determinasi (R²), efek f², predictive relevance (Q²), serta indeks kelayakan model (SRMR, NFI).
-
Uji hipotesis: menggunakan prosedur bootstrapping (5.000 sub-sample) untuk menilai signifikansi jalur pengaruh (direct effect, indirect/mediation effect, moderating effect).










![Pengaruh Teknologi (X1), Organisasi (X2) dan Lingkungan terhadap Kinerja Organisasi Berkelanjutan dengan Digital Transformation dan Sustainable Innovation Capability sebagai Mediasi [1]](https://idtesis.com/wp-content/uploads/Pengaruh-Teknologi-X1-Organisasi-X2-dan-Lingkungan-terhadap-Kinerja-Organisasi-Berkelanjutan-dengan-Digital-Transformation-dan-Sustainable-Innovation-Capability-sebagai-Mediasi-1-60x60_c.jpg)


