HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Menurut UU No. 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006)

Judul : Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Menurut UU No. 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok masyarakat, rumah tangga juga merupakan sendi dasar dalam membina dan terwujudnya suatu negara. Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pancasila yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa perkawinan. Karena perkawinan tidak lain adalah permulaan dari rumah tangga. Perkawinan merupakan aqad dengan upacara ijab qobul antara calon suami dan istri untuk hidup bersama sebagai pertalian suci (sacral), untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga dalam memakmurkan bumi Allah SWT yang luas ini. Dengan perkawinan terpeliharalah kehormatan, keturunan, kesehatan jasmani dan rohani, jelasnya nasab seseorang. Ada tiga hal mengapa perkawinan itu menjadi penting. Petama: perkawinan adalah cara untuk ikhtiyar manusia melestarikan dan mengembangbiakan keturunanya dalam rangka melanjutkan kehidupan manusia di muka bumi. Kedua: perkawinan menjadi cara manusia menyalurkan hasrat seksual. Yang dimaksud di sini adalah lebih pada kondisi terjaganya moralitas, dengan begitu perkawinan bukan semata-mata menyalurkan kebutuhan biologis secara seenaknya, melainkan juga menjaga alat reproduksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan pada tempat yang salah. Ketiga: perkawinan merupakan wahana rekreasi dan tempat orang menumpahkan keresahan hati dan membebaskan diri dari kesulitan hidup secara terbuka kepada pasanganya.2 Pada dasarnya tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa3. Dari pengertian tersebut untuk mewujudkan keluarga yang bahagia landasan utama yang perlu dibangun antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah adanya hak dan kewajiban di antara keduanya.
Al-Qur’an sendiri menyebutkan tujuan perkawinan dalam Surat Ar-Rum ayat 21:
Photobucket
“Diantara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah bahwa dia telah menciptakan pasangan bagi kamu dari bahan yang sama agar kamu menjadi tenteram bersamanya. Dia menjadikan kamu berdua saling menjalin cinta (mawadah warohmah) pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang berfikir.” (Q.S. Al Rum: 21).
Dalam ayat tersebut dikatakan sakinah, mawadah dan rahmah, mempunyai arti antara lain: diam sesudah bergerak, tetap, menetap, bertempat tinggal, tenang, dan tentram, ini menyebutkan bahwa perkawinan dimaksudkan sebagai wahana atau tempat dimana orang-orang yang ada didalamnya terlindungi dan dapat menjalani hidup dengan penuh kedamaian dan aman. Dengan ketiga arti ini perkawinan merupakan ikatan yang dapat melahirkan hubungan saling mencintai, saling menasehati, dan saling mengharapkan satu sama lain, ungkapan al-Qur’an dengan bahasa bainakum atau dengan kata lain satu sama lain. Tentu saja menunjukan bahwa cinta dan kasih sayang bukan hanya dimiliki oleh salah satu pihak. Yakni suami istri konsekuensi logisnya mereka tidak boleh saling menyakiti dan menghianati. Fenomena kadang berbicara lain, perkawinan yang diharapkan sakinah, mawadah, warahmah, ternyata harus kandas ditengah jalan karena permasalahan dalam keluarga, dan Islam menyikapi dengan memberi solusi perceraian bagi keluarga yang memang sudah tidak dapat dipertahankan. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu permasalahan dalam keluarga untuk mempertahankan sebuah keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja termasuk bapak, suami, istri, dan anak, namun secara umum pengertian dalam KDRT di sini dipersempit artinya penganiayaan terhadap istri oleh suami. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban dalam KDRT adalah istri.

Bila kita teliti lebih jauh banyak sekali keluarga yang tidak bahagia, rumah tangga yang selalu ditiup oleh badai pertengkaran dan percekcokan. Dengan keadaan yang semacam ini istri manapun tidak akan nyaman dalam mejalani kehidupanya. Kasus seperti ini sangat banyak sekali terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi mengapa masyarakat enggan melaporkan kasusnya pada pihak yang berwenang? Bahkan dari hasil observasi yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Salatiga, selama adanya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga baru ada dua kasus yang diputuskan oleh Pengadilan yang diajukan oleh istri. Hal ini disebabkan karena dari pihak korban takut kasus dalam keluarganya diproses di Pengadilan karena itu merupakan aib dalam keluarganya ataukah kurang sadarnya dari pihak korban akan perlindungan hukum yang telah diberikan oleh negara. Majlis Hakim dalam menetapkan sebuah keputusan tidak hanya berpedoman pada UU PKDRT saja, tetapi hakim juga mempertimbangkan dari beberapa keterangan saksi yang berbeda-beda dalam memutuskan suatu perkara. Dalam dua putusan kekerasan dalam rumah tangga yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Salatiga terdapat beberapa hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan, yang diantara keduanya juga berbeda, putusan No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 yang diajukan pada tanggal: 21 Desember 2005 dan diputus pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2006 terdapat hal-hal yang memberatkan diantaranya Terdakwa main hakim sendiri dan Terdakwa sebagai suami tidak melindungi istri. Sedangkan hal-hal yang meringankan Terdakwa mengaku bersalah dan minta maaf pada istrinya, Terdakwa dan Saksi masih berhubungan suami istri meskipun perkaranya sudah diproses di Pengadilan, dan belum pernah dihukum. Sedangkan dalam putusan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006 yang diajukan pada 5 April 2006 dan diputus pada hari Senin Tanggal 5 Juni 2006, terdapat hal-hal yang memberatkan yaitu Terdakwa main hakim sendiri, Terdakwa sebagai suami tidak melindungi, dan Terdakwa tidak minta maaf pada korban, sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu Terdakwa belum pernah dihukum, dan terdakwa mengaku bersalah dan menyesalinya. Akan tetapi putusan yang dijatuhkan dalam perkara tersebut sangatlah jauh perbedaanya, untuk putusan No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dijatuhkan pidana 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun serta dibebankan biaya sebesar 1000 rupiah, sedangkan putusan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006 dijatuhkan pidana 6 bulan dan harus dijalani serta di bebankan biaya sebesar 500 rupiah. Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan menelitian terhadap putusan-putusan hakim mengenai “KEKERASAN TERHADAP ISTRI DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006)”.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?