Judul : Upaya Damai Sebagai Azaz Imperatif Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Komparasi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola budaya, dan perkembangan masyarakat Islam di Negara-negara yang bersangkutan. Demikian halnya di Indonesia, Peradilan Islam mengalamiperkembangan sejalan dengan perkembangan umat Islam, komunitas terbesar dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan atas aspek variasi dari berbagai unsur Peradilan Islam.
Tetapi di balik itu, terdapat persamaan yang esensial yakni teralokasinya hukum Islam untuk ditegakkan dalam proses penerimaan sampai penyelesaian perkara di Pengadilan, khususnya di kalangan umat Islam terutama dalam bidang Ahwalusy Syakhshiyyah. Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.2
Berdasarkan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 1, 2, 49 dan penjelasan umum angka 2, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain UU No. 1 tahun 1974, PP No. 28 tahun 1977, Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag. No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah untuk memberikan pelayanan dan keadilan dalam bidang keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan Islam.
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Republik Indonesia (pasal 1 dan 2 UU. No. 14 tahun 1970). Adapun salah satu tugas yustisial hakim Peradilan Agama adalah mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, karena perdamaian adalah lebih baik dari pada putusan yang dipaksakan.
Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan hukum suatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan antara kedua pihak yang berperkara itu yang sebenarnya dan seharusnya dan agar segalaapa yang ditetapkan oleh pengadilan itu di realisir, kalau perlu dengan pelaksanaan eksekusi paksa. Dengan demikian, hak-hak dan kewajibankawajiban yang diberikan oleh materiil yang diputuskan atau ditetapkan oleh pengadilan itu dapat dijalankan atau diwujudkan. Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan sejak sidang pertama sebelum pembacaan surat gugatan.
Hal ini dirasa kurang rasional, karena bagaimana hakim tahu dan bisa menganjurkan damai jika hakim itu sendiri belum tahu duduk perkaranya. Begitu pula sebelum penggugat membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin mengubah gugatannya. Upaya damai sebenarnya dapat dilakukan kapan saja sepanjang perkara belum putus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang pertama adalah bersifat “mutlak atau wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam berita acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian, walaupun mungkin menurut logika sangat kecil kemungkinannya. Berdasarkan pasal 82 ayat (2) Undang-undang Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 yang berbunyi :
“Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu”.
Akan tetapi dalam pasal itu tidak dijelaskan mengenai ketidak hadiran tergugat dalam sidang perdamaian yang keberadaan tergugat tidak sedang berada di luar negeri. Tapi dalam praktek penerapannya hakim menyimpulkan bahwa perkara cerai gugat tidak dapat dilanjutkan apabila tergugat tidak hadir dalam sidang pertama yakni sidang perdamaian dan tergugat mewakilkan pada kuasa hukumnya. Tetapi berdasarkan pasal 125 HIR, apabila tergugat tidak hadir sama sekali dan tanpa mewakilkan pada kuasanya pada persidangan maka perkara dapat diputus dengan putusan verstek.
Dalam hal hukum acara, sebagaimana pasal 56 Undang-undang Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang tidak diperbolehkannya seorang hakim untuk menolak perkara yang masuk ke Pengadilan Agama dengan alasan tidak jelas atau kurang jelasnya aturan atau Undang-undang. Akan tetapi apapun perkara yang masuk hakim harus menerimanya dan memutuskan suatu perkara berdasarkan kebenaran dan keadilan atau setidak-tidaknya mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Yang perlu direnungkan adalah bagaimana apabila terjadi kesamaan alasan dalam perkara cerai gugat sebagaimana yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama pada kasus No. 162/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. akan tetapi berbeda dalam keputusan, padahal Penggugat sama-sama dirugikan lahir dan batin oleh Tergugat.
Putusan No.162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. tersebut (tidak dapat di terima) dijatuhkan oleh hakim dengan alasan tidak hadirnya pihak Tergugat dalam sidang perdamain yang menurut hakim berarti Tergugat dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam berperkara meski Tergugat telah mewakilkan pada kuasa hukumnya, dengan alasan bahwa dalam Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 82 ayat (2) dikatakan bahwa antara Penggugat dan Tergugat harus datang secara pribadi. Secara logika adilkah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara tersebut? Apabila perkara tersebut tidak dapat diterima oleh Pengadilan Agama, maka kemanakah orang yang berperkara tersebut harus meminta pengadilan? karena mereka melakukan perkawinan secara Islam.
Adapun pada perkara No. 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. tersebut dapat diputus oleh hakim dengan putusan verstek, karena pada saat sidang perdamaian dan sampai selesainya perkara Tergugat tidak pernah datang meski telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan Agama Salatiga dan Tergugat tidak mewakilkan pada kuasa hukumnya. Dalam penegakan hukum dan keadilan, hakim Peradilan Agama dituntut untuk mengadili secara kasuistik dan tidak dibenarkan mengikuti secara mutlak yurisprudensi yang telah ada, sebab pada kenyataannya tidak ada perkara yang diperiksa itu persis mirip dengan perkara sebelumnya.
Oleh karena itu keadaan khusus yang terkandung dalam perkara yang bersangkutan perlu dikembangkan lagi. Berangkat dari latar belakang diatas, penulis melakukan sebuah penelitian dengan judul: UPAYA DAMAI SEBAGAI AZAZ IMPERATIF HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Komparasi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.)
Leave a Reply