BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Maraknya isu pemberitaan mengenai klaim seni dan budaya Indonesia oleh negara Malaysia beberapa waktu lalu, telah memicu sikap reaktif masyarakat atas beberapa hasil karya budaya yang dianggap sebagai milik negara tersebut. Kejadian ini sempat mengakibatkan ketegangan hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia, yang sudah mengalami beberapa kali pasang surut sejak tahun 1960-an.
Pada tahun 1963, hubungan kedua negara mengalami masalah hingga memicu terjadinya konfrontasi. Persoalan ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan wilayah Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Selain itu, di tahun 1969 ketegangan hubungan berlanjut ketika kedua negara mengajukan klaim atas kepulauan Sipadan dan Ligitan di perairan dekat kawasan pantai negara bagian Sabah dan Provinsi Kalimantan Timur.
Perebutan wilayah ini berakhir di tahun 2002, ketika Mahkamah Internasional (MI) di Den Hag, Belanda memutuskan kedua pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Malaysia. Keputusan ini dicapai, setelah kedua negara gagal melakukan negoisasi bilateral dan menyerahkan penyelesaian sengketa kepada MI dengan penandatanganan kesepakatan pada bulan Mei 1997. Salah satu kesepakatan tersebut, adalah menerima segala keputusan pengadilan sebagai penyelesaian akhir sengketa. Konflik klaim wilayah terulang kembali di tahun 2005, ketika perusahaan minyak milik pemerintah Malaysia memberikan izin eksplorasi kepada perusahaan Shell di kawasan perairan Ambalat, Laut Sulawesi.2 Konflik ini berhasil diakhiri, setelah kedua negara bersepakat menempuh jalur dialog yang hingga kini masih dalam perundingan.
Persoalan semakin bertambah, saat Departemen Pariwisata Malaysia menggunakan lagu Rasa Sayange untuk kegiatan promosi pariwisata melalui iklan televisi atau television commercial (TVC) yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Tidak hanya itu, beberapa hasil karya seni budaya Indonesia juga ditampilkan dalam iklan televisi maupun kegiatan pariwisata Malaysia lainnya. Hal ini menimbulkan reaksi keras masyarakat Indonesia, sehingga konflik antar kedua negara pun kembali memanas.
Pada tahun 2007 lalu, pemerintah Malaysia menetapkan tahun kunjungan wisata dengan mengusung tema Visit Malaysia 2007 sebagai Truly Asia atau Asia yang sesungguhnya. Pencanangan program pariwisata ini, bertepatan dengan peringatan 50 tahun kemerdekaan negara Malaysia yang diberikan oleh kerajaan Inggris sejak tanggal 31 Agustus 1957. Karenanya, berbagai event kegiatan dan kampanye pariwisata gencar diadakan pemerintah Malaysia untuk mendukung perayaan setengah abad kemerdekaan (One Golden Celebration).
Kegiatan publikasi pariwisata Malaysia tersebut, juga marak ditayangkan oleh berbagai media cetak dan elektronik nasional. Keberadaan iklan pariwisata yang seharusnya bertujuan menampilkan potensi wisata dan ciri khas kebudayaan Malaysia itu, kenyataannya banyak menggunakan hasil karya seni budaya milik Indonesia, seperti alat musik Angklung, seni Batik, Kuda Lumping, tari Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, Wayang Kulit dan lain sebagainya. Kontradiksi pun merebak dari berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, dan mengganggap Malaysia sebagai negara pencuri yang suka mengklaim segala aset budaya bangsa.
Demi menjawab segala persoalan klaim budaya, pemerintah RI segera mengupayakan berbagai cara penyelesaian dengan Malaysia. Pendekatan bilateral yang dilandasi semangat sebagai saudara serumpun, memacu kedua negara untuk mencari solusi terbaik. Hal ini, karena hubungan kedua negara merupakan faktor penentu pada keamanan regional Asia Tenggara. Sehingga peningkatan hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia, akan selalu terkait dalam konteks ASEAN.
Menyikapi kasus ini, negara-negara ASEAN pun sepakat untuk tidak mengklaim berbagai seni dan budaya asli suatu bangsa di kawasan Asia Tenggara. Pernyataan ini, disampaikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI seusai menutup kegiatan ASEAN Youth Camp 2008 di Yogyakarta sebagai wadah kerjasama seni dan budaya antar generasi muda se- ASEAN.3 Negara-negara ASEAN juga sependapat, agar menyebutkan negara asal jika suatu saat membawakan atau menampilkan budaya milik negara lain di kawasan tersebut.
Pada akhirnya, klaim terhadap karya seni dan budaya Indonesia oleh negara lain mampu mengusik serta membangkitkan kembali semangat nasionalisme rakyat. Setelah di pertengahan tahun 1998 lalu, situasi negara yang tidak stabil telah memaksa terjadinya reformasi besar-besaran untuk menggulingkan rezim Orde Baru. Persamaan latar belakang dan sejarah perjuangan bangsa sejak zaman penjajahan hingga kini, mampu menanamkan perasaan senasib sepenanggungan sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tengah-tengah kemajemukannya.
Walaupun selama era reformasi, Indonesia telah berubah dan berbenah diri namun kemajuan yang dirasakan masih jauh tertinggal dengan Malaysia. Hal ini, karena Malaysia lebih berhasil mengatasi krisis yang juga dialami Indonesia saat itu. Kemajuan diberbagai bidang seperti ekonomi, pariwisata, pendidikan, politik dan lain sebagainya, membuat Malaysia semakin unggul dengan citra positifnya di mata dunia. Sedangkan kelambanan Indonesia dalam menangani berbagai persoalan internal maupun eksternal hingga mencemarkan nama baik bangsa, semakin membuat citra Indonesia terpuruk tidak hanya di mata dunia namun juga bagi pemerintah Malaysia sendiri.
Citra buruk juga dapat menghambat pergaulan Indonesia dengan dunia internasional. Karena itu, di awal tahun 2008 pemerintah mencanangkan program Visit Indonesia 2008 sebagai tahun kunjungan wisata dengan tema perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional (Celebrating 100 Years of National Awakening). Melalui program ini, diharapkan dapat meningkatkan citra baik dan membangkitkan nilai pariwisata Indonesia yang tertinggal jauh dari negara ASEAN lainnya.
Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, promosi pariwisata yang dilakukan Indonesia masih terbilang kalah. Padahal selalu ada harapan dan keluhan, bahwa potensi pariwisata Indonesia jauh lebih besar dibandingkan kedua negara tersebut. Hal ini pun menjadi tugas yang tengah diupayakan pemerintah, untuk membangun kembali seni dan budaya Indonesia melalui
kegiatan promosi pariwisata.
Indonesia adalah bangsa pluralistik dengan kehidupan masyarakat yang heterogen dan multikultural, sebagaimana dituangkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Lebih dari 350 bahasa daerah berkembang dan ratusan etnis tersebar di berbagai wilayah Indonesia, tinggal dan hidup di berbagai pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Hal ini tentunya, menghasilkan kebudayaan yang berlimpah ruah dan menjadi ciri khas identitas bangsa di mata dunia.
Heterogenitas kehidupan berbangsa, telah menghasilkan kekayaan budaya bernilai tinggi (adiluhung) yang sudah diwariskan secara turun temurun dari setiap generasi. Kekayaan warisan budaya ini hadir dalam keanekaragaman, baik yang terlihat maupun tidak dan dihasilkan dari alam maupun oleh budi daya manusia, serta interaksi antar keduanya dari waktu ke waktu. Pusaka tersebut, tidak hanya berbentuk artefak namun juga flora dan fauna, kesenian, serta sosial budaya dari bahasa, interaksi masyarakat, hingga pusaka kota bersejarah. Diyakini, Indonesia menjadi mosaik pusaka saujana budaya terbesar di dunia.
Meskipun begitu, masyarakat Indonesia tidak pernah memberikan perhatian serius terhadap keberadaan warisan budaya. Terlebih sejak era reformasi yang belum juga menunjukkan peningkatan ekonomi, setelah dilanda berbagai krisis multidimensional. Sehingga persoalan ekonomi menjadi hal yang lebih sentral, bagi negara yang sedang berkembang saat ini. Akibatnya warisan budaya tidak pernah dianggap terlalu penting, dan hanya menjadi peninggalan masa lampau yang kurang bernilai harganya. Perhatian terhadap warisan budaya pun, hanya menjadi tugas bagi segelintir kalangan seperti seniman ataupun lembaga budaya dan bukan masyarakat luas. Kepedulian masyarakat yang rendah, menyebabkan warisan budaya semakin tidak terpelihara. Keadaan ini tentu tidak sejalan dengan program pemerintah serta beberapa organisasi yang menetapkan tahun 2003 lalu, sebagai Tahun Pusaka Indonesia. Sekaligus mencanangkan dekade 2004- 2014, sebagai dekade pelestarian pusaka yang berderap pembangunan berwawasan lingkungan dan budaya.
Penetapan Tahun Pusaka memiliki berbagai kegiatan pelestarian yang diupayakan sepanjang tahun 2003 lalu, salah satu progamnya adalah Penyusunan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia.5 Tahun itu pula bertepatan dengan diselenggarakannya Pra Kongres Kebudayaan V di Bali, dan rumusan hasil Kongres Kebudayaan V di Sumatera Barat yang turut memberikan masukan dalam penyusunan Piagam tersebut.
Bertolak dari harapan yang ada, pencanangan ini belum sepenuhnya mampu membangkitkan rasa penghargaan masyarakat terhadap nilai warisan budaya bangsa. Kenyataannya, dalam beberapa tahun kemudian semakin banyak warisan atau pusaka bangsa yang hilang bahkan diakui keberadaannya sebagai milik negara lain. Sehingga setelah mencuatnya berbagai kasus klaim oleh pemerintah Malaysia, segenap pihak mulai bersikap emosional dan reaktif karena merasa memiliki pusaka tersebut.
Meskipun dasar kebudayaan Indonesia dan Malaysia dapat dikatakan serumpun, namun terbentuknya pola kebudayaan kedua negara sangat jauh berbeda. Imigran asal Indonesia yang datang ke Malaysia sejak ratusan tahun lalu, turut pula membawa kesenian dan budaya asli hingga mengembangkannya di negara tersebut. Walaupun secara politik telah melepaskan ikatannya, namun secara kultural sebagian besar dari mereka masih cenderung berorientasi ke Indonesia.6 Pengaruh kebudayaan yang searah ini, tak dapat dihindarkan oleh Malaysia. Pada akhirnya, menjadi kendala dalam pendekatan bilateral karena perbedaan persepsi mengenai isu rumpun Melayu yang dibingkai semangat nasionalisme dari masing-masing negara.
Salah satu upaya solusi yang ditempuh oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, ialah membentuk tim pakar untuk mengkaji serta memilah sejumlah seni tradisional dan hasil budaya milik Indonesia dengan Malaysia. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengakui, bahwa kedua negara memiliki banyak persamaan kesenian serta budaya karena berasal dari satu rumpun yang sama. Selain itu juga, terdapat beberapa karya seni yang merupakan kategori gray area atau sudah ada sejak dahulu dan berkembang di kedua negara namun tidak diketahui penggubahnya.
Berdasarkan penjelasan awal pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945,bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat yang juga berarti totalitas pengalaman manusia yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kapabilitas, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan Indonesia telah memiliki dasar kesatuan yang kuat sejak zaman pra Hindu. Gelombang-gelombang kebudayaan Hindu, Budha, Islam hingga Barat, mampu memberikan corak khas pada setiap suku bangsa yang menerima dan mengadaptasinya dengan kreativitas local genius. Sedangkan interaksi antarbangsa yang semakin meningkat diberbagai bidang, merupakan tanda bagi realitas globalisasi dewasa ini. Sehingga mengakibatkan persentuhan antarbudaya yang juga semakin tinggi.
Kondisi ini bagaikan dua sisi mata uang di Indonesia, karena menjadi tantangan dalam memajukan segenap aspek kehidupan namun disisi lain dapat mengancam eksistensi kebudayaan lokal sebagai identitas bangsa. Kemajuan teknologi informasi, derasnya arus komunikasi, pertukaran maupun mutasi warga antarbangsa telah menciptakan wilayah baru bernama desa global (global village). Dampak buruk adanya budaya global, adalah terkikisnya kebudayaan lokal yang dapat menghapuskan local genius dengan kebudayaan baru. Karena itu, fenomena klaim terhadap segala warisan budaya Indonesia oleh negara lain menjadi masalah penting yang dapat mengancam identitas bangsa di era globalisasi saat ini. Pusaka Indonesia memiliki ciri khas dan keunikan yang membedakannya dengan bangsa lain, namun persoalan pelestarian dan perhatiannya masih cukup memprihatinkan. Identitas bangsa tidak hanya terancam namun juga mengalami krisis kesadaran, sebagai negara yang memiliki kekayaan akan keanekaragaman warisan budaya.
Dalam kancah kekacauan peradaban dan krisis identitas inilah, peran komunikasi menjadi lebih berharga. Theodornoson and Theodornoson (1969) memberi batasan lingkup komunikasi berupa penyebaran informasi, ide-ide, sikap-sikap atau emosi dari seseorang atau kelompok kepada yang lainnya khususnya melalui simbol-simbol.9 Sedangkan penyebaran informasi kepada masyarakat luas melalui suatu media, dalam konteksnya disebut komunikasi massa.
Salah satu lingkup komunikasi massa adalah periklanan sebagai kegiatan pemasaran maupun kegiatan komunikasi mengenai suatu produk berupa barang ataupun jasa, melalui media cetak, elektronik, serta media luar ruang (outdoor publication) dan dalam ruang (indoor publication). Penggunaan media televisi sebagai sarana penyampaian informasi produk, tidak hanya efektif menjangkau khalayak sasaran secara lebih luas namun juga mampu menegaskan kondisi yang tengah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berbagai macam produk yang diiklankan dewasa ini, memiliki kaitan dengan isu-isu sosial atau bentuk pelayanan tertentu. Karena tujuan periklanan pada dasarnya, adalah mengubah atau mempengaruhi sikap-sikap khalayak. Iklan menjadi sebuah teks sosial yang dapat digunakan untuk memahami dinamika masyarakat selama periode iklan tersebut ditayangkan. Wacana yang dihadirkan oleh iklan, selalu mengacu pada realitas sosial yang menggunakan pencitraan atau simbolisasi makna dari konteks sosial budaya masyarakat setempat. Teks iklan, juga memiliki peran dalam memproyeksikan visi ideologis pengiklan untuk memperkuat ataupun melawan berbagai nilai dominan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Erving Goffman, antara iklan dan realitas memiliki hubungan yang kuat atau berkaitan dengan ritual masyarakat. Walaupun iklan mengadopsi berbagai materi dari kehidupan sehari-hari, namun juga dilakukan seleksi terhadap materi iklan dengan hati-hati.10 Proses produksi iklan, akan selalu diwarnai dengan tujuan untuk memotret pandangan sosial dan mempresentasikannya menjadi sesuatu yang bernilai. Sebagai sebuah kegiatan komunikasi massa, iklan akan selalu mencari strategi agar berbagai pesannya dapat diterima dan dimengerti oleh khalayak. Para kreator iklan merupakan bagian dari komunitas kultural, yang dituntut untuk memiliki stock of knowledge yang sama dengan masyarakat. Sehingga penciptaan iklan mampu menggambarkan keadaan dunia melalui preferensipreferensi budaya yang berlaku. Hal ini untuk menjamin, bahwa pesan yang disampaikan suatu iklan dapat terbaca oleh khalayak.
Melalui iklan televisi, proses konstruksi terhadap realitas sosial pun dibentuk dalam tahapan rancangan berdasarkan konsep dan logika komunikasi. Dalam menyiapkan naskah iklan televisi, copywriter dan visualiser akan mempertimbangkan target image yang ingin dicitrakan. Artinya, pesan image yang diberikan pada sebuah produk harus memiliki makna dengan klasifikasi segmen tertentu. Pada umumnya, konstruksi iklan televisi konsumen (TVC) memiliki tahapan untuk membangun citra, pembenaran dan persuasi tindakan.
Sebuah TVC yang turut dipengaruhi oleh realitas keadaan bangsa, ialah iklan produk jamu Tolak Angin dari PT SidoMuncul. Iklan yang dilatarbelakangi oleh fenomena klaim budaya tersebut, mengangkat tema kekayaan budaya bangsa dengan versi “Truly Indonesia”. Iklan ini tidak hanya bertujuan untuk membangun citra produk dan meningkatkan kesadaran merek (brand awareness), namun juga menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat. PT SidoMuncul merupakan perusahaan jamu terbesar di Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 1940, dan berkembang pesat hingga kini. Perusahaan ini berawal dari industri rumah tangga yang pertama kali dikelola oleh Nyonya Rakhmat Sulistio dengan bantuan beberapa orang karyawan. Besarnya permintaan terhadap kemasan jamu yang lebih praktis menuntut didirikannya perusahaan sederhana SidoMuncul pada tahun 1951 di Semarang. Sebagai obat untuk masuk angin, Tolak Angin menjadi produk jamu pertama yang memperoleh banyak respon positif dari pasar hingga telah membawa sejumlah kemajuan bagi perusahaan.
Perkembangan ini terlihat dari segi modernisasi dan perluasan pabrik, penerimaan penghargaan terhadap kualitas produk serta berbagai kegiatan promosi yang gencar dilakukan. Sehingga berdasarkan riset dari Frontier Consulting Group, merek Tolak Angin berhasil menduduki posisi nomor satu sebagai Top Brand Index (TBI) tahun 2008 dan mengalahkan kompetitor merek Antangin yang sekian lama berada di peringkat atas.
Tercapainya berbagai prestasi, tentu tak luput dari penerapan strategi promosi yang tepat selain ditunjang oleh kualitas produk yang sudah teruji. Sebagai warisan leluhur, jamu sudah menjadi obat tradisional masyarakat Indonesia dalam menjaga kesehatan dengan ramuan alami yang berkhasiat. Namun sebagian masyarakat masih beranggapan, tradisi minum jamu hanya diperuntukkan bagi kelas bawah atau kalangan non terpelajar. Kesalahan persepsi ini yang menjadi misi SidoMuncul, untuk terus meningkatkan kesadaran seluruh kalangan masyarakat akan pentingnya khasiat jamu bagi kesehatan.
Contoh Tesis
- Daftar Contoh Tesis Administrasi Publik
- Daftar Contoh Tesis Ilmu Politik
- Daftar Contoh Tesis Administrasi
- Daftar Contoh Tesis Ilmu Ekonomi
- Daftar Contoh Tesis Hubungan Internasional
- Daftar Contoh Tesis Ekonomika Pembangunan
- Daftar Contoh Tesis Ilmu-Ilmu Sosial
- Daftar Contoh Tesis Sosiologi
Contoh Skripsi
- BAGIAN I : Daftar Contoh Skripsi Fakultas FISIPOL
- BAGIAN II : Daftar Contoh Skripsi Fakultas FISIPOL
- Daftar Contoh Skripsi Ilmu Komunikasi
- Daftar Contoh Skripsi Filsafat
- Daftar Contoh Skripsi Antropologi
- Daftar Contoh Skripsi Sosial Politik
- Daftar Contoh Skripsi Administrasi
- Daftar Contoh Skripsi Ilmu Budaya
- Daftar Contoh Skripsi Ilmu Pemerintahan
- Daftar Contoh Skripsi Sosiologi
- Daftar Contoh Skripsi Ilmu Politik
- Daftar Contoh Skripsi Hubungan Internasional
Leave a Reply