HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Aspek Moralitas Dan Nilai Budaya Cerita Bersambung Janggrung Karya Sri Sugiyanto

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era 1960-1970an banyak bermunculan novel-novel yang berbahasa Jawa. Hampir tiap penerbit di kota-kota besar di Jawa berlomba membukukan karya-karya bahasa Jawa yang sebagian besar berbentuk novel, antologi, cerita pendek, dan roman. Namun pada saat itu timbul suatu anggapan bahwa novel-novel yang menggunakan bahasa Jawa dipandang sebelah mata, kurang bermutu, dan cengeng. Pada era itu muncul novel-novel yang disebut dengan istilah panglipur wuyung (pelipur lara), roman picisan yang bernada ejekan terhadap karya sastra yang berbahasa Jawa tersebut, (Poer Adhi Prawoto, 1991: 73). Namun, sekarang perkembangan karya sastra khususnya sastra Jawa sudah semakin berkembang. Terbukti banyak pengarang-pengarang sastra Jawa yang telah menciptakan sebuah karya sastra yang berupa cerkak (crita cekak), cerbung (crita sambung) ataupun novel. Hasil karya-karya mereka banyak dimuat di berbagai media cetak, seperti majalah-majalah berbahasa Jawa. Dari majalahmajalah Jawa-lah yang merupakan cerminan perkembangan sastra Jawa sampai sekarang.

Beberapa majalah Jawa telah mencerminkan kehidupan Sastra Jawa ialah Panjebar Semangat, Jaya Baya, dan Mekar Sari yang sampai kini masih hidup. Majalah-majalah berbahasa Jawa sangat penting dalam upayanya mengembangkan Sastra Jawa dan menampung gairah karyawan pengarang Jawa. (Susilomurti dalam Poer Adhie Prawoto, 1991 : 74). Dengan adanya majalah majalah berbahasa Jawa, sedikit banyak telah ikut membuat andil demi lajunya kesusastraan Jawa. Seiring dengan terbitnya majalah-majalah berbahasa Jawa munculah genre sastra Jawa yang berbentuk cerita bersambung. Kemunculan cerita bersambung berbahasa Jawa tersebut pada awalnya banyak mendapat dukungan dari berbagai surat kabar atau majalah yang menjadi wadah tersiarnya jenis sastra ini. Sebagai sebuah karya sastra, cerita bersambung menawarkan banyak permasalahan kemanusiaan dan kehidupan.

Pada kesempatan ini penulis tertarik untuk meneliti cerita bersambung yang berjudul “Janggrung” karya Sri Sugiyanto. Karya sastra tersebut mengisahkan tentang tradisi Janggrung yang hidup di daerah Wonogiri. Janggrung atau yang disebut juga tayub biasanya tampil untuk mengamen di tepi jalan, rumah ke rumah atau emperan toko. Kendang, demung, siter dan gong bumbung adalah ricikan atau instrumen musik yang dipakai untuk mengiringi pementasan Janggrung, namun sekarang lain hanya menggunakan seperangkat gamelan laras slendro.

Perkembangan kesenian ini diiringi dengan asumsi negatif masyarakat tentang kesenian Janggrung. Pandangan masyarakat tersebut berkaitan dengan kebiasaan penonton Janggrung yang sering mabuk-mabukan dan melakukan sawer. Sawer adalah pemberian uang imbalan yang diselipkan di kain penutup dada penari karena telah menemani penyawer menari. Kebiasaan ini sering dilanjutkan dengan mengajak penari untuk melampiaskan nafsu birahi penyawer. Palguna salah seorang tokoh dalam cerbung yang berjudul Janggrung, seorang anak SLTP yang menekuni kesenian tersebut walaupun banyak orang menganggap kesenian tari Janggrung bertentangan dengan norma kesusilaan. Ia menginginkan kesenian itu tak boleh ditinggal begitu saja karena mahal harganya dan ingin kesenian Janggrung terbebas dari pelanggaran norma kesusilaan. Palguna adalah anak dari Pak Kemis dan Nyi Rawit. Orang tua Palguna dahulu juga anggota dari kelompok kesenian Janggrung.

Lulus dari SLTP Palguna menginginkan melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Kejuruan Seni karena ia ingin memupuk lebih dalam lagi bakatnya dalam kesenian, tetapi tidak diizinkan oleh ibunya. Ibunya menginginkan Palguna bersekolah di SMA supaya ia menjadi pegawai saja. Palguna pun menuruti apa yang dikatakan ibunya, meskipun bersekolah Palguna tidak meninggalkan kesenian Janggrung yang ia cintai, bahkan berkat bermain Janggrung ia mendapatkan penghasilan untuk pembiayaan sekolahnya.

Janggrung mulai berubah ketika dibawakan atau disuguhkan pada waktu pernikahan emas Pak Brayat. Seni tari Janggrung sangat berbeda dengan Janggrung-Janggrung sebelumnya. Dalam pentas Janggrung pada peringatan perkawinan emas pak Brayat, tidak ada kelakuan-kelakuan yang menyimpang norma sosial masyarakat. Sajian Janggrung lebih sopan tidak ada tradisi sawer dengan menyelipkan uang di kain penutup dada dan mabuk-mabukan. Seperti pentas-pentas sebelumnya. Penyimpangan moralitas manusia dalam masyarakat, dibingkai dalam sebuah karya sastra bernuansa Jawa ini dapat dijadikan pelajaran dan tauladan. Hal-hal yang baik dapat dijadikan sebagai ajaran moral yang baik untuk cermin kehidupan sekarang.

Berangkat dari permasalahan di atas penelitian ini menyoroti aspek moralitas dan nilai budaya dalam cerita bersambung berbahasa Jawa yang berjudul Janggrung karya Sri Sugiyanto. Adapun dasar pertimbangan atau alasan mengapa cerbung Janggrung karya Sri Sugiyanto penulis pilih sebagai objek kajian:
1. Dilihat dari segi tematiknya cerbung tersebut mengangkat harkat kesenian tradisi Janggrung agar tidak dipandang sebagai kesenian yang bernuansa negatif, tetapi sebagai kesenian yang layak untuk dilestarikan.
2. Dari segi pengarangan, pengarang memiliki motif untuk mengangkat kesenian Janggrung yang dibawakan diwarnai aspek negatif diubahnya menjadi sebuah kesenian yang harus dilestarikan, dan dihilangkannya berbagai bentuk kemesuman.
3. Dari segi isi ceritanya cerbung Janggrung ini mudah dipahami dan ceritana tidak begitu membosankan, hanya saja cerita ini berbentuk cerita bersambung sehingga pembaca harus bersabar untuk menunggu.
4. Karya sastra cerita bersambung Janggrung ini belum pernah diteliti.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?