HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Tesis Etika Bisnis Budaya Perusahaan yang diterapkan Manajemen Matsushita

Etika Bisnis Budaya Perusahaan yang diterapkan Manajemen Matsushita

 

Skripsi ini membahas nilai-nilai humanisme pemikiran Matsushita Konosuke yang berkaitan dengan etika bisnis sebagai budaya perusahaan yang diterapkan dalam manajemen perusahaan Jepang, dengan menjelaskan latar belakang kehidupan Matsushita Konosuke, kesuksesannya menjalankan perusahaan, serta menguraikan dan menganalisa pemikiran Matsushita Konosuke yang berkaitan dengan etika bisnis. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan sifat penulisan deskriptif analisis. Hasil penilitian menemukan bahwa dalam pemikiran-pemikiran Matsushita Konosuke yang berkaitan dengan etika bisnis memang terdapat nilai-nilai kemanusiaan, kekeluargaan, kecerdasan spiritual diri, dan moral yang tinggi yang diterapkan sebagai budaya perusahaan dalam manajemen perusahaannya.
Kata kunci:
Nilai, humanisme, pemikiran, etika bisnis, budaya, manajemen

Latar Belakang

Etika bisnis merupakan suatu topik yang mulai menarik perhatian masyarakat dunia sejak abad ke 20. Etika bisnis sebenarnya sudah mulai dibicarakan para ahli sejak abad ke 19, namun mulai menjadi sorotan publik sekitar abad ke-20 ketika banyak orang mulai menerapkannya pada perusahaan dan menjadi bahan pembicaraan hangat di mana-mana. Setelah itu sampai sekarang pun banyak peneliti dan para ahli yang mengungkapkan pendapat maupun teorinya tentang etika, bisnis, dan etika bisnis sebagai kesatuan.

Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik-buruknya perilaku manusia. Bisnis adalah kegiatan ekonomis, hal-hal yang terjadi dalam kegiatan bisnis adalah tukar menukar, jual beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, serta interaksi manusiawi lainnya, dengan tujuan memperoleh keuntungan. Etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi kritis tentang moralitas dalam kegiatan ekonomi dan bisnis (K. Bertens, 2000, p. 5-35).

“Etika merupakan tindakan yang dianggap baik atau buruk dan merupakan prinsip tentang moralitas dari seseorang atau kelompok masyarakat di dalam kehidupannya” (Budi Saronto, 2005, p. 302). Etika bisnis merupakan alat bagi para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis mereka dengan lebih bertanggungjawab secara moral.

Bisnis adalah sesuatu yang memerlukan kemahiran dan pengetahuan yang berkaitan dengan budaya suatu masyarakat. Setiap masyarakat di seluruh dunia memiliki cara hidup, budaya, dan adat istiadat masing-masing, tidak terkecuali masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang juga memiliki hal yang sama, memiliki budaya dan adat-istiadat tersendiri. Jepang sebagai salah satu negara yang maju dalam bidang perekonomian, bisnis, maupun teknologi memiliki adat istiadat yang berbeda dengan negara lain, yang berpengaruh dalam manajemen dan etika bisnisnya. Banyak perusahaan Jepang yang menjadi perusahaan-perusahaan besar kelas dunia karena sistem manajemen dan etika bisnisnya yang baik. Dan rahasia dibalik kesuksesan mereka adalah orang-orang di balik perusahaan itu.

Di Jepang, ada seorang tokoh terkemuka dalam dunia elektrik yang pemikirannya -yang kemudian menjadi budaya perusahaan dalam sistem manajemennya- menjadi inspirasi bagi banyak orang hingga saat ini. Ia adalah Matsushita Konosuke , pendiri ‘Matsushita Denki Sangyo Kabushiki Gaisha’ (Matsushita Electric yang kemudian berubah menjadi National dan kini menjadi Panasonic corp).

Matsushita Electric Industrial Ltd (MEI) menduduki urutan ke-59 deretan 500 Forbes Global 2007, dan masuk peringkat 20 teratas penjual semikonduktor dunia. Dengan pendapatan US$88,9 miliar (Rp801 triliun) dan 328.645 orang pegawai, tahun 2008 MEI memasuki era baru perjuangan yang dimulai Matsushita Konosuke 89 tahun silam (Arry Ginanjar, 2008, para. 1).
Matsushita mengawali karirnya sebagai pegawai toko sepeda. Ia juga tidak tamat sekolah dasar. Tetapi berkat ketekunan dan keuletan serta semangat belajar yang tinggi, ia mulai membangun bisnisnya. Mula-mula ia membuat dan memasarkan sendiri lampu sepeda. Kemudian berkembang menjadi lampu, radio, televisi, lampu senter bahkan pesawat dan kapal laut. Matsushita Konosuke sebagai seorang pemimpin perusahaan yang memulai usahanya dari bawah, serta memiliki latar belakang kehidupan yang kurang (dari segi materi), memiliki pemikiran-pemikiran yang menjadi etika bisnisnya dalam menjalankan perusahaan. Pemikiran-pemikirannya ini dalam perkembangannya berubah menjadi budaya perusahaan dalam manajemen Matsushita Electric, dan menjadi rujukan bagi karyawan Panasonic corporation hingga saat ini.

Mengapa budaya perusahaannya dikagumi? Hal ini dikarenakan Matsushita Konosuke adalah seorang humanis2 yang pemikiran-pemikirannya memiliki nilai humanisme. Matsushita tidak hanya menciptakan barang, dan memperoleh keuntungan usaha untuk diri dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat.

Menurut situs resmi Panasonic, pada tahun 1929, Matsushita menciptakan Tujuan Dasar Manajemen dan Ketetapan Perusahaan (the Basic Management Objective and Company Creed) untuk memandu perkembangan Matsushita Electric.

Ia mengatakan tentang masa depan perusahaannya sebagai berikut: Our business is something entrusted to us by society. Therefore, we are duty-bound to manage and develop the company in an upstanding manner, contributing to the development of society and the improvement of people’s lives (“The Founder Matsushita Konosuke”, 2008). Artinya bahwa bisnis adalah sesuatu yang dipercayakan kepada kita oleh masyarakat. Oleh karena itu, kita diberi tugas untuk mengatur dan mengembangkan perusahaan dengan sebuah cara yang tulus, untuk mendukung perkembangan masyarakat dan peningkatan hidup masyarakat.

Matsushita berpendapat bahwa sebuah perusahaan tidak boleh menitikberatkan usahanya kepada keuntungan, tetapi harus memikirkan kemajuan masyarakat dan sebagai ucapan terima kasih dari usaha itu perusahaan tersebut layak mendapat keuntungan. Semuanya itu akan membuat perusahaan tersebut maju dan para pekerjanya dapat merasa senang dan nyaman (Okamoto & Takada, 1991, p. 128).

Demikian pendapat Matsushita mengenai tujuan utama perusahaannya, bahwa perusahaan tidak boleh mengutamakan keuntungan, keuntungan hanyalah merupakan hasil dari suatu kerja keras.

Matsushita juga berpendapat sebagai berikut: dalam pengelolaan perusahaan harus dipikirkan dengan cermat keseimbangan antara kode etik masyarakat, kemajuan produksi dalam negeri dan mengharapkan semuanya itu dapat memperbaiki kehidupan masyarakat luas. Kemajuan suatu perusahan tidak akan terwujud tanpa ada kerjasama dari pegawai. Karena itu para pegawai diharapkan untuk saling menghargai satu sama lain, dan tidak boleh menang sendiri (Okamoto & Takada, 1991, p. 129).

Dengan berakhirnya Perang Dunia II, maka Jepang sebagai pihak yang kalah perang, harus tunduk pada aturan Sekutu pimpinan Amerika Serikat, yang mengharuskan demokratisasi dan demiliterisasi Jepang. Tindakan Sekutu di antaranya adalah pembubaran zaibatsu (konglomerasi) yang berkoalisi dengan pemerintah Jepang sejak sesudah masa Keshogunan Tokugawa. Dan perusahaan Matsushita ada dalam daftar pembubaran tersebut. Perusahaan Matsushita berusaha menghindari pembubaran itu dengan cara meyakinkan pemerintah pendudukan bahwa Matsushita berasal dari keluarga miskin non-zaibatsu, majikan yang penuh kebajikan, yang bertujuan memperbaiki kehidupan masyarakat. Hasil usaha tersebut, Matsushita lolos dari daftar penghapusan. Matsushita membuktikan diri sebagai pemimpin yang dicintai (Arry Ginanjar, 2008, para. 9-11).

Sedangkan mengenai sosok kepemimpinan Matsushita Konosuke, dikutip dari buku ‘Matsushita: Lessons from the Life of the Twentieth Century’s Most Remarkable Entrepreneur (1989)’, John Kotter mengatakan bahwa “Matsushita melakukan yang dilakukan oleh semua pemimpin besar, yakni memotivasi kelompok besar & individu untuk memperbaiki kondisi manusia” (Arry Ginanjar, 2008, para. 11).

Semua pemikiran Matsushita Konosuke dapat ditulis dalam sebuah kalimat “Be a humble merchant.” Yang dimaksud dengan humble (rendah hati) ini adalah harus mendesain perusahaan, dan mengatur operasinya sedekat mungkin dengan pelanggan dan setanggap mungkin dengan yang mereka butuhkan, seperti pemilik toko skala kecil (Francis McInerney, 2007, p. 33).

Dari uraian latar belakang tersebut, dapat dilihat bahwa Matsushita Konosuke adalah seorang tokoh yang mempunyai pemikiran-pemikiran dengan nilai-nilai humanisme yang kemudian menjadi budaya perusahaan, etika dalam berbisnis, serta pandangan hidup yang mengantarkannya mencapai kesuksesan baik sebagai pemimpin perusahaan yang dicintai oleh karyawannya, maupun sebagai pebisnis di Jepang.

atau lugas, misalnya, percakapan berikut yang diambil dari buku Pelajaran
Bahasa Jepang (56). Ini adalah percakapan dalam situasi penawaran antara dua
orang yang sedang berbicara mengenai rekreasi.
Photobucket
Di sini mitra tutur cenderung untuk tidak mengungkapkan penolakan secara langsung atau lugas, yaitu dengan cara menggantungkan kalimat balasan. Hal tersebut di atas merupakan satu contoh tentang tindak tutur menolak suatu penawaran dalam bahasa Jepang.

Sekarang, bagaimana dengan realisasi penolakan atas suatu proposisi dalam bahasa Jepang? J.D Parera (263) menuliskan proposisi merupakan satu tutur yang melukiskan beberapa keadaan yang belum tentu benar atau salah dalam bentuk sebuah kalimat berita.

Berikut ini merupakan contoh sebuah penolakan atas proposisi dalam sebuah drama seri Jepang Konya wa Eigyouchuu, yaitu sebuah percakapan antara senior (A) dan junior (B) yang berkecimpung dalam industri hiburan.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?