- Konstitusionalitas Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
- Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-Daerah Menurut Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945
- Sistem Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional
- Peran Kepala Desa Induk Dalam Proses Pembentukan Desa Persiapan (Studi Terhadap Pp 43 Tahun 2014 Sebagaimana Telah Diubah Dengn Pp 47 Tahun 2015)
- Kewajiban Notaris Untuk Menghadirkan Saksi Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kredit Perbankan
- Hak Ahli Waris Warga Negara Asing Atas Obyek Waris Berupa Saham Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri
- Analisis Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Pembayaran Denda Atas Keterlambatan Spp (Studi Pada : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung T.A 2017-2018)
- Implementasi Perdamaian (Ash-Shulhu) Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Kediri Terhadap Perkara Perceraian
- Kedudukan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 3 Tahun 2008 Tentang Pengaturan Tenaga Bantuan Dalam Ilmu Perundang-Undangan
- Implementasi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Pelaksanaan Otonomi Desa
- Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Di Kabupaten Pasaman
- Penyelesaian Sengketa Tapal Batas Antara Kabupaten Lebong Dengan Kabupaten Bengkulu Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
- Tinjauan Yuridis Tentang Hubungan Hukum Antara Yayasan Dengan Direktur Dalam Pelayanan Kesehatan Menurut Hospital By Laws Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
- Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Asi Eksklusif Dalam Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan Pada Perusahaan Swasta Di Kabupaten Klaten
- Implementasi Permenkes Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas Kota Tegal
- Implementasi Peraturan Menteri Kesehatannomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Dalam Pelaksanaan Pendokumentasianinformed Consentpada Kasus Bedah Di Ugd Rumah Sakit Umum Daerahdr. H. Soemarno Sostroatmodjo Kuala Kapuas
- Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 32 Tahun 2012 Tentang Komisi Pengendalian Zoonosis Dalam Penanggulangan Klb Schistosomiasis Di Lore Lindu Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah
- Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Tenaga Kesehatan Di Klinik Reproduksi Puskesmas Timika
- Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Menyampaikan Keluhan Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Melalui Media Massa
- Pengaruh Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Terhadap Kebijakan Pada Keluarga Berencana Massal Di Rumah Sakit Aisiyah Kudus
Konstitusionalitas Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Dekonsentrasi adalah salah satu mekanisme yang sangat penting dalam penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah. Pengaturan mengenai dekonsentrasi ini terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) yang belum lama ini menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004). Salah satu hal menarik dari UU Pemda 2014 adalah mengenai pengaturan dekonsentrasi yang diberlakukan hingga ke daerah kabupaten dan kota, yang pada dasarnya dalam pengaturan UU Pemda 2004, dekonsentrasi sebelumnya hanya diberlakukan kepada daerah provinsi. Sekarang ini kedudukan daerah kabupaten dan kota bukan hanya sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri urusan daerahnya, tapi juga sebagai wilayah administratif yang dapat melaksanakan pelimpahan wewenang dari pusat untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut. Sementara itu, jika dilihat landasan konstitusionalnya, pada Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 justru dekonsentrasi tidaklah diatur. Selain itu, dengan menguatnya kembali pengaturan mengenai dekonsentrasi, UU Pemda 2014 dianggap bercorak sentralistik.
Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-Daerah Menurut Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945
Penelitian ini berjudul “Mencari Konsep Ideal Hubungan Pusat-Daerah Menurut Hukum Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masa depan pengaturan tata pemerintahan daerah yang berkaitan dengan prinsip desentralisasi asimetris sehingga lebih bebas mengurus rumah tangganya sendiri. Penelitian ini merupakan upaya konseptual untuk menemukan konsep hubungan pusat dan daerah oleh UUDNRI 1945. Data dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka (penelitian literatur) yang dilakukan untuk mendapatkan data sekunder di bidang hukum. Penelitian ini adalah analisis deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu poluasi atau suatu wilayah tertentu, tentang sifat atau faktor tertentu. Berdasarkan hasil diskusi yang tersedia, hasil penelitian ini adalah. Pertama, konsep desentralisasi asimetris telah lama mencari formatnya sebagai mandat konstitusi perlu interpretasi lebih lanjut sehingga benar-benar menemukan konsep ideal untuk Pemerintah Indonesia. Kedua, keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah menggunakan prinsip otonomi luas sehingga ada keluasaan untuk mengelola daerahnya sendiri. Tetapi dalam kasus para peneliti yang bekerja untuk menemukan format baru, yang ditawarkan oleh para peneliti adalah desentralisasi asimetris ke seluruh wilayah Indonesia walaupun tampaknya sulit tetapi jika dilakukan secara bersama-sama akan mudah untuk diterapkan. Ketiga, terkait desentralisasi asimetris ke Indonesia telah diterapkan di empat wilayah yaitu Jakarta, Yogyakarta, Aceh, dan Papua, namun peneliti berharap di masa depan Indonesia akan dengan mudah melakukan perubahan lebih lanjut terhadap UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Keempat, Terkait dengan kewenangan daerah yang akan menjadi metode pemantauan kursus yang sangat komprehensif akan jauh lebih ketat daripada sebelumnya karena desentralisasi tingkat kekuatan pemerintah memungkinkan untuk lebih rendah atau di bawah untuk menentukan sejumlah masalah, yang mereka catat.
Sistem Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional
Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pengertian otonomi. Pemilihan sebuah bentuk negara akan sangat erat kaitannya dengan struktur sosial dan etnisitas masyarakat yang ada dalam negara tersebut. Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku, bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah mengharuskan bangsa indonesia bersatu dengan seerat-eratnya dalam keragaman. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Peran Kepala Desa Induk Dalam Proses Pembentukan Desa Persiapan (Studi Terhadap Pp 43 Tahun 2014 Sebagaimana Telah Diubah Dengn Pp 47 Tahun 2015)
Tesis ini berfokus pada peran kepala desa utama dalam proses pembentukan desa persiapan (studi PP 43 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan 47 tahun 2015). Dari penulis penelitian menggunakan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulannya: 1 ). Bahwa peran orang tua dalam pembentukan kepala desa persiapan desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 praktis tidak ada. Peran kepala desa hanya memegang hak administratif yang terbatas untuk menerima laporan dari Penjabat Kepala Desa tentang persiapan pelaksanaan persiapan desa. Kondisi ini sangat berbeda dengan peran kepala desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006. 2). Bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepala desa tidak memiliki peran dalam pembentukan desa persiapan karena paradigma kewenangan dan peran kepala desa yang berbeda serta dalam konteks wilayah. Saran. 1). Kepala Desa harus diberi peran strategis dalam rangka proses persiapan pembentukan desa. Suka atau tidak, kepala desa adalah pelaksana administrasi desa sehingga tahu persis apa kebutuhan dan masalah dalam administrasi pemerintahan desa. 2). Harus ada kepastian hukum mengenai Peraturan Menteri No. 28 tahun 2006, sehingga pelaksana aparatur di lapangan dapat menentukan dasar hukum yang digunakan ketika ingin membentuk desa persiapan. Juga bermanfaat untuk menghindari dualisme hukum dalam mengatur pembentukan desa sebagai persiapan untuk pembentukan awal desa baru yang langka.
Kewajiban Notaris Untuk Menghadirkan Saksi Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kredit Perbankan
Penelitian ini bertujuan untuk meng?n?lisis implik?si hukum terh?d?p ?kt? m?upun t?nggung j?w?b Not?ris d?l?m pembu?t?n ?kt? jik? tid?k mengh?dirk?n s?ksi. Penelitian ini merupakan penelitian empiris, yang mengacu pada penerapan Pasal 16 ayat (1) huruf m mengenai kewajiban Notaris untuk menghadirkan saksi setiap proses pembuatan akta yang khususnya dalam penelitian ini mengenai pembuatan akta perjanjian kredit. Namun dalam penerapannya, dari sampel yang telah dilakukan masih banyak notaris yang belum menghadirkan saksi dalam pembuatan akta perjanjian kredit tersebut. Not?ris cenderung meng?b?ik?n ketentu?n tersebut sehingg? menyeb?bk?n ketid?k-p?tuh?n terh?d?p hukum yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat formil pada akta autentik tersebut sehingga kekuatan pembuktian akta menjadi bawah tangan. Notaris tidak menjalankan kewajibannya tersebut dapat dikenakan sanksi berupa perbuatan pidana dengan tututan memberikan keterangan palsu atau tututan perdata karena Notaris telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Hak Ahli Waris Warga Negara Asing Atas Obyek Waris Berupa Saham Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri
Pengaturan mengenai penanaman modal di Indonesia terbagi atas penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Pada Perseroan Terbatas yang termasuk jenis Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri mengharuskan 100% modal yang umumnya dirupakan saham dalam perseroan dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Saham Perseroan Terbatas merupakan benda bergerak yang dapat menjadi obyek waris dan beralih kepada ahli waris yang berkewarganegaraan asing. Penelitian ini ingin menelaah dan menganalisa lebih lanjut apakah ahli waris Warga Negara Asing berhak atas warisan berupa saham Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri serta bagaimana kedudukan Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri setelah terjadi peralihan saham karena pewarisan kepada Warga Negara Asing. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder sedangkan pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewarganegaraan seseorang tidak menghalangi hak untuk menjadi ahli waris. Atas warisan berupa saham dalam perseroan terbatas penanaman modal dalam negeri maka ahli waris berkewarganegaraan asing harus diberikan waktu tertentu untuk mengalihkan saham tersebut kepada warga negara Indonesia atau mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia. Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri yang sahamnya beralih kepada Warga Negara Asing harus mengubah status perusahaannya menjadi penanaman modal asing.
Analisis Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Pembayaran Denda Atas Keterlambatan Spp (Studi Pada : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung T.A 2017-2018)
Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dan sudah melekat pada diri seseorang. Hak dan kewajiban pun juga melekat pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung yang berlaku sejak awal menetapkan masuk di Universitas ini. Salah satunya Mentaatati semua ketentuan administrasi penyelenggara pendidikan yang dibebankan kepada mahasiwa seperti biaya SPP dan biaya yang ditentukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apabila mahasiswa tersebut tidak melaksanakan kewajibannya tepat waktu maka pihak universitas akan memberikan sanksi (denda) sesuai dengan keterlambatan waktu. Pengertian denda itu sendiri ialah hukuman yang melibatkan uang yang harus dibayarkan dalam jumlah tertentu (karena melanggar aturan-aturan, undang-undang, dsb). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan pembayaran denda pada keterlambatan SPP di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap pembayaran denda pada keterlambatan SPP. Adapun tujuan penelitian ini adalah memberikan penjelasan bagaimana penerapan denda pada keterlambatan pembayaran SPP yang terjadi di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung memberikan pengetahuan kepada masyarakat, tentang hukum dalam penerapan denda pada keterlambatan pembayaran SPP yang selama ini masyarakat umum belum mengetahui dalam syariat Islam. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Reseach), sifat penelitian ini adalah bersifat bersifat deskripitif analisis, analsisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk memperoleh atau pengumpulan data dengan cara tidak langsung atau turun langsug kepada objek penelitian di lapangan untuk mendapatkan bukti terkait. Pada pelaksanaannya tidak ada pemanggilan mahasiswa yang terlambat membayarkan SPP, hanya jika mahasiswa tersebut tidak membayarkan SPP sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan oleh pihak universitas maka secara otomatis mahasiswa tersebut mendapatkan tambahan denda dari jumlah SPP yang dibayarkan. Apabila mahasiswa tersebut hanya membayarkan jumlah SPP dan tidak membayarkan sanksi (denda) tersebut maka nilai dan siakad mahasiswa tersebut masih tetap dalam keadaan terkunci dengan keterangan masih memiliki tagihan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Sedangkan dalam hukum Islam pelaksanaan pembayaran denda pada keterlambatan SPP pada Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung diperbolehkan karena denda semacam ini juga termasuk syarth jaza?I yaitu diperbolehkan,asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi hutang piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil, juga hasil dari denda tersebut digunakan untuk disedekahkan atau digunankan untuk kebaikan masyarakat umum.
Implementasi Perdamaian (Ash-Shulhu) Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Kediri Terhadap Perkara Perceraian
Peradilan Agama telah berfungsi sebagai layaknya lembaga peradilan pada umumnya di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia Mahkamah Agung dituntut memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan lewat putusan pengadilan di bawahnya (litigasi). Di sisi lain, jalur litigasi masih dianggap lambat, mahal, kaku, tidak mampu memuaskan keinginan kedua belah pihak, bahkan dapat berdampak dendam. Oleh karena itu, alternatif penyelesaian sengketa sebagai jalur non litigasi (perdamaian; win win solution) sangat dibutuhkan, salah satunya adalah mediasi. Terkait dengan prosedur mediasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor.1 Tahun 2008 telah diperbarui yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (yuridis empiris) di Pengadilan Agama Kediri yang telah menerapkan prosedur mediasi. Teknik pengumpulan data adalah dokumentasi, wawancara dan observasi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualitatif untuk menemukan gambaran mengenai penerapan konsep perdamaian (as{-s{ulh{u) sejak pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Fakta yang ditemukan berdasarkan penelitian terbagi menjadi 3 hal yaitu : (1) penerapan konsep perdamaian (As{-S{ulh{u) melalui mediasi di Pengadilan Agama Kediri pada Tahun 2016 telah berlangsung sejak pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2016 (Februari – Mei 2016) khususnya terhadap perkara perceraian, (2) pengaruh mediasi di Pengadilan Agama Kediri masih rendah, yaitu 45.3 % dari seluruh perkara yang layak dimediasi, (3) masih terdapat kendala-kendala yang terbagi menjadi empat faktor yaitu dari pihak mediator, para pihak, sarana dan prasarana, serta prosedur mediasi. Peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut: (1) hendaknya Mahkamah Agung sering mengeluarkan aturan teknis mengenai mediasi di pengadilan, (2) rendahnya pengaruh mediasi seharusnya ditindaklanjuti sehingga dapat membantu penekanan terhadap penumpukan perkara, (3) Hendaknya mediator dapat melaksanakan tugas dengan baik, (4)semua pihak baik Pejabat Pengadilan, Hakim, Mediator, Pengacara dan Masyarakat hendaknya turut berperan aktif dan beriktikad baik dalam penyelesaian perkara melalui perdamaian (as{-s{ulh{u) dengan jalur mediasi sehingga penyelesaian perkara lebih mencerminkan keadilan sebagai cita-cita bersama.
Kedudukan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 3 Tahun 2008 Tentang Pengaturan Tenaga Bantuan Dalam Ilmu Perundang-Undangan
Kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) di lingk~~ngaPne merintah Kota Yogyakarta tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini disebabkan, tl~ntutan bahwa pemerintah sebagai eksekutif harus dapat memberikan pelayanan dalam sernua sektor dengan baik dan maksimal. Untuk menunjang ha1 tersebut, maka diperlukan SDM yang tidak sedikit jumlahnya. Jumlah forrnasi kebutuhan PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang diusulkan kepada Badan Kepegawaian Negara tidak seluruhnya dapat dipenuhi. Ini menyebabkan banyaknya formasi jabatan yang tidak dapat terisi, sehingga dalam melaksanakan kegiatan tata pemerintahan tidak dapat berjalan secara maksimal, karena keterbatasan jumlah personil. Sebagai jalan keluar, untuk memenuhi formasi yang tidak dapat diisi oleh PNS, maka salah satu kebijakan yang diambil adala h dengan mengangkat Tenaga Bantuan (Naban). Undang-Undang mengenai Otonomi Daerah memberikan pembagian urusan kepada Daerah untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan, termasuk dalam ha1 pemberdayaan SDM, melalui perekrutan pegawai di luar jalur CPNS. Namun kewenangan dalam pemberian NIP (Nomor lnduk Pegawai) tetap berada pada Pemerintah Pusat melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN). Karena seseorang bisa dikatakan telah menjadi PNS jika sudah memiliki NIP. Antara pegawai yang berstatus Tenaga Bantuan dan PNS semuanya bekerja dalam ikatan satu instansi Pemerintah Kota Yogyakarta yang mempunyai Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dan tanggung jawab yang sama. Pada dasamya, Tenaga Bantuan sama artinya dengan Tenaga Honorer, Pegawai Tidak Tetap, atau nama lain yang ditentukan, yang membedakan hanya dari segi penamaan saja. Peraturan Walikota Yogyakarta tentang Pengaturan Tenaga Bantuan. Kedudukan Peraturan Walikota No.3 Tahun 2008 tentang Pengaturan Tenaga Bantuan di satu sisi tidak sesuai dengan aturan hukum di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2005 sebagaimana dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, dimana sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilaraug mengaugkat tenaga honorer atau sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. “Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pernbina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” (Pasal8, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2007) Namun pengangkatan tenaga honorer atau sejenis, menurut aturan yang lebih tinggi yaitu, dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokokpokok Kepegawaian, ha1 tersebut di perbolehkan. “Disamping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (I), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetapn (Pasal 2 ayat (3)) Namun, terlepas dari pendapat tersebut, penulis melihat bahwa secara yuridis normatif, Peraturan Walikota Yogyakarta tersebut tidak termasuk dalam hierarki sesuai dengan Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga tergolong sebagai Peraturan Kebijaksanaan, bukan Peraturan Per~~ndang-undangaSne. lain itu, keluarnya Peraturan Walikota Yogyakarta No. 3 Tahun 2008 tentang Pengaturan Tenaga Bantuan tidak dapat ditemukan dasar pembentukannya dalam Undang-undang, atau dengan kata lain tidak ada perintah dari Undang-undang. Terlepas dari semua problematika yang ada, pengangkatan Tenaga Bantuan harus tetap dilakukan mengingat kebutuhan SDM yang sangat mendesak, yang itu semua harus dipenuhi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai daerah yang otonom dalam rangka memberikan pelayanan publik (public service) yang optimal kepada masyarakat. Oleh sebab itu, keluarlah Peraturan Walikota Yogyakarta sebagai dasar hukum pengaturanlpengangkatan Tenaga Bantuan. Berdasarkan atas uraian pendahuluan tersebut di atas, maka perumusanlpokok permasalahan yang penulis angkat dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimanakah kedudukan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 3 Tahun 2008 tentang Pengaturan Tenaga Bantuan dalam ilmu perundangundangan ? 2. Apa konsekuensi yuridis dengan dikeluarkannya Peraturan Walikota Yogyakarta No. 3 Tahun 2008 tentang Pengaturan Tenaga Bantuan.? Dalam penulisan ini hanya terdapat satu rumusan masalah, namun jawaban atas rumusan masalah tersebut akan dijelaskan menggunakan 3 sudut pandang yaitu, Teori Hukum Otonomi Daerah, Teori Perundang-undangan, dan Teori Kewenangan. Tulisan ini disusun dengan metode studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan pustaka, dan menggunakan metode yang berpijak pada analisis hukum. Artinya, obyek masalah yang diselidiki dan dikaji menurut ilmu hukum dan lebih khusus lagi menurut Teori Perundang-undangan, Teori Kewenangan, dan Teori Otonomi Derah. Penelian ini merupakan penelitian hukum normatif atau legal research. Karena itu, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif.
Implementasi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Pelaksanaan Otonomi Desa
Penulisan tesis ini untuk mengkaji implementasi dan kendala yang dihadapi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terhadap pelaksanaan Otonomi Desa. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder meliputi inventarisasi hukum positif. Implementasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terhadap pelaksanaan otonomi desa yakni secara materi hukum pemerintah, misalnya Kabupaten Pati, telah melaksanakan materi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan didasari Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 serta 65 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Desa dan Kelurahan. Sedangkan masa periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Kabupaten tersebut belum menetapkan produk Peraturan Daerah. Sedangkan Kendala implementasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terhadap pelaksanaan otonomi desa, adalah Pengaturan Pasal-pasal tentang Desa; Substansi Badan Permusyawaratan Desa; Substansi pengaturan Desa; Wewenang dan kekuasaan Kepala Desa; Hak otonomi rakyat; Orientasi pengabdian kepala desa; dan pengaruh birokrasi yang kompleks.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Di Kabupaten Pasaman
Sejalan dengan bergulirnya Era Reformasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dikenal adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke daerah, dalam berbagai aspek kebijakan, pembentukan Peraturan Daerah oleh pemerintah daerah apa telah sesuai dengan asas-asas perundang-undangan yang baik, sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundangundangan.dalam pasal 96 ayat (1) yang menyatakan; bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan yang bersifat Yuridis Empiris. Dengan penelitian yang berbasis pada inventarisasi hukum positif, penemuan azas-azas hukum dan penemuan hukum inconcretto, yang dilengkapi pengamatan operasionalisasi asas-asas hukum secara empiris di masyarakat, Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :1.Bagaimana Partisipasi masyarakat dalam proses Pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Pasaman? 2.Apa saja yang mempengaruhi dalam pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Pasaman ? 3.Upaya apa yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman dalam mewujudkan Peraturan Daerah yang berpihak kepada masyarakat?. untuk menganalisis apa yang melatar belakangi kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengisi kevakuman hukum dengan membuat suatu Peraturan Daerah sehingga mengutamakan prinsip negara hukum yang mengandung kesamaan hak bagi warga negara / daerah. Asas demokrasi telah diterapkan dalam pembentukan peraturan hukum daerah oleh Kepala Daerah yang terdapat pada: usulan rancangan peraturan daerah berasal dari PemerintahDaerah maupun DPRD; proses pembuatan peraturan perundang-undangan secara terencana,terpadu dan sistematis.
Penyelesaian Sengketa Tapal Batas Antara Kabupaten Lebong Dengan Kabupaten Bengkulu Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Pada masalah perselisihan batas antara Kabupaten Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara, yang disebabkan oleh UU Pembentukan daerah masing-masing dan perpanjangan wilayah Kabupaten Lebong yang mengakibatkan pengembangan wilayah oleh Kabupaten Lebong terhadap beberapa daerah di Bengkulu Utara Kabupaten. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui penyebab konflik / perselisihan antara Kabupaten Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara, (2) untuk menjelaskan alternatif penyelesaian sengketa perbatasan antara Kabupaten Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. . Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, karena materi yang dibahas memprioritaskan tinjauan dalam hal legislasi terkait Penyelesaian Sengketa Batas antara Kabupaten Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Alternatif penyelesaian sengketa batas antara Kabupaten Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu penyelesaian hukum dan penyelesaian non-hukum.
Tinjauan Yuridis Tentang Hubungan Hukum Antara Yayasan Dengan Direktur Dalam Pelayanan Kesehatan Menurut Hospital By Laws Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
Pelayanan kesehatan di rumah sakit memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga ada kemungkinan terjadi konflik baik di intern maupun ektern rumah sakit. Rumah sakit, khususnya rumah sakit yang dimiliki oleh yayasan memiliki tiga badan sebagai pilar utama yang berperan penting yakni pemilik, pemimpin/badan eksekutif dan staf medis. Ketiganya merupakan satuan fungsional yang berbeda tugas dan tanggung jawab, tetapi harus bekerja sama. Guna mengatur hubungan hukum khususnya antara Pemilik (yayasan) dan badan eksekutif (direktur), serta konflik yang ada, maka rumah sakit perlu memiliki peraturan internal yang disebut dengan Hospital By Laws (HBL) sesuai dengan regulasi pemerintah terutama UU Yayasan dan UU Rumah Sakit. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif. Spesifikasi penelitian dalam tesis ini adalah termasuk deskriptif analitis. Sumber data meliputi bahan hukum Primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.Metode pengumpulan data ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif untuk memahami dan mengungkap hubungan hukum antara yayasan dan direktur dalam pelayanan kesehatan menurut HBL Rumah Sakit Santa Elisaabeth Medan. Penelitian ini menguraikan hubungan hukum, organisasi rumah sakit,bentuk-bentuk badan hukum dan lembaga rumah sakit,direktur/kepala rumah sakit, izin rumah sakit,Komite Medik, hubungan hukum yayasan dan direktur menurut regulasi pemerintah dan HBL termasuk didalamnya AD, ART danMedical Staf By laws Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. Menurut regulasi pemerintah antara lain Pasal 35 ayat(3) UU Yayasan mengatur bahwa dalam menjalankan tugasnya pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan yayasan dan Pasal 34 ayat (3) UURS yang mengaturbahwa pemilik rumah sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala rumah sakit, menunjukkan hubungan hukum antara yayasan dan direktur adalah hubungan antara pemilik rumah sakit sebagai governing body dan direktur sebagai pelaksana kegiatan rumah sakityang bertanggungjawab kepada yayasan. Sedangkan menurut HBL Rumah Sakit Santa Elisabeth sesuai Pasal 11 angka 11.1 dan 11.2, bahwadirektur diangkat dan/atau diberhentikan oleh pengurus yayasandan direktur bertanggungjawab kepada pengurus yayasan, maka hubungan keduanya didasarkan pada delegasi/pelimpahan kewenangan dari yayasan kepada direktur. Hubungan hukum tersebut secara umum belum secara eksplisit dan belum terstruktur diatur dalam HBL Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Asi Eksklusif Dalam Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan Pada Perusahaan Swasta Di Kabupaten Klaten
Setiap pekerja perempuan berhak menyusui bayinya sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia. Setiap pekerja memiliki tanggung jawabnya masing-masing kepada perusahaan tempatnya bekerja, sebaliknya perusahaan juga berkewajiban memenuhi hak-hak para pekerjanya. Setiap perusahaan wajib melindungi tenaga kerja perempuan salah satunya adalah menyusui bayi, atau memerah ASI selama kerja, dan menyediakan ruang laktasi. Di Kabupaten Klaten masih ditemukan perusahaan yang belum mempunyai ruang laktasi. Penelitian ini untuk mengetahui implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif di Perusahaan Swasta, untuk mengetahui pemenuhan hak pekerja dalam pemberian ASI Eksklusif di Perusahaan Swasta dan untuk mengetahui faktor penghambat implementasi Peraturan Pemerintah . Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu dengan menggambarkan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif di Perusahaan Swasta Kabupaten Klaten. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif di Perusahaan Swasta Kabupaten Klaten sudah berjalan walaupun belum semua perusahaan menerapkannya. Sebagian Pekerja perempuan terpenuhi hak nya dalam hal menyusui antara lain disediakan ruang laktasi, diberikan cuti melahirkan dan kesempatan menyusui selama bekerja, dan faktor penghambat karena penegakan hukum yang kurang tegas, tidak adanya dukungan dari pengusaha, tidak adanya kegiatan monev dan pemerintah belum menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif di Perusahaan Swasta Kabupaten Klaten sudah berjalan walaupun belum sepenuhnya, dan perlunya peningkatan Peran Pemerintah, Perusahaan dan Ibu pekerja.
Implementasi Permenkes Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas Kota Tegal
Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah yaitu untuk pembayaran jasa pelayanan sebesar 60% dan untuk dukungan biaya operasional sebesar 40%. Kesehatan merupakan bagian dari unsur kesejahteraan, oleh karena itu pelayanan kesehatan yang bermutu akan memberikan kontribusi bagi terwujudnya kesejahteraan warga negara dan sekaligus merasa aman dari bahaya penyakit yang mengancamnya. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis sosiologis. spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Aspek yuridis yang diteliti adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 tentang penggunaan dana kapitasi jaminan kesehatan nasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah. Aspek sosiologis adalah implementasi dana kapitasi jaminan kesehatan nasional terhadap mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas Kota Tegal. Implementasi pemberian jasa pelayanan tambahan sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional yaitu sebesar 60%. Sedangkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas Kota Tegal kepada pasien Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) ada dua indikator yang kurang dari harapan pasien yaitu indikator daya tangkap dan empati. Berdasarkan hasil uji wilcoxon diperoleh nilai signifikan lebih besar dari tingkat signifikan 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H1 ditolak dan Ho diterima berarti tidak ada Pengaruh motivasi dan perilaku tenaga kesehatan sebelum dan sesudah pemberian jasa pelayanan tambahan di Puskesmas Kota Tegal. Kendala yang ditemukan yaitu Koordinator bendahara merangkap sebagai perawat yang ditugaskan di Balai Pengobatan (BP) Umum, Laporan yang dibuat bertambah yaitu laporan untuk Balai Pengobatan (BP) Umum, laporan untuk kantor Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) dan laporan untuk Dinas Kesehatan.
Implementasi Peraturan Menteri Kesehatannomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Dalam Pelaksanaan Pendokumentasianinformed Consentpada Kasus Bedah Di Ugd Rumah Sakit Umum Daerahdr. H. Soemarno Sostroatmodjo Kuala Kapuas
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar seseorang yang harus di berikan baik dari pemerintah bersama dengan unit pelayanan kesehatan dan masyarakat. Tujuan dari pelayanan kesehatan adalah meningkat derajad kesehatan masyarakat setinggi-tingginya, baik secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam pemberian pelayanan kesehatan harus dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent. Dengan semakin meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang bervariasi, seperti pasien dengan kasus bedah yang memerlukan tindakan kedokteran yang harus diberikan. Dengan pemberian tindakan kedokteran tersebut, pasien dan dokter wajib terlebih dahulu memberikan informasi dan persetujuan tindakan dari pasien. Pelaksanaan informed consent adalah berupa Informasi yang diberikan terkait kesehatan pasien dan persetujuan atas tindakan kedokteran yang akan diberikan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “yuridis sosiologis dengan diskriptif analitis”. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran tentang pelaksanaan pendokumentasian informed consent pada kasus bedah di UGD RSUD Dr. H.Soemarno Sostroatmodjo Kuala Kapuas. Responden yang digunakan adalah 3 orang antara lain dokter lama (PNS), dokter baru (Kontrak), dokter lama dan asisten bedah (PNS) dan Kepala Bagian Pelayanan Medik (PNS) dan observasi pada 18 responden dengan kasus bedah. Untuk pengambilan data dengan menggunakan wawancara dan observasi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan pemberian informasi dan Pendokumentasian informed consent pada kasus bedah di UGD sudah sesuai dengan prosedur. Tetapi ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan informed consent yaitu kurangnya sosialisasi tentang informed consent, kurangnya sumber daya manusia khususnya tenaga dokter dan perawat UGD, kurang efektifnya komunikasi, dan ketidakpedulian pasien akan pentingnya informed consent.
Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 32 Tahun 2012 Tentang Komisi Pengendalian Zoonosis Dalam Penanggulangan Klb Schistosomiasis Di Lore Lindu Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah
Pelaksanaan Peraturan Gubernur Nomor 32 Tahun 2012 tentang Komisi Pengendalian Zoonosis dalam Penanggulangan KLB Schistosomiasis di Lore Lindu Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah dirasakan perlu untuk dijalankan dengan adanya kerjasama lintas sektor, lintas batas dan lintas program. Komisi Pengendalian Zoonosis ini belum bekerja secara optimal karena terkendala tidak terpenuhinya pengobatan dimana obat tidak tersedia, Laboratorium terletak jauh dari lokasi endemic serta jumlah bahan penguji kurang, serta kompilasi data yang berbedabeda dari tingkat puskesmas sampai tingkat provinsi.
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Tenaga Kesehatan Di Klinik Reproduksi Puskesmas Timika
Pembangunan kesehatan pada kelompok remaja meruapakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 71 ayat (1). Dewasa ini permasalahan remaja begitu kompleks. Tidak hanya menyangkut fisik saja tetapi juga terkait dengan aspek mental dan sosial sehingga memerlukan upaya penanganan yang komprehensif, terintegrasi yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, serta mengikutsertakan partisipasi remaja itu sendiri. Untuk menjamin pemenuhan pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui pelayanan kesehatan yang aman,dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 11. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosialogis dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dari 1 narasumber dan 20 responden yang terdiri dari kepala puskesmas Timika dan tenaga kesehatan yang terlibat langsung dalam pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Data sekunder sebagai penunjang diperoleh melalui studi pustaka, Badan Pusat statistik, Dinas Kesehatan dan Profil Puskesmas. Data dikumpulkan melalui kuesioner. Data dianalisa menggunakan penalaran dan teknik-teknik statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tiga variabel, yang berhubungan dengan Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja secara signifikan yaitu sikap (p=0,023 < 0,05).
Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Menyampaikan Keluhan Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Melalui Media Massa
Perlindungan hukum merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui undangundang yang mengatur hak pasien dan taraf sinkronisasi horizontal peraturan perundangan tentang perlindungan hukum terhadap pasien dalam menyampaikan keluhan pelayanan kesehatan melalui media massa. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal bersifat diskriptif yaitu mengkaji keberadaan suatu kebenaran hukum terkait perlindungan hukum terhadap pasien dalam menyampaikan keluhan pelayanan kesehatan dirumah sakit melalui media massa. Sumber bahan hukum meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen dan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak pasien untuk memperoleh perlindungan hukum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara khusus perlindungan hukum terhadap pasien dalam menyampaikan keluhan pelayanan kesehatan di rumah sakit media massa telah diatur dalam UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Tetapi dalam kenyataan dilapangan, hak pasien yang diatur dalam UU Rumah Sakit terjadi benturan, tumpang tindih, dan tidak sinkron dengan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama menyangkut Pasal tentang tindakan peghinaan dan atau pencemaran nama baik Pada taraf sinkronisasi horizontal antara UU Rumah Sakit dan UU ITE, dengan asas perundangan lex spesialis derogat legi generalis, maka UU Rumah Sakit bersifat khusus karena lebih mengatur hubungan hukum pasien dan tenaga kesehatan dan UU ITE bersifat umum karena lebih banyak mengatur transaksi elektronika dalam lingkup publik ataupun privat yang selalu dikaitkan dengan unsur pidana. Sehingga UU ITE tidak dapat begitu saja diterapkan dalam hubungan hukum pasien dan tenaga kesehatan dirumah sakit. Dalam penelitian ini, UU ITE dinilai sangat lentur, multi interpretasi dan dianggap membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, sehingga perlu adanya amandemen terhadap UU ITE yang rancu, tidak logis dalam penerapannya dilapangan supaya memberikan kejelasan perlindungan atas hak pasien.
Pengaruh Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Terhadap Kebijakan Pada Keluarga Berencana Massal Di Rumah Sakit Aisiyah Kudus Mengurangi laju fertilitas guna meningkatkan kesejahteraan keluarga. Laju fertilitas penduduk yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia, menyebabkan peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Program KB adalah prioritas pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. Pelaksanaan program KB di Indonesia salah satunya diatur dalam PP No 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Keluarga berencana dalam PP No 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, serta mengatur kehamilan melalui promosi; perlindungan; dan bantuan sesuai hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Rumah sakit Aisiyah Kudus sebagai salah satu rumah sakit swasta yang di Kabupaten Kudus turut berpartipasi dalam pelayanan keluarga berencana massal bagi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kebijakan pimpian RS Aisiyah Kudus terhadap PP No 61 tahun 2016 tentang kesehatan reproduksi, pelaksanaan serta hambatannya. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis dengan spesifikasi penelitian analisis kebijakan. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan 20 orang responden peserta KB serta10 orang narasumber. Data hasil penelitian ini diuraikan dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan Kebijakan pimpinan RS Aisiyah Kudus terhadap PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi telah ditindaklanjuti dalam bentuk SK. Direktur RS Aisyiyah Kudus Nomor:102/SK-PDA/E-RS/V/2015 tentang Panitia Kegiatan Harlah RS yang memuat pelaksanaan kegiatan KB massal dalam rangkaian acara, pelaksanaan KB massal di RS Aisiyah Kudus dilakukan dengan memberikan informed choice dan informed consent kepada calon akseptor, hambatan pelaksanaan yang paling besar adalah adanya hambatan sumber daya manusia
Leave a Reply