- Hak Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Pada Masyarakat Non Muslim Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Perdata
- Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/Puu-Viii/2010 Oleh Hakim Perspektif Penemuan Hukum
- Analisis Kebijakan Penggunaan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia (Dampak Dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing)
- Keadilan Hukum Oleh Hakim Atas Tuntutan Pembatalan Akta Notaris Mengenai Perjanjian Utang-Piutang (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
- Pelayanan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Ditinjau Dari Penegakan Hukum Di Kantor Samsat Klaten
- Dimensi Kegentingan Yang Memaksa Atas Hak Presiden Dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Studi Komparatif Penetapan Perppu Masa Kemerdekaan – Pasca Reformasi)
- Kedudukan Hukum Memorandum Of Understanding Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka Berkenaan Dengan Otonomi Khusus Aceh
- Kekerasan Dan Penyiksaan Narapidana Sebagai Pelanggaran Norma Pemasyarakatan Dan Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners
- Tanggungjawabhukum Dalam Konteks Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi
- Refleksi Dialek Pancasila Sebagai Dasar Sistem Hukum Dan Ketatanegaraan Indonesia
- Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Air Untuk Penyediaan Air Minum Di Provinsi Sumatera Barat
- Perjanjian Sunrise 2006 Antara Timor Leste Dan Australia (Treaty On Certain Maritime Arrangements In The Timor Sea-Cmats) Untuk Tercapainya Keadilan Bagi Timor Leste
- Urgensi Prolegnas Dalam Pembangunan Hukum Nasional
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Perspektif Politik Hukum Berparadigma Pancasila
Hak Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Pada Masyarakat Non Muslim Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Perdata
Intisari
Anak angkat acap kali tidak mendapatkan hak atas harta peninggalan orang tua angkatnya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak memberikan ruang sedikit pun bagi anak angkat untuk memperoleh warisan secara langsung atau mutlak. Kondisi tersebut membuat anak angkat seakan terbuang dari keluarga yang mengangkatnya. Keadaan itu menunjukkan bahwa tidak ada perlindungan hukum, keadilan hukum plus kepastian hukum terkait hak anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya. Dalam hukum Islam pun anak angkat diberikan hak atas harta peninggalan orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang mengarah pada penelitian hukum normatif, dengan pendekatan penelitian terhadap sistematika hukum. Alat pengumpul data diperoleh dari data sekunder yaitu dengan dengan cara studi pustaka (library research). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa di dalam KUH Perdata tidak terdapat istilah anak adopsi atau anak angkat. Pengaturan mengenai anak angkat hanya dapat ditemukan di dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 Tahun 1917 Tentang Pengangkatan Anak yang menjadi pelengkap dari KUH Perdata, karena di dalam KUH Perdata tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat. Menurut hukum Islam, pengangkatan anak hanya ditujukan untuk pemeliharaan saja bukan merubah nasab si anak sehingga merubah statusnya menjadi anak kandung yang mengangkatnya. Bahwa anak angkat dapat mewaris dari orang tua yang mengangkatnya, tetapi yang penting tidak merugikan ahli waris lain yang ada. Anak angkat yang diangkat dengan secara lisan, tidak dapat mewaris dari orang yang mengangkatnya, tetapi dapat diberikan hibah wasiat yang tidak menyimpang dari Ligitime portie (bagian mutlak). Bahwa dalam agama Hindu Bali, anak angkat laki-laki kedudukannya sama dengan anak kandung. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka anak angkat laki-laki berhak memperoleh warisan dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Besaran jumlah harta warisan yang diterima oleh anak angkat laki-laki dalam perspektif agama Hindu Bali, sama besarnya dengan yang diterima oleh anak kandung.
Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/Puu-Viii/2010 Oleh Hakim Perspektif Penemuan Hukum
Intisari
Sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan melakukan uji materi undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, pada dasarnya Mahkamah Konstitusi mengadili norma hukum (law in book). Sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 yang membatalkan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang hubungan keperdataan anak di luar perkawinan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Di sisi lain Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya bertugas mengadili perkara yang diajukan kepadanya sehingga putusannya merupakan kasus hukum. Dalam konteks hubungan norma hukum dengan sebuah kasus yang diadili, hakim pada dasarnya harus mengadili berdasarkan norma hukum. Akan tetapi apabila penerapan norma hukum akan mencederai tujuan hukum, hakim boleh melakukan diskresi melalui penemuan hukum.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana norma hukum tersebut dipahami oleh hakim, yakni dengan menganalisa pertimbangan hakim tentang anak diluar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010 yang diterapkan pada putusan Pengadilan Agam Kota Malang dengan perkara No: 0274/Pdt.P/2015/PA.Mlg tentang asal usul anak perspektif penemuan hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian lapang yang menggambar secara detail dan mendalam tentang suatu keadaan atau fenomena dari objek penelitian yang diteliti dengan cara mengembangkan konsep serta menghimpun kenyataan yang ada. Penelitian ini menganalisis sebuah putusan hakim pengadilan agama perkara No: 0247/Pdt.P/2015 yang menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010 tentang anak di luar kawin. Dalam menganalisis, peneliti menggunakan teori penemuan hukum.
Hasil Penelitian
Anak luar kawin harus mendapatkan haknya untuk bisa hidup secara layak dari ayah biologisnya, seperti biaya pemeliharaan dan pendidikan yang akan menunjang kehidupannya. Hal ini bertujuan agar anak yang dihasilkan dari perbuatan zina tidak menjadi korban dari perbuatan kedua orang tua biologisnya. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang No: 0274/Pdt.P/2015/PA.Mlg telah menerapkan norma hukum yang dikandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/201, melalui penafsiran norma secara restristif dengan membatasi hubungan keperdataan antara anak dan ayah biologisnya.
Analisis Kebijakan Penggunaan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia (Dampak Dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing)
Intisari
Konsekuensi globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi, berdampak pada jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di Indonesia dan untuk mendukung ekonomi nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Untuk alasan ini, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan penggunaan pekerja asing di Indonesia sebagai hasil dari penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Pekerja Asing. Metode penelitian yang saya gunakan adalah yuridis normatif.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini, yaitu penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia yang saat ini didukung oleh dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), akan berdampak baik pada pengembangan investasi dari ke luar negeri ke Indonesia. Karena pada dasarnya Peraturan Presiden ini bertujuan untuk menyederhanakan prosedur penggunaan pekerja asing untuk meningkatkan investasi, bukan untuk memfasilitasi persyaratan pekerja asing yang masuk ke Indonesia. Semakin banyak investor atau investor yang berinvestasi di Indonesia, semakin banyak pekerjaan baru yang dapat dibuka.
Keadilan Hukum Oleh Hakim Atas Tuntutan Pembatalan Akta Notaris Mengenai Perjanjian Utang-Piutang (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di dalam putusannya tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan, serta factor apa yang mempengaruhi pikiran hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal (normatif) karena hukum diartikan sebagai keputusankeputusan yang diciptakan oleh hakim (In konkreto). Akan tetapi penelitian yang penulis lakukan ini yang dikaji adalah perilaku hakim dalam memutus suatu perkara, sehingga penelitian ini merupakan penelitian sosiologis yang dapat diamati di dalam kehidupan sosial. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan dan studi kepustakaan guna mendapatkan data primer dan sekunder, dan teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan logika induksi.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa Majelis Hakim yudex factie telah mengesampingkan ketentuan hukum acara dalam Pasal 178 ayat (2) HIR dengan tujuan ingin memberi keadilan yang substansif serta perlindungan hukum kepada tergugat selaku kreditur. Pengesampingan ketentuan hukum acara tersebut dikarenakan : 1). dilihat dari teori penyimpangan (deviant theory), hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo sebagai pemegang peran telah mengarahkan pikirannya untuk tidak menyesuaikan diri (non conform) dengan keharusan yang diberikan oleh norma yaitu ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR, 2). ditinjau dari teori interaksionisme simbolis, sikap majelis hakim tersebut lebih disebabkan karena adanya suatu pengetahuan majelis hakim yang diperoleh dari hasil sosialisasi dengan lingkungannya, yang diyakini bahwa pernyataan pengakuan utang oleh penggugat selaku debitur di dalam akta perjanjian utang piutang adalah sama dengan “pengakuan utang sepihak” yang dimaksud oleh pasal 224 HIR, sehingga majelis hakim berkesimpulan apabila pernyataan debitur tersebut digabung dalam satu akta maka akta tersebut menjadi cacat hukum dan batal. Oleh karenanya majelis hakim memilih jalan pintas untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat tersebut.
Ketentuan hukum acara perdata sebenarnya tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, karena ketentuan hukum acara merupakan kunci pembuka jalan untuk bisa menerapkan hukum materiil yang dipakai sebagai dasar untuk memberikan keadilan yang substansial bagi kedua belah pihak yang berperkara. Hakim boleh menyimpangi ketentuan hukum manakala hukum itu bila diterapkan akan menjadikan tidak adil, akan tetapi yang dapat disimpangi hanyalah hukum materiil. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi hakim guna memperluas pemikiran dalam menyusun pertimbangan-pertimbangan hukum suatu putusan pengadilan dengan tetap menegakkan ketentuan hukum acara, khususnya dalam sengketa hukum dalam hukum bisnis.
Dimensi Kegentingan Yang Memaksa Atas Hak Presiden Dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Studi Komparatif Penetapan Perppu Masa Kemerdekaan – Pasca Reformasi)
Intisari
Tesis ini membahas tentang dimensi kegentingan yang memaksa dalam penetapan Perppu sejak masa kemerdekaan hingga pasca reformasi pada kurun waktu 1946 – 2016. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundangan dan historis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menentukan perbandingan dimensi kegentingan yang memaksa, Perppu dibuat dalam dua kategori. Pertama, perppu yang ditetapkan sesudah TAP MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 hingga Perppu sebelum lahirnya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 berjumlah 34 Perppu. Kedua, Perppu yang ditetapkan sesudah lahirnya Putusan MK berjumlah 5 Perppu. Perppu kategori pertama diuji melalui doktrin ahli hukum tentang unsur kumulatif yang membentuk pengertian keadaan darurat bagi negara yang menimbulkan kegentingan yang memaksa. Perppu kategori kedua diuji melalui indikator obyektif kegentingan yang memaksa dalam Putusan MK. Hasilnya ditemukan terdapat 34 Perppu sebelum Putusan MK yang tidak memenuhi unsur kumulatif kegentingan yang memaksa. Sedangkan 5 Perppu sesudah Putusan MK, semuanya memenuhi indikator obyektif kegentingan yang memaksa. Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) terhadap lembagalembaga negara dan lembaga studi perundang-undangan yang dimiliki oleh Fakultas Hukum, urgen kiranya untuk mereinventarisir kembali arsip yang menyangkut peraturan perundang-undangan, khususnya Perppu; (2) wewenang MK dalam menguji Perppu harus diatur melalui perubahan UUD 1945 oleh MPR, sehingga memiliki landasan konstitusional yang lebih kuat.
Kedudukan Hukum Memorandum Of Understanding Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka Berkenaan Dengan Otonomi Khusus Aceh
Intisari
Perjanjian antara Pemerintah RI dan GAM yang disebut dengan MoU Helsinki sudah berlalu selama satu dekade, akan tetapi setelah penandatanganan di Helsinki pada tanggal 15 Agustus tahun 2005 dipertanyakan banyak pihak tentang status hukumnya. Dalam Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian, perjanjian hanya dilakukan antar Negara, sedangkan status GAM masih belum jelas dalam hukum internasional, selain itu status hukum MoU, sangat ditentukan oleh status GAM. Banyak butir-butir dalam MoU yang mengindikasikan tentang self-government, dimana dalam konteks Indonesia hanya berlaku sistem otonomi khusus atau otonomi daerah. Disamping itu MoU dalam ketatanegaraan Indonesia, menjadi persoalan terkait dengan kedudukan hukumnya, karena sekilas MoU seperti konstitusi dan sumber hukum bagi Aceh. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penulisan tesis ini, penulis akan membahas tentang status GAM dalam hukum internasional, daya ikat dan fungsi hukum MoU antara pemerintah RI dengan GAM dan kedudukan hukum MoU antara pemerintah RI dengan GAM berkenaan dengan otonomi khusus Aceh. Penulisan tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, untuk menjelaskan atau menganalisis terkait dengan kedudukan hukum MoU antara pemerintah RI dengan GAM berkenaan dengan otonomi khusus Aceh. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, maka ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier, Analisis menggunakan penafsiran hukum secara sistematis dengan metode deskriptif analitis. Berdasarkan konsep syarat-syarat untuk di akui sebagai subyek hukum internasional atau entitas hukum internasional, maka GAM bukanlah setingkat belligerent, akan tetapi masih setingkat insurgent, karena dilihat dari penyerangan yang tidak efektif dan banyak pelanggaran-pelanggaran humanitarian law in arm conflict misalnya pelanggaran HAM. Status GAM yang tidak termasuk sebagai subyek hukum internasional, maka MoU bukanlah perjanjian internasional dan dalam ketatanegaraan Indonesia, MoU adalah sebagai bentuk keistimewaan Aceh, oleh karena itu sesuai dengan ketemtuan sumber hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang undangan, maka MoU bukanlah sebagai sumber hukum nasional serta tidak termasuk ke dalam tata hirarki urutan perundang-undangan. MoU hanya sebagai sumber inspirasi untuk membuat kebijakan-kebijakan di daerah Aceh.
Kekerasan Dan Penyiksaan Narapidana Sebagai Pelanggaran Norma Pemasyarakatan Dan Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners
Intisari
Sejak Indonesia merdeka sebagai sebuah negara yang berdaulat, sistem pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana yang pada awalnya bertujuan untuk menghukum, dipandang tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itulah, sistem pemasyarakatan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk membina narapidana agar menjadi manusia yang lebih baik dan berguna di masyarakat setelah menjalani masa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu hal yang menjadi penting adalah terkait dengan pemenuhan hak-hak narapidana. Pengaturan mengenai hal tersebut termuat di dalam Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners yang telah diakui secara universal termasuk Indonesia. Standar tersebut kemudian menjadi dasar dalam pembentukan UU Pemasyarakatan. Selain pemenuhan hak-hak narapidana, Indonesia juga menentang praktik kekerasan dan penyiksaan terhadap narapidana sebagaimana yang diatur dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, Degrading, Treatment and Punishment. Menjadi masalah apabila dalam prakteknya, dewasa ini masih banyak dijumpai kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap narapidana serta tidak terpenuhinya hak-hak narapidana. Penelitian hukum ini bertujuan untuk menganalisa kesesuaian antara konsep pemasyarakatan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak narapidana dengan Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners serta untuk mengetahui apakah dengan pemenuhan hak-hak narapidana tersebut sudah menjamin tidak dilakukannya kekerasan terhadap narapidana sebagaimana diatur dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, Degrading, Treatment and Punishment.
Tanggungjawabhukum Dalam Konteks Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Intisari
Tanggungjawab dalam terminologihukum memiliki dua konteks yang saling berkaitan satu dengan lainnya yaitu konteks perdata dan pidana, begitu pula dengan tindak pidana korupsi memiliki kedua konteks ini. Korupsi pada tanggungjawab perdata berada pada ruang lingkup kerugian yang dialami oleh negara, pada ranah pidana tanggungjawab tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum karena dampaknya merusak terhadap kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kedua tanggungjawab tersebut dapat dilekatkan pada tindak pidana korupsi dengan adanya perbuatan melawan hukum yang menjadi dasar atau landasan dari perlekatannya.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif yuridis.Perbuatan melawan hukum dapat dijadikan sebagai dasar dalam meminta tanggungjawab keperdataan dalam suatu tindak pidana korupsi dengan ketentuan adanya suatu kesalahan, baik itu dilakukan dengan kesengajaan maupun kelalaian. Perbuatan melawan hukum dapat menjadi dasar pertanggungjawaban baik secara perdata maupun pidana dengan memenuhi dua syarat yang menjadi landasan suatu tindak pidana termasuk ke dalam ranah korupsi. Syarat tersebut yaitu secara formil dan materil.
Refleksi Dialek Pancasila Sebagai Dasar Sistem Hukum Dan Ketatanegaraan Indonesia
Intisari
Tujuan dasar dari penelitian ini tidak hanya memahamkan Pancasila secara dekonstruktif-hermenutik dengan mengungkapkan esensi dan nilai-nilai Pancasila ratusan tahun yang lampau sejak kerajaan Sriwijaya, tetapi juga bertujuan membangun sebuah konsepsi (teori) cara pandang yang Pancasilaistik sehingga Pancasila tidak hanya menjadi doktrin asbtrak, melainkan mendapatkan bentuk dan penyifatannya lewat aktualisasi proses reflektif teori tersebut. Pancasila adalah dasar yang harus di refleksikan oleh setiap orang untuk mewujudkan cita bangsa Indonesia yang telah merdeka. Namun, persoalan atas legitimasi ontologis terhadap Pancasila masih rapuh, terutama akibat interprestasi pragmatisme kekuasaan, sehingga persoalan pertama adalah mempersoalkan Pancasila itu sendiri. Sebagai dasar hukum nasional, maka mempersoalkan Pancasila berarti mempersoalkan jati diri hukum nasional secara keseluruhan. Kejujuran untuk berani mempertanyakan ini semakin kuat saat pemahaman atas konsep hukum dan dasar negara semakin paradoks. Dari sinilah muncul gagasan penelitian dengan tema dekonstruksi metafisika Pancasila yang berjudul “Refleksi Dialektis Pancasila sebagai Dasar Sistem Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia”. Secara umum, pendekatakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filsafat dan sejarah karena mencoba menggali setiap pemahaman secara holistik, namun secara spesifik konsep nalar atau analisis yang digunakan yakni secara dekonstruktif-hermeneutik dan interdisipliner. Hasilnya, penelitian ini kemudian mejawab beberapa persoalan penting seperti; esensi dan nilai Pancasila secara abstrak sudah ada sejak era Sriwijaya – bahkan sebelumnya – hingga Majapahit, berkembang di masyarakat Adat dan menjadi tujuan dalam setiap perjuangan kemerdekaan hingga mengkristal sebagai dasar negara (staatfundamentalnorm) Indonesia; Pancasila membuktikan dirinya secara ilmiah, bukan sebagai gagasan utopis; dan Teori Hukum Proporsionalitas adalah hasil transformasi pemahaman kontemplatif terhadap refleksi dialektis Pancasila. Secara keseluruhan, penelitian ini terbagi menjadi lima bab. Bab pertama memahamkan atas urgensi penelitian, dasar teoritik umum, dan aspek tehnik penulisan. Bab kedua memahamkan tentang aspek ontologis Pancasila sejak era Sriwijaya, Majapahit, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, juga nilai-nilai Pancasila yang berkembang di dalam masyarakat Adat. Bab tiga merupakan proses kontemplatif, fakta-fakta sejarah yang bersifat deskriptif-kuantitatif kemudian di refleksi secara presktiptif-kualitiatif sehingga aspek-aspek normatif menjadi jelas dan terbuka, terutama tentang konsep jati diri hukum Indonesia. Bab keempat adalah fase transformatif terhadap proses reflektif tersebut sehingga menjadi sebuah gagasan teoritik baru. Terakhir bab kelima pada dasarnya bukanlah upaya untuk mereduksikan keseluruhan isi dalam penelitian yang berakibat pada sublimasi isi, tetapi lebih di tekankan pada saran-saran terhadap aspek pengembangan keilmuan hukum dan pengembanan hukum.
Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Air Untuk Penyediaan Air Minum Di Provinsi Sumatera Barat
Intisari
PENGAKUAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR UNTUK PENYEDIAAN AIR MINUM DI PROVINSI SUMATERA BARAT Rahmi Jasim, 1620112053, Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2018, 135 Halaman ABSTRAK Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sumber kehidupan. Hak atas air khususnya dalam penyediaan air minum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dalam penyediaan air minum untuk masyarakat, negara menyerahkan pemenuhannya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan swasta. Namun terjadi permasalahan bilamana sumber daya air yang digunakan oleh BUMD dan swasta merupakan bagian dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya air untuk penyediaan air minum di ulayat masyarakat hukum adat harus dengan persetujuan masyarakat hukum adat, karena konstitusi secara eksplisit telah mengatur pengakuan dan penghormataan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-haknya. Untuk melihat pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan sumber daya air untuk penyediaan air minum di Provinsi Sumatera Barat penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Proses pemanfaatan sumber daya air dalam penyediaan air minum di Provinsi Sumatera Barat. 2. Pengakuan hak ulayat terhadap hak atas air masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan sumber daya air untuk penyediaan air minum. 3. Pengakuan hak ulayat atas tanah yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumber daya air untuk penyediaan air minum. Lokasi penelitian di Lubuk Mata Kucing Kelurahan Pasar Usang Kota Padang Panjang untuk sumber daya air yang dimanfaatkan oleh PDAM, dan di Lubuk Bonta Nagari Kapalo Hilalang Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam Kabupaten Padang Pariaman untuk pemanfaatan yang dilakukan oleh swasta. Dari hasil penelitian diperoleh: 1. Proses pemanfaatan sumber daya air untuk penyediaan air minum di Provinsi Sumatera Barat harus dengan izin pengusahaan sumber daya air yang didasarkan pada rencana penyediaan air, zona pemanfaatan ruang pada sumber air dan ulayat masyarakat hukum adat. 2. Pengakuan secara norma terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dalam peraturan perunang-undangan, tidak mendorong pengakuan secara politik dari negara. 3. Tidak ada pengakuan dalam bentuk tindakan politik dari negara (PDAM) atas tanah masyarakat hukum adat yang digunakan dalam penyediaan air minum. Kata kunci: pengakuan hak ulayat, sumber daya air, dan penyediaan air minum
Perjanjian Sunrise 2006 Antara Timor Leste Dan Australia (Treaty On Certain Maritime Arrangements In The Timor Sea-Cmats) Untuk Tercapainya Keadilan Bagi Timor Leste
Intisari
Pada tahun 2006, Australia dan Timor Leste telah menyetujui perjanjian CMATS sebagai pengaturan sementara dalam hal pengelolaan sumber daya di bidang Greater Sunrise. Namun, 6 tahun kemudian, seorang mantan agen Australian Secret Intelligece Services memberikan beberapa informasi kepada pemerintah Timor Leste bahwa Australia telah mencegat diskusi internal negosiasi CMATS pada 2004. Spionase dalam negosiasi CMATS dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap kewajiban prinsip itikad baik, menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969. Tujuan artikel ini adalah untuk menganalisis intersepsi sebagai pelanggaran terhadap tugas melaksanakan prinsip itikad baik dalam proses negosiasi dan dasar untuk pengaturan tidak valid. Spionase sebagai bentuk proses penipuan dapat dianggap sebagai elemen perilaku curang yang menyebabkan pengemudi melakukan penipuan berdasarkan pasal 49 VCLT. Pembentukan batas-batas laut permanen dapat diterapkan sebagai solusi bagi kedua negara untuk mencapai kepastian hukum untuk pengelolaan ladang sumber daya yang disengketakan serta menggunakan pihak ketiga sebagai solusi untuk penyelesaian sengketa Laut Timor.
Urgensi Prolegnas Dalam Pembangunan Hukum Nasional
Intisari
Sejak Indonesia merdeka, negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, menjadi pilihan bangsa kita. Kenyataannya hukum yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, Sampai lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, penataan hukum tak kunjung terjadi., banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih secara vertikal maupun horizontal. Hukum tidak pernah dijadikan prioritas pembangunan, hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Pembuatan undang-undang terlalu didominasi eksekutif.. Keinginan membenahi hukum ada sejak 30 tahunan yang lalu, yakni dengan digagasnya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen perencanaan pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu, sistematis, dan memuat potret rencana hukum dalam periode tertentu disertai prosedur dalam pembentukannya. Sayang program itu tidak jalan. Baru setelah terjadinya reformasi dan amandemen UUD 1945, pembangunan hukum dilakukan secara terarah dan sistematis. diikuti lahirnya UU No. 10/2004, sejumlah peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan DPR-RI. Pemerintah dan DPR-RI pada awal 2005 menyepakati Prolegnas 2005-2009 yang berisi visi, misi, prosedur, serta daftar prioritas undang-undang yang akan dibuat dalam jangka menengah dan jangka pendek. Pelaksanaan Prolegnas selama ini kurang efektif karena berbagai hambatan baik di lingkungan pemerintah maupun di DPR. Efektivitas Prolegnas perlu ditingkatkan dengan mempertajam pengaturannya, meningkatkan koordinasinya, dan memperkuat sumber daya manusia yang menanganinya di jajaran pemerintah maupun DPR.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Perspektif Politik Hukum Berparadigma Pancasila
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi nilai-nilai Pancasila dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Reformasi melahirkan perubahan dalam pembentukan perundang-undangan yang menjauh dari nilai-nilai Pancasila. Perubahan politik hukum peraturan perundangan-undangan pemerintahan daerah berdampak pada praktik dan implementasinya bagi pemerintah daerah tidak terkecuali Kasultanan Yogyakarta dan Paku Alaman yang sejak awal kemerdekaan meleburkan diri dan meneguhkan sebagai daerah istimewa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian dilaksanakan di Yogyakarta dan Jakarta dengan memfokuskan pada implementasi nilai-nilai Pancasila dalam UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan D.I.Yogyakarta. Data penelitian diperoleh dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer berasal dari wawancara langsung dengan pemangku kebijakan dan data sekunder dari UU, risalah sidang, dan studi pustaka. Data penelitian diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pancasila sebagai nilai telah diimplementasikan ke dalam asas-asas yang terdapat di dalam UU No.12 Tahun 2011 yang kemudian dioperasionalkan ke dalam norma hukum yaitu UU No. 13 Tahun 2012. Nilai kerakyatan, persatuan, keadilan menjadi unsur utama yang didukung nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagai dasar pembentukan dan isi UU Keistimewaan DIY. Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana terciptanya UU Keistimewaan menjadi model dalam pembentukan perundang-undangan yang berparadigma Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm dan sumber segala sumber hukum di Indonesia.
Leave a Reply