- Analisis Yuridis Pembiayaan Mudharabah Dengan Jaminan Kebendaan Pada Perbankan Syariah Menurut Hukum Islam (Studi Pada Pt. Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe)
- Tinjauan Tentang Peralihan Bentuk Hukum Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
- Sistem Perbandingan Unjuk Kerja Simalarity Socal & Sneath Ii Dan Otsuka Untuk Pendeteksi Pola Huruf Manshub Fi’il Mudhari Pada Al-Quran
- Pemberian Wasiat Kepada Ahli Waris Yang Menyimpang Dari Hukum Islam (Studi Di Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara)
- Upaya Hukum Pengesahan Perkawinan Bagi Perkawinanyang Tidak Dicatatkan Ditinjau Dari Uu No 1 Tahun 1974 Dan Khi
- Konsultasi Dan Pertimbangan Gubernur Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat Di Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
- Adopsi Dan Aplikasi Hukum Jinayah Melalui Qanun Di Aceh (Studi Terhadap Qanun Nomor 6 Tahun 2014)
- Analisis Yuridis Atas Peran Notaris Terhadap Penyelesaian Sengketa Dengan Perdamaian
- Restorative Justice Hakim terhadap Anak yang berkonflik dengan Hukum di Pengadilan Negeri Lhokseumawe
- Sistem Pendeteksi Pola Tajwid Al-Qur’an Hukum Idgram Bi-Ghunnah Dan Bila Ghunnah Pada Citra Menggunakan Metode Nei And Li
- Perspektif Restorative Justice Hakim Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Pengadilan Negeri Lhokseumawe
- Teori Maslahat Dalam Perceraian : Studi Pasca Berlakunya Uu No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam
- Pemberantasan Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Melalui Instrumen Hukum Pidana Dan Administrasi
- Penyelesaian Sengketa Batas Tanah Melalui Peradilan Adat
- Pentingnya Pembentukan Undang-Undang Lintas Transit Di Selat Malaka Bagi Indonesia Dan Malaysia
- Penyelesaian Sengketa Batas Tanah Melalui Peradilan Adat (Studi Di Gampong Ujong Lamie Dan Alue Seupeng Kabupaten Nagan Raya)
- Pola Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Aceh Di Kabupaten Aceh Utara
- Tanggung Jawab Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Mengalami Kecelakaan Tidak Terdaftar Bpjs
- Hukum Islam Kontemporer (Dari Teori Ke Implementasi Ayat-Ayat Hukum)
- Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Mengadili Perceraian Yang Disebabkan Perpindahan Agama (Murtad) Seorang Suami (Studi Putusan Nomor: 603/PdtG/2014/PA.Mdn)
Analisis Yuridis Pembiayaan Mudharabah Dengan Jaminan Kebendaan Pada Perbankan Syariah Menurut Hukum Islam (Studi Pada Pt. Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe)
Intisari
Dalam pelaksanaan pembiayaan, bank syariah harus memenuhi dua aspek yaitu aspek syariah dan aspek ekonomi. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang bersifat amanah atau kepercayaan. Maksudnya, bank sebagai pemilik modal memberikan dananya setelah merasa yakin akan skill serta moral pihak pengelola dalam mengelola bisnisnya. Bank tidak diperkenankan meminta jaminan kepada pengelola karena hanyalah sebagai pengelola modal. Dalam literatur fiqih dan fatwa MUI, jaminan dalam pembiayaan mudharabah tidak diperlukan. Namun bukan berarti dalam pelaksanaan pembiayaan mudharabah pihak pengelola dana dilepaskan dari sistem jaminan, hal ini dilakukan sesuai dengan ketentuan UU Perbankan, jaminan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh bank atau lembaga keuangan syariah mengingat dana masyarakat harus dilindungi agar jangan sampai merugikan masyarakat selaku nasabah, maupun pihak bank atau lembaga keuangan syariah itu sendiri. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan pembiayaan mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe menurut Hukum Islam, Bagaimana penerapan jaminan kebendaan dalam pelaksanaan pembiayaan mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe menurut Hukum Islam, serta Bagaimana peranan notaris terkait dengan pengikatan jaminan kebendaan pada pembiayaan mudharabah oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe. Untuk menjawab permasalahan pada penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris yang bersifat kualitatif dengan bentuk penelitian deskriptif dengan cara menganalisis data primer, sekunder dan tersier serta melakukan wawancara sehingga menghasilkan jawaban dari setiap permasalahan yang dikemukakan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan pelaksanaan perjanjian mudharabah berdasarkan kitab suci Al-Quran, Al-Hadist, Dewan Fatwa MUI dan UU Perbankan Syariah maupun UU Perbankan secara umum. Pembiayaan mudharabah pada prinsipnya dilakukan tanpa perlu adanya penyerahan jaminan oleh nasabah, namun dalam prakteknya Bank tetap akan meminta jaminan dari pengelola untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh pengelola untuk mengurangi resiko atas pembiayaan. Penerapan jaminan kebendaan pada prakteknya didasari dua alasan yaitu agar mengamankan kepercayaan stockholder terhadap lembaga dan situasi serta kondisi masyarakat saat ini telah berubah dalam hal komitmen terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur, seperti kepercayaan (trust) dan kejujuran. Dalam pengikatan jaminan, notaris masih memiliki peranan besar dalam perjanjian mudharabah. Sebab, notaris merupakan pihak menengah dan sebagai pejabat umum yang telah ditunjuk dalam Undang-Undang sebagai pembuat akta otentik. Dimana akta otentik digunakan sebagai pegangan (penjamin) atas pihak-pihak yang melakukan ikatan perjanjian.
Tinjauan Tentang Peralihan Bentuk Hukum Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
Intisari
Latar belakang dilakukannya penelitian ini ialah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang mengamanatkan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal pada jenjang pendidikan tinggi wajib merubah bentuknya menjadi Badan Hukum Pendidikan. Hal ini mengakibatkan Perguruan Tinggi Negeri yang berbentuk Badan Hukum Pendidikan mempunyai hak pengaturan tidak hanya dalam bidang akademik namun juga bidang lainnya, seperti keuangan, administrasi dan kelembagaan. Tujuan dilakukannya penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui mengenai peralihan bentuk hukum Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah serta mengidentifikasi hambatan yang terdapat dalam proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini ialah metode penelitian yuridis normatif dan spesifikasi penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif analitis. Pengumpulan data penelitian menggunakan metode pengumpulan data sekunder yang mendukung data primer. Teknik analisis adalah deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, terdiri dari proses penyusunan, persetujuan, koordinasi dan harmonisasi serta penetapan rencana peralihan dan rancangan Peraturan Pemerintah yang telah dibuat oleh pimpinan Perguruan Tinggi Negeri. Dalam proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah ditemukan hambatan internal dan eksternal yang dikhawatirkan akan menghambat proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah.
Sistem Perbandingan Unjuk Kerja Simalarity Socal & Sneath Ii Dan Otsuka Untuk Pendeteksi Pola Huruf Manshub Fi’il Mudhari Pada Al-Quran
Intisari
Pengenalan pola sebuah objek adalah salah satu studi pengenalan pola dalam teori pengolahan citra. Objek yang digunakan untuk studi ini sudah banyak, salah satunya adalah pola citra Alquran yang memuat tentang bermacam hukum Nahwu. Salah satunya adalah hukum Fi’il Mudhari yang mungkin tak asing lagi didengar. Fi’il Mudhari adalah Manshub/dinashabkan sebab dimasuki oleh salah satu Amil dari Amil-amil Nawashib. Pada tugas akhir ini dikembangkan suatu sistem pendeteksian mengenai pembelajaran seputaran pola huruf Fi’il Mudhari tersebut. Sistem ini dibangun dengan menggunakan bahasa pemograman Delphi XE. Proses pendeteksian pola Fi’il Mudhari ini dilakukan dengan menggunakan sebuah metode yang akan menjari nilai jarak (Distance) dari nilai sebuah citra latih dan citra uji Al Quran. Metode digunakan adalah metode Socal & Sneath II dan Otsuka. Proses sistem pendeteksian ini diawali dengan proses ekstensi file.bmp dari citra asli, kemudian resizing, grayscale, dan konvolusi deteksi tepi. Inputan gambar citra merupakan hasil scanner ayat Al-Quran. Tingkat keakuratan pengenalan pola Fi’il mudhari dalam penelitian ini sangat ditentukan oleh nilai ukur berdasarkan Detection rate setiap pola yang dideteksi.
Pemberian Wasiat Kepada Ahli Waris Yang Menyimpang Dari Hukum Islam (Studi Di Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara)
Intisari
Wasiat merupakan pesan seseorang terhadap orang lain yang bukan ahli waris baik itu badan amal atau yang lainnya yang tidak mendapatkan harta warisan atau tidak termasuk kedalam golongan ahli waris. Hukum islam melarang adanya wasiat untuk ahli waris, apalagi wasiat tersebut melebihi 1/3 (sepertiga) dari ketentuan harta waris. Tidak begitu dengan apa yang dilakukan didalam wilayah kecamatan kuta makmur, pemberian wasiat kepada ahli waris sering dilakukan. Pemberian wasiat kepada ahli waris yang dilakukan ini melebihi dari apa yang telah menjadi ketentuan pada hukum islam. Pengertian pemberian wasiat, dan pembagian warisan disamaartikan oleh masyarakat ini. Maka melakukan pemberikan wasiat kepada ahli warisnya sendiri dan dengan melakukan penyamarataan porsi antara anak laki-laki dan anak perempuannya menjadi sering dilakukan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum Empiris, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara kualitatif, yang merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang di amati. sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pemberian wasiat kepada ahli waris yang menyimpang dari hukum waris.
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa dilakukannya Praktek pemberian wasiat di Kecamatan Kuta Makmur tidaklah sesuai dengan apa yang telah ada didalam Nash. Dalam pelaksanaannya wasiat dilakukan dengan ketidakhadiran para ahli waris dan wasiat dilakukan dengan tidak dihadirkannya 2 (dua) orang saksi pada saat wasiat diucapkan. Tidak tepenuhinya Syarat dan rukun wasiat dalam praktek pemberian wasiat yang dilakukan, demikian juga diberikan wasiat kepada ahli waris tanpa persetujuan ahli waris lainnya. Pemberian wasiat kepada ahli waris dilakukan karena adanya alasan-alasan sebagai berikut: 1).Pemberian wasiat kepada ahli waris dianggap adil, meskipun dilakukan dengan menyamaratakan porsi antara kedudukan anak laki-laki dan perempuan, 2). Pemberian wasiat kepada ahli waris dilakukan agar terhindar dari adanya pertikaian yang nantinya terjadi kepada sesama ahli waris, 3). Pemberian wasiat kepada ahli waris dilakukan karena adanya kebiasaan yang sering dilakukan dikecamatan ini, 4). Pemberian wasiat kepada ahli waris dilihat dari ahli waris mana yang lebih banyak mengurusi kedua orang tuanya pada masa hidupnya. Status harta yang didapatkan dengan adanya pemberian wasiat ini juga dilihat dari seberapa besar harta yang diwasiatkan serta harus dengan adanya persetujuan dari ahli waris lainnya. Jika ahli waris lainnya tidak menyetujui adanya wasiat tersebut dan wasiat tersbut melebihi 1/3 dari harta waris, maka wasiat tersebut dapat dibatalkan.
Upaya Hukum Pengesahan Perkawinan Bagi Perkawinanyang Tidak Dicatatkan Ditinjau Dari Uu No 1 Tahun 1974 Dan Khi
Intisari
Pada dasarnya perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1. Perkawinan juga merupakan jalan yang dianjurkan oleh Agama, Hukum dan Budaya agar menjauhkan setiap pribadi dari berbagai hal buruk seperti zina, penyimpangan seksual dan yang lainnya. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan pada ayat 2 menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang–undangan yang berlaku. Namun, pada kenyataanya perkawinan ada juga yang tidak dicatatkan sehingga mengakibatkan hilangnya hak-hak dari para pihak melakukan perkawinan tersebut. Ada pun permasalahan yang yang menjadi pokok pembahasan dalam tesis ini adalah; 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perkawinan tidak dicatatkan?, 2. Bagaimana akibat hukum terhadap para pihak yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan, 3. Bagaimana upaya hukum yang harus dilakukan para pihak yang telah melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan? Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan penelitian ini bersifat penelitian deskriptif analitis yang didukung dengan hasil wawancara. Data primer merupakan hasil penelitian yang ditambah dengan informasi yang terikat dengan permasalahan melalui sumber terdiri dari : Peraturan perundang-undangan, literratur/ dokumen. Sedangakan data sekunder diperoleh melalui Pendapat Hakim, Panitera, Pegawai KUA, dan pihak yang berkaitan dengan penelitian ini.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkawinan tidak dicatatkan, baik faktor ekonomi maupun faktor tempat berlangsungnya perkawinan. Selain itu perkawinan tidak dicatatkan juga menimbulkan akibat hukum kepada para pihak, menurut UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan yang dilaksanakan sesuai hukum agamanya masing-masing dianggap sah akan tetapi menurutUU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 tidak memenuhi administrasi yang di tentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak yang melakukan perkawinan tidak dicatatkan dengan cara mengajukan Itsbat nikah dan perkawinan ulang.
Konsultasi Dan Pertimbangan Gubernur Terhadap Kebijakan Administratif Pemerintah Pusat Di Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Intisari
Pengaturan desentralisasi asimetris Aceh dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU No.11 Tahun 2006), antara lain, diatur dalam Pasal 8 ayat (3), bahwa pelaksanaan kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan lansung dengan Pemerintahan Aceh, dilakukan setelah konsultasi dan pertimbangan Gubernur, seperti pembagian wilayah, pembentukan kawasan khusus, perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dan kebijakan administratif lainnya, seperti, Kriteria, Norma, Standar, dan Prosedur. Kewenangan ini berbeda dengan substansi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua joncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU No.23 Tahun 2014) yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini mengkaji, pertama, mengapa ada konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemrintahan Aceh, kedua, bagaimana perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut, dan ketiga, apa saja hambatan pelaksanaannya. Penelitian ini dapat memberi sumbangan pemikiran, konsep-konsep hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Khususnya, konsepsi konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif pemerintah pusat di Aceh. Selanjutnya, menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam membangun hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah khususnya Pemerintahan Aceh. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif, dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan desentralisasi dan desentralisasi asimetris (otonomi khusus) serta asas-asas hukum.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian diperoleh bahwa dasar pengaturan konsultasi dan pertimbangan gubernur terhadap kebijakan administratif Pemerintah Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, dikarenakan adanya tuntutan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat dalam menjalankan kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh agar tidak lagi diabaikan sebagaimana pernah terjadi masa Orde Lama dan Orde Baru, seperti peleburan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara dan tidak diimplementasikan syari’at Islam, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur ini dalam pelaksanaan desentralisasi asimetris tidak kontradiksi dengan UUD RI 1945, UU No.23 Tahun 2014, peraturan perundang-undangan lainnya, asas-asas hukum, serta Pancasila, yang mengakui keberagaman daerah dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Namun, pengaturan kewenangan tersebut sebagian belum sinkron dengan UU No.23 Tahun 2014. Hambatan pelaksanaannya, yaitu: pertama, adanya perbedaan pemahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh terhadap substansi UU No.11 Tahun 2006; kedua, tidak diatur sanksi dalam UU No.11 Tahun 2006 terhadap keterlambatan pelaksanaan; Ketiga, kurangnya political will Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh dalam menjalan substansi UU No.11 Tahun 2006. Keempat, lemahnya pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh dari DPR-RI baik dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh. Kelima, akibat perubahan dan penggantian Tim Konsultasi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh, sehingga menimbulkan mis-pemahaman terhadap substansi keistimewaan dan kekhususan Aceh. Oleh karenanya, perlu mempertahankan secara berkelanjutan keberlakuan kewenangan konsultasi dan pertimbangan gubernur tersebut; adanya political will dan konsistensi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam konteks desentralisasi asimetris; membentuk Tim Konsultasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh menjadi Tim Ad-Hoc, yang memahami substansi UU No.11 Tahun 2006, UU No.23 Tahun 2014 dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga lebih efektif dan efisien; dan, konsistensi pengawasan Tim Pemantau Otonomi Khusus Aceh dari DPR-RI, terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan keistimewaan Aceh.
Adopsi Dan Aplikasi Hukum Jinayah Melalui Qanun Di Aceh (Studi Terhadap Qanun Nomor 6 Tahun 2014)
Intisari
Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syariat Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam di samping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan li al ‘alamin). Qanun Aceh tidak terlepas dari hasil persentuhan dan interaksi antara “normativitas dan historisitas” bangsa Indonesia. Karenanya anggapan bahwa “Qanun merupakan orisinalitas hukum Islam” perlu dipertanyakan keabsahannya. Sistem hukum lokal (lex spesialis), legalitasnya tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional (lex generalis). Pembentukan hukum lokal (qanun) Aceh, dipengaruhi dan atau dianggap legal jika tidak bertentangan dengan hukum nasional, sebagaimana disebutkan dalam konsideran pembentukan Qanun. Jika demikian, apakah mungkin hukum Islam secara kaffah diberlakukan di Aceh, yang merupakan bagian dari Wilayah dan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak menganut hukum Islam, khususnya hukum Jinayah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan kedudukan qanun-qanun tentang pelaksanaan Hukum Jinayah di Aceh dalam hukum nasional, muatan hukum Jinayah yang terdapat dalam qanun Jinayah di Aceh dalam Pelaksanaan Syariat Islam dan mengapa pelaksanaan hukum jinayah di Aceh menghadapi banyak kendala. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu dalam artian bahwa asas-asa hukum normatif digunakan sebagai titik tolak analisis terhadap objek permasalahan yang diteliti. Dari analisa yang semacam ini kemudian dikaitkanlah fakta-fakta empiris hasil perolehan lapangan khususnya dengan implementasi dari hukum positif (baik yang tertulis maupun tidak tertulis) yang ada untuk mendukung pembahasan yang dilakukan. Metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian disertasi ini, merupakan “metode induktif” dan “metode deduktif”.Sedangkan Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa penelitian kepustakaan (library resarch). Melalui penelitian lapangan (Field Research).
Hasil Penelitian
Hasil penelitian yaitu; Pertama,Secara teori hukum undang-undang umum akan dikalahkan dengan Undang-undang khusus (lex spesialis dirogat lex generalis)”. Oleh karena itu, kedudukan qanun-qanun tentang pelaksanaan Hukum Jinayah di Acehmemiliki posisi legal formal sehingga dapat diakui keberadaannya sebagai produk hukum dan sumber hukum jinayat, hal ini didasari dengan empat (4) alasan utama yaitu;1). Sistem pemerintahan NKRI menurut UUD mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; 2). Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; 3).Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI; 4). Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; Kedua, Muatan hukum jinayat dalam Qanun pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sebagaimana ditetapkan dalam qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Muatan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Khamar,Maisir (Perjudian), Khalwat (Mesum). Peleceha Seksual, Zina, Pemerkosaan, Liwath, Qadzal, dan Musakhahat. Qanun Jinayah Aceh sebagai peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pelaksanaan otonomi khusus yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan undang-undang otonomi khusus Pemerintahan iAceh tidak perlu lagi menunggu peraturan pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan pelaksanaan Pemerintahan Aceh. Qanun disebutkan setingkat dengan peraturan daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tingkat daerah dibuat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Ketiga, pelaksanaan hukum jinayah di Aceh diakui banyak menghadapi kendala, adapun kendala tersebut antara lain; 1). Kendala akademis yang menyatakan bahwa bagaimana mungkin di dalam satu Negara terdapat dua (2) hukum yang berbeda, statement yang muncul bahwa penerapan hukum agama dalam perundangan daerah bertentangan dengan konstitusi yang tidak berdasarkan pada hukum agama. Konstitusi menjamin kebebasan beragama. Sebab itu penerapan Syari’at Islam dengan sanksi hukum negara tidak syah, bahkan peraturan daerah itu harus dicabut karena bertentangan dengan HAM. 2). Kelemahan dalam substansi hukum, sehingga penegakan syari’at islam belum bias di tegagkan secara menyeluruh. 3). Pengaruh politik di Indonesia menyebabkan terhambatnya penegakan islam di Aceh, hal ini dikarenakan beberapa tanggapan bahwa penegakan syari’at islam di Aceh Menghambat pertumbuhan ekonomi, dengan adanya Qanun Jinayat para investor asing berfikir panjang untuk investasi di Aceh. 4). Penegakan qanun jinayah mengalami hambatan karena persepsi yang dibangun antara pemerintah, masyarakat dan penegak hukum berjalan pada jalur yang berbeda. 5). Potensi hambatan penegakan qanun jinayah juga dapat diakibatkan oleh rendahnya moral dan integritas para penegak hukum. Idealnya, semakin kuat moral dan integritas para penegak hukum, terutama dalam mencegah dan dalam pengambilan keputusan terhadap pelanggaran qanun jinayah, maka semakin kuat penegakan qanun jinayah di Aceh. 6). Tekanan dari dua kubu yakni kubu islam fundamentalis dan kubu politisi, masing-masing memiliki pandangan pro dan kontra,sehingga penerapan qanun jinayat berkesan tarik ulur. 7). Indikasi dari minimnya anggaran biaya bagi pelaksanaan syari’at Islam di Aceh yang berujung pada pelemahan penegakan Qanun Jinayat.
Analisis Yuridis Atas Peran Notaris Terhadap Penyelesaian Sengketa Dengan Perdamaian
Intisari
Akta perdamaian merupakan perjanjian antara kedua belah pihak atau lebih yang mana mereka memintakan kekuatan hukum yang dibantu oleh mediator dalam menerima serta menjalankan isi perjanjian yang telah disepakati. Putusan perdamaian mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1858 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), Pasal 130 HIR ayat 2 dan 3. Berdasarkan hal tersebut, perjanjian perdamaian yang dihasilkan dari suatu proses penyelesaian sengketa harus dituangkan dalam bentuk tertulis, hal tersebut bertujuan untuk mencegah munculnya kembali sengketa yang sama di kemudian hari. Untuk memenuhi hal tersebut di atas maka proses perdamaian di luar pengadilan dapat dilaksanakan dengan membuat suatu akta yaitu akta perdamaian. Akta perdamaian ini dapat berupa akta di bawah tangan maupun akta otentik yang dibuat oleh seorang notaris. Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang harus dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut : Bagaimanakah peran notaris memberikan penyuluhan hukum terhadap sengketa yang terjadi antara para pihak, Bagaimanakah peran notaris dalam hal pembuatan akta perdamaian jika telah ada keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Bagaimanakah tanggung jawab notaris kepada para pihak terhadap akta perdamaian tersebut. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif yang bersifat pendekatan deskriptif. Sumber data penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan. Kemudian dianalisi dengan menggunakan analisis kualitatif yang memaparkan sekaligus menganalisis data yang penting dan data yang tidak penting kemudian ditarik suatu kesimpulan agar mendapatkan jawaban dari permasalahan yang ada dalam hal ini digunakan metode deduktif-induktif. Notaris berkewajiban untuk memberikan penyuluhan hukum kepada para penghadap yang ingin membuat akta kepadanya. Dasar hukumnya adalah Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN. Penyuluhan hukum itu dapat meningkatkan pemahaman masyarakat menjadi masyarakat yang sadar hukum. Hanya saja di dalam memberikan suatu penyuluhan hukum, notaris harus memberikan penjelasan mengenai keadaan hukum yang sebenarnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjelaskan hak dan kewajiban para pihak agar tercapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Peran notaris dalam pembuatan akta perdamaian adalah membuat akta autentik sesuai dengan tugas notaris yang terdapat dalam Pasal 16 UUJN dan memformulasikan keinginan atau tindakan para pihak kedalam akta autentik, dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, akta perdamaian tersebut harus didaftarkan di pengadilan negeri setempat. Pasal 54 UUJN mengatur hak notaris, notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan grosse, salinan atau kutipan, juga tidak diperbolehkan untuk memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-akta, selain dari kepada orang-orang yang langsung berkepentingan pada akta, seperti para ahli waris atau orang yang memperoleh/ penerima hak mereka. Tanggung jawab notaris terhadap para pihak untuk menuangkan kehendaknya dalam suatu bentuk akta perdamaian, termasuk penandatanganan oleh saksi dan notaris dalam pembuatan akta perdamaian tersebut. Notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan notaris hanya bertanggung jawab terhadap bentuk formal akta otentik sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-undang. Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta perdamaian dalam arti Verlijden, yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dan Verlijkden dalam arti membuat akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN.
Sistem Pendeteksi Pola Tajwid Al-Qur’an Hukum Idgram Bi-Ghunnah Dan Bila Ghunnah Pada Citra Menggunakan Metode Nei And Li
Intisari
Al Quran merupakan pedoman bagi umat muslim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaranya yakni malaikat Jibril. Untuk membaca Al Quran diperlukan pengetahuan tentang hukum tajwid. Oleh karena itu, sistem pendeteksi tajwid diperlukan untuk membantu pengguna menemukan tajwid di dalam Al Quran. Dalam penelitian ini, metode Nei and Li Similarity digunakan untuk menghitung jarak kemiripan pola tajwid pada citra Al Quran. Hasil pengujian menunjukan bahwa keakuratan sistem ini sebesar 60% hingga 90%, proses keakurasiannya dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan lebih lanjut dengan tambahan data training yang lebih banyak dan lebih bervariasi. Walaupun begitu, sistem deteksi tajwid ini tidak menafikan pentingnya guru dalam belajar cara baca sesuai dengan hukum-hukum tajwid yang benar.
Perspektif Restorative Justice Hakim Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Pengadilan Negeri Lhokseumawe
Intisari
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang. Pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat tidak saja dilakukan oleh orang dewasa akan tetapi juga oleh anak-anak, pelaksanaan hukumannya tentulah sangat berbeda dengan orang dewasa. Pada anak-anak haruslah lebih bersifat rehabilitasi daripada menghukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang hakim yang memeriksa dan memutus perkara anak yang berkonflik dengan hukum di Pengadilan Negeri Lhoksukon masih beraliran positivistik/legalistik dimana putusan yang diputus oleh hakim yang paling umum digunakan adalah pendekatan yang berpatokan pada sistem peradilan pidana semata.
Teori Maslahat Dalam Perceraian : Studi Pasca Berlakunya Uu No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam
Intisari
Perceraian adalah sesuatu yang tidak diharapkan terjadi dalam pernikahan, karena tujuan pernikahan adalah untuk membangun keluarga yang bahagia dan abadi. Namun, tidak semua pernikahan bisa menjadi pernikahan yang bahagia dan bertahan selamanya. Ketika konflik terjadi antara suami dan istri dan tidak ada solusi yang lebih damai, hukum memberikan alternatif perceraian, sehingga suami dan istri dapat keluar dari krisis. Lagi pula, perceraian seharusnya tidak terjadi terlalu mudah, dan sesuai harapan pasangan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi hukum Islam yang salah satu tujuannya adalah untuk memberikan kesejahteraan, jika perceraian dipilih sebagai solusi alternatif untuk krisis keluarga.
Pemberantasan Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Melalui Instrumen Hukum Pidana Dan Administrasi
Intisari
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tidak dapat diberantas hanya dengan instrumen hukum pidana tunggal. Teori hukuman, yang bertujuan membuat para koruptor atau orang-orang yang ingin melakukan korupsi takut dan mencegah korupsi, tidak cukup efektif untuk memberantas korupsi, karena para koruptor kebanyakan adalah petugas dan modus operandi (metode operasi) sangat dinamis . Karenanya, korupsi sulit dideteksi. Jadi selain menggunakan hukum pidana sebagai instrumen untuk memberantas korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, instrumen hukum administrasi, yang berfokus pada kontrol dan sanksi administratif, juga diperlukan. Petugas yang terbukti melakukan pelanggaran dapat dihukum dengan sanksi pemberhentian, sementara penyedia barang dan jasa yang tidak jujur ??dapat dihukum dengan memasukkan mereka dalam daftar hitam atau menghentikan izin bisnis mereka. Sebagai kesimpulan, dengan menggabungkan penggunaan hukum pidana dan hukum administrasi, pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa menjadi lebih efektif.
Penyelesaian Sengketa Batas Tanah Melalui Peradilan Adat
Intisari
Masalah tanah merupakan masalah yang berkaitan dengan hak dasar masyarakat sehingga lahan sering diperebutkan oleh semua orang. Kompleksitas perselisihan tanah adalah hasil dari persyaratan lahan, perselisihan dapat terjadi secara vertikal, horizontal atau vertikalhorizontal. Sengketa tanah seharusnya tidak selalu diselesaikan melalui pengadilan tetapi juga dapat diselesaikan melalui jalur luar pengadilan seperti keadilan adat dengan tujuan menghindari perselisihan yang sedang berlangsung. Pengadilan adat diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa batas tanah dengan prinsip pendekatan keluarga. Penyelesaian batas tanah melalui pengadilan adat dapat dilakukan dengan cara mediasi, musyawarah dan negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan kolektif yang damai. Dari hasil penelitian diketahui bahwa adanya sengketa batas tanah berhasil diselesaikan secara damai melalui pengadilan adat. Perselisihan tersebut terjadi di Gampong Ujong Lamie dan Alue Seupeng di Kabupaten Nagan Raya. Dengan melihat proses penyelesaian yang dilakukan oleh pengadilan adat ini, telah ditunjukkan bahwa lembaga peradilan adat telah menunjukkan peran dan keberadaan mereka dalam menyelesaikan sengketa batas tanah.
Pentingnya Pembentukan Undang-Undang Lintas Transit Di Selat Malaka Bagi Indonesia Dan Malaysia
Intisari
Indonesia dan Malaysia berbatasan dengan Selat Malaka yang telah diratifikasi oleh UNCLOS pada tahun 1982. Ditemukan di bagian transit UNCLOS 1982 di Selat Malaka, tidak termasuk laut itorial, sementara ada bagian dari laut teritorial di Malaka. Selat sehingga Indonesia dan Malaysia tidak menerima hak penuh kedaulatan sebagai laut teritorial. Bagian transit hanya mengatur perjalanan di laut lepas dan ZEE. Hukum domestik tidak boleh mendiskriminasi negara-negara pengguna dan harus mematuhi hukum internasional. Indonesia dan Malaysia perlu membuat undang-undang domestik tentang lintas transit dan melawan kembali hak dan tanggung jawab negara-negara selat kepada masyarakat internasional.
Penyelesaian Sengketa Batas Tanah Melalui Peradilan Adat (Studi Di Gampong Ujong Lamie Dan Alue Seupeng Kabupaten Nagan Raya)
Intisari
Masalah pertanahan adalah masalah yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat sehingga tanah sering diperebutkan oleh semua orang. Kompleksitas perselisihan tanah adalah hasil dari persyaratan tanah, perselisihan dapat terjadi secara vertikal, horizontal atau vertikal-horizontal. Sengketa pertanahan seharusnya tidak selalu diselesaikan melalui pengadilan tetapi dapat juga diselesaikan melalui saluran di luar pengadilan seperti keadilan adat dengan tujuan menghindari sengketa yang sedang berlangsung. Pengadilan adat diberi wewenang untuk menyelesaikan perselisihan batas tanah dengan prinsip pendekatan keluarga. Penyelesaian batas-batas tanah melalui pengadilan adat dapat dilakukan melalui mediasi, musyawarah dan negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan bersama yang damai. Dalam hasil penelitian diketahui bahwa keberadaan sengketa batas tanah berhasil diselesaikan secara damai melalui pengadilan adat. Perselisihan itu terjadi di Gampong Ujong Lamie dan Alue Seupeng dari Distrik Nagan Raya. Dengan melihat proses penyelesaian yang dipraktikkan oleh pengadilan adat ini, telah ditunjukkan bahwa lembaga peradilan adat telah menunjukkan peran dan eksistensinya dalam menyelesaikan sengketa batas tanah.
Pola Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Aceh Di Kabupaten Aceh Utara
Intisari
Pada dasarnya semua orang ingin mewujudkan keadilan dan kedamaian dalam kehidupannya. Apabila terjadi suatu sengketa, cara penyelesaian yang dapat dipilih para pihak adalah jalur litigasi dan nonlitigasi. Jalur nonlitigasi disebut juga alternatif penyelesaian sengketa (APS). Bahkan, APS sudah lama dikenal dan terus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Salah satu pola yang dipraktekkan masyarakat Aceh adalah penyelesaian sengketa secara musyawarah melalui sidang perdamaian.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola penyelesaian sengketa alternatif yang dilaksanakan pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara; faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan penyelesaian sengketa alternatif pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara; dan kekuatan hukum Hasil penyelesaian sengketa alternatif pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji aturan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian untuk memperoleh data sekunder; dan pendekatan yuridis empiris untuk mendapatkan data primer langsung dari responden dan informan.Teknis pengumpulan data terdiri dari kajian kepustakaan, survey lapangan, dan wawancara mendalam.
Hasil Penelitian
Data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyelesaian sengketa secara musyawarah melalui sidang perdamaian yang dilaksanakan oleh masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara terdiri dari pola bertahap (pola tidak langsung) dan pola langsung, yang hasilnya ditetapkan dengan bentuk-bentuk di’iet, sayam, suloh, peumat jaroue dan peusijuek. Penyelesaian sengketa melalui sidang perdamaian dalam bahasa Aceh disebut dengan peudamee di meunasah; Keberhasilan dan kegagalan penyelesaian sengketa melalui sidang perdamaian dipengaruhi oleh faktor internal yaitu kompetensi pimpinan untuk menyelenggarakan sidang perdamaian, yang didasarkan pada tinggi rendahnya tingkat kewibawaan, pendidikan pimpinan, pendidikan hukum, agama (agama Islam) dan tingkat pemahaman adat istiadat, sedangkan faktor eksternal adalah kesadaran hukum masyarakat yang didasarkan pada tinggi rendahnya tingkat pengetahuan hukum, agama, tingkat kepatuhan masyarakat pada pimpinan, dan iktikat baik para pihak untuk mewujudkan perdamaian; dan Putusan perdamaian memiliki kekuatan hukum yang kuat secara filosofis, sosiologis, yuridis, maupun secara moral. Penyelesaian sengketa alternatif melalui sidang perdamaian pada masyaraka Aceh di Kabupaten Aceh Utara merupakan pilihan utama, sedangkan penyelesaian sengketa melalui litigasi sebagai pilihan terakhir. Karena itu, Pemerintah Aceh diharapkan dapat melakukan penguatan badan musyawarah gampong melalui regulasi dan pelatihan yang intensif. Hakim litigasi pun diharapkan dapat menjadikan putusan perdamaian gampong dan mukim sebagai dasar pertimbangan dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Akhirnya, Pemerintah Pusat diharapkan dapat menetapkan dasar hukum untuk membatasi kewenangan hakim litigasi dalam menyelesaikan sengketa yang sudah memiliki putusan damai.
Tanggung Jawab Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Mengalami Kecelakaan Tidak Terdaftar Bpjs
Intisari
Perlindungan bagi tenaga kerja sangat penting, terutama saat menghadapi resiko-resiko yang mungkin terjadi seperti kecelakaan kerja. Untuk melindungi keselamatan tenaga kerja diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja, upaya tersebut dengan adanya program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS, meski program jaminan sosial telah dirancang sejak tahun 1992, ternyata masih ada pekerja yang tidak terdaftar dalam program BPJS salah satunya terdapat pada Hotel Lido Graha Cunda Lhokseumawe. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bentuk perlindungan yang diberikan terhadap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja yang belum terdaftar dalam program BPJS oleh Hotel Lido Graha Cunda Lhokseumawe dan faktor-faktor penghambat pemenuhan kewajiban terhadap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja yang belum terdaftar dalam program BPJS oleh Hotel Lido Graha Cunda Lhokseumawe serta upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah pada perusahaan terhadap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja yang tidak terdaftar pada BPJS.
Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini adalah bentuk perlindungan yang diberikan terhadap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja yang belum terdaftar dalam program BPJS yaitu adanya upaya perlindungan preventif dengan menyediakan klinik untuk berobat dan upaya perlindungan represif yaitu dengan memberikan santunan pengobatan bagi pekerja yang mengalami kecelakaan kerja yang belum terdaftar dalam BPJS. Faktor penghambat pemenuhan kewajiban oleh pihak hotel yaitu pekerja yang belum mengurus kembali KTP yang hilang, pekerja daily worker yang hanya dikontrak kerja tiga bulan saja dan belum tentu diperpanjang, pekerja yang tidak mau mendaftar pada program BPJS karena masa kontrak yang singkat, pekerja yang tidak mengetahui tentang BPJS. Upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah pada perusahaan terhadap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja yang tidak terdaftar pada BPJS? Upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah pada perusahaan terhadap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja yang tidak terdaftar pada BPJS yaitu Mendorong agar Memberikan Perlindungan Bagi Tenaga Kerja Pada Hotel Lido Graha dan Memberikan tanggung jawab pada Hotel Lido Graha bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja tidak terdaftar dalam BPJS.
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Mengadili Perceraian Yang Disebabkan Perpindahan Agama (Murtad) Seorang Suami (Studi Putusan Nomor: 603/PdtG/2014/PA.Mdn)
Intisari
Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan ataupun gugatan cerai. Apabila perkawinan yang dilangsungkan dan dicatatkan secara agama Islam, maka putusnya perkawinan tersebut dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kewenangan Pengadilan Agama untuk mengadili gugatan perceraian yang disebabkan perpindahan agama (murtad) seorang suami, bagaimana pertimbangan hukum hakim mengadili perceraian yang disebabkan perpindahan agama (murtad) seorang suami, dan bagaimana akibat hukum dalam memutuskan perceraian yang disebabkan perpindahan agama (murtad) seorang suami. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara kualitatif, yaitu dengan melakukan pendekatan terhadap perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili perceraian yang disebabkan perpindahan agama (murtad) seorang suami.
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perceraian yang disebabkan berpindah agama (murtad) seorang suami bertitik tolak pada asas personalitas keislaman, Pengadilan Agama berwenang mengadili seseorang yang sudah berpindah agama (murtad), karena yang menentukan berwenang atau tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan dan bukan berdasarkan agama yang dianut para pihak pada saat sengketa terjadi. Pertimbangan hukum hakim memutuskan perkara ini adalah dengan adanya perpindahan agama dalam suatu perkawinan akan menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Akibat hukum dari perceraian yang disebabkan perpindahan agama (murtad) seorang suami menyebabkan larangan untuk rujuk kembali dan terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak memiliki hubungan waris mewaris sama sekali dengan ayah yang berpindah agama (murtad), hal ini sesuai ketentuan Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Halangan Mewaris. Disarankan kepada Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara menjadi sebuah putusan harus sesuai dengan kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang yang tetap mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pertimbangan hukum hakim hendaknya harus tetap berpedoman kepada sumber hukum Islam dan hukum acara peradilan yang sudah ada, agar dalam memutuskan suatu perkara tidak merugikan salah satu pihak. Bagi Non muslim yang ingin masuk Islam, hendaknya dapat menambah pengetahuannya tentang ajaran agama Islam.
Leave a Reply