ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi dan kemampuan pada remaja tunanetra-ganda. Gambaran resiliensi diperoleh melalui identifikasi tujuh karakteristik resiliensi, faktor risiko, dan faktor protektif serta gambaran kemampuan subjek dari masa kanak-kanak sampai tahap remaja. Ketunaan yang dialami oleh subjek adalah hambatan penglihatan sebagai ketunaan utama dan keterbelakangan mental tingkat ringan sebagai ketunaan tambahan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Gambaran resiliensi subjek diperoleh dari wawancara yang dilakukan terhadap remaja tunanetra-ganda, orang tua (dalam hal ini ibu), dan guru dari remaja tersebut. Hasil yang diperoleh adalah satu subjek lebih mampu mengembangkan karakteristik resiliensi dibandingkan subjek lainnya. Kedua subjek memiliki faktor risiko yang sama dalam hal hambatan ketunanetraan ganda dan faktor lingkungan; namun subjek kedua memiliki faktor risiko lainnya yaitu faktor kondisi ekonomi keluarga dan faktor keluarga besar. Kedua subjek sama-sama memiliki faktor protektif eksternal dari keluarga, sekolah, dan komunitas.
Kata kunci: resiliensi, remaja, tunanetra-ganda, tunanetra, keterbelakangan mental.
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki atribut fisik dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, sehingga membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus. (Heward & Orlansky, 1992). Anak berkebutuhan khusus juga disebut anak dengan ketunaan. Anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dalam kehidupannya. Jenis gangguan atau ketunaan yang ada pada anak berkebutuhan khusus diantaranya adalah gangguan fisik (tunadaksa), gangguan emosional atau perilaku, gangguan penglihatan (tunanetra), gangguan komunikasi (tunawicara), gangguan pendengaran (tunarungu), kesulitan belajar (tunalaras), dan keterbelakangan mental (tunagrahita). Selain itu, terdapat beberapa anak yang mengalami lebih dari satu gangguan atau ketunaan. Mereka dikenal sebagai anak tunaganda. Departemen Kesehatan menyatakan bahwa prevalensi kecacatan di Indonesia sekitar 39 persen dari populasi keseluruhan, dewasa dan anak-anak (Departemen Kesehatan: 2001). WHO dalam CBS memperkirakan 10 persen dari populasi keseluruhan pada setiap negara adalah orang yang memiliki kebutuhan khusus atau kecacatan (Kasim, 2008). Departemen Sosial RI menjelaskan bahwa populasi orang cacat di Indonesia pada tahun 2003 berjumlah 1.478.667 orang. Rinciannya adalah tunanetra berjumlah 195.332 orang, tunarungu 106.612 orang, tunawicara 118.293 orang, tunarungu ganda 67.575 orang, tunadaksa 521.231 orang, keterbelakangan mental 236.439 orang, psikotik 149.789 orang, dan tunaganda sebesar 83.396 orang (CBS, 2003 dalam Kasim, 2008). Anak yang memiliki beberapa kombinasi ketunaan, yaitu mengalami lebih dari satu gangguan atau ketunaan, atau disebut tunaganda memiliki kombinasi antara lain tunanetra-tunarungu, tunanetra-tunadaksa, tunanetra-tunagrahita, tunarungu-tunadaksa, tunadaksa-tunagrahita. Ada juga yang mengalami tunamajemuk misalnya tunanetra-tunarungu-tunadaksa (Mangunsong, dkk., 1998). Graham (dalam Haring, 1974) mengemukakan bahwa 40% anak tunanetra mempunyai kecenderungan untuk memiliki ketunaan lain yang menyertainya. Sejalan dengan Graham, Lowenfeld (dalam Hatlen, 1973) menemukan bahwa dalam beberapa kasus—bahwa jumlah anak penyandang tunanetra dengan ketunaan lain dapat melebihi jumlah anak yang hanya menyandang tunanetra. Fakta bahwa terdapat populasi anak penyandang tunanetra yang juga memiliki ketunaan lain—mengarahkan fokus penelitian ini pada anak tunanetra-ganda atau dikenal sebagai Multiple Disability with Visual Impairment (MDVI). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak tunaganda dan tunamajemuk adalah anak yang menderita kombinasi atau gabungan dari dua atau lebih kelainan atau kecacatan dalam segi fisik, mental, emosi dan sosial, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan, psikologis, medis, sosial, dan vokasional melebihi pelayanan yang sudah tersedia bagi anak yang berkelainan tunggal.
Tujuan pelayanan pendidikan adalah agar mereka masih dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin untuk berpartisipasi dalam masyarakat (Mangunsong, dkk., 1998). Anak penyandang tunaganda memiliki beberapa karakteristik yang sama, yaitu kesulitan berkomunikasi, terhambat dalam aktivitas fisik dasar, keterampilan generalisasi yang minim, dan membutuhkan dukungan dalam menjalankan aktivitas kehidupan utama (misalnya dalam hal domestik, vokasional, pemanfaatan waktu luang) (www.nichcy.or). Tunaganda-netra merupakan salah satu kombinasi ketunaan yang terdiri dari gangguan penglihatan dan ketunaan atau gangguan lainnya. Carolina (2008), salah seorang pengajar anak berkebutuhan khusus di SLB-D YPAC menyatakan bahwa anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya. Sebagai contoh, ketika bergaul mereka menghadapi sejumlah kesulitan baik dalam kegiatan fisik, psikologis maupun sosial. Ketunaan jenis apapun yang disandang oleh seorang anak merupakan pengalaman personal. Ini berarti, setiap anak penyandang ketunaan memiliki pengalaman yang berbeda dan pada umumnya orang sekitarnya tersebut tidak bisa sepenuhnya merasakan, mengerti atau memahami kebutuhan anak penyandang ketunaan (Carolina, 2008). Dengan adanya ketunaan dalam diri seorang anak, eksistensinya sebagai makhluk social dapat terganggu. Akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak itu menimbulkan efek psikologis yang berbeda, tergantung dari seberapa berat ketunaan yang disandangnya, kapan saat terjadinya kecacatan, dan karakteristik anak atau siswa tersebut. Pada beberapa anak, ketunaan menyebabkan mereka menarik diri dari lingkungan dan memilih untuk menyendiri. Ketersendirian sebagai akibat rasa rendah diri bisa mengakibatkan hambatan dalam melakukan sosialisasi. Untuk mengatasi hambatan sosialisasi dan memperlancar proses penerimaan diri akan kelainan yang dimilikinya, anak membutuhkan keterampilanyang sesuai dengan kemampuan dan perkembangan dirinya (Carolina, 2008).Hambatan dalam kemampuan dan perkembangan juga terjadi pada anak tunanetra-ganda. Anak tunanetra-ganda memiliki keterlambatan perkembangan sosial, intelektual, dan fisik. Beberapa anak tunaganda menunjukkan penyimpangan dalam tingkah laku sosial, intelektual, dan bahasa. Penyimpangan dalam tingkah laku yang dimaksud disini adalah anak tunaganda sering melakukan suatu tindakan yang kurang tepat atau melakukan sesuatu pada waktu dan tempat yang tidak tepat (Meyen, 1982). Dengan kata lain, anak tunanetraganda memiliki berbagai sumber stres yang membuatnya digolongkan menjadi individu yang memiliki faktor risiko yang tinggi. Masalah-masalah yang ada pada anak tunanetra-ganda cenderung semakin kompleks ketika mereka beranjak remaja. Masa remaja merupakan transisi perkembangan yang membawa individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang ditandai dengan adanya perubahan fisik karena pubertas serta perubahan kognitif dan sosial. Menurut pandangan psikolog G. Stanley Hall (1844-1924), remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan jiwa”, yaitu masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional pada seseorang yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya (dalam Seifert & Hoffnung, 1987). Perubahan inilah yang memberikan tantangan yang lebih berat lagi kepada remaja seiring dengan munculnya tugas-tugas perkembangan yang ada pada masa remaja ini. Remaja tunanetra-ganda membutuhkan kemampuan untuk mengatasi situasi-situasi sulit, kemampuan ini dinamakan resiliensi.
Leave a Reply