ABSTRAK
Kemiskinan yang terjadi di suatu negara menyebabkan terjadinya permasalahan sosial, kriminalitas, meningkatnya jumlah siswa putus sekolah, serta kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Keinginan untuk dapat menolong orang lain dalam hal ini kaum fakir miskin berkaitan dengan kerelaan seseorang untuk dapat meluangkan dan mengorbankan apa-apa yang dia miliki, baik berupa waktu, tenaga, pikiran, serta materi untuk diberikan kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan atau imbalan atas pertolongan yang diberikan (Myers, 1988). Setiap orang yang (normal) senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan dan masyarakatnya, serta bagi dirinya sendiri (Bastaman, 1996). Dalam pandangan logoterapi hasrat untuk hidup bermakna akan memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya- dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan dihayati secara bermakna.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dorongan yang membuat seseorang memilih menjadi relawan pemberdayaan masyarakat miskin, makna hidup yang dihayati oleh para relawan, serta alasan yang membuat mereka bertahan dengan berbagai tantangan serta konsekuensi yang dihadapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para partisipan menghayati hidupnya untuk menjadi seseorang yang bermanfaat bagi lingkungan dan orang lain. Terdapat beberapa faktor yang mendorong partisipan memutuskan untuk menjadi relawan antara lain adanya perasaan empati, minat & kecintaan terhadap sesuatu, dan dorongan untuk berbuat kebaikan dalam hidup. Alasan bertahan dipengaruhi oleh faktor adanya dukungan dari significant others, penghayatan kebahagiaan, serta keinginan untuk tetap memberikan manfaat dan kebaikan.
Kata kunci : Makna hidup; Relawan; Kemiskinan.
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan fenomena kemiskinan adalah sebuah keniscayaan dalam suatu negara sekalipun negara tersebut sudah tergolong dalam negara maju. Kemiskinan akan selalu menjadi sisi gelap dan menjadi suatu indikator keberhasilan suatu pemerintahan dalam mengelola negara dan kesejahteraan rakyatnya. Persentase penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada tahun 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. (http://www.duniaesai.com/) Sementara menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002 dalam http://blog.360.yahoo.com/blog). Angka-angka tersebut kiranya cukup mengindikasikan bahwa programprogram penanggulangan kemiskinan yang ada selama ini ternyata belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Kemiskinan merupakan bom waktu kehancuran dan jalan menuju kemunduran perlahan suatu negara. Keadaan sosial yang ada saat ini telah menghasilkan banyak orang-orang miskin baru dan merupakan masalah sosial yang penting untuk segera diatasi. Kemiskinan berdampak pada meningkat tajamnya jumlah siswa yang harus putus sekolah justru pada saat program wajib belajar sedang giat-giatnya digalakkan oleh pemerintah. Kemiskinan juga berkorelasi erat dengan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat yang menurun sehingga mencapai titik yang memprihatinkan. Dampak-dampak tersebut menimbulkan kekhawatiran akan terjadi fenomena “loss generation” atau hilangnya harapan bangsa terhadap kualitas generasi muda pada beberapa dasawarsa yang akan datang. Permasalahan kemiskinan sudah seringkali diangkat dan dibahas solusinya oleh banyak pihak, mulai dari pemerintahan pusat dengan segala bentuk program pengentasan kemiskinan dan rancangan anggaran untuk meminimalisir kemiskinan masyarakatnya, sampai kepada individu-individu atau masyarakat yang memang memiliki kepedulian terhadap permasalahan tersebut. Populasi masyarakat miskin yang sudah sedemikian tinggi dan terus bertambah seiring waktu, serta terlalu seringnya pemberitaan mengenai kemiskinan dan kesengsaraan kaum papa, di satu sisi justru malah membuat kebanyakan orang semakin terbiasa dengan keberadaan kaum fakir miskin dan seolah mengabaikan fenomena tersebut. Sikap masyarakat yang memilih untuk tidak berkontribusi terhadap perbaikan kondisi fakir miskin yang ada di lingkungan sekitarnya, dapat dipengaruhi beberapa faktor. Salah satunya karena dipengaruhi oleh persepsi bahwa seharusnya pemerintah atau pihak berwenang lainlah yang lebih berkonsentrasi dan bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu tuntutan zaman akan adanya persaingan yang tinggi untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak, membuat sebagian masyarakat cenderung bersikap individualistis dan hanya memiliki orientasi untuk mensejahterakan diri dan keluarga sendiri.
Keinginan untuk dapat menolong orang lain dalam hal ini kaum fakir miskin berkaitan dengan kerelaan seseorang untuk dapat meluangkan dan mengorbankan apa-apa yang dia miliki, baik berupa waktu, tenaga, pikiran, serta materi untuk diberikan kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan atau imbalan atas pertolongan yang diberikan (Myers, 1988). Orang-orang yang telah memberikan pengorbanan sumber daya miliknya demi orang lain tanpa adanya orientasi mencari keuntungan, disebut sebagai relawan. Definisi relawan dikemukakan pula oleh Schroder (1998), yaitu individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mendapatkan upah secara finansial atau tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi pelayanan yang mengorganisasi suatu kegiatan tertentu secara formal. Kegiatan yang dilakukan relawan bersifat sukarela untuk menolong orang lain tanpa adanya harapan akan imbalan eksternal. Yunus mendedikasikan hadiah nobel perdamaian ini dalam semangat pilihannya, yakni keberpihakan total nan cerdas untuk kaum papa, istimewanya kaum perempuan. Hadiah Nobel sebesar 1,36 juta dollar AS akan dipakainya untuk menghasilkan makanan bergizi, murah dan juga untuk perawatan mata, pengadaan air minum dan pelayanan kesehatan (http://pitoyoadhi.wordpress.com).
Dengan bantuan mahasiswanya, Muhammad Yunus menemukan 42 keluarga lainnya yang mengalami permasalahan serupa. Karyanya diawali dengan memberikan kredit sejumlah US$17 kepada 42 orang miskin. Pinjaman yang diberikan kurang dari US$ 1 per orang. Namun dengan jumlah pinjaman yang kecil dan tanpa agunan tersebut, meningkatkan omset seorang pembuat bangku dari sekitar 2 penny perhari menjadi US $ 1,25 per hari. Pada tahap awal ini, dana yang dipinjamkannya diambil dari uang pribadi Muhammad Yunus. Dengan meminjamkan uang tersebut, beliau telah membebaskan 42 keluarga dari kemiskinan di Bangladesh.(http://www.binaswadaya.org/index.php) Tindakan non-profit atau tanpa pamrih yang dilakukan oleh M. Yunus dari mulai memberikan perhatian akan permasalahan yang dialami para keluarga miskin di desa Jobra, meluangkan waktu untuk melakukan asesmen terhadap mereka, memikirkan solusi yang dapat dilakukan untuk menolong keluargakeluarga miskin tersebut, hingga akhirnya memberikan bantuan kepada keluarga miskin -yang sebelumnya tidak memiliki hubungan dengan M. Yunus- dengan uang pribadinya, adalah termasuk ke dalam pengertian relawan yang dimaksud oleh peneliti.
Di Indonesia sebenarnya bukannya tidak ada para relawan yang peduli dengan tema pengentasan kemiskinan atau yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat miskin, akan tetapi jumlah mereka masih sangat minim. Masih minimnya jumlah relawan terkait dengan beberapa faktor seperti kondisi finansial mereka yang juga tidak mendukung kegiatan yang mereka ikuti, adanya banyak hambatan dalam hal birokrasi serta kesulitan mencari sumber pendanaan kegiatan sosial. Dalam salah satu penelitiannya mengenai relawan, Wilson (2000) menemukan bahwa tekanan pekerjaan dan berbagai permasalahan pribadi (kebutuhan finansial, kondisi keluarga, dsb) yang seringkali dialami oleh para relawan dapat menyebabkan munculnya Burn out. Burn out pada relawan merupakan masalah serius bagi para pengurus atau penyelenggara kegiatan, terutama apabila aktivitas tersebut membutuhkan pengorbanan (materi dan waktu) yang tidak sedikit serta mengandung risiko (Wilson, 2000) Walaupun ada banyak faktor penghambat yang menyebabkan tidak banyak orang memilih menjadi relawan dan dapat bertahan melakukan kegiatan menolong orang lain dalam waktu yang panjang dan berkesinambungan, ternyata akan tetap ada sejumlah kecil orang yang memang mengabdikan diri untuk menolong orang lain dalam hal ini fakir miskin dan melawan logika oportunis dalam arti melakukannya karena memang mendapatkan suatu kebermaknaan dalam kegiatan menolong orang lain. Mereka menolong orang lain dengan tulus dan memang mencintai kegiatan tersebut.
There’s groundswell of people that there’s more to life than just working and earn money. Young people are exposed to the consumer revolution in their teens and have seen that it’s really not that satisfying. There’s now more recognition of the value of giving and helping others. (Lyons, 2006) Pastinya ada banyak permasalahan yang dihadapi oleh para relawan selama melakukan pekerjaan tersebut. Dealing with sick children, desperately poor people, or wounded person on a daily basis can all cause burn out (Lyons, 2006) Lantas, dengan kondisi terus “memberi” serta dipusingkan oleh permasalahan orang lain dalam jangka waktu yang panjang, sebenarnya hal-hal apa saja yang akhirnya membuat mereka tetap bertahan menolong orang lain? Setiap orang yang (normal) senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan dan masyarakatnya, serta bagi dirinya sendiri (Bastaman, 1996). Dalam pandangan logoterapi, kehendak untuk hidup secara bermakna memang benar-benar merupakan motivasi utama pada diri manusia. Hasrat inilah yang memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya- dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan dihayati secara bermakna. Sementara makna hidup itu sendiri adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang (Bastaman, 1996).
Leave a Reply