- Kebijakan Hukum Pidana Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkoba Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
- Praktik Penerapan Diversi Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Mungkid)
- Problematika Hukum Dalam Pemberian Ganti Rugi Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pengembangan Landas Pacu Bandar Udara Ahmad Yani Semarang
- Eksistensi Hak Penguasaan Dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional
- Akibat Hukum Ketidak Adanya Keturunan (Putung) Terhadap Pewarisan Tanah Karang Ayahan Desa Berdasarkan Hukum Waris Adat Bali (Studi Di Desa Pekraman Bangkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng)
- Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Lisensi Hak Siar Piala Dunia Atas Penayangan Siaran Tanpa Izin (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 166 K/Pdt.Sus-Hki/2017)
- Penerapan Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan Ecstasy Di Wilayah Jawa Tengah
- Pengaruh Perkembangan Pariwisata Terhadap Fungsi Tanah Adat Di. Bali (Studi Di Kecamatan Kuta)
- Peran Notaris Dalam Perjanjian Kredit Pada Pt. Bank Pembangunan Daerah (Bpd) Bali
- Representasi Sosial Pada Wacana Pidato Politik Presiden Pks Dalam Konsolidasi Kader Pks Tahun 2013 (Analisis Wacana Pidato Politik Anis Matta)
- Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna Jasa Transfer Dana Secara Elektronik
- Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna Jasa Transfer Dana Secara Elektronik (Legal Protection For Bank Customer Electronic Fund Transfer)
- Kedudukan Desa Adat Di Bali Sebagai Subyek Hukum Hak Milik Atas Tanah
- Kajian Teoritis Terhadap Kedudukan Tergugat Ii Intervensi Dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara
- Penerapan Aturan Tentang Perbuatan Tercela Yang Berakibat Pada Pemberhentian Sementara Dari Jabatan Notaris
- Penelitian Hukum Kritis: Independensi Hukum Kehutanan Indonesia, Khususnya Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Taman Nasional
- Kedudukan Whistleblower Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana
- Rekonstruksi Hukum Tata Ruang Kawasan Tempat Suci Di Bali Berbasis Kearifan Lokal Dan Pancasila
Kebijakan Hukum Pidana Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkoba Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan tentang kebijakan hukum pidana terhadap pemberian grasi kepada terpidana narkoba pada saat ini dan dan juga menganalisis kebijakan hukum pidana yang akan datang terhadap pemberian grasi kepada terpidana narkoba dalam prespektif pembaharuan hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan, yang selanjutnya di analisa dengan metode analisis kualitatif.
Hasil Peneltian
Hasil penelitian diketahui bahwa Pertama, Kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan pemberian grasi kepada terpidana narkoba berlaku saat ini di Indonesia, antara lain: pemberian hak pengajuan permohonan grasi kepada Menteri Hukum dan HAM dan Ketua Pengadilan tingkat I yang memutus perkara. Kedua, Kebijakan hukum pidana pemberian grasi kepada terpidana narkoba yag akan datang, mengenai mekanisme pemberian grasi bagi terpidana, ataupun mekanisme pelaksanaan pengajuan grasi, kebijakan pertimbangan alasan pemberian grasi hingga mendapatkan putusan, dapat dilihat dalam kajian perbandingan Negara asing (Amerika serikat, Filipina dan Kanada).
Praktik Penerapan Diversi Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Mungkid)
Intisari
Diversi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan tidak diatur oleh Undang-Undang yang berlaku sebelumnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai praktik penerapan diversi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid dengan melakukan penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis. Rumusah masalah dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimanakah praktik penerapan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid? dan 2) Apakah pelaksanaan diversi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid sesuai dengan maksud dan tujuan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Adapun hasil penelitian ini yaitu: 1) Sejak berlakuknya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (31 Juli 2014) sampai dengan Desember 2014, dalam menyelesaikan perkara pidana anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid telah dilakukan diversi pada tingkat penyidikan dan tingkat penuntutan, sedangkan pada tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan belum pernah dilakukan diversi, namun demikian Ketua Pengadilan Negeri Mungkid telah menerbitkan penetapan diversi atas diversi-diversi yang dilakukan pada tingkat penyidikan dan tingkat penuntutan tersebut; 2) Dari beberapa praktik penerapan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid tersebut ada yang sudah sesuai dengan maksud diversi dalam UU SPPA dan ada juga yang belum sesuai dengan maksud diversi dalam UU SPPA; 3) Belum sesuainya beberapa praktik penerapan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid dengan syarat dan tata cara / prosedur diversi dalam UU SPPA tersebut disebabkan beberapa hal, yaitu: a)Terdapat kerancuan diantara beberapa pasal dalam UU SPPA yang berkaitan dengan syarat diversi; b) Terdapat perbedaan persepsi diantara penegak hukum dalam memahami syarat diversi dalam UU SPPA; c) Tidak seimbangnya antara jumlah Pembimbing Kemasyarakatan yang ada dengan beban kerja dan batas waktu kerja yang diatur dalam UU SPPA; 4) Sebagian besar diversi yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid tersebut sudah sesuai dengan tujuan diversi dalam UU SPPA dan dapat mewujudkan keadilan restoratif, sedangkan sebagian kecil diversi yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid tersebut tidak sesuai dengan tujuan diversi dalam UU SPPA dan tidak dapat mewujudkan keadilan restoratif.
Problematika Hukum Dalam Pemberian Ganti Rugi Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pengembangan Landas Pacu Bandar Udara Ahmad Yani Semarang
Dalam rangka peningkatan statusnya menjadi bandar Udara Internasional, Bandara Ahmad Yani Semarang harus melakukan pembangunan infrastruktur diantaranya adalah pengembangan Landas Pacu agar dapat dioperasikan pesawat berbadan lebar. Untuk Pengembangan Landas Pacu tersebut, oleh Pemerintah Kota Semarang dalam pelaksanaannya melalui proses pengadaan tanah yang masuk dalam kategori Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, sedangkan dalam proses pengadaan tanah tersebut permasalahan yang muncul adalah mengenai penentuan besarnya ganti rugi Hak Atas Tanah. Dalam penelitian ini, ingin diketahui secara jelas bagaimana pemberian ganti rugi terhadap pengadaan tanah bagi pengembangan Landas Pacu Bandara Ahmad Yani Semarang dan bagaimana upaya hukum yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam mengatasi kendala-kendala terhadap pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah bagi pengembangan Landas Pacu Bandara Ahmad Yani Semarang. Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Empiris, yaitu suatu pendekatan yang dipergunakan untuk menganalisis ketentuan-ketentuan hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengadaan tanah dan pemberian ganti rugi dalam pengembangan Landas Pacu Bandara Ahmad Yani Semarang, dan bagaimana penerapan serta kenyataan yang ada di lapangan ( masyarakat ), dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, dalam menentukan besarnya ganti rugi tersebut memerlukan waktu yang panjang karena pemilik/pemegang Hak Atas Tanah mematok harga yang tinggi dengan alasan tanahnya sebagai mata pencaharian yang dapat diusahakan area pertambakan. Oleh karena itu dalam menentukan besarnya ganti rugi tersebut, dibutuhkan mediasi dengan pendekatan secara persuasif oleh Pemerintah Kota Semarang agar diperoleh kesepakatan antara kedua belah pihak. Pelaksanaan pemberian ganti rugi tersebut diawalidengan tercapainya suatu kesepakatan tentang nilai ganti rugi yang diberikan dalam musyawarah mufakat antara Pemerintah Kota Semarang dan pemilik/pemegang Hak Atas Tanah selanjutnya nilai ganti rugi tersebut dibayarkan secara langsung oleh Pemerintah Kota Semarang melalui Panitia Pengadaan Tanah kepada Pemilik/Pemegang Hak Atas Tanah.
Eksistensi Hak Penguasaan Dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional
Latar belakang penelitian ini dimulai dengan pernyataan bahwa pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA) yang menggunakan hukum adat (hukum adat) sebagai sumber utama dan sumber pelengkap membutuhkan koeksistensi antara UUPA sebagai hukum negara dan hukum adat. sebagai harapan hukum rakyat. Sayangnya, dalam proses implementasi untuk mewujudkan hak penguasaan tanah dalam kompetensi teritorial, hukum tradisional terpinggirkan. Ini berarti prajuru adat sebagai komandan desa adat tidak pernah diminta untuk mendapatkan koordinasi dan terlibat jauh dalam proses mewujudkan hak penguasaan tanah, meskipun desa tradisional memiliki organisasi siar yang dapat menyebarkan informasi secara efektif kepada masyarakat tradisional ( krama desa adat). Sebaliknya, pemerintah hanya melibatkan lembaga pemerintahan administratif. Ini lebih terlihat ketika Proyek Operasi Negara Agraria (PRONA) kebijakan pemerintah dilaksanakan di Provinsi Bali yang menerbitkan sertifikat massal. Dengan demikian tanpa disadari, struktur hukum yang menangani urusan tanah telah memihak hukum negara, dan mengabaikan keberadaan hukum tradisional. Munculnya perselisihan hak atas kepemilikan dan kepemilikan tanah adalah salah satu implikasinya, di samping ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum tradisional. Penelitian ini akan mengkaji masalah termasuk konsep dan regulasi mengenai hak penguasaan dan kepemilikan tanah adat, pengakuan dan perlindungan oleh negara, dan model penyelesaian sengketa. Jenis penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum empiris. Itu sesuai dengan masalah hukum. Pendekatan penelitian yang telah diambil dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan statuta, pendekatan historis, pendekatan analitis, pendekatan antropologis hukum dan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran akademik dalam pembaruan Hukum Tanah Nasional (HTN). Dengan demikian secara praktis bisa meningkatkan citra struktur hukum, dan budaya hukum masyarakat. Menurutnya, hal itu dapat digunakan untuk mengantisipasi penyelesaian sengketa di lahan.
Adanya kekuasaan negara atas hak penguasaan tanah dalam UUPA menunjukkan bahwa hak ulayat desa tradisional didasarkan pada hak negara. Ini berarti bahwa karakter eksklusif hak ulayat (beschikkingsrecht) tidak mendapatkan tempat dalam Hukum Nasional. Ketiga, pengakuan keberadaan tanah adat oleh negara masih lemah (pluralisme hukum lemah). Kondisi ini menjadi lebih buruk karena interpretasi yang kontradiksi antara para hakim agen peradilan yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penyangga atau katup pengaman dengan cara memberikan kepastian terhadap hak-hak properti masyarakat. Tetapi pengakuan dan perlindungan hak kepemilikan dan hak atas tanah hak kepemilikan dapat dinyatakan kuat (pluralisme hukum yang kuat). Untuk melindungi tanah adat lainnya diberikan oleh desa tradisional mereka. Keempat, model mediasi penyelesaian sengketa dengan berbasis teori konflik akan lebih tepat untuk digunakan dalam menangani kasus-kasus sengketa tanah adat. Tetapi poin utama adalah mediator harus mengakomodasi secara tepat melalui menyelaraskan kepentingan yang berbeda untuk menekankan prinsip utilitas partai. Ini berbeda dari garis litigasi yang dapat membangkitkan konflik horizontal di desa tradisional. Kelima, timbulnya kasus sengketa tanah adat kira-kira disebabkan oleh hukum administrasi yang tidak sah dalam penerbitan surat keputusan permohonan hak tanah oleh BPN. Dan dalam proses pemenuhan hak-haknya belum melibatkan prajuru desa adat. Karena prinsip publisitas hanya mencerminkan persyaratan hukum negara. Ini mengabaikan hukum adat yang memiliki pola proses “siar”, yang didahului oleh perilaku mesadok (fungsi koordinatif) hingga perilaku hukum khusus. Keenam, ada pergeseran kebijakan pertanahan dalam UUPA, yang semula bersifat kerakyatan dalam mencapai kemakmuran masyarakat dengan cenderung bersifat pro-kapital karena pilihan orientasi pertumbuhan ekonomi. Ketujuh, karakter komunal hak atas tanah yang bisa disertifikasi oleh desa tradisional hanyalah tanah laba pura.
Akibat Hukum Ketidak Adanya Keturunan (Putung) Terhadap Pewarisan Tanah Karang Ayahan Desa Berdasarkan Hukum Waris Adat Bali (Studi Di Desa Pekraman Bangkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng)
Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa juga penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari masa ke masa. Maka setiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lain berbeda. Seiring dengan perjalanan waktu tingkat peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, sedikit banyak yang terlihat dalam proses kemajuan jaman itu bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak jaman, sehingga adat itu tetap ada. Seperti halnya keberadaan konsepsi komunalistik religius pada pola penguasaan tanah-tanah adat yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Seperti misalnya keberadaan Hukum Waris Adat Bali yang berkaitan dengan pewarisan tanah karang ayahan desa yang terjadi di wilayah Pemerintah Kabupaten Buleleng, yang mana pola kewarisan tersebut tetap ada dengan penyesuaian dengan keadaan jaman. Penelitian ini mengunakan pendekatan yuridis-empiris. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, dan data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder), Teknik pengumpulan data dengan cara teknik wawancara, dan study dokumen-dokumen hukum, sedangkan teknik analisis datanya secara kwalitatif. Sistem pewarisan di desa pekraman Bangkala ini tidak lepas dari sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut pada masyarakat Hindu di Bali. Selanjutnya kewarisan tanah karang ayahan desa mengikuti sistem kewarisan mayorat, yang mana tanah karang ayahan desa tersebut tidak boleh dibagi-bagi dan diwariskan secara penuh terhadap anak laki-laki tertua untuk wangsa bangsawan/tri wangsa (Brahmana, ksatria dan waisya), sedangkan wangsa Sudra tanah karang ayahan desa tersebut diwariskan secara penuh terhadap anak laki-laki bungsu. Status hukum tanah karang ayahan desa di desa Pekraman Bangkala jika tidak ada keturunan (putung) dalam keluarga yang menguasai tanah karang ayahan maka tanah tersebut akan dikembalikan kepada desa dan oleh desa selanjutnya penguasaanya akan diberikan kepada warga desa Pekraman Bangkala yang berhak dengan melalui ketentuan dan upacara-upacara yang diwajibkan untuk perpindahan hak tersebut. Pengambil alihan oleh desa ini memenuhi ketentuan bahwa pada dasarnya hak atas tanah tersebut milik desa dan warga desa yang bersangkutan yang menguasai dengan hak pakai.
Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Lisensi Hak Siar Piala Dunia Atas Penayangan Siaran Tanpa Izin (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 166 K/Pdt.Sus-Hki/2017)
Piala dunia merupakan pertandingan sepak bola internasional yang menjadi perbincangan paling ramai di Indonesia karena merupakan gelaran sepak bola terbesar didunia. Siaran piala dunia sendiri ditayanglan melalui banyak media, mulai dari siaran langsung ditelevisi maupun streaming melalui jaringan internet, serta media lainnya. Berkaitan dengan penayangan siaran piala dunia bahwa tidak semua stasiun televisi yang berhak menayangkan siaran tersebut, hak siar atas piala dunia harus diserta dengan izin atau lisensi dari pemilik hak atau pemegang hak cipta, begitu juga dengan pihak-pihak lain yang akan menayangkan di kawasan komersial dan menggunakannya secara komersial. Namun, banyak pihak yang kurang memperhatikan bahwa penayangan siaran piala dunia di kawasan komersial atau menggunakannya secara komersial wajib untuk memperoleh izin atau lisensi terlebih dahulu. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Lisensi Hak Siar Piala Dunia Atas Penayangan Siaran Tanpa Izin (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 166 K/Pdt.Sus-HKI/2017)”. Permasalahan dalam skripsi ini meliputi : (1) apa bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang lisensi hak siar piala dunia atas penayangan siaran tanpa izin ?, (2) upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pemegang lisensi hak siar piala dunia atas penayangan siaran tanpa izin ?, dan (3) apa pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor 166 K/Pdt.Sus-HKI/2017 ?. Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode tipe penelitian yuridis normatif karena permasalahan didalamnya menerapkan kaidah-kaidah hukum positif dalam pembahasan dan penguraiannya. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder, non hukum serta analisa bahan hukum sebagai langkah terakhir. Tinjauan pustaka dalam skripsi ini yang pertama membahas tentang perlindungan hukum, tujuan perlindungan hukum, bentuk perlindungan hukum. Kedua membahas mengenai hak kekayaan intelektual terkait pengertian, ruang lingkup, dan tujuan hak kekayaan intelektual. Ketiga membahas tentang hak cipta berkaitan dengan pengertian, macam-macam, dan hak terkait didalamnya. Keempat membahas lisensi tentang pengertian, macam-macamnya serta fungsi lisensi. Kelima tentang hak siar didalamnya tentang pengertian, dan macammacam hak siar. Kemudian terakhir membahas tentang penyiaran terkait pengertian serta macam-macam penyiaran. Semuanya dikutip oleh penulis dari perundang-undangan terkait serta pendapat para ahli dan beberapa sumber bacaan. Pembahasan dalam skripsi ini yang pertama meliputi tentang perlindungan terhadap pemegang lisensi hak siar piala dunia atas penayangan siaran piala dunia tanpa izin, serta akibat hukum terhadap tersebut, kedua upaya penyelesaian permasalahan melalui jalur alternatif penyelesaian sengketa dan litigasi (pengadilan). Kemudian yang terakhir membahas tentang pertimbangan hukum hakim dalam putusan hakim dalam ranah judex juris. Kesimpulan yang diperoleh yakni, pertama perlindungan hukum terhadap pemegang lisensi hak siar atas penayangan siaran tanpa izin dilakukan dengan dua cara, yakni bentuk perlindungan hukum secara preventif yang memberikan pilihan kepada masyarakat untuk terlebih dahulu memaparkan pendapatnya atas keberatan serta pendapat mereka sebelum keputusan pemerintah bersifat final yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta pasal 83 ayat (1) tentang pencatatan perjanjian lisensi hak cipta , kemudian perlindungan hukum secara represif berupa tindakan sanksi yag diberikan setelah terjadinya sengketa dengan penyelesaian sengketa bagi masyarakat melalui peradilan umum dan administrasi Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 pasal 95 ayat (1), apabila terjadi pelanggaran dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Kedua, upaya penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan alternatif penyelesaian sengketa dan jalur penyelesaian litigasi (pengadilan). Dalam undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta upaya penyelesaian diatur pada pasal 95 ayat (1). Alternatif penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cara negosiasi, mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Kemudian penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (pengadilan) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga sebagaimana tercantum pada pasal 95 ayat (2), ketiga, pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 166 K/Pdt.Sus-HKI/2017 menyatakan bahwa pemohon kasasi benar bersalah atas perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain atas tindakannya, akan tetapi dalam pertimbangan hukum hakim sebaiknya menyatakan perbaikan terhadap putusan dari Pengadilan Tingkat pertamanya terlebih dahulu sebab berdasarkan uraian dalam pertimbangan, hakim tidak menguraikan secara jelas terkait pelanggaran apa saja yang dilanggar dan tidak menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Saran yang diperoleh yakni, pertama, hendaknya pihak pengelola kawasan komersial (perhotelan, cafe, dll) dapat lebih memperhatikan himbauan yang telah disebarluaskan berkaitan dengan penayangan suatu siaran yang sifatnya dapat melanggar suatu peraturan terkait. Pihak pengelola kawasan komersial juga diharap lebih memahami tentang peraturan berkaitan dengan suatu hal yang ditayangkan di area komersial atau menggunakannya secara komersial. Kedua, setidaknya pihak yang memiliki hak sebagai pemegang lisensi atas hak siar tersebut lebih mengupayakan lagi untuk lebih optimal dalam memberikan himbauan terhadap pengelola kawasan komersial terkait batas-batas apa yang dapat menjadi pelanggaran bagi mereka agar tindakan yang kelihatannya bukan pelanggaran menjadi dilanggar karena ketidaktahuan pihak pengelola kawasan komersial. Ketiga, pihak yang bersengketa akan lebih baik apabila menyelesaikan permasalahannya melalui alternatif penyelesaian sengketa terlebih dahulu seperti negosiasi, mediasi, arbitrase dan konsiliasi agar dapat mengupayakan penyelesaian yang sederhana. Apabila melalui cara penyelesaian sengketa tersebut tidak didapat penyelesaian maka dapat dilakukan penyelesaian melalui jalur pengadilan
Penerapan Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan Ecstasy Di Wilayah Jawa Tengah
Dewasa ini kejahatan penyalahgunaan ecstasy semakin semarak, beberapa kota besar dan kecil di Indonesia telah dilanda wabah ecstasy. Penyalahgunaan ecstasy dikategori¬kan sebagai kejahatan sebab, perbuatan ini meresahkan, membahayakan dan merugikan semua pihak. Ecstasy adalah sebentuk -pile’ yang beraneka ragam warna dan jenisnya. Ecstasy adalah nama yang dikenal dalam pasaran (street name). Dalam sebutir ecstasy mengandung unsur utama HDHA (N-alphadimenthyl-3, 4-methyl en edioxy¬phenethyl amine), BDA (alpha-methyl-3, 4-menthylenedioxy¬phethylamine). Komposisi lain sebagai pelengkap adalah laktosa, mannitol, lidokain dan kafein. Sindrom klinik pengguna ecstasy sangat tergantung pada jenis komposisi zat yang digunakan. BDBA dan MDA termasuk dalam schedule 1 list of Psychotro¬pic Substances Under International Control yang merupakan Green list, /MBA dan RDA bukan obat dan bukan narkotik tetapi tergolong zat psikotropik. MDMA dan MDA berefek stimulansia dan psikadelik. BDBA dan MDA dalam Undang-undang Psikotropika tergolong dalam Golongan I, yaitu obat yang sangat berbahaya dan hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan, sehingga harus diawasi secara ketat. Ecstasy dapat menimbulkan toksis (peracunan) terhadap syarat. Pengguna Ecstasy dapat menja¬di ketergantungan obat (KO). Induknya Ecstasy adalah Amphetamine. Efek farmakologi dari pil ecstasy ini menimbulkan eufori (rasa gembira) melebihi dari Amphetamine sebab potensi halusinasi lebih cepat dan kuat. Penyalahgunaan Ecstasy dikatakan berbahaya sebab merusak organ tubuh khususnya susunan syaraf pusat otak manusia, disamping jantung, ginjal bahkan jika terjadi over dosis akan mengakibatkan kematian. Menimbulkan kerugian sebab harga sebutir pil ecstasy berkisar antara Rp. 40.000,- sampai dengan Rp. 240.000,-. Akan menguras uang, jika yang dibutuhkan lebih dari sebu¬tir, berarti sudah berapa Rupiah yang harus dikeluarkan untuk mengkonsumsi pil ecstasy ini. Secara umum ecstasy dapat merusak akhlak generasi muda yang adalah penerus bangsa. Oleh sebab itu Pemerintah perlu memberantas kejahatan penyalahgunaan ecstasy ini. Berbagai kebijakan telah diangkat untuk digunakan sebelum hadirnya Undang-undang Nomer 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Adapun beberapa Pasal yang digunakan dari berbagai Kebijakan Hukum Pidana pada masa Pra Undang-undang Nomer 5 Tahun 1997 antaranya : Pasal 204 dan 386 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 40 (1), 41 (1), 80 (4) huruf b, 81 (2) huruf c, Undang¬undang Nomer 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 1 (1) dan 2 (1) Staatblad Nomer 377 Tahun 1949, Pasal 1 (1), 3 dan 12 Permenkes RI No.124/MENKES/PER/II/1993. Paling dominan digunakan dalam praktek yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Kesehatan dan Staatblad 419 Tahun 1949. Setelah kehadiran Undang-undang Nomer 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika digunakan Pasal 59. Dalam penerapan kebijakan-kebijakan hukum pidana tersebut ditemui berbagai kendala antaranya kendala dalam tahap formulasi (rumusan Pasal Undang-undang yang bersang¬kutan) yaitu uraian rumusan pasal masih bersifat umum, perlu penafsiran, rumusan Paal-pasal itu tidak memberi pengertian, ukuran, jenis-jenis ecstasy dan hukuman yang tertera dalam Pasal tergolong ringan, jika dibandingkan dengan perbuatannya. Dalam praktek rumusan Pasal yang kurang jelas ini menyulitkan aparat penegak hukum, karena harus menginterpretasikan isi rumusan Pasal tersebut. Aparat penegak hukum harus pula menentukan pengertian, ukuran dan jenis ecstasy. Hukuman yang dikenakan kepada pelaku penyalahgunaan (pengedar) ecstasy dipandang ringan yakni berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Semarang hanya dikenakan pidana penjara 2 tahun 2 bulan, di Yogyakarta hanya dikenakan hukuman 10 bulan penjara, karena tidak ada hukum yang melarang penggunaan ecstasy. Sedangkan kendala yang ditemui dalam penerapan Undang-undang Psikotropika bahwa dalam Undang-undang ini tidak dijelaskan tentang ukuran memiliki ecstasy, berapa butir ecstasy yang dimiliki seseorang sehingga dapat dikenakan pasal 59. Batasan pidana minimum yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (1) huruf e yaitu 4 tahun penjara membatasi kebe¬basan hakim untuk mengadili perkara tersebut sehingga dapat mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum masya¬rakat. Karena tidak mungkin seseorang yang memiliki sebu¬tir ecstasy harus dikenakan hukuman 4 tahun penjara (pidana minimum). Kendala lainnya yaitu keterbatasan personil polisi dan dana operasional juga menghambat jalannya penyidikan. Meskipun sulit aparat penegak hukum berupaya semaksi¬mal, dengan cara dan teknik sesuai ketentuan Undang¬undang, mengatasi kendala-kendala tersebut. Bagi pengguna pada masa pra Undang-undang Nomer 5 Tahun 1997, walau tidak ada aturan yang melarang, tapi pengguna tetap dike¬nakan hukuman wajib lapor seminggu sekali dan diberi tugas untuk mencari, jika diketahui. Bagi pengedar tetap dikena kan sanksi. Dengan keterbatasan personil dan dana opera-sional, penyidikan tetap dilakukan, memang benar bahwa sampai saat ini pihak kepolisian baru hanya dapat menang¬kap para pengedar kecil. Setelah kehadiran Undang-undang Nomer 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika aparat penegak hukum merasa lega dan lebih mantap dalam melaksanakan tugas. Semua pelaku penyalahgunaan ecstasy dapat dikenakan huku¬man dan hukumannya telah jelas (meski masih terdapat kekurangan seperti tersebut di atas). Hukuman yang dican-tumkan dalam Pasal 59 dipandang cukup berat, sehingga membuat para calon pelaku penyalahgunaan ecstasy perlu berpikir berulangkali untuk melakukan kejahatan penyalah¬gunaan ecstasy.
Pengaruh Perkembangan Pariwisata Terhadap Fungsi Tanah Adat Di. Bali (Studi Di Kecamatan Kuta)
Pemerintah Provinsi Bali, melalui undang-undang lokal Bali No. 9/1990, menguraikan pariwisata budaya. Kebijakan kepariwisataan terkait dengan pembangunan di Bali, khususnya di kawasan Kuta sebagai salah satu tujuan pariwisata yang semakin meningkat, makna dan nilai-nilai agama. desa-desa melibatkan penanganan dampaknya terhadap kebutuhan tanah. Untuk orang Bali tanah memiliki nilai spesifik dan ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan di Bali, tanah diatasi oleh adat Desa Tanah Pekarang, Desa Tanah Ayahan, Tanah Plaba / Laba Pura, dan Tanah Druwe Desa. Berdasarkan data, itu menunjukkan ada beberapa perubahan tanah adat, seperti perubahan tanah adat Setra (makam) menjadi kawasan pariwisata, serta adat – tanah yang dimiliki secara individual. Ini mengeluarkan beberapa masalah perubahan fungsi dan konservasi tanah adat yang diselesaikan baik di tingkat keluarga atau secara individu atau di tingkat. Dalam upaya menjaga penyelamatan tanah adat, orang-orang terus berusaha untuk menyimpannya agar tidak dijual yang pada akhirnya membuat properti desa adat menjadi semakin lemah dan semakin lemah dan karenanya memperkuat properti secara individu.
Peran Notaris Dalam Perjanjian Kredit Pada Pt. Bank Pembangunan Daerah (Bpd) Bali
Akta otentik adalah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk mengetahui manfaat perjanjian kedit dengan akta notariil jika bandingkan dengan akta di bawah tangan, kedua untuk menganalisa perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak, ketiga untuk mengetahui apakah perjanjian kredit antara debitor dan Bank BPD Bali di buat atas dasar sepakat (konsensualisme) dan keempat untuk mengetahui faktor apakah yang mempengaruhi penggunaan jasa notaris di BPD Bali.
Metode penelitian yang di gunakan adalah melalui metode pendekatan perundang-undangan dan empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Perjanjian kredit yang di buat secara baku, namun tidak bertentangan dengan aturan yang di larang dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, karena format baku hanya merupakan format pokok dari perjanjian kredit perbankan dan masih di mungkinkan adanya negosiasi. Bahwa perjanjian kredit antara debitor dengan PT. Bank Pembangunan Daerah(BPD) Bali di bentuk atas dasar kesepakatan (konsensualisme).
Representasi Sosial Pada Wacana Pidato Politik Presiden Pks Dalam Konsolidasi Kader Pks Tahun 2013 (Analisis Wacana Pidato Politik Anis Matta)
Penulis melaksanakan penelitian ini dengan tujuan pertama yakni untuk menguak representasi sosial dari empat wacana pidato politik Anis Matta (AM) sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam agenda konsolidasi kader PKS di tahun 2013. Tujuan kedua yaitu untuk menemukan beberapa motif AM dalam melakukan representasi sosial tersebut. Agenda konsolidasi ini diadakan untuk mempersiapkan kader PKS dalam menghadapi Pemilu 2014. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah klausa tuturan pidato politik AM dalam agenda konsolidasi kader PKS di tahun 2013 yang memuat partisipan utama (partisipan yang relevan dengan penelitian ini). Partisipan utama terdiri atas AM, AM dan kader PKS, kader PKS, PKS, dan Publik Indonesia. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teori analisis yaitu Sistem Transitivitas Halliday (2004). Penulis menggunakan teknik simak bebas libat cakap dan teknik purposive sampling untuk memperoleh data. Penyajian analisis data mengunakan metode informal. Hasil dari penelitian ini adalah AM menggunakan 5 tipe proses dalam teori Sistem Transitivitas dengan 5 partisipan utama di atas dalam klausa tuturan pidatonya untuk merepresentasikan fakta sosial hal-hal yang berkaitan dengan PKS dan upayanya untuk memenangkan Pemilu 2014. Lima tipe proses tersebut adalah proses material, proses mental, proses behavioral, proses verbal, dan proses relational-attribute. Penulis menemukan 8 motif AM dalam melakukan representasi sosial. AM memanfaatkan representasi sosial dalam pidato politiknya ini untuk menangani masalah internal PKS dan upaya memenangkan PKS pada Pemilu 2014.
Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna Jasa Transfer Dana Secara Elektronik
Transfer dana elektronik yang mencakup transaksi mesin anjungan tunai mandiri (ATM), transfer dana, dan transaksi kartu kredit, menjadi aktivitas layanan bank dalam transfer dana. pada dasarnya transaksi dengan menggunakan transfer dana elektronik berbeda dengan transaksi pembayaran secara konvensional yang dilakukan dengan menggunakan kertas (kertas) sehingga dalam transfer dana elektronik menggunakan media elektronik. Diskusi tesis ini mencakup tiga masalah utama yaitu bagaimana ketentuan kontrak antara bank sebagai pemberi layanan transfer dana elektronik dengan pelanggan. kedua bagaimana bentuk perlindungan hukum untuk pengguna layanan transfer dana elektronik terutama di atm, kartu kredit, dan transfer dana. ketiga bagaimana upaya penyelesaian jika terjadi ketidaksepakatan antara sisi pelanggan dan bank dalam penggunaan layanan. Hasil diskusi penelitian ini menunjukkan persyaratan kontrak antara bank sebagai pemberi layanan transfer dana elektronik dengan pelanggan pengguna layanan menemukan hak dan kewajiban di setiap sisi karena berdasarkan perjanjian, baik dalam transaksi melewati atm, juga kartu kredit. hanya posisi pelanggan yang disajikan pada sisi yang lemah bahkan jika melaksanakan semua tugas karena mereka harus memenuhi standarnya, sehingga tidak ada posisi tawar lagi terhadap klausul isi perjanjian. Sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pelanggan, tampak aturan normatif sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (4) uu. perbankan kernel mengharuskan bank untuk menyiapkan informasi tentang kemungkinan risiko kerugian insidensi, pasal 17 ayat (3) uu. 11/2008 tentang informasi dan transakai elektronik yang membebani tanggung jawab pengerahan sistem elektronik dalam administrator, dan juga surat pengangkatan direktur bank indonesia no. 27/164 / piece / mer / 1995 tentang penggunaan sistem informasi oleh bank yang mewajibkan manajemen bank untuk menerapkan prinsip dan pengawasan sistem pengawasan terhadap penggunaan sistem aplikasi yang mengandung risiko tinggi, dan juga undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang konsumerisme. Upaya penyelesaian jika terjadi pertentangan antara pelanggan pengguna jasa dengan bank dapat ditempuh dua strip yaitu: stripe non litigasi dan stripe litigasi. stripe non litigasi dapat mencakup perdamaian / pertemuan, konsiliasi, mediasi dan atau arbitrasi. untuk mengawasi kredibilitas bank sehingga sesuai aturan bank indonesia no. 10/1 / pbi / 2008, ketidaksepakatan diupayakan untuk diselesaikan melalui mediasi. ketika perilaku tidak tercapai sehingga penyelesaian perselisihan dapat dilakukan untuk lulus jalur litigasi dapat dilakukan untuk melewati perdagangan pengadilan atau pengadilan distrik.
Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna Jasa Transfer Dana Secara Elektronik (Legal Protection For Bank Customer Electronic Fund Transfer)
Transfer dana secara elektronik yang meliputi transaksi Automatic Teller Machine (ATM), transfer dana, dan transaksi kartu kredit, merupakan pelayanan jasa bank dalam transfer dana. Pada dasarnya transaksi dengan menggunakan transfer dana secara elektronik berbeda dengan transaksi pembayaran secara konvensional yang dilakukan dengan menggunakan kertas (paper) maka dalam transfer dana secara elektronik menggunakan media elektronik. Pembahasan tesis ini meliputi tiga permasalahan utama yaitu Bagaimana hubungan hukum antara bank sebagai pemberi jasa layanan transfer dana secara elektronik dengan para nasabahnya. Kedua bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi nasabah pengguna jasa transfer dana secara elektronik khususnya pada ATM, kartu kredit, dan transfer dana. Ketiga bagaimana upaya penyelesaian jika terjadi perselisihan antara nasabah dan pihak bank dalam penggunaan jasa transfer dana secara elektronik. Hasil pembahasan penelitian ini menunjukkan hubungan hukum antara bank sebagai pemberi jasa pelayanan transfer dana secara elektronik dengan nasabah pengguna jasa terdapat hak dan kewajiban pada masing-masing pihak karena dasarnya adalah perjanjian, baik pada transaksi melalui ATM, transfer dana maupun kartu kredit. Hanya saja posisi nasabah berada pada pihak yang lemah sekalipun telah melaksanakan segala kewajibannya karena mereka harus tunduk pada perjanjian yang bentuknya telah baku, sehingga tidak ada posisi tawar lagi terhadap klausula isi perjanjian. Sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah, tampak ketentuan normative sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU.Perbankan yang intinya mewajibkan bank untuk menyediakan informasi tentang kemungkinan timbulnya risiko kerugian, Pasal 17 ayat (3) UU. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang membebankan tanggung jawab penyelenggaraan sistem elektronik pada penyelenggara, dan juga Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 27/164/KEP/DIR/1995 tentang Penggunaan Sistem Informasi oleh Bank yang mewajibkan kepada manajemen bank untuk menerapkan prinsipprinsip sistem pengawasan dan pengamanan terhadap penggunaan sistem aplikasi yang mengandung risiko tinggi, dan juga Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Upaya penyelesaian jika terjadi perselisihan antara nasabah pengguna jasa EFT dengan bank dapat ditempuh dua jalur yaitu: jalur non litigasi dan jalur litigasi. Jalur non litigasi dapat meliputi cara damai/musyawarah, konsiliasi, mediasi ataupun juga arbitrase. Untuk menjaga kredibilitas bank maka sesuai peraturan Bank Indonesia No.10/1/PBI/2008, perselisihan diupayakan diselesaikan melalui mediasi. Apabila cara-cara tersebut tidak tercapai maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui jalur litigasi dapat dilakukan melalui pengadilan niaga atau pengadilan negeri.
Kedudukan Desa Adat Di Bali Sebagai Subyek Hukum Hak Milik Atas Tanah
Tesis ini berjudul KEDUDUKAN DESA ADAT DI BALI SEBAGAI SUBYEK HUKUM HAK MILIK ATAS TANAH dengan dua pokok permasalahan yaitu yang pertama yaitu desa adat di Bali sebagai subyek hukum hak milik atas tanah, yang kedua adalah akibat hukum pasca ditetapkannya desa adat di Bali sebagai subyek hukum hak milik atas tanah. Metode peneletian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diolah dengan teori bola salju.Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis desa adat di Bali sebagai subyek hukum hak milik atas tanah serta akibat hukum pasca ditetapkannya desa adat di Bali sebagai subyek hukum hak milik atas tanah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa desa adat di Bali bukan merupakan subyek hukum hak milik atas tanah. Serta tanah milik desa adat di Bali yang telah disertifikatkan dengan hak milik atas nama desa adat mengakibatkan tanah tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain dan diatas tanah tersebut dapat diberikan hak guna bangunan dan hak pakai selama mendapatkan persetujuan dari desa adat namun tanah tersebut tidak dapat diwariskan sehingga tidak memenuhi sifat-sifat dari hak miliki atas tanah sebagaimana dalam UUPA.
Kajian Teoritis Terhadap Kedudukan Tergugat Ii Intervensi Dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN) menjadi salah satu peradilan yang ada di Indonesia. Warga Negara atau masyarakat dapat mengajukan gugatan kepada PTUN apabila ada Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha yang merugikan kepentingan warga negaranya. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua yakni Pihak Penggugat dan Tergugat. Dalam poses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara juga dikenal istilah pihak lainnya yaitu pihak ketiga yang dimungkinkan untuk ikut serta dalam pemeriksaan sengketa yang sedang berjalan antara penggugat dan tergugat dengan cara mengajukan gugatan intervensi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara teoritis terhadap kedudukan pihak tergugat II intervensi dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara. Jenis Penelitian hukum yang dilakukan adalah menggunakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji norma didalam hukum positif terkait dengan sengketa Tata Usaha Negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan masuknya Pihak Tergugat II Intervensi dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara dan Kedudukan Tergugat II Intervensi dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara apabila dikaitkan dengan asas Erga Omnes adalah tidak tepat apabila seseorang yang bukan berkedudukan sebagai “bestuursorganen” atau organ pemerintah didudukkan sebagai Tergugat II Intervensi dalam sengketa yang sedang berjalan.
Penerapan Aturan Tentang Perbuatan Tercela Yang Berakibat Pada Pemberhentian Sementara Dari Jabatan Notaris
Sebuah studi berjudul Implementasi Aturan Tentang Tindakan DisgTaceful yang Mempengaruhi Pengakhiran Sementara Posisi Notaris. Dalam penerapan aturan Notaris yang menyedihkan dituntut memiliki nilai moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan wewenang yang ada, maka a. seseorang akan dapat mempertahankan martabatnya sebagai seorang genus. Saya seorang pejabat yang memberikan layanan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak merusak citra Notaris itu sendiri dalam hal-hal yang dipertanyakan a.re (1) Apa arti makna dan tolok ukur tindakan tercela berdasarkan Pasal 9 pa.ragTaph (1) sub-pa.ragTaph c Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Posisi Notaris? (2) Bagaimana prosedur pemberhentian Notaris yang melakukan tindakan menjijikkan? (3) Bagaimana posisi Notaris yang melakukan tindakan memalukan setelah periode pemberhentian sementara dari posisinya? Penelitian ini menggunakan penelitian normatif secara empiris. Penelitian ini menggunakan lima metode Pendekatan Statuta, Pendekatan Konseptual, Pendekatan Filsafat, Pendekatan Historis dan Pendekatan Sosiologis Hukum, materi penelitian dilakukan oleh litezatuie dan inteIView. Program informasinya adalah Boa.rd Pengawas Daerah, Boa.rd dari Notaris dan Notaris Kehormatan. Dari kata-kata dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa makna dan tolok ukur tindakan tercela yang menyebabkan norma-norma agama, moralitas, tradisi tetapi juga didasarkan pada pengukuran kepatuhan hukum yang tolok ukurnya tetap norma, prosedur pemberhentian sementara Notaris yang melakukan tindakan disgTaceful yang dapat dilakukan secara bertahap dari level terendah ke level tertinggi oleh Boa.rd Notaris dan posisi notaris setelah ditangguhkan sementara dapat diakses kembali dengan keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Penelitian Hukum Kritis: Independensi Hukum Kehutanan Indonesia, Khususnya Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Taman Nasional
Kajian hukum positif terkait pengelolaan hutan di Indonesia ini didahului dengan pengamatan terhadap ketidakadilan bagi masyarakat lokal di sekitar taman nasional yang kemudian mendorong perlunya penelitian hukum kritis terhadap konsep dan asas lingkungan hidup global, khususnya yang terkait dengan pengelolaan taman nasional. Asumsinya, paradigma lingkungan hidup global telah digunakan oleh negara-negara maju yang bersinergi dengan lembaga-lembaga internasional terkait untuk merealisasikan hidden agenda mereka dengan menekan negara berkembang seperti Indonesia. Harus diakui, peraturan perundang-undangan dan penafsiran hukum dalam praktek selama ini menggunakan konsep dan asas yang masih perlu dikaji kebenarannya. Masalahnya sejak konsep/asas tersebut dilahirkan (Konferensi Stockholm, 1972) yang dilanjutkan dengan propaganda tingkat internasional, hingga saat ini tidak berhasil mencapai tujuan yang disepakati bersama. Dampaknya masyarakat lokal merasakan ketidakadilan karena hukum tidak harmonis dan tidak konsisten serta represif dan tidak pro-life. Kepentingan masyarakat lokal hutan selama ini diabaikan oleh state law hasil intervensi asing yang lebih mementingkan masyarakat global. Dampaknya adalah ketidakselarasan antara masyarakat lokal hutan yang hanya perlu lahan hidup dengan masyarakat global yang mengkondisikan pengelolaan hutan taman nasional hanya untuk penelitian, ilmu pengetahuan, dan pariwisata. Artinya kaidah-kaidah hukum kehutanan belum bermuara pada pengakuan martabat manusia yang memprioritaskan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang hidup di sekitar hutan. Proses trashing menengarai penetapan kawasan taman nasional secara sepihak merupakan aplikasi praktek-praktek konstitualisme di mana relasi antara kuasa intervensi asing dengan kuasa legislasi kita menghasilkan situasi represif. Untuk memelihara relasi keduanya, telah diciptakan pula wacana-wacana untuk mendukung kebenaran, pengetahuan, dan strategi diskursif. Padahal semua itu masih meragukan. Summum Ius, Summa Iniuria. Dapatkah prinsip-prinsip sustainable dalam hukum lingkungan hidup global yang universal dicanangkan untuk rechtsidee keadilan masyarakat lokal? Bagi siapa prioritas keadilan: bagi masyarakat lokal atau global; generasi sekarang atau generasi mendatang? Penjelmaan konsep lingkungan hidup global menjadi hukum yang universal cenderung menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat lokal.
Kedudukan Whistleblower Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan cara yang strategis untuk mengungkapkannya. Dalam perkembangan hukum pidana, pengungkapan kasus korupsi dapat dilakukan oleh informasi yang diberikan oleh whistleblower yakni orang yang memberikan informasi mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang ada di lingkungannya. Dalam penelitian ini akan dibahas dua rumusan masalah yakni whistleblower dalam konteks sistem peradilan pidana dan peran whistleblower dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Keberadaan whistleblower sangat penting dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sebagaimana tujuan dari sistem peradilan pidana. Peran whistleblower dalam pembuktian tindak pidana korupsi adalah sebagai pelapor, saksi, dan bahkan petunjuk dalam pembuktian pidana guna mencari kebenaran materiil.
Rekonstruksi Hukum Tata Ruang Kawasan Tempat Suci Di Bali Berbasis Kearifan Lokal Dan Pancasila
Tesis ini berjudul ‘Rekonstruksi Hukum Tata Ruang Kawasan Tempat Suci di Bali Berbasis Kearifan Lokal dan Pancasila’, yang bertujuan untuk mengetahui alasan hukum tata ruang kawasan tempat suci di Bali perlu di rekonstruksi dan 2) proses rekonstruksi hukum tata ruang kawasan tempat suci di Bali yang berbasis kearifan lokal dan Pancasila. Pembahasan menggunakan paradigma konstruktivisme dengan pendekatan sosio-legal. Sebagai pisau analisa dalam pembahasan menggunakan teori dan konsep negara hukum, hermeneutika hukum, teori sistem hukum, pluralisme hukum, dan hukum progresif. Adapun hasil pembahasan antara lain: Pertama, alasan perlu dilakukannya rekonstruksi terhadap hukum tata ruang kawasan tempat suci di Bali yang dilandasi beberapa faktor, antara lain: faktor, politik, hukum, budaya, ekonomi dan ideologi. Kedua, terdapat beberapa tahapan rekonstruksi, antara lain : tahap pendahuluan, pembentukan, konflik, dan pengembangan yang akan menghasilkan pengaturan hukum tata ruang radius kawasan tempat suci yang tidak kaku, disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing kawasan sesuai dengan prinsip kearifan lokal yang berlandaskan nilai-nilai ideologi Pancasila.
Leave a Reply