HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Tesis S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Djuanda

  1. Efektifitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Di Kabupaten Bogor
  2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia
  3. Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/Puu-Viii/2010 Tanggal 13 Februari 2012 Terhadap Hak Waris Anak Diluar Nikah (Study Kasus Terhadap Putusan Pn Balikpapan No.91/Pdt.G/2014/Pn.Bpp Tanggal 26 Mei 2015)
  4. Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Proses Bayi Tabung Heterolog Terhadap Hak-Hak Keperdataan Dari Pendonor Sperma
  5. Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Masyarakat Desa Galuga Bogor Akibat Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
  6. Pemberian Izin Lokasi Sebagai Syarat Peningkatan Investasi Di Daerah Ditinjau Dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011
  7. Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Uudnri Tahun 1945
  8. Perlindungan Hukum Terhadap Konsktmen Pada Jasa Layanan Angkutan Kereta Api
  9. Prinsip Kepastian Hukum Hak Pemberi Kerja Untuk Memberikan Perintah Kepada Pekerja Dalam Sistem Alih Daya ( Outsourcing)
  10. Analisis Yuridis Terhadap Model Penetapan Status Hukum Rumah Pelangi Di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Kehutanan
  11. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten Blora)
  12. Implikasi Hukum Terhadap Tidak Terlaksananya Eksekusi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Pontianak)
  13. Tinjauan Yuridis Terhadap Konstruksi Hukum Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) Di Kabupaten Banyumas
  14. Analisis Yuridis Kedudukan Dan Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga (Prt) Di Lihat Dari Persfektif Peraturan Perundang-Undangan Bidang Ketenagakerjaan
  15. Gagasan Pemilihan Umum Yang Demokrastis Dalam Uud 1945 Dan Implementasinya Pada Pemilu Legislatif 2004 Dan 2009
  16. Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Desa Dan Kabupaten Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi Di Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya)
  17. Eksistensi Pendaftaran Ciptaan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta ( Studi Kasus Putusan No.02/Haki/C/2007/Pn Niaga Semarang )
  18. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Yang Bekerja Disektor Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Uu 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo Uu 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Di Kabupaten Kubu Raya)
  19. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Pengelola Keuangan Skpd Dalam Penyusunan Laporan Keuangan Skpd Sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan Dengan Pengawasan Internal Sebagai Variabel Pemoderasi Pada Pemerintah Kabupaten Samosir
  20. Pembalikan Beban Pembuktian Yang Dilakukan Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Menuntut Pelaku Tindak Pidana Korupsi Gratifikasidi Indonesia

 

Efektifitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Di Kabupaten Bogor

Intisari

Di Indonesia, setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar kehidupan yang layak dan meningkatkan martabat masyarakat Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang makmur, merata, dan sejahtera. Dalam rangka menciptakan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, undang-undang yang mengatur perilaku Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai perwujudan dari asuransi sosial.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini adalah: 1) Implementasi tenaga kesehatan jaminan sosial di Bogor dibutuhkan oleh tenaga kerja; 2) Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan jaminan sosial di Bogor, belum dilakukan sebagaimana mestinya, masih banyak buruh yang belum mendaftar untuk jaminan kesehatan sosial, karena kurangnya kesadaran dan keengganan pengusaha dalam menerapkan jaminan sosial program kesehatan; 3) Efektivitas Jaminan Sosial Kesehatan dalam perlindungan hukum perburuhan di Bogor melalui BPJS Kesehatan sebagai jaminan sosial sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan jaminan sosial, tetapi dalam praktiknya masih ada kendala baik yang harus dilakukan dengan peraturan atau aturan ada realisasi dan banyak keluhan terhadap layanan dan manfaat yang dimiliki BPJS Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia

Intisari

Terorisme disepakati secara internasional merupakan kejahatan luar biasa yang harus diantisipasi, baik dengan penegakan hukum terhadap para pelakunya hingga menghentikan aliran dananya. Indonesia mendukung ratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 (disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2006 tentang ratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999), sehingga Indonesia berkewajiban untuk memasukan dan mensinkronisasi unsur dalam konvensi tersebut ke dalam hukum positif yang terkait. Indonesia sudah memberlakukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU PPTPPT). Dalam UU PPTPPT aparat yang berwenang (PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim) berwenang untuk melakukan pemblokiran danadana yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme. Sejak UU Nomor 9 tahun 2013 disahkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tertanggal 13 Maret 2013, Indonesia telah telah membekukan 328 rekening teroris warga negara Indonesia dan asing di Indonesia, antara lain milik teroris yang telah diadili, yaitu Encep Nurjaman alias Hambali, Zulkarnaen, dan Umar Patek yang terbukti terkait dengan jaringan pendanaan teroris antar negara. Pihak yang merasa dana-dananya diblokir, dan merasa keberatan dijamin undang-undang untuk mengajukan keberatan pada PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim. Pengajuan keberatan disertai bukti-bukti kuat yang membuktikan aset atau dana-dana tersebut sah dan legal. Undang-undang PPTPPT juga memberi memberi hak pemulihan jika tidak terbukti bersalah.

Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/Puu-Viii/2010 Tanggal 13 Februari 2012 Terhadap Hak Waris Anak Diluar Nikah (Study Kasus Terhadap Putusan Pn Balikpapan No.91/Pdt.G/2014/Pn.Bpp Tanggal 26 Mei 2015)

Intisari

Seorang anak memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah kehidupan rumah tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah dimata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 pada tanggal 13 Februari 2012 tentang judicial review terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan telah melahirkan norma baru, yakni menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Proses Bayi Tabung Heterolog Terhadap Hak-Hak Keperdataan Dari Pendonor Sperma

Intisari

Hukum yang ideal adalah hukum yang sesuai dengan perkembangan jaman, oleh karena itu hukum harus bersifat dinamis agar dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Hukum yang selalu identik dengan sifat tegas ternyata juga harus memiliki sifat fleksibel, karena tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi kekosongan hukum dan agar dapat mengisi kekosongan hukum tersebut diperlukan adanya fleksibelitas dari aparat penegak hukum. Seperti yang menjadi pembahasan dalam tesis ini yaitu mengenai bayi tabung heterolog dengan donor sperma yang belum ada aturan hukumnya, karena hukum di Indonesia hanya mengatur dan memperbolehkan pembuatan bayi tabung homolog sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kemajuan jaman yang begitu pesat saat ini tidak menutup kemungkinan akan adanya bayi tabung heterolog dengan donor sperma yang lahir di Indonesia, sehingga perlu ada aturan hukum untuk mengatasi masalah kekosongan hukum ini, terlebih lagi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Masyarakat Desa Galuga Bogor Akibat Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Intisari

Studi ini merujuk pada kasus tanah longsor sampah TPAS Galuga Bogor pada tahun 2010, yang berdampak pada penghilangan objek tanah ulayat, untuk menganalisis apakah kompensasi juga penanganan dampak tersebut tidak dilakukan sesuai dengan peraturan. Dengan pendekatan metode analisis yurudis empiris dan normatif, penelitian ini sebelum pengadaan tanah untuk membangun TPAS Galuga Bogor, yang membawa pengelolaan limbah yang tidak sesuai sesuai dengan ketentuan undang-undang. Hal ini menyebabkan longsor sampah serta pencemaran lingkungan. Untuk menghindari tuntutan hukum tersebut, Pemerintah Bogor, sebagai pengelola, secara sengaja menggunakan pola pembebasan lahan untuk kepentingan umum dalam mengkompensasi objek tanah ulayat yang terkubur oleh sampah tanah longsor sehingga akan dianggap sebagai kasus force majeure. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada penyimpangan dan pelanggaran hukum terhadap pembebasan lahan, pengelolaan limbah, dan penanganan dampak TPAS Galuga Bogor sehingga masyarakat dan LSM dapat menuntut gugatan class action kepada pemerintah kota Bogor, yang seharusnya bertanggung jawab atas segala kerugian karena dampak dari manajemen TPAS Galuga Bogor yang tidak memadai.

Pemberian Izin Lokasi Sebagai Syarat Peningkatan Investasi Di Daerah Ditinjau Dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011

Intisari

Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia, tentunya akan mempercepat perubahan struktur ekonomi Indonesia dari agraria ke industri. Dalam hal ini pemberian izin lokasi kepada investor juga harus dipertimbangkan, untuk mewujudkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang serasi, selaras, dan seimbang dengan keadaan lingkungan yang perlu pengarahan dan pengendalian penggunaan tanah dilakukan melalui prosedur perizinan dalam rangka penyediaan tanah untuk kegiatan pembangunan. Perusahaan swasta tidak secara otomatis memperoleh izin lokasi, karena penerbitan izin lokasi dilihat dari beberapa aspek, yaitu jenis proyek pembangunan, lokasi proyek pembangunan, tanah tersedia di lokasi proyek, dan tata cara perolehan hak atas tanah. Dasar pertimbangan diterbitkannya izin lokasi bagi perusahaan swasta adalah adanya Pengadaan hak atas tanah yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, tidak menggangu keberadaan penggunaan tanah sekitarnya, memperhatikan azas keadilan dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Uudnri Tahun 1945

Intisari

Formulasi kewenangan Pemerintahan dalam negara kesatuan Republik Indonesia ada pada Pemerintah Pusat. Di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditentukan : “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Format hubungan kewenangan antara pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah landasan hukumnya diletakan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ayat (1) Pasal 18 Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya ayat (2) UndangUndang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan : “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Berpijak pada idee negara kesatuan dalam alenia keempat Pembukaan UndangUndang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 dan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, maka konstruksi/hierarki otonomi daerah semestinya diletakan di provinsi, kemudian provinsi melimpahkan ke kabupaten/kota. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah justru otonomi diletakan pada kabupaten/kota, sedangakan otonomi pada provinsi adalah lintas kabupaten/kota. Konstruksi konsep otonomi seperti tersebut di atas tidak konsisten dengan prinsip negara kesatuan dan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak ada koordinasi yang baik antara pemerintah propvinsi dengan kabupaten/kota. Pemerintah Kabupaten/kota menganggap otonomi pada tingkat Kabupaten/kota tidak ada hubungannya dengan Provinsi.

Akhirnya pengingkaran terhadap idee dan prinsip konstruksi otonomi daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang demikian menyebabkan koordinasi kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah kurang efektif dan hubungan antara pemerintah propinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota tidak baik. Semua itu akan berdampak tidak baik pada pelaksanaan program pemerintahan dalam mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara sesuai yang dikehendaki oleh idee bernegara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

Perlindungan Hukum Terhadap Konsktmen Pada Jasa Layanan Angkutan Kereta Api

Intisari

Tesis yang berjudul PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA JASA LAYANAN ANGKUTAN KERETA API ini diambil oleh peneliti se bagai tema utama dalam melakukun penelitian dikarenakun pene Ziti melihat bahwa selama ini tingkat pelayanan serta keamanan dan keselamatan menjadi sesuatu ha1 yang kurang diperhatikan dan telah banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh PT Kereta Api (Persero) sebagai pelhku usaha dalam penyelenggaraan perkeretaapian di Indonesia terhadap ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peneliti melihat ha1 ini telah banyak menyebabkan kerugian yang dialami oleh konsumen kereta api selama ini. Hal ini didukung dengan data dan fakta yang muncul dari beberapa penelitian dan berita di media masa.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka peneliti mengambil rumusan masalah bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen pada jasa layanan angkutan kereta api dan solusi apakah yang dapat diambil untuk memperbaiki sistem perlindungan lwnsumen yang berjalan kurang baik ini. Dalam tesis ini peneliti menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana dalam metode ini peneliti mengkaji peraturan yang ada dikaitkan dengan kejadian yang terjadi di lapangan dan data yang didapatkan disajikan secara deslwiptifanalitis.

Hasil Penelitian

Dari analisis yang dilakukan maka didapatkan kesimpulan bahwa selama ini perlindungan konsumen yang ada pada jasa angkutan kereta api dapat dikatakan belum berjalan dengan baik. Ini dilihat dari seringnya hak-hak lwnsumen diabaikan serta upaya-upaya baik preventif maupun represif yang dilakukan PT Kereta Api (Persero) untuk memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi konsumen. Berdasarkan ha1 ini, maka dibutuhkan solusi agar hak-hak konsumen dalam menggunakan jasa angkutan kereta api dapat terlindungi. Solusi yang dapat diambil adalah melakukan perbaikan dari tiga aspek yaitu penyelenggaraan perkeretaapian, aspek regulasi dan kebijakun serta aspek konsumen.

Prinsip Kepastian Hukum Hak Pemberi Kerja Untuk Memberikan Perintah Kepada Pekerja Dalam Sistem Alih Daya (Outsourcing)

Intisari

Dalam sistem alih daya (outsourcing) terdapat 3 pihak yakni pemberi pekerjaan, perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa pekerja dan pekerja/buruh itu sendiri. Hubungan kerja hanya pada pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis. Perjanjian kerja dapat berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut PKWT/Pekerja Kontrak) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT/Pekerja Tetap). Perbedaan penafsiran dialami oleh pekerja/buruh dan pemberi kerja mengenai perintah langsung dan tidak langsung yang tidak mempunyai hubungan kerja, pekerja merasa tidak mempunyai perlindungan hukum untuk statusnya kedepan apakah masih akan bekerja diperusahaan yang sama maupun perusahaan berbeda dalam satu proyek yang sama dengan perjanjian PKWT/kontrak maupun PKWTT/Permanen dalam hal ini hak mendapatkan pesangon ataukah terus bekerja dikarenakan ketidakjelasan siapa pimpinan sesunggunhya. Hubungan kerja berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hal inilah yang memunculkan disharmonisasi pasal 65 ayat 2 huruf b dengan Pasal 28 D ayat (1 dan 2) UUD RI 1945. Dari latar belakang tersebut maka peneliti mengangkat judul tesis: “Prinsip Kepastian Hukum Hak Pemberi Kerja Untuk Memberikan Perintah Kepada Pekerja Dalam Sistem Alih Daya (Outsourcing)”. Tujuan penelitian tesis ini terbagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu: Pertama, mengkaji, menganalisis dan menjelaskan ratio legis hak pemberi kerja untuk memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem alih daya (outsourcing) yang secara hukum tidak memiliki hubungan kerja. Kedua, mengkaji, menganalisis dan menjelaskan hak memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem alih daya (outsourcing) berdasarkan prinsip-prinsip hubungan kerja. ketiga, mengkaji, menganalisis dan menjelaskan konsep pengaturan kedepan agar hak pemberi kerja dalam sistem alih daya (outsourcing) sesuai dengan prinsip – prinsip hubungan kerja. Metode penelitian yang dipergunakan untuk memperoleh bahan hukum dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi hukum, teori atau konsep baru sebagai preskriptif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).

Hasil Penelitian

Hasil penelitian dalam tesis ini terbagi menjadi 3 (tiga) yang merupakan jawaban atas rumusan masalah. Pertama, ratio legis hak pemberi kerja untuk memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem alih daya (outsourcing) yang secara hukum tidak memiliki hubungan kerja, disebutkan dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 (b) Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 Tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yakni sebatas untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan dan hal ini dapat disebutkan dalam perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh nya. Kedua, hak memberikan perintah kepada pekerja dalam sistem alih daya (outsourcing) bertentangan dengan prinsip – prinsip hubungan kerja dikarenakan tidak adanya hubungan kerja dengan dalam perjanjian kerja, namun untuk menciptakan prinsip kepastian hukum masing-masing pihak dapat disebutkan hak memberikan perintah dalam isi perjanjian kerja baik dalam bentuk PKWT/Pekerja kontrak ataupun PKWTT/Pekerja Permanen antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruhnya sehingga perintah yang diberikan dapat terukur sesuai yang diperjanjikan kedua belah pihak. Ketiga, dalam konsep kepastian hukum kedepan pengaturan hak pemberi kerja dalam sistem alih daya (outsourcing) yang sesuai dengan prinsip-prinsip hubungan kerja dapat dilakukan dengan melakukan revisi/perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum saat ini. Revisi/perubahan yang dimaksud dalam hal ini adalah pada UU Ketenagakerjaan tentang pengaturan sistem alih daya (outsourcing). Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum perlindungan pekerja outsourcing yang diwujudkan dalam perjanjian kerja, serta menghindari multitafsir terhadap peraturan perundang-undangan. Pada bagian akhir penelitian ini penulis akan memberikan saran. Pertama, pemerintah lebih mengoptimalkan peranan pengawasan melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengawal, pendampingan, sosialisasi serta melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan-perusahaan outsourcing secara berkala bersama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dengan Serikat Pekerja Indonesia (SPSI) supaya aturan dan pelaksanaannya berjalan berdampingan dan mengoptimalkan peran lembaga kerjasama tripartit yang terdiri dari (Pemerintah, SPSI, dan APINDO). Kedua, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi segera menginstruksikan dinasnya di berbagai kabupaten/kota untuk memerintahkan perusahaan outsourcing mencatatkan perjanjian kerjanya untuk memastikan isi perjanjian sesuai regulasi yang ada, dalam hal ini mewujudkan kepastian hukum pekerja/buruh. Ketiga, Pemerintah untuk segera membuat regulasi jenis-jenis pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang yang kedepannya bisa menjadi acuan yang lebih jelas dan terukur terhadap pekerjaan yang bisa di outsourcing sehingga prinsip kepastian hukum dapat terwujud dengan baik.

Analisis Yuridis Terhadap Model Penetapan Status Hukum Rumah Pelangi Di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Kehutanan

Intisari

Tesis ini membahas tentang model penetapan status hukum Rumah Pelangi di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengungkapkan dan menganalisis dampak dari ketidakjelasan penetapan status hukum Rumah Pelangi di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya dan model yang sesuai untuk penetapan status hukum Rumah Pelangi di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan. Melalui studi kepustakaan dengan menggunakan metode pendekatan hukum empiris diperoleh kesimpulan, bahwa dampak dari ketidakjelasan penetapan status hukum Rumah Pelangi di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya mengakibatkan: ketidakpastian hukum bagi Ordo Kapusin Propinsi Pontianak dalam mengelola Rumah Pelangi di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya, timbulnya klaim dari Pemerintah Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya bahwa kawasan Rumah Pelangi merupakan Hutan Desa. Padahal selama ini, Pemerintah Desa Teluk Bakung tidak pernah mengelola kawasan Rumah Pelangi. Selain itu, dalam pengelolaan Rumah Pelangi yang dilakukan oleh Ordo Kapusin Propinsi Pontianak tidak pernah mendapatkan bantuan dari Pemerintah, termasuk Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Provinsi, serta terjadinya kerusakan ekologi dan ekosistem di kawasan Rumah Pelangi karena masuknya warga masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Rumah Pelangi yang menganggap bahwa kawasan Rumah Pelangi adalah hutan negara sehingga bisa bebas mengambil hasil hutan dan berburu satwa di dalam kawasan tersebut. Model yang sesuai untuk penetapan status hukum Rumah Pelangi di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya adalah model Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK), hal ini dengan pertimbangan bahwa: (1) Pada awalnya kawasan Rumah Pelangi adalah suatu kawasan hutan, namun akibat aktivitas pembalakan kayu secara liar (illegal logging) dan ekspansi perkebunan kelapa sawit, kawasan tersebut mengalami degradasi; (2) Semenjak Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak yang dipimpin oleh Pastor Samuel Oton Sidin masuk ke kawasan tersebut hingga sekarang melakukan rehabilitasi di kawasan tersebut menjadi suatu kawasan hutan. Bahkan, pembiayaan untuk melakukan rehabilitasi kawasan tersebut dilakukan secara mandiri oleh Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak tanpa adanya bantuan dari Pemerintah Desa Teluk Bakung, Pemerintah Kecamatan Sungai Ambawang, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya maupun Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat; (3) Rumah Pelangi digunakan untuk kegiatan kepentingan religi dan budaya setempat dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology), serta kelestarian dan terpeliharanya ekosistem; (4) Rumah Pelangi bukan termasuk kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional, kawasan hutan yang telah dibebani hak pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang kehutanan, dan kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan; (5) Pengelolaan Rumah Pelangi selama ini tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan, tidak mengubah bentang lahan pada hutan konservasi atau hutan lindung, dan penutupan hutannya bukan berupa hutan primer; (6) Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak selaku pihak yang mengelola kawasan Rumah Pelangi bukan berstatus lembaga asing, tetapi merupakan lembaga keagamaan; dan (7) Pengelolaan Rumah Pelangi selama ini memang mengutamakan perlindungan hutan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan lingkungan, konservasi hutan dan keanekaragaman hayati, dan rehabilitasi hutan.

Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten Blora)

Intisari

Perubahan UU Pemerintah Daerah dari tahun ke tahun di ikuti juga dengan perubahan tugas dan fungsi serta kewenangan dari pemerintah daerah, hal ini banyak menimbukan perdebatan panjang terkait batas-batas kewenangan serta hubungan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah provinsi serta pemerintah pusat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Pelaksanaan Pemerintah Daerah Di Kabupaten Blora. Penelitian ini menggunakan jenis Deskriptif Analisis dengan menggunakan metode pendekatan Yuridis Sosiologis. Pengumpulan data dan informasi diperoleh dari penelitian mengkaji norma-norma hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah, dengan menggunakan teknik penelitian kepustakaan, observasi dan studi dokumentasi. Kemudian data dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukan Pola hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilaksanakan menurut Undang-Undang Nomor 23 Taahun 2014 yang dimana di dalam undang-undang tersebut diatur pelimpahan sebagian urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini dipertegas dalam peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengalami perubahan mekanisme dan subtansi materi dalam pelaksanaannya yang dalam hal ini mempengaruhi pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam mewujudkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Ini ada beberapa kendala-kendala yang dianggap oleh Pemeritah Kabupaten Blora khususnya menjadi persolan dalam penerapanya antara lain di bidang Pendidikan, Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri dan Urusan Energi dan Sumber Daya Mineral. Implikasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terutama pengelolaan hutan dan pertambangan minerba menunjukkan adanya kecenderungan menarik kembali atau resentralisasi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Pusat melalui parantara Pemerintah Provinsi yang memang menjadi perpanjangan tangannya. Selain itu, juga menunjukkan adanya beberapa overlaping regulasi antara undang-undang sektoral (UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan/ UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara) dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga perlunya melakukan revisi terhadap berbagai prodak hukum yang saling mengalami kontradiksi.

Implikasi Hukum Terhadap Tidak Terlaksananya Eksekusi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Pontianak)

Intisari

Tesis ini membahas tentang Implikasi Hukum Terhadap Tidak Terlaksananya Eksekusi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam  Perkara Pemutusan Hubungan Kerja  (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Pontianak).

Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalaha pendekatan Normatif – Sosiologis. Kesimpulan dari tesis ini adalah Implikasi hukum terhadap tidak terlaksananya eksekusi putusan pengadilan hubungan industrial dalam perkara pemutusan hubungan kerja pada Pengadilan Negeri Pontianak. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan, oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang menjadi ketetapan dalam putusan itu secara paksa dengan bantuan alat-alat negara. Adapun yang yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim adalah kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila di dalam putusan mengandung arti suatu wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara sebab hubungan hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh pihak tergugat.Faktor-faktor yang menyebabkan tidak terlaksananya Eksekusi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam Perkara Pemutusan Hubungan Kerja Pada Pengadilan Negeri Pontianak ialah Faktor Penundaan Eksekusi, hambatan pelaksanaan eksekusi bukan diartikan penundaan eksekusi dalam perkara perdata pada umumnya, seperti adanya verzet, deden verzet dan sebagainya. Dan Faktor Biaya Eksekusi, Biaya eksekusi sering menjadi permasalahan dalam eksekusi, baik dari segi biaya eksekusi, pembebanan panjar biaya eksekusi, cara penagihan kembali biaya eksekusi, maupun eksekusi secara prodeo berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Upaya hukum yang dilakukan oleh pengadilan negeri pontianak untuk mengeksekusi putusan pengadilan hubungan industrial dalam perkara pemutusan hubungan kerja yaitu  Menjalankan Tugas Dan Kewenangan Badan Peradilan, tugas dan kewenangan badan peradilan dibidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang berperkara. Pelaksanaan putusan (eksekusi) yang dilakukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh ketua pengadilan. Peringatan (aanmaning) yang merupakan salah satu syarat pokok eksekusi, tanpa peringatan lebih dahulu maka eksekusi tidak boleh dilaksanakan atau dijalankan dan mengusulkan permohonan kembali kepada Mahkamah Agung agar segera merealisasikan pencairan biaya eksekusi yang pernah diusulkan. Memang usulan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Pontianak kepada Mahkamah Agung belum bisa memberikan jaminan kapan jangka waktu pelaksanaan eksekusi akan dilakukan, tetapi setidaknya sudah ada niat baik dari Pengadilan Negeri Pontianak untuk membantu para pemohon eksekusi.

Tinjauan Yuridis Terhadap Konstruksi Hukum Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) Di Kabupaten Banyumas

Intisari

Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dalam undang-undang tidak secara khusus menjelaskan bentuk badan hukum, jenis perusahaan di BUMDesa, bentuk pertanggungjawaban BUMDesa dengan unit bisnis BUMDesa, dan jenis badan hukum sipil di unit bisnis BUMDesa.

Penelitian berjudul “Tinjauan Yuridis Konstruksi Hukum Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di Kabupaten Banyumas” bertujuan untuk menganalisis konstruksi hukum Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan menganalisis implementasi pembentukan Badan Usaha Milik Desa di Kabupaten Banyumas , berikan informasi kepada BUMDesa yang akan dibentuk sehingga tidak ada pelanggaran hukum.

Pendekatan Penelitian

Metode penelitian dengan penelitian hukum yuridis normatif dan spesifikasi penelitian bersifat preskriptif. Metode pengumpulan data adalah studi literatur atau literatur. Metode penyajian data dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis normatif kualitatif.

BUMDesa dibangun bahwa BUMDesa adalah Perusahaan dan Badan Usaha karena memenuhi karakteristik perusahaan, yaitu, bertujuan untuk menghasilkan keuntungan, terus menerus, memiliki organisasi. BUMDesa adalah badan hukum publik karena dibentuk melalui peraturan desa. BUMDesa adalah badan hukum publik dalam bentuk Perusahaan Publik karena identik dengan karakteristik BUMN berbentuk PERUM. Pertanggungjawaban BUMDesa dengan Unit Bisnis BUMDesa adalah perusahaan grup karena BUMDesa sebagai induk perusahaan memiliki unit ekonomi dengan unit bisnis BUMDesa dan dipisahkan secara yuridis antara BUMDesa dan Unit Bisnis BUMDesa. Implementasi BUMDesa di Kabupaten Banyumas adalah bahwa penerapan peraturan perundang-undangan tentang BUMDesa di Kabupaten Banyumas sebagian dilaksanakan, yaitu BUMDesa dibentuk melalui undang-undang yaitu Perdes yang tidak dibagi menjadi saham, dan pembentukan badan hukum sipil di unit bisnis BUMDesa belum diimplementasikan dalam jumlah besar.

Hasil Penelitian

Kesimpulannya, pembangunan BUMDesa adalah dalam bentuk Badan Hukum Publik dalam bentuk Perumdes, dengan bentuk pertanggungjawaban dengan unit bisnis BUMDesa dalam bentuk grup perusahaan. Bagian dari implementasi BUMDesa di Kabupaten Banyumas telah dilaksanakan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

Analisis Yuridis Kedudukan Dan Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga (Prt) Di Lihat Dari Persfektif Peraturan Perundang-Undangan Bidang Ketenagakerjaan

Intisari

Tesis ini berfokus pada analisis status yuridis dan perlindungan hukum Pekerja Rumah Tangga dalam pandangan perspektif hukum dan peraturan penulis penelitian ketenagakerjaan. Dari menggunakan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulannya: 1). Padahal bidang undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan tidak memberikan jaminan dengan status dan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga, baik dalam sistem remunerasi, Keselamatan, Kesehatan Kerja dan program jaminan sosial. Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 tahun 2015 tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan substansi diskriminatif jika dibandingkan dengan substansi dalam peratauran ketenagakerjaa legislasi. 2). Upaya itu dilakukan untuk memastikan status dan perlindungan Rumah Tangga Pekerja sedang merekonstruksi atau merevisi semua peraturan tentang ketenagakerjaan agar terjadi kesetaraan dan kesetaraan diara Pekerja Rumah Tangga dan karyawan lainnya dan memberikann wewenang kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendengarkan kasus perselisihan antara pekerja. Rumah tangga dengan Mmajikan serta memberikan kesempatan bagi pekerja rumah tangga untuk berorganisasi dan berkumpul. Saran. 1). Mengingat dalam pembuatan dan pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang cukup lama, jadi ada baiknya bagi pemerintah daerah untuk membuat peraturan lokal tentang Pekerja Rumah Tangga. Paling tidak untuk sementara waktu tidak bisa memberi jaminan dengan status dan perlindungan serta pengawasan Pekerja Rumah Tangga.

Gagasan Pemilihan Umum Yang Demokrastis Dalam Uud 1945 Dan Implementasinya Pada Pemilu Legislatif 2004 Dan 2009

Intisari

Tesis ini membahas tentang gagasan (original intent) Sistem Pemilu yang termaktub dalam konstitusi yang Penulis teliti dari risalah-risalah rapat pembentukan UUD 1945, Implementasinya (Sistem Pemilu) pada Pemilu Legislatif 2004 dan 2009, dan Penulis mengkaji juga bagaimana Sistem Pemilu yang ideal di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan, historis, politik dan konsep.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya konfigurasi politik berkaitan dengan pembahasan konsep Pemilu dalam UUD 1945 dan pembahasan Undang-Undang organik mengenai Pemilu menjadi sangat politis ketika pembuat UUD 1945, dalam hal ini MPR membuka legal system dan atas dasar pertimbangan itulah sistem pemilu setiap periodenya berganti mengikuti dinamika politik masyarakat sehingga pengaturannya diserahkan kepada undang-undang organik tentang pemilihan umum yang dibuat oleh DPR.

Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Desa Dan Kabupaten Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi Di Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya)

Intisari

Tesis ini berjudul “Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Desa dan Kabupaten ditinjau dari Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Studi di Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya)”. Melalui studi kepustakaan dengan menggunakan metode pendekatan hukum empiris diperoleh kesimpulan, dalam kenyataannya perencanaan pembangunan desa yang ada di Kecamatan Batu Ampar di Kabupaten Kubu Raya selalu tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Kubu Raya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksinkronan perencanaan pembangunan desa di Kecamatan Batu Ampar dengan perencanaan pembangunan Kabupaten Kubu Raya adalah: belum tersedianya sumber daya manusia perencanaan yang mumpuni, masih kurangnya konsistensi terhadap dokumen perencanaan yang sudah disusun dan ditetapkan sebagai pedoman dalam melaksanakan perencanaan pembangunan, koordinasi antar perangkat daerah untuk proses perencanaan masih lemah, tidak selarasnya visi dan misi Kepala Desa dan Bupati yang sama-sama memiliki dokumen perencanan pembangunan RPJM Desa dan RPJM Daerah; adanya unsur kepentingan politik dari pemangku kepentingan; lemahnya koordinasi antara desa dan kabupaten dalam penyusunan perencanaan pembangunan; kurang memperhatikan usulan perencanaan pembangunan desa; dan belum adanya goodwill dari Pemerintah Kabupaten Kubu Raya yang menganggap desa adalah mitra dan subjek, tetapi masih menganggap desa adalah objek sehingga pada saat perencanaan program kegiatan diusulkan selalu diabaikan. Upaya yang dilakukan untuk mensinkronkan perencanaan pembangunan desa di Kecamatan Batu Ampar dengan perencanaan pembangunan Kabupaten Kubu Raya adalah: menjalin komunikasi terutama dalam perencanaan pembangunan dengan pihak Pemerintah Kabupaten Kubu Raya; konsisten dalam melaksanakan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan; menyusun Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 16 Tahun 2017 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai pedoman daerah dalam menyusun perencanaan daerah; dan penggunaan aplikasi Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah (SIPPD) dalam mendukung pelaksanaan dan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah. Dalam penelitian ini direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: Perlunya kesepakatan bersama antara pemerintah desa dengan pemerintah kabupaten dalam hal perencanaan pembangunan dengan mengacu pada usulan skala prioritas dan kebutuhan serta keperpihakan kepada masyarakat; dan Perlu adanya koordinasi secara terpadu antara pemerintah desa dengan pemerintah kabupaten dalam hal perencanaan pembangunan, agar tidak terjadi ketidaksinkronan yang pada akhirnya dapat menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan di desa.

Eksistensi Pendaftaran Ciptaan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta ( Studi Kasus Putusan No.02/Haki/C/2007/Pn Niaga Semarang )

Intisari

Karya cipta memperoleh perlindungan hak cipta apabila ciptaan yang semula berbentuk ide diwujudkan pada sebuah ciptaan berbentuk nyata dimana ciptaan memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya sebagai ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu kewajiban atau keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendaftarkan karya ciptanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran hak cipta bersifat sukarela dimana suatu ciptaan dapat didaftarkan atau tidak didaftarkan oleh pencipta, namun tetap dilindungi oleh hukum. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu : bagaimana eksistensi pendaftaran suatu ciptaan ditinjau dari Undang-Undang no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dan apakah pendaftaran ciptaan merupakan sarana legalitas untuk memperoleh hak cipta. Metode yang digunakan dalam peneliian ini adalah metode penelitian yuidis normatif dengan cara mengumpulkan data sekunder dan dengan studi kepustakaan untuk memperoleh data primer yang ditulis secara deskriptif analitis Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis eksistensi pendaftaran ciptaan ditinjau dari Undang-undang nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan menganalisis pendaftaran ciptaan sebagai sarana legalitas untuk memperoleh hak cipta. Eksistensi pendaftaran ciptaan bila ditinjau dari Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberikan pengakuan hak secara formalitas atas suatu ciptaan. Pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapatkan surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari. Keberatan atas terdaftarnya ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dapat dilakukan bila ada pihak lain yang dirugikan, keberatan diajukan ke Pengadilan Niaga dimana putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar untuk membatalkan dan menghapus pendaftaran ciptaan dari daftar umum ciptaan. Ditjen HKI seharusnya lebih teliti dalam menentukan mana yang bisa didaftarkan sebagai hak cipta terutama yang merupakan suatu folklor. Penerapan pembatalan dilakukan setelah diperoleh putusan hukum tetap yang dilaksanakan oleh Ditjen HKI dengan menghapus dari daftar umum ciptaan. untuk itu perlu proses peradilan yang cepat dan pedoman jangka waktu pelaksanaan pembatalan pendaftaran ciptaan.

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Yang Bekerja Disektor Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Uu 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo Uu 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Di Kabupaten Kubu Raya)

Intisari

Tesis ini berfokus pada perlindungan hukum pekerja anak yang bekerja di kelapa sawit dalam hal UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Dari penulis penelitian menggunakan penelitian hukum sosiologis yang diperoleh kesimpulan: 1). yaitu kondisi anak-anak yang bekerja di sektor kelapa sawit jika dikaitkan dengan pasal 69 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 jo UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, semuanya tidak terpenuhi. Ini berarti bahwa ada penyimpangan yang dibuat oleh perusahaan untuk mempekerjakan anak-anak dalam konteks hukum. Kondisi ini harus dilindungi dari pemerintah daerah Kubu Raya, anak-anak itu tidak boleh bekerja, karena usia anak masih di bawah umur harus duduk di sekolah. Pemerintah daerah nampaknya kurang memperhatikan perhatian terhadap pekerja anak.

Hasil Penelitian

Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya tindakan nyata dari pemerintah, baik berupa penghentian operasi perusahaan atau pencabutan izin usaha penanaman dan selanjutnya tidak ada upaya pemerintah daerah Kubu Raya untuk menarik anak-anak perusahaan perkebunan tempat anak-anak bekerja. 2). Bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak bekerja di perkebunan kelapa sawit adalah Faktor Kemiskinan dan Ekonomi; Faktor sosial budaya; Faktor Pengawasan.3 Pendidikan). Bahwa langkah-langkah yang diambil oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah panggilan terhadap anak-anak dan yang lebih tua. Pemanggilan Kelapa Sawit. Kedua langkah ini menjadi sangat sia-sia, karena tindakan represif dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kubu Raya sama sekali tidak ada. Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kubu Raya hanya memberikan arahan, yang lebih imbaun. Kondisi ini tidak akan menjadi penghalang bagi perusahaan untuk tetap mempekerjakan pekerja anak. Sarannya adalah 1). Upaya pencegahan harus dibuat berdasarkan hukum dalam bentuk inspeksi ketenagakerjaan dan upaya terus-menerus dari tindakan represif. 2 undang-undang tersebut dapat memberikan efek jera bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempekerjakan anak.2). Kamp pemerintah jalan raya harus membuat terobosan dalam bentuk kebijakan yang dapat menarik anak-anak yang bekerja untuk kembali ke sekolah.

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Pengelola Keuangan Skpd Dalam Penyusunan Laporan Keuangan Skpd Sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan Dengan Pengawasan Internal Sebagai Variabel Pemoderasi Pada Pemerintah Kabupaten Samosir

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan pengelola keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam penyusunan laporan keuangan SKPD sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dengan pengawasan internal sebagai variabel pemoderasi pada Pemerintah Kabupaten Samosir. Berdasarkan tingkat eksplanasinya penelitian ini termasuk jenis penelitian asosiatif yang bersifat kausal (causal research). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengelola keuangan SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Samosir yang terdiri dari PPK-SKPD, Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Penerimaan yang berjumlah 100 orang. Seluruh populasi digunakan sebagai sampel. Data diolah dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan bantuan program SPSS dan uji residual digunakan untuk pengujian variabel moderating. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kompetensi Sumber Daya Manusia, komunikasi, motivasi, pemahaman standar akuntansi pemerintahan, dan pemanfaatan sistem informasi akuntansi keuangan daerah secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan pengelola keuangan SKPD dalam menyusun laporan keuangan SKPD sesuai SAP pada Pemerintah Kabupaten Samosir. Secara parsial kompetensi SDM, komunikasi, pemahaman standar akuntansi pemerintahan dan pemanfaatan sistem informasi akuntansi keuangan daerah berpengaruh signifikan terhadap kemampuan pengelola keuangan SKPD dalam menyusun laporan keuangan SKPD sesuai SAP pada Pemerintah Kabupaten Samosir. Sedangkan motivasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kemampuan pengelola keuangan SKPD dalam menyusun laporan keuangan SKPD sesuai SAP pada Pemerintah Kabupaten Samosir. Pengawasan Internal mampu memoderasi (memperkuat) hubungan antara kompetensi SDM, komunikasi, motivasi, pemahaman standar akuntansi pemerintahan, pemanfaatan Sistem informasi akuntansi keuangan daerah dengan kemampuan pengelola keuangan SKPD dalam meyusunan laporan keuangan SKPD sesuai SAP pada Pemerintah Kabupaten Samosir.

Pembalikan Beban Pembuktian Yang Dilakukan Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Menuntut Pelaku Tindak Pidana Korupsi Gratifikasidi Indonesia

Intisari

Gratifikasi korupsi adalah masalah rakyat Indonesia sampai sekarang. Semakin besar jumlah yang ditindaklanjuti dengan korupsi di Indonesia juga dapat membuktikan lemahnya penegakan hukum. Meskipun ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan Agung telah meminta bukti untuk bertentangan dengan tindakan korupsi, korupsi, gratifikasi. Dengan demikian, fokus pembahasan dalam penelitian ini membahas, penerapan dan konsep hukum untuk Jaksa Penuntut Umum dalam membalikkan beban pembuktian tindak lanjut korupsi tipu muslihat di Indonesia. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif.

Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini adalah: menjelaskan peraturan tentang pembalikan beban pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut gratifikasi korupsi secara normatif di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B ayat (1), Pasal 37, 37A dan Pasal 38B dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 direvisi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, dalam menerapkan pembalikan beban pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut tindakan gratifikasi korupsi di Indonesia, ada tantangan yuridis dan non-yuridis. Bahwa konsep hukum pembalikan beban pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya menegakkan gratifikasi hukum korupsi di Indonesia harus didukung dengan memasukkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam badan hukum terkait dengan bantuan anggota teori membalikkan beban pembuktian.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?