- Ungkapan Kearifan Kultural Dalam Undang-Undang Simbur Cahaya Hukum Adat Kesultanan Palembang 1824 (Kajian Makna Dan Fungsi Sebagai Sumber Pendidikan Karakter)
- Analisis Implementasi Fungsi Legislasi Dprd Kabupaten Bengkulu Utara Periode 2009–2014 (Studi Kasus Pembentukan Peraturan Daerah Nomor 04tahun 2013 Tentang Pengusahaan Batu Bara Di Kabupaten Bengkulu Utara)
- Kepastian Hukum Mekanisme Kerja Persekutuan Perdata Notaris Berkaitan Dengan Pembuatan Akta
- Implementasi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2011 Di Kota Bengkulu Sebagai Upaya Peningkatan Pengelolaan Sampah
- Efisiensi Dan Efektivitas Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
- Pembangunan Perumahan Untuk Kepentingan Bisnis Di Atas Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam Dan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
- Analisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender
- Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan (Kaman Perbandingan Antara Hukum Adat Kota Bengkulu, Hukum Islam Dan Efektifitas Wasiat Wajibah)
- Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Internsip Dalam Pelayanan Kesehatan Di Wahana Internsip (Rumah Sakit Dan Puskesmas) Wilayah Lampung
- Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal A Angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Di Bank Muamalat Indonesia Cabang Bengkulu
- Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pornografi Yang Melibatkan Anak Sebagai Pemeran Film Porno
- Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia
- Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas I A Bengkulu No.64/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bgl)
- Tinjauan Tentang Peralihan Bentuk Hukum Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
- Kebijakan Hukum Pidana Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh Korporasi
- Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Hakim Pengadilan Agama Bengkulu Nomor 85/Pdt.P/2017/Pa.Bn Tentang Itsbat Nikah
- Implementasi Hukum Adat Di Desa Aur Gading Kecamatan Lungkang Kule Kabupaten Kaur Perspektif Hukum Islam
- Pelindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Motif Tenun Aceh Di Kabupaten Aceh Besar
- Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Perempuan Terhadap Anak Laki-Laki (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 815 K/ Pid.Sus/2014)
- Perubahan Bentuk Hukum Badan Kredit Kecamatan Menjadi Bank Perkreditan Rakyat Menurut Undang1jndang Nomor 7 Tahun1992 Dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Usaha
- Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Komandan Militer Menurut Pasal 129 Dan Pasal 132 Kuhpm Dan Hubungannya Dengan Pasal 403 Ruu Kuhp Draft 10
Ungkapan Kearifan Kultural Dalam Undang-Undang Simbur Cahaya Hukum Adat Kesultanan Palembang 1824 (Kajian Makna Dan Fungsi Sebagai Sumber Pendidikan Karakter)
Intisari
Undang-Undang Simbur Cahaya Hukum Adat Kesultanan Palembang dapat menjadi sumber pendidikan karakter dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah maupun perguruan tinggi. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan makna dan fungsi ungkapan kearifan kultural dan relevansinya sebagai sumber pendidikan karakter dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah maupun perguruan tinggi. Jenis penelitian ini ialah penelitian pustaka, berbentuk deskriptif kualitatif melalui teknik analisis isi dokumen. Landasan teori dalam penelitian ini meliputi teori dasar makna (semantik), teori fungsional, nilai moral, dan pendidikan karakter. Sumber data penelitian ini ialah Naskah Undang-Undang Simbur Cahaya (1824) Hukum Adat Budaya Kesultanan Palembang ini berupa naskah tulis yang ditransliterasikan oleh Abu Hanifah dan disunting oleh Dr. Nafron Hasjim tahun 1990, dengan mendapat legalitas dari Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dr. Hasan Alwi pada tahun 1994.
Hasil Penelitian
Hasil identifikasi naskah Undang-Undang Simbur Cahaya Hukum Adat Kesultanan Palembang 1824, ditemukan ungkapan kearifan kultural berbentuk kata sebanyak 20 ungkapan dan ungkapan berbentuk frasa 39 ungkapan. Kemudian, berdasarkan hasil analisis terhadap ungkapan tersebut, terdapat makna konseptual dari ungkapan yang ada berupa makna denotatif yang berisi pesan langsung dari ungkapan yang tertulis pada tiap pasalnya, sedangkan makna kontekstualnya berupa gambaran sifat dan perbuatan manusia, yang secara simbolik dikaitkan dengan karakter yang melekat pada hewan, benda, dan sifat perbuatan manusia. Isi kandungan ungkapan kultural ini ialah ajaran moral dan karakter. Ungkapan kearifan kultural dalam UndangUndang Simbur Cahaya Hukum Adat Kesultanan Palembang 1824 relevan sebagai sumber pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia, baik di SMA (SMA Negeri 2 Prabumulih) maupun perguruan tinggi (Universitas Bengkulu).
Analisis Implementasi Fungsi Legislasi Dprd Kabupaten Bengkulu Utara Periode 2009–2014 (Studi Kasus Pembentukan Peraturan Daerah Nomor 04tahun 2013 Tentang Pengusahaan Batu Bara Di Kabupaten Bengkulu Utara)
Intisari
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implementasi fungsi legislasi DPRD Kabupaten Bengkulu Utara Periode 2009-2014 dalam membentuk Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2013 tentang Pengusahaan Batu Bara di Kabupaten Bengkulu Utara. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil bahwa : Pertama, fungsi legislasi DPRD dalam penyusunan peraturan daerah tentang penyelenggaraan dan retribusi pengusahaan batu bara dapat dilihat mulai dari tahap perencanaan raperda sampai tahap penyebarluasan perda. Pada tahap perencanaan raperda tentang penyelenggaraan dan retribusi pengusahaan batu bara ini belum terlaksana dengan baik, karena penyusunan rancangan peraturan daerah tentang pengusahaan batu bara ini yang merancang adalah dari pihak eksekutif dan raperda-raperda yang diajukan dan dilakukan pembahasan tersebut tidak didasarkan pada prolegda, tetapi lebih didasarkan pada kebutuhan pemerintah daerah sebagai landasan operasionalnya. Tahap perancangan raperda pengusahaan batu bara ini dilakukan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara karena pihak Pemda yang memprakarsai raperda pengusahaan batu bara ini. Perancangan raperda ini telah dilakukan dengan baik sesuai dengan peraturan perundnagundangan yang berlaku. Tahap pengajuan raperda ini jugatelah dilakukan dengan baik yakni Bupati memberikan surat pengantar atas raperda usul pihak eksekutif yang ditujukan ke pimpinan DPRD Kabupaten Bengkulu Utara. Tahap penyebarluasan raperda pengusahaan batu bara ini hanya dilakukan kepada anggota-anggota DPRD. Tahap pembahasan rancangan peraturan daerah ini telah dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan berdasarkan pada peraturan tata tertib DPRD Kabupaten Bengkulu Utara dan telah berlangsung cukup baik. Tahap pembahasan/pembicaraan tentang raperda pengusahaan batu bara ini dilakukan melalui 4 (empat) tahap pembicaraan yaitu tahap I, II, III dan Tahap IV. Pada Tahap III, rancangan peraturan daerah tentang pengusahaan batu bara ini dibahas di Pansus B DPRD Kabupaten Bengkulu Utara dengan melibatkan stakeholderyang terkait. Tahap penetapan perda pengusahaan batu bara ini telah dilakukan sesuai engan aturan yang ada yaknisebelum jangka waktu yang ditetapkan habis Bupati telah menandatangani Perda tersebut. Tahap pengundangan dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Hal tersebut dikarenakan setiap peraturan daerah yang menyangkut tentang retribusi harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Provinsi atas nama Pemerintah Pusat. Tahap penyebarluasan Perda telah dilakukan dengan baik yakni melalui media cetak yaitu Majalah Parlemen News, media elektronik (situs Pemda Bengkulu Utara yaitu www. PemdaBengkulu Utara.go.id) dan cara lainya yakni sosialisasi peraturan daerah yang diagendakan dalam sebuah buku kumpulan peraturan daerah.
Hasil Penelitian
Upaya penyebarluasan Perda melalui situs pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara belum maksimal karena data-data peraturan daerah Kabupaten Bengkulu Utara yang baru belum dimasukkan. Kedua, Hubungan antara DPRD dan Eksekutif dalam Penyusunan Perda tentang pengusahaan batu bara ini diwujudkan dengan kegiatan interaksi dan negosiasi dalam rapat pembahasan raperda tersebut. Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara lebih terlihat dalam proses pembahasan raperda tentang pengusahaan batu bara ini dapat dikatakan DPRD lebih dominan daripada Pemda Bengkulu Utara. Dominan disini adalah DPRD berperan aktif dalam meminta keterangan dari Pemda Bengkulu Utara yang diwakili olehBagian Hukum serta leading sector mengenai segala hal yang berhubungan dengan raperda pengusahaan batu bara. Selain itu DPRD juga aktif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat yang telah diperoleh untuk dapat dijadikan pertimbangan dalam perda pengusahaan batu bara ini. Ketiga, Aktor yang terlibat dalam Penyusunan Perda tentang pengusahaan batu bara ini antara lain: DPRD yang diwakili oleh Pansus B, Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara yang diwakili oleh BagianHukum Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara dan Leading sector dan dari pihak masyarakat yang terkait langsung dengan perda pengusahaan batu bara tersebutserta dari pihak kampus dan akademisi. Keempat, Hambatan-hambatan yang dialami DPRD Kabupaten Bengkulu Utara dalam pelaksanaan fungsi legislasi DPRD terkait dengan penyusunan peraturan daerah tentang pengusahaan batu bara di Kabupaten Bengkulu Utara ini antara lain: Kurang memiliki keahlian dalam penyusunan peraturan daerah, Peraturan pelaksana perundang-undangan yang belum lengkap dan Padatnya Jadwal yang dilakukan oleh DPRD. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, dapat diberikan beberapa saran konstruktif yakni : (1) Sebaiknya pemerintah daerah membentuk Program Legislasi Daerah (Prolegda) Panitia Legislasi yang terdiri dari anggota DPRD dan perwakilan dari pihak eksekutif sehingga peraturan daerah yang dibuat berdasarkan program legislasi daerah. Penyusunan Prolegda tersebut sangat bermanfaat karena dapat menentukan waktu pembahasan raperda dan peraturan daerah yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat; (2) Perlu diadakan workshop dan lokakarya tentang penyusunan peraturan daerah bagi anggota DPRD terutama bagi anggota DPRD yang disiplin ilmunya berbeda dengan bidang tugasnya. Hal tersebut penting, untuk membekali anggota DPRD tentang Teknik Legislative drafting sehingga dapat memahami teknik dan tata cara penyusunan suatu peraturan daerah. Penguasaan teknik legislative drafting akan sangat menunjang dalam pelaksanaan fungsi legislasi DPRD; (3) Perekrutan calon anggota Dewan yang dilakukan oleh partai harus didasarkan pada kualitas dan latar belakang pendidikan formal sehingga anggota DPRD tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya termasuk fungsi legislasi; (4) Pada saat proses pembahasan rancangan peraturan daerah sebaiknya tidak hanya melibatkan dari stakeholder yang terkait saja, tetapi juga melibatkan dari perwakilan masyarakat sipil karena walaupun secara tidak langsung mereka juga terkena dampak dari peraturan daerah yang dihasilkan; dan (5) DPRD diharapkan lebih sering melakukan hearing dengan masyarakat atau pihak kampus untuk menyerap aspirasi masyarakat. Selain penyerapan aspirasi itu, DPRD dapat mengetahui fenomena atau isu-isu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut tentunya dapat membantu penggunaan hak inisiatif DPRD dalam penyusunan peraturan daerah.
Kepastian Hukum Mekanisme Kerja Persekutuan Perdata Notaris Berkaitan Dengan Pembuatan Akta
Intisari
Kemitraan Sipil dalam UUJNP menunjukkan bahwa Notaris dapat membentuk forum untuk kerja sama. Seiring berjalannya waktu sistem kerja Notaris yang menjalankan kemitraan sipil Notaris masih dipertanyakan keabsahannya, karena pengaturan kemitraan sipil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf (f) dan Pasal 20 ayat (1) ), Pasal 40 UUJNP dan 1618 KUH Perdata, belum sepenuhnya sempurna dan masih ada kekurangan dalam implementasinya. Rumusan masalah, Bagaimana mekanisme kerja Notaris yang menjalankan Kemitraan Sipil Notaris terkait dengan kerahasiaan pembuatan akta sesuai Pasal 16 ayat (1) huruf (f) dan Pasal 20 ayat (1) UUJNP? dan Apakah saksi Instrumenter yang sah yang sebelumnya memberikan kesaksian dalam pembuatan akta oleh seorang rekan dari Kemitraan Sipil Notaris kemudian digunakan kembali oleh mitra Kemitraan Sipil Notaris lain yang ditinjau berdasarkan Pasal 40 UUJNP? Penelitian ini adalah Penelitian Hukum Normatif.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme kerja Notaris yang mencerminkan karakter Profesi Notaris terkait dengan kerahasiaan pembuatan akta dalam melaksanakan Kemitraan Sipil Notaris sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf (f) dan Pasal 20 ayat (1) UUJNP masih ada norma hukum yang tidak jelas dan keabsahan saksi Instrumenter sebelumnya telah bersaksi dalam pembuatan akta oleh kolega Kemitraan Sipil Notaris dan kemudian digunakan kembali oleh mitra Kemitraan Sipil Notaris lainnya ditinjau sesuai dengan Pasal 40 UU Nasional tentang Badan Hukum, masih ada ambiguitas atau ketidakjelasan norma hukum.
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2011 Di Kota Bengkulu Sebagai Upaya Peningkatan Pengelolaan Sampah
Intisari
Pesatnya pertumbuhan penduduk dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan social masyarakat yang memunculkan masalah-masalah perkotaan ssalah satunya adalah meningkatnya volume sampah. Untuk menindaklanjuti hal ini kedudukan pemerintah sangat strategis guna membuat kebijakan berupa peraturan daerah yakni Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Kendati peraturan tersebut telah diatur oleh pemerintah kota Bengkulu,namun dalam implementasinya tidak seperti yang diharapkan.penelitian ini bersifat empiris dengan metode pengumpulan data primer dan sekunder yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian maka diketahui bahwa Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah tidak berlaku efektif. Faktor penghambat yang dihadapi antara lain sebagai berikut : aturan hukum, penegak hukum, sarana prasarana dan kesadaran masyarakat dan stakeholders pengelolaan sampah adapun upaya yang dilakukana agar Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2011 mampu meningkatkan pengelolaan sampah rumah tangga Kota Bengkulu adalah sebagai berikut: kemauan politik untuk melaksanakan peraturan daerah, pemerintah daerah harus segera membuat perwal, bagi aparat pelaksana perlu ditunjang dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai serta biaya yang cukup dan adanya gerakan yang dimotori oleh pembuat peraturan daerah untuk melaksanakan amanat daripada peraturan itu. Saran yang diajukan oleh peneliti kepada pemerintah kota Bengkulu adalah sebagai berikut : segera membuat perwal tentang pengelolaan sampah, segera merevisi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah sesuai dengan Undangundang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolan Sampah dan melakukan sosialisasi secara maksimal terhadap peraturan daerah tentang pengelolaan sampah.
Efisiensi Dan Efektivitas Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Intisari
Suatu bangsa dikatakan sebagai bangsa yang besar apabila menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi. Salah satu wadah yang diberikan negara untuk memenuhi prepeferensi-preferensi politik adalah Pemilihan Umum kepala Daerah Langsung atau yang biasa disebut dengan Pemilukada Langsung, namun seiring berjalannya waktu dan pelaksanaan pemilukada langsung banyak menuai pro dan kontra karena menyebabkan beberapa permasalahan dan konflik dalam sistem politik Indonesia, terutama terkait dengan pelaksanaanya yang banyak menelan biaya, tenaga, dan waktu sehingga energi bangsa banyak terkuras untuk menangani pemilihan secara langsung, dan belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan karena adanya sistem yang diselewengkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah langsung. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih lajut mengenai Efisiensi dan Efektivitas Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memberikan gambaran mengenai efisiensi dan efektivitas pemilihan umum kepala daerah langsung ditinjau dari Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan mendeskripsikan apa yang menjadi dampak positif dan negatif dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder, primer, dan tertier. Sumber bahan hukum yang digunakan studi pustaka dan bahan-bahan on line (internet) dan kemudian dilakukan analisis secara kualitatif.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan gambaran bahwa belum adanya efisiensi dan efektivitas dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung karena biaya dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah langsung terlalu besar hanya untuk menjalankan pesta demokrasi, dan banyak menguras tenaga serta tahapan atau waktu yang terlalu panjang mulai dari tahap persiapan sampai dengan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah langsung, dan jumlah penyelenggara yang sangat banyak dengan efektivitas atau tujuan yang belum bisa benar- benar tercapai, dikarenakan banyaknya money politics, pelanggaran-pelanggaran pemilukada, banyaknya angka golput dan suara yang tidak sah, dan banyak permasalahan lainnya. Belum lagi dampak negatif yang lebih dominan dibandingkan dampak positif dengan sistem ini seperti menyebabkan masyarakat mejadi matrealisitis, kemungkinan memunculkan konflik baik vertikal dan horizontal, tingginya biaya politik, tingginya kasus korupsi dan pelayanan menjadi tidak baik karena implikasi dari money politics, ketidaksiapan APBD pada beberapa daerah, masyarakat cendrung memilih berdasarkan figur politik dan kurang memperhatikan kemampuan manajemen organisasi kepala daerah tersebut, dan lain-lain.
Pembangunan Perumahan Untuk Kepentingan Bisnis Di Atas Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam Dan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Intisari
Wakaf merupakan suatu harta yang di wakaf untuk kepentingan bersama. Selama ini wakaf belum dimanfaatkan dengan baik atau diolah secara produktif. Akan tetapi saat ini wakaf sudah bisa dimanfaatkan atau diolah lebih produktif lagi. Pada skripsi ini, akan membahas kekuatan hukum wakaf yang didasari pada Undang- Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hukumnya, status dan kedudukanya serta pelaksanaan wakaf pembangunan perumahan untuk kepentingan bisnis di atas tanah wakaf. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan penelitian normatif. Untuk kasus skripsi ini, penulis akan membahas seberapa kuat status wakaf dengan peruntukan untuk pembangunan perumahan atau kepentingan bisnis di atas tanah wakaf menurut Hukum Islam, dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Tanah Wakaf. Pembangunan diatas tanah wakaf dapat dikatakan sah jika sesuai dengan pasal 22 yaitu dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau, kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan. Status dan kedudukan bangunan di atas tanah wakaf merupakan hak sewa, pelaksanaannya diatur dalam peraturan peraturan yang berlaku di Indonesia dalam Pasal 22 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011, kemudian pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Undang undang Nomor 20 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006.
Analisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender
Intisari
Islam menghormati perempuan sebagai manusia, yang mempunyai fungsi sebagai isteri, ibu, bahkan sebagai seorang anggota masyarakat. Keberadaan perempuan (khususnya perempuan pekerja) yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia wajib melaksanakan iddah. Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya melaksanakan ihdad, bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya. Para fuqaha berpendapat bahwa perempuan yang sedang ber-ihdad dilarang memakai perhiasan, berdekatan, berhubungan dengan laki-laki, dan melakukan semua perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya. Dengan kondisi seperti ini, jelas akan menjadi problematika ketika perempuan yang harus bekerja di luar untuk menghidupi keluarganya, namun ia memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja karena melaksanakan kewajibannya berihdad setelah ditinggal mati oleh suaminya. Untuk itu, penulis memerlukan pemahaman dengan sebuah analisis gender. Berdasarkan uraian latar belakang penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan menuliskannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul Analisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender. Dalam pokok permsalahan ini adalah bagaimana ketentuan mengenai ihdad bagi perempuan menurut hukum Islam dan bagaimana ihdad bagi perempuan dalam hukum Islam menurut analisis gender. Metode penelitian yang diguankan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan ketentuan mengenai Ihdad bagi perempuan menurut hukum Islam bahwa kepatutan seorang perempuan dalam masa berkabung adalah menunjukkan kondisi di mana isteri harus menahan diri atau berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Dan selama masa itu, isteri hendaknya melakukan masa berkabung dengan tidak berhias, tidak bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah. Larangan itu lebih sebagai cara untuk menghindari fitnah dan sekaligus bertujuan untuk menghormati kematian suami. Ihdad bagi perempuan dalam hukum Islam menurut gender dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan berelasi dengan yang lain terdapat nilai tatakrama dan norma hukum yang membedakan peran laki-laki dan perempuan, artinya masa berkabung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terspesifikasi bagi siapapun, baik laki-laki atau perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mencerminkan kesetaraan gender, bahwa bagi laki-laki ataupun perempuan ketika ditinggal mati oleh pasangannya harus melakukan masa berkabung. Masa berkabung yang dicantumkan dalam hukum Islam dengan makna ihdad, adalah berlaku bagi laki-laki dan perempuan, meskipun dengan bentuk atau cara yang berbeda.
Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan (Kaman Perbandingan Antara Hukum Adat Kota Bengkulu, Hukum Islam Dan Efektifitas Wasiat Wajibah)
Intisari
Pengangkatan Anak dilaksanakan oleh masyarakat dengan motivasi dan alasan yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum yang hidup dan berkembang di daerah masing-masing. Dalam hukum adat Anak Angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, di karenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Khusus di Bengkulu perbuatan mengangkat anak ini lambat laun akan timbul hubungan kekeluargaan antara orang tua angkat dengan anak yang diangkat. Sedangkan hukum Islam tidak mengenal adanya anak angkat tetapi tidak memungkiri adanya anak angkat sejauh memberikan kesejahteraan dan pendidikan bagi si anak. Menurut hukum Islam tidak mungkin seorang anak angkat akan menerima seluruh harta peninggalan dari orang tua angkatnya, atau jika tidak ada hukum wasiat, seorang anak angkat tidak akan menerima sedikitpun harta peninggalan dari:orang tua angkatnya. Penelitian tesis ini termasuk jenis penelitian kepustakaan sumber datanya adalah primer dan sekunder, pengumpulan datanya bersifat dokumen dan wawancara, data dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif normatif. Langkah yang ditempuh dalam penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian. Status Anak Angkat dalam sistem hukum Adat di Kota Bengkulu dapat disamakan atau disederajatkan dengan anak kandung, dan anak angkat berhak mewaris dari orang tua angkatnya terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya dan juga anak angkat mewaris dari orang tua kandungnya, tentang can bagaimana terjadinya penerusan atau peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli warts berdasarkan aturan yang berlaku di kalangan masyarakat di pengaruhi hukum Islam. anak angkat menerima harta warisan dengan jalan hibah atau hibah wasiat. Dan status anak angkat dalam sistem hukum Islam tidak dapat disederajatkan atau disamakan dengan anak kandung, dan Anak Angkat tidak berhak mewaris dari orang tua angkatnya, dimana anak angkat tetap mewaris dari orang tua kandungnya. Hanya saja, sebagai pengakuan mengenai baiknya lembaga Pengangkatan Anak, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantaraan wasiat atau wasiat wajibah. Wasiat wajibah belum terlaksana dengan efektif di kota Bengkulu, karena kedudukan anak angkat dalam hal pembagian harta warisan apabila orang tua angkat itu tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkat mendapat sebagian harta warisan orang tua angkatnya.
Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Internsip Dalam Pelayanan Kesehatan Di Wahana Internsip (Rumah Sakit Dan Puskesmas) Wilayah Lampung
Intisari
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) merupakan proses pemantapan mutu profesi dokter dan dokter gigi untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah kewenangan klinis bagi dokter peserta PIDI, perlindungan hukum bagi dokter peserta PIDI dan pertanggungjawaban hukum dokter peserta PIDI dalam hal terjadi sengketa medis (gugatan perdata atau tuntutan pidana). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari pihak IDI Wilayah Lampung, Persi Wilayah Lampung, KIDI Provinsi Lampung, Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Dokter Pendamping PIDI Rumah Sakit dan Puskesmas dan Koordinator Dokter PIDI. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan klinis bagi dokter peserta PIDI belum diatur atau dibatasi secara definitif dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2017, sehingga terdapat perbedaan dalam pelaksanaan kewenangan klinis oleh dokter pada rumah sakit/puskesmas yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan arahan dari Komite Medik Rumah Sakit masing-masing, yang secara umum meliputi pelaksanaan tindakan medis dan pelayanan kesehatan. Bentuk perlindungan hukum bagi dokter peserta PIDI adalah perlindungan preventif atau pencegahan dalam rangka melindungi dokter peserta Program Internsip sebagai subyek hukum sebelum terjadinya pelanggaran, yaitu dengan pemberlakukan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Bentuk pertanggungjawaban hukum dokter peserta PIDI dalam hal terjadi sengketa medis (gugatan perdata atau tuntutan pidana) merupakan bentuk liability dalam arti dokter dokter peserta PIDI menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya sepanjang terjadi kesalahan, kelalaian atau perbuatan melawan hukum yang dapat dibuktikan secara hukum dan terbukti bahwa dokter peserta Program Internsip melakukan tindakan kedokteran dan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar kompetensi, standar operasional prosedur dan standar profesi dokter. Saran dalam penelitian ini agar dilakukan revisi/perbaikan dilakukan revisi/perbaikan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dengan memasukkan pasal-pasal yang secara jelas mengatur kewenangan klinis bagi dokter internsip dan dokter peserta PIDI agar secara konsisten mengacu kepada standar profesi dan standar prosedur operasional.
Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal A Angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Di Bank Muamalat Indonesia Cabang Bengkulu
Intisari
Penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan di Bank Muamalat Indonesia Cabang Bengkulu berkaitan dengan semakin kompleksnya permasalahan duniawi yang menuntut umat beragama dapat memilih dan memilah hal-hal yang tepat, bermanfaat, berguna dan yang teramat penting adalah diridhai oleh Allah SWT, penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Pelaksanaan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Bengkulu terutama mengenai pembiayaan Mudharabah dan Murabahah dan untuk mengetahui risiko yang timbul dalam pelaksanaan prinsip syariah tersebut pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Bengkulu. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder di bidang hukum, dan untuk menunjang dan melengkapi penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan Pasal 1 angka 13. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan terutama mengenai Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Bengkulu dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan pemberian pembiayaan, dimulai dari permohonan pembiayaan, analisa pembiayaan dengan kesepakatan keduabelah pihak dan apabila setuju dilakukan pengikatan antara bank dan nasabah. Risiko-risiko yang terjadi dalam pelaksanaan akad pembiayaan Mudharabah dan pembiayaan Murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Bengkulu yaitu nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya, adanya kerugian akibat fluktuasi harga pasar, adanya keadaan memaksa yang terjadi.
Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pornografi Yang Melibatkan Anak Sebagai Pemeran Film Porno
Intisari
Salah satu kejahatan menggunakan internet sebagai media dan telah berkembang pesat saat ini adalah pembuatan konten porno yang dikenal sebagai cyberporn. Penyebaran pornografi di masyarakat telah menyebabkan tumbuhnya pelecehan seksual. Menurut undang-undang, pornografi didefinisikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan suara, suara, gambar bergerak, animasi, kartun percakapan, gerakan, atau bentuk pesan lainnya melalui bentuk komunikasi media dan pertunjukan di depan umum yang mengandung kecabulan. atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Salah satu jenis bisnis pornografi adalah dalam bentuk membuat film porno (cabul) untuk pesanan individu tertentu agar dapat diperdagangkan sesudahnya. Film porno digunakan oleh individu untuk memanfaatkan pemirsa yang mengakses situs web yang menyiarkan film porno melalui jaringan internet. Secara umum, bisnis pornografi mengeksploitasi wanita dewasa dan pria dewasa, tetapi juga dapat mengeksploitasi anak-anak sebagai aktor porno. Misalnya, kasus tersebut terjadi di Bandung pada akhir 2016 di mana publik dikejutkan oleh video porno viral yang disebut “Tante mesum vs bocah”. Tindak lanjut dari kasus ini secara mengejutkan mengungkapkan bahwa ada banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan video khususnya orang dewasa yang melakukan eksploitasi seksual terhadap anak-anak. Sangat disayangkan mengetahui orang tua dari anak itu sendiri terlibat dan melakukan tindakan. Kasus ini digunakan sebagai bahan untuk menganalisis kejahatan pornografi yang melibatkan seorang anak sebagai aktris porno. Kasus ini telah dihadapkan dengan persidangan yang dilakukan secara terpisah (pemisahan) terhadap para pelaku dengan mempertimbangkan beratnya tindakan dan tindakan para penjahat yang dilakukan oleh masing-masing pelaku sehubungan dengan keputusan jaksa penuntut umum. Mengetahui hal itu, perlu untuk melihat peraturan tentang perlindungan hukum anak-anak sebagai korban film porno, kemudian pelaksanaan tanggung jawab pidana dan kebijakan untuk penjahat pornografi yang melibatkan anak-anak sebagai aktor pornografi di masa depan.
Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia
Intisaris
Dokumen elektronik, pada putusan pengadilan diakui sebagai alat bukti. Ini dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 150/PDT/2011/PT.Dps yang mengakui email sebagai alat bukti yang sah. Di mana email merupakan salah satu wujud dari dokumen elektronik. Namun, dalam putusan tersebut foto yang merupakan bagian dari dokumen elektronik tidak dianggap sebagai alat bukti. Hal ini sama dengan Putusan Pengadilan Agama Bondowoso No. 1537/Pdt.G/2011/PA.Bdw, yang menyatakan rekaman suara tidak dapat dijadikan alat bukti di pengadilan yang mana rekaman suara juga merupakan salah satu dokumen elektronik. Ini membawa kepada perlu dikaji mengenai dasar pengaturan penggunaan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata di Indonesia. Perihal kriteria-kriteria yang dapat menjadikan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perihal kedudukan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam pembaruan hukum acara perdata Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dan bersifat deskriptif analitis yang memaparkan sekaligus menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam perspektif pembaruan hukum acara perdata Indonesia yang ditinjau dari H.I.R/R. Bg dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Hasil penelitian menunjukkan, perihal dasar pengaturan dokumen elektronik dalam hukum acara perdata ialah Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga terdapat pula pada perundangan lain misalnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan dan lain sebagainya. Dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti harus merujuk kepada beberapa kriteria, yaitu : Diperkenankan oleh Undang-Undang untuk dipakai sebagai alat bukti, Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya, Necessity, yakni alat bukti yang memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan, Keterangan dari saksi ahli terhadap sebuah dokumen elektronik. Dokumen elektronik adalah salah satu bentuk dalam pembaruan hukum acara perdata Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi titik tolak karena posisi dokumen elektronik telah jelas dan memiliki keabsahan sebagai alat bukti sehingga setiap dokumen elektronik harus dinilai setiap diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Agar memperjelas setiap jenis pengaturan yang memuat alat bukti berupa dokumen elektronik dengan secara tegas memasukkan kata-kata dokumen elektronik tidak terbatas pada jenis-jenis tertentu, kemudian melahirkan regulasi baru untuk mempertegas kedudukan saksi ahli yang memiliki posisi penting dalam memberikan keterangan perihal dokumen elektronik, dan terakhir hakim tidak perlu ragu lagi mnggunakan dokumen elektronik sebagai alat bukti karena telah memiliki dasar hukum dan jika telah memenuhi kriteria sebagai alat bukti.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas I A Bengkulu No.64/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bgl)
Intisari
Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi sebagaimana yang telah diatur dalam rancangan KUHP faktor yang dikaji adalah mengenai konsep dan mekanisasi pertanggungjawaban korporasi itu sendiri. Dalam ruang lingkup masalah pertanggungjawaban pidana akan dikemukakan persoalan korporasi sebagai subjek atau pembuat atau pelaku tindak pidana. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi, bagaimanakah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi pada putusan No. 64/Pid. Sus/TPK/2016/PN. Bgl. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi, untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi pada putusan No. 64/Pid. Sus/TPK/2016/PN. Bgl. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Data yang digunakan data primer dan sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik dan alat pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan dengan melakukan wawancara. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Dari hasil penelitian disimpulkan: Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi bahwa sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi didasarkan atas: a. Kesalahan b. Kemampuan bertanggungjawab korporasi c. Tidak adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap putusan No. 64/Pid. Sus/TPK/2016/PN. Bgl dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh korporasi. Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiserta beberapa teori pertanggungjawaban pidana, maka model pertanggungjawaban pidana yang seharusnya diterapkan adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus dan korporasi.
Tinjauan Tentang Peralihan Bentuk Hukum Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan
Intisari
Latar belakang dilakukannya penelitian ini ialah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang mengamanatkan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal pada jenjang pendidikan tinggi wajib merubah bentuknya menjadi Badan Hukum Pendidikan. Hal ini mengakibatkan Perguruan Tinggi Negeri yang berbentuk Badan Hukum Pendidikan mempunyai hak pengaturan tidak hanya dalam bidang akademik namun juga bidang lainnya, seperti keuangan, administrasi dan kelembagaan. Tujuan dilakukannya penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui mengenai peralihan bentuk hukum Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah serta mengidentifikasi hambatan yang terdapat dalam proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini ialah metode penelitian yuridis normatif dan spesifikasi penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif analitis. Pengumpulan data penelitian menggunakan metode pengumpulan data sekunder yang mendukung data primer. Teknik analisis adalah deskriptif kualitatif Dari hasil penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, terdiri dari proses penyusunan, persetujuan, koordinasi dan harmonisasi serta penetapan rencana peralihan dan rancangan Peraturan Pemerintah yang telah dibuat oleh pimpinan Perguruan Tinggi Negeri. Dalam proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah ditemukan hambatan internal dan eksternal yang dikhawatirkan akan menghambat proses peralihan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah.
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh Korporasi
Intisari
KUHP yang berlaku saat ini tidak atau kurang memberi perhatian kepada korban. Tidak ada pidana ganti rugi di dalam KUHP baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana tambahan. Pidana yang terdapat dalam KUHP masih berorientasi pada pelaku tindak pidana tidak berorientasi pada korban. Bagi korban dan calon korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang diperlukan adalah adanya perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1). Bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidana dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kegiatan korporasi di bidang tindak pidana lingkungan hidup dalam hukum positif di Indonesia?; (2.) Bagaimanakah penerapan Hukum Pidana dalam melindungi korban tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi? (3). Bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidana di masa datang dalam memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doctrinal. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan komparatif . Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan pada saat ini perumusan tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam KUHP, Undang-Undang No 32 Tahun 2009 sebagai aturan umumnya dan Perundang-undangan Sektoral. KUHP yang berlaku saat ini belum memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan Korporasi baik secara in abstracto maupun in concreto, karena sanksi yang diancamkan hanya ditujukan kepada pelaku individu tidak termasuk korporasi. Dari beberapa kasus tindak pidana lingkungan hidup yang sudah di putus Pengadilan Negeri dan mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak ada satupun putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana berupa kewajiban pembayaran ganti kerugian kepada korban atau kewajiban pemulihan lingkungan. Putusan yang dijatuhkan pada korporasi berupa pidana denda dan jika diwakili oleh pengurusnya berupa pidana penjara. Apabila korban ingin mendapatkan ganti kerugian maka mengajukan gugatan secara perdata, namun memerlukan waktu lama dan biaya yang dikeluarkan lebih banyak daripada ganti kerugian yang didapatkan. Konsep ideal di masa datang Sanksi pidana disempurnakan dengan menambahkan sanksi ganti kerugian berupa restitusi dan kompensasi. Restitusi dibebankan kepada pelaku korporasi, apabila tidak mampu membayar atau kurang dalam memenuhi kewajibannya maka negara memberikan kompensasi pada korban. Sebagai pidana tambahan untuk kasus TPLH ditambahkan kewajiban melakukan pemulihan lingkungan. Dalam undang-undang juga dimuat mengenai besarnya nilai ganti rugi yang bisa diletakkan pada penjelasan undang-undang. Hal ini untuk menghindari ketidak pastian atau perbedaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Hakim Pengadilan Agama Bengkulu Nomor 85/Pdt.P/2017/Pa.Bn Tentang Itsbat Nikah
Intisari
Kota Bengkulu merupakan kota dengan tingkat kependidikan yang lebih tinggi dibanding di pedesaan. Namun dalam hal masih banyak terjadi nikah sirri. Ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Kota Bengkulu yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini berakibat pasangan suami isteri tidak memiliki legal standing dalam berbagai urusan dan persoalaan hukum yang berkaitan dengan masalah keperdataan. Menyadari akan arti pentingnya legal standing tersebut, berakibat pasangan suami isteri tidak memiliki legal standing dalam berbagai urusan dan persoalaan hukum yang berkaitan dengan masalah keperdataan. Menyadari akan arti pentingnya legal standing tersebut, pasangan suami isteri tersebut mengajukan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama dalam upaya untuk memperoleh akta nikah melalui penetapan Itsbat Nikah namun sangat disayangkan tidak semua permohonan itsbat nikah dikabulkan oleh hakim. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengapa hakim menolak perkara 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah dan bagaimana alasan penetapan hakim dalam perkara No. 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah serta bagaimana bagaimana alasan penetapan hakim dalam perkara No. 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah ditinjau dari Pasal 2 UU No. 1 TAhun 1974 dan KHI. Untuk menjawab permasalahan tersebut, metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual, dan metode pengumpulan bahan hukum studi dokumenter dan tinjauan pustaka setelah data didapat kemudian dilakukan penginventarisasian terhadap bahan hukum yang berhasil dikumpulkan tersebut berdasarkan relevansinya dengan pokok masalah dengan penelitian ini kemudian dianalisis dengan deskriptif normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan hakim menolak perkara permohonan nomor 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah dikarenakan bertentangan dengan Pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 40 huruf a Kompilasi hukum Islam, sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan alasan penetapan hakim dalam perkara nomor 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah bahwa Hakim tidak hanya melihat atau mempertimbangkan hukum formil dan materilnya saja, akan tetapi dalam perkara ini hakim mempunyai keyakinan yang kuat adanya indikasi terjadinya penyelundupan hukum, serta alasan penetapan hakim dalam perkara 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah ditinjau dari Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab qabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam), maka perkawinan tersebut adalah sah.
Implementasi Hukum Adat Di Desa Aur Gading Kecamatan Lungkang Kule Kabupaten Kaur Perspektif Hukum Islam
Intisari
Kota Bengkulu merupakan kota dengan tingkat kependidikan yang lebih tinggi dibanding di pedesaan. Namun dalam hal masih banyak terjadi nikah sirri. Ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Kota Bengkulu yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini berakibat pasangan suami isteri tidak memiliki legal standing dalam berbagai urusan dan persoalaan hukum yang berkaitan dengan masalah keperdataan. Menyadari akan arti pentingnya legal standing tersebut, berakibat pasangan suami isteri tidak memiliki legal standing dalam berbagai urusan dan persoalaan hukum yang berkaitan dengan masalah keperdataan. Menyadari akan arti pentingnya legal standing tersebut, pasangan suami isteri tersebut mengajukan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama dalam upaya untuk memperoleh akta nikah melalui penetapan Itsbat Nikah namun sangat disayangkan tidak semua permohonan itsbat nikah dikabulkan oleh hakim. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengapa hakim menolak perkara 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah dan bagaimana alasan penetapan hakim dalam perkara No. 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah serta bagaimana bagaimana alasan penetapan hakim dalam perkara No. 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah ditinjau dari Pasal 2 UU No. 1 TAhun 1974 dan KHI. Untuk menjawab permasalahan tersebut, metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual, dan metode pengumpulan bahan hukum studi dokumenter dan tinjauan pustaka setelah data didapat kemudian dilakukan penginventarisasian terhadap bahan hukum yang berhasil dikumpulkan tersebut berdasarkan relevansinya dengan pokok masalah dengan penelitian ini kemudian dianalisis dengan deskriptif normatif.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan hakim menolak perkara permohonan nomor 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah dikarenakan bertentangan dengan Pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 40 huruf a Kompilasi hukum Islam, sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan alasan penetapan hakim dalam perkara nomor 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah bahwa Hakim tidak hanya melihat atau mempertimbangkan hukum formil dan materilnya saja, akan tetapi dalam perkara ini hakim mempunyai keyakinan yang kuat adanya indikasi terjadinya penyelundupan hukum, serta alasan penetapan hakim dalam perkara 85/Pdt.P/2017/PA.Bn tentang itsbat nikah ditinjau dari Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab qabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam), maka perkawinan tersebut adalah sah.
Pelindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Motif Tenun Aceh Di Kabupaten Aceh Besar
Intisari
Kekayaan kerajinan dan budaya Aceh yang beragam merupakan sumber pengembangan hak cipta, sehingga diperlukan upaya pelindungan dari pengrajin maupun pemerintah daerah.Motif yangdikembangkan pengrajin tenun di Kabupaten Aceh Besar berpotensi didaftarkan sebagai hak cipta, namun permasalahannya yaitu motif tenun yang telah dikembangkan dan dihasilkan oleh pengrajin tidaksemuadidaftarkan sebagai hak cipta. Hal tersebut menimbulkan permasalahan seperti adanya peniruan atau penjiplakanmotif yang dibuat oleh salah satu pengrajin, dengan kata lain bahwa pengrajinkurang menyadaripentingnya pendaftaran atas motif tenun karyanya. Berdasarkan penjelasan tersebutdirumuskan permasalahanyaitubagaimanapelindungan hukummotif tenun Aceh sebagai pengetahuan tradisional, bagaimana pelindungan hukumhak cipta atas motif tenun Aceh di kabupaten Aceh Besar dan bagaimana upayapelindunganyang dilakukan pemerintah daerah kabupaten Aceh Besarterhadap motif tenun Aceh di kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatifdan bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Alat pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara.Analisis data yang digunakan adalah secara deskriptif kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode penalaran deduktif. Sertifikat hak cipta dari Kementerian Hukum dan HAM diterbitkan bertujuan melindungi hak cipta seseorang agar tidak diklaim oleh pihak lain. Sebagai contoh motif tenun yang didaftarkan sebagai hak cipta oleh Jasmani Daud yang merupakan pemilik seni motif Pinto Aceh dengan nomor pencatatan 05063 berdasarkan nomor permohonan EC00201705774 tertanggal 23 November 2017. Jasmani daud juga mengajukan permohonan sertifikat hak cipta 7 (tujuh) kreasi motif tenun lain miliknya, namunbelum diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Pada prakteknya kesempatan ini tidak digunakan oleh semua pengrajin tenun di kabupaten Aceh Besar sebagai bentuk pelindungan motif tenundenganalasan karena masih minimnya pengetahuan tentang hak cipta dan kurangnya kesadaran hukum dari pencipta motif. Pelindungan motif tradisionaltenun Aceh sebagai pengetahuan tradisionaldapat dilakukan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta bahwa hak cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.Menurut WIPO ekspresi budaya tradisional merupakan salah satu klasifikasi dari pengetahuan tradisional. Selain itu, motif tenun yangdikreasikan dan diciptakan oleh pengrajin tenun di Kabupaten Aceh Besar, termasuk dalam tenun kontemporer yang dilindungi menurut Pasal 40 ayat (1) huruf j Undang-Undang Hak Cipta. Salah satu ruang lingkup yang dilindungi adalah karya seni batik dan seni motif lainnya. Pada penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf j yang dimaksud dengan karya seni motif lain adalah motif yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, motif tenun ikat, motif tapis, motif ulos dan seni motif lain yang bersifat kontemporer, inovatif, dan terus dikembangkan. Pelindungan motif tenun Acehdilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKMAceh Besar bekerja sama dengan instansi terkait melakukan sosialisasi terutama desa penghasil tenunan untuk aktif mengawasi hasil ciptaan yang baru, mengembangkan hasil tenunan serta untuk motif yang baru dilakukan pendaftaran hak cipta motif tenun.
Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Perempuan Terhadap Anak Laki-Laki (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 815 K/ Pid.Sus/2014)
Intisari
Kejahatan kesusilaan pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Namun akibat penyimpangan seksual, kini kejahatan kesusilaan juga dilakukan oleh perempuan. Dengan merujuk pada putusan Mahkamah Agung Nomor 815 K/PID.SUS/2014 tentang kasus pencabulan yang dilakukan perempuan terhadap saksi korban yang berjumlah enam orang anak laki-laki. Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah 1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh perempuan terhadap anak laki-laki dan 2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh perempuan terhadap anak laki-laki.
Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dengan menggunakan pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan perempuan terhadap anak laki-laki didasarkan dengan adanya unsur kesalahan dan kesengajaan dalam melakukan perbuatan pidana, kemampuan terdakwa untuk bertanggungjawab, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf bagi terdakwa. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana secara yuridis adalah terpenuhinya alat bukti dalam persidangan. Secara filosofis menilai bahwa pidana yang dijatuhkan sebagai upaya pembinaan terhadap perilaku terdakwa. Secara sosiologis dijatuhkan pidana menyangkut hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Agar pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh perempuan terhadap anak laki-laki diberikan hukuman yang berat sehingga dapat menimbulkan efek jera. Hendaknya hakim menjatuhkan pidana maksimum terhadap terdakwa. Mengingat bahwa kejahatan asusila terhadap anak di Indonesia terus meningkat.
Perubahan Bentuk Hukum Badan Kredit Kecamatan Menjadi Bank Perkreditan Rakyat Menurut Undang1jndang Nomor 7 Tahun1992 Dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Usaha
Intisari
Perkembangan dunia usaha dewasa ini menuntut adanya inovasi dan strategi pengembangan bisnis yang cukup kreatif, lebih-lebih di penghujung abad ke 20 yang ditandai dengan percepatan perubahan berbagai mode perdagangan dan investasi yang sangat mendasar dan sulit diantisipasi serta mempunyai intensitas yang semakin lama semakin tinggi. Sehingga sering dikatakan bahwa yang permanen adalah perubahan itu sendiri, perubahan merupakan sunatullah, sesuatu yang tidak dihindari di alam jagad ini. Berkaitan dengan perubahan, maka dalam thesis ini berjudul “PERUBAHAN BENTUK HUKUM BADAN KREDIT KECAMATAN MENJADI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN USAHA”, berusaha untuk mengungkap segi hukum atau perundang-undangan dibidang perbankan, khususnya yang berkenaan dengan peraturan perubahan bentuk hukum, untuk dapat mengungkap persoalan-persoalan yang dikemukakan diperlukan berbagai data informasi yang diperoleh melalui kegiatan penelitian. Semula BKK didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor : Dsa. G.226/1969, tanggal 4 September 8/2/4 1969 dan Nomor : Dsa. G. 313/1970, tanggal 19 Nopember 1970 pada waktu 12/9/24 itu berlaku Undang-Undang No.14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dan Undang-Undang No.5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, sehingga status BKK bukan merupakan badan hukum, untuk dapat berstatus sebagai badan hukum, maka Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah menetapkan Peraturan Daerah No.11 tahun 1981, namun dalam kurun waktu berlakunya Undang-Undang No.14 Tahun 1967 sampai pada era Pakto 1988 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.38 Tahun 1988 bahwa Bank Desa, Lembaga Desa, bank Pasar, Bank Pegawai berdasarkan pada Undang-Undang No.14 Tahun 1967 adalah Bank Perkreditan rakyat, sementara itu dalam Keputusan Menteri Keuangan No.1064/KMK.00/1988 usaha Bank Perkreditan Rakyat dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito berjangka dan tabungan, dengan demikian tidak ada perbedaan antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat . Ketentuan yang demikian itu mengakibatkan perubahan kegiatan usaha, namun tidak diikuti dengan perubahan bentuk hukum, disamping itu salah satu syarat yang harus dipenuhi sebagaimana ditetapkan oleh TAP MPRS No.XX/MPRS/1966, berupa Peraturan Pemerintah belum dipenuhi, dengan berlakunya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yang mewajibkan bagi BKK untuk melakukan perubahan bentuk hukum menjadi BPR, dan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 1992 dalam bab V menggunakan istilah “pengukuhan menjadi Bank Perkreditan Rakyat”, mengandung arti bahwa bagi Lembaga Keuangan Pedesaan pada umumnya dan BKK pada khususnya yang telah ada sebelum berlakunya UU No.7 Tahun 1992, dapat melakukan perubahan bentuk hukum, berupa salah satu dari Perusahaan Daerah, Koperasi dan Perseroan terbatas. Untuk melaksanakan perubahan bentuk hukum tersebut Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah telah menetapkan BKK sebagai perusahaan daerah yang modalnya dari kekayaan daerah yang dipisahkan, perubahan bentuk dan status BKK menjadi BPR sangat diperlukan guna memperoleh legalitas dan keabsahan kegiatan usaha di bidang ekonomi, disamping itu akan diperoleh tambahan modal, kualifikasi direksi yang memadai serta mendorong BKK untuk melakukan kegiatan operasional dengan menggunakan methode assets and liabilities management. Adapun faktor yang mempengaruhi perubahan status adalah faktor intern yaitu persyaratan yang harus dipenuhi antara lain modal, tiga tahun terakhir tidak pemah rugi, kualifikasi direksi, tempat usaha dan waktu kegiatan usaha, faktor extern yaitu ketentuan undang-undang yang mewajibkan bagi BKK untuk melakukan perubahan bentuk hukum, sedangkan pertimbangan dad segi ekonomis bukan menjadi faktor utama. Kedudukan Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada pelaksanaan perubahan bentuk pada posisi yang lemah karena adanya : (1) Instruksi Menteri Dalam Negeri, sehingga bersifat perintah dan konkrit dan (2) keputusan tentang berlakunya Peraturan Daerah, jika memperoleh ijin dari atasan, dari sini nampak ada peluang pemerintah pusat yang mengontrol pelaksanaan ketentuan perundang-undangan didaerah. Karakteristik BKK sebagai lembaga keuangan pedesaan dalam penelitian ditemukan antara lain pertama, bahwa pada tahun 1984 Menteri Keuangan telah memberi ijin kepada BKK untuk menghimpun dana dad masyarakat, kedua peran BKK sebagai salah satu sumber pendapatan daerah telah dapat dilaksanakan berupa pemberian deviden kepada Pemerintah Daerah Tingkat I maupun kepada ketiga BKK sebagai lembaga keuangan dapat penghimpun dana masyarakat sehingga menghapus mithos bahwa masyarakat Jawa Tengah malas menabung ‘<arena_ penghasilannya relatif kecil, keempat BKK memberikan pelayanan kepada masyarakat pedesaan berupa pinjaman tanpa jaminan jika sampai dengan Rp 500.000,- ( Lima ratus ribu rupiah ) dan cukup dengan rekomendasi dan Lurah Desa setempat, dengan sistim harian, mingguan, pasaran, bulanan, lapanan dan musiman, kelima hampir 55 % nasabahnya adalah wanita. Dalam kaitannya dengan perubahan bentuk hukum, maka dengan Peraturan Daerah No.4 tahun 1995 status BKK adalah badan hukum dan berbentuk hukum Perusahaan Daerah maka untuk ijin usaha sebagai BPR dari Menteri Keuangan tidak diperlukan lagi. Pelaksanaan perubahan bentuk BKK menjadi BPR terdapat 2 (dua) dasar hukum yaitu : Pertama berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1967 dalam era Pakto 1988 yang memberikan kesempatan seluasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank, peluang yang demikian ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah sehingga 202 unit BKK telah memperoleh ijin sebagai BPR, Kedua berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 1992 sebanyak 308 unit BKK telah diajukan untuk pengukuhan menjadi BPR, namun hingga saat ini belum diperoleh keputusan. Walaupun BKK tersebut telah memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam keputusan bersama antara Dirjen Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan, Dirjen PUOD Departemen Dalam Negeri dan Direktur Bank Indonesia, namun atas dasar penilaian Bank Indonesia dari 308 unit BKK tidak semuanya memenuhi syarat untuk menjadi BPR. Kelemahannya adalah dari modal dan kualifikasi Direksi. Perbankan di Indonesia menjelang akhir abad ke 20 sejak deregulasi perbankan tahun 1983 hingga saat ini terpuruk dan banyak bank yang di likuidasi, hal tersebut disebabkan karena modal yang relatif kecil sehingga tidak mampu bersaing, disamping itu langkanya memperoleh manager dan staff perbankan yang bukan saja handal dan profesional, tetapi sekaligus dapat mengantisipasi perkembangan ekonomi domestik dan dunia, serta memiliki iritegritas yang tinggi. Masalah kredit perbankan sering tidak terlepas dari moral hazard, oleh karena itu bank dituntut untuk efisien sehingga mampu bersaing. BKK sebagai lembaga keuangan pedesaan tidak lepas dari kondisi-kondisi tersebut diatas, agar BKK mampu bersaing maka salah satu alternatif untuk memperkuat modal adalah dengan jalan merger antar PD BPR-BKK, sedangkan bagi BKK yang masih belum berstatus sebagai BPR dapat dilakukan serupa, dengan dilakukan merger akan dapat ditemukan manager dan staff yang profesional karena secara tidak langsung terjadi kompetisi. Merger mengandung makna jumlah perbankan menjadi lebih sedikit, sehingga untuk pengawasan dan pembinaan dengan mudah dapat dilakukan, pada gilirannya persaingan akan menjadi semakin sehat. Peran dan fungsi sebagai lembaga keuangan pedesaan masih dapat dipertahankan, sedangkan sebagai perangkat otonomi daerah akan terlihat dalam kegiatan operasional, sehingga BKK sebagai salah satu sumber pendapatan daerah akan semakin besar yang dapat dikontribusikan pada pemerintah daerah. Kendati bentuk perubahan bentuk hukum terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, bagi kalangan praktisi tidak berpengaruh terhadap perubahan tersebut, namun dad ahli hukum berpendapat bahwa perubahan bentuk hukum tersebut semata-mata karena kehendak undang-undang.
Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Komandan Militer Menurut Pasal 129 Dan Pasal 132 Kuhpm Dan Hubungannya Dengan Pasal 403 Ruu Kuhp Draft 10
Intisari
Tesis ini membahas masalah Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Komandan Militer Menurut Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM dan Hubungannya Dengan Pasal 403 RUU KUHP Draft 10. Dari hasil penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Dasar Pikiran Perlu Diaturnya Pertangggung Jawaban Pidana Komandan Militer Dalam KUHPM, Undang-Undang Pengadilan HAM dan RUU KUHP adalah berbasis pada Doktrin ?Pertanggungjawaban Komando? yang kemudian berkembang menjadi ?Konsep? atau ?Asas Khusus? dalam pengaturan Angkatan Bersenjata Negara-Negara berdaulat yang ada di seluruh dunia. Sampai kini doktrin tersebut tetap eksis sebagai salah satu asas hukum fundamental dalam Hukum Humaniter maupun Hukum Pidana Militer (Nasional). Selain itu, juga didasarkan pada asas pertanggungjawaban pidana yang intinya menentukan ?tidak dipidana tanpa adanya kesalahan?, serta asas legalitas yang menyatakan perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan Perundang-undangan pidana yang telah ada. Selanjutnya juga dipengaruhi oleh perkembangan Deklarasi HAM dan Hubungannya dengan Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata, dan Pelanggaran Hukum Humaniter Setelah Perang Dunia II. 2. Batas Tanggung Jawab Komandan Militer Berdasarkan Hierarkhi Jabatan Komandan Dalam Struktur Organisasi TNI adalah setiap Komandan Militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (ANKUM). Sebagai contoh, Komandan Batalyon sebagai atasan langsung dari Komandan Kompi, sedangkan Komandan Kompi merupakan atasan langsung dari Komandan Peleton, dan Komandan Peleton sebagai atasan langsung dari Komandan Regu. Komandan regu bertanggung jawab langsung terhadap Prajurit di bawah komandonya. Tetapi keterlibatan Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton secara bersama-sama bisa saja terjadi apabla memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM, dalam Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM), dan Pasal 395 sampai Pasal 406 RUU KUHP Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Selanjutnya disarankan, dalam rangka pembaharuan KUHPM dan KUHAPMiliter hendaknya dilakukan serempak dengan pembaharuan Peradilan Pidana Militer, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Selain itu aspek kekhususan hukum militer (Lex Specialist) hendaknya tetap dapat dipertahankan, sehingga tidak menimbulkan polemik berkepanjangan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Leave a Reply