HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Tesis S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Esa Unggul

  1. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Anak Angkat Yang Tidak Ditetapkan Berdasarkan Penetapan Pengadilan
  2. Marketplace Antara Penjual Dan Pembeli Melalui Online Dispute Resolution
  3. Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Kaitannya Dengan Hukum Pidana
  4. Penerapan Asas Putusan Hakim Harus Dianggap Benar (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/Puu-Xi/2013)
  5. Kajian Hukum Tanah Wakaf Ditinjau Darikajian Hukum Tanah Wakaf Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
  6. Penyidikan Tindak Pidana Pengeroyokan Oleh Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Pekanbaru Kota
  7. Wewenang Dan Tanggung Gugat Notaris Dalam Pembuatan Akta
  8. Karakteristik Hukum Dan Pelaksanaan Bank Garansi Dalam Jaminan Kontrak Jasa Konstruksi
  9. Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Yang Telah Didaftarkan Sebagai Merek Berdasarkan Instrumen Hukum Nasional Dan Hukum Internasional
  10. Pergeseran Kekuasaan Legislasi Dari Eksekutif Ke Legislatip Dalam Pembentukan Perda Di Kabupaten Magelang Menurut Uu No. 32 Tahun 2004
  11. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Komandan Militer Menurut Pasal 129 Dan Pasal 132 Kuhpm Dan Hubungannya Dengan Pasal 403 Ruu Kuhp Draft 10
  12. Perlindungan Hukum Dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Sistem Pembayaran Berbasis Teknologi Finansial
  13. Pola Pembinaan Oleii Polri Terhadap Perllaku Menyimpang Di Kalangan Remaja Pada Wilayah Hukum Polres Banyumas
  14. Indikasi Kriminalisasi Pembela Ham Dalam Sengketa Agraria
  15. Konstruksi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara
  16. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Yang Bekerja Disektor Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Uu 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo Uu 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Di Kabupaten Kubu Raya)
  17. Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia
  18. Peran Partai Politik Dalam Mobilisasi Pemilih Studi Kegagalan Parpol Pada Pemilu Legislatif Di Kabupaten Demak 2009
  19. Penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Pada Penyelenggaraan Pendidikan S-1 Terapan Di Akademi Kepolisian
  20. Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Hukum Waris Adat Bali
  21. Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten
  22. Ide Dasar Tindak Pidana Dalam Huicum Islam : Relevansi Dan Formulasinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Anak Angkat Yang Tidak Ditetapkan Berdasarkan Penetapan Pengadilan

Intisari

Penelitian berjudul perlindungan hukum terhadap hak waris anak angkat yang tidak ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan, dengan membahas permasalahan bagaimana status hukum anak angkat yang telah mendapatkan penetapan pengadilan dan apakah anak angkat yang tidak ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan mempunyai hak waris. Penelitian dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep, diperoleh suatu kesimpulan sebagai berikut: Status hukum anak angkat yang telah mendapatkan penetapan pengadilan, maka secara hukum dan jaminan kepastian hukum pengangkatan anak tersebut mendapatkan perlindungan hukum. Meskipun demikian pengangkatan anak dalam hukum adat didasarkan atas kebiasaan atau adatnya, selama pengangkatan anak didahului dengan upacara di hadapan masyarakat dan pemuka adat dan diumumkan adanya pengangklatan anak, maka anak tersebut adalah sah menurut hukum adatnya. Di dalam hukum Islam pengangkatan anak dengan penetapan pengadilan, meskipun demikian pengangkatan anak tersebut lebih mengedepankan pada peningkatan kesejahteraan, sehingga penetapan pengadilan merupakan suatu pengakuan menurut hukum saja. Anak angkat yang tidak ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan mempunyai hak waris, maka menurut hukum perdata, maka anak angkat tersebut tidak mempunyai hak atas bagian harta warisan orang tua angkatnya. Menurut hukum adat anak angkat mewaris dua sumber yakni dari orang tua kandungnya dan dari orang tua angkatnya, namun tidak mewaris harta asal orang tua angkatnya. Menurut hukum Islam, anak angkat meskipun tidak ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan, mendapatkan haknya atas harta peninggalan orang tuanya berupa wasiat wajibah yang besarnya tidak lebih 1/3 dari seluruh harta peninggalan orang tua angkatnya.

Marketplace Antara Penjual Dan Pembeli Melalui Online Dispute Resolution

Intisari

Belanja online kini sudah menjadi bagian dari gaya hidup, khususnya bagi masyarakat Indonesia, akan tetapi tidak jarang juga masyarakat mengalami kerugian dalam berbelanja dan melakukan transaksi secara online. Permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sengketa antara penjual dan pembeli dalam transaksi elektronik, bagaimanakah proses penyelesaian sengketa online marketplace antara penjual dan pembeli dalam sebuah transaksi elektronik melalui mekanisme online dispute resolution dan bagaimana kekuatan hukum sebuah putusan yang dihasilkan melalui online dispute resolution. Penelitian normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan pendekatan analisis yuridis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Pengumpulan data dengan studi pustaka dan wawancara serta pengolahan data melalui pemeriksaan, penandaan, dan penyusunan/sistematika data. Analisis data secara kualitatif.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian dan pembahasan adalah faktor-faktor yang sering menyebabkan sengketa juga, antara lain: 1) kualitas barang yang tidak sesuai, 2) informasi yang diberikan sedikit, 3) barang tidak sesuai, 4) risiko penipuan. Penyelesaian yang dibutuhkan adalah penyelesaian sengketa secara online dengan cara negosiasi, mediasi dan arbitrase. Dari proses penyelesaian sengketa diharapkan tercapainya kesepakatan perdamaian.

Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Kaitannya Dengan Hukum Pidana

Intisari

EUTHANASIA merupakan salah satu masalah etika yang paling berat dalam zaman kita dan tampaknya dalam waktu singkat tidak mungkin diselesaikan. Sejak beberapa dekade terakhir ini, masalah euthanasia dan bunuh diri berbantuan ramai didiskusikan. Diajukan segala macam argumen pro dan kontra. Argumen-argumen yang menolak antara lain berasal dari agama. Tidak ada satu agama pun yang dapat mengizinkan euthanasia dan bunuh-diri berbantuan. Keberatan juga dikemukakan profesi medis. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu. Belanda adalah negara pertama yang memungkinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Tetapi perlu ditekankan, dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Hanya saja, kalau beberapa syarat dipenuhi, dokter yang melakukan tidak akan dituntut di pengadilan. Tindakannya akan dianggap sebagai force majeure atau keadaan terpaksa, di mana hukum tidak bisa dipenuhi. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Di Indonesia seruan akan legalisasi euthanasia dan/atau bunuh diri berbantuan belum terdengar lantang. Mungkin, Menteri Negara Urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada hak untuk mati. Tetapi tidak mungkin diragukan, perawatan pasien terminal juga merupakan suatu masalah medis yang mahapenting di Tanah Air kita.

Penerapan Asas Putusan Hakim Harus Dianggap Benar (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/Puu-Xi/2013)

Intisari

Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka terdapat asas yang bersifat universal yaitu asas res judicata pro veritate habetur yang artinya putusan hakim harus dianggap benar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang penerapan asas tersebut dan menganalisa penerapannya yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang akan mencari dan mengumpulkan serta menganalisa bahan-bahan hukum secara kualitatif bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara yuridis, historik, komparatif, dan politis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang penerapan asas putusan hakim harus dianggap benar adalah jika terjadi kontradiksi normatif antara undang-undang dan putusan hakim. Penerapan asas ini oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 adalah tidak tepat. Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya.

Kajian Hukum Tanah Wakaf Ditinjau Darikajian Hukum Tanah Wakaf Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Intisari

Wakaf sebagai bagian dari diskusi di bidang ekonomi memiliki peran yang sangat besar dalam menyelesaikan masalah kemiskinan, terutama sejak krisis ekonomi. Wakaf adalah wadah dalam proses normatif dalam Islam dipahami sebagai lembaga keagamaan atau lembaga yang berguna selain lembaga uang lainnya. Seperti zakat, infaq dan sedekah. Wakaf adalah salah satu amal ibadah yang istimewa, ini karena wakaf akan terus mengalir meski kita telah mati di dunia. Informasi ini didasarkan pada hadits Rasullulah S.A.W, jika seseorang meninggal, perbuatannya terganggu, kecuali untuk tiga hal, sedekah jari, pengetahuan yang berguna, dan anak-anak saleh yang selalu berdoa untuknya. Namun, jika dikaitkan dengan hipotek, hipotek dimaksudkan untuk menjamin pembayaran utang ketika debitur gagal bayar atas kewajiban hukum untuk membayar utang. Sementara wakaf bukan untuk tujuan khusus dalam kaitannya dengan hutang, dan objek endowmen selamanya digunakan untuk tujuan keagamaan dan sosial. Subjek yang diangkat dalam tesis dengan judul “Tinjauan hukum wakaf tanah dalam hal hukum nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hipotek” adalah kriteria bank dalam memberikan pinjaman yang dijamin dengan tanah wakaf yang diikat dengan Deposito Hak. dan upaya Bank dalam menyelesaikan kredit macet yang dijamin oleh tanah wakaf yang terkait dengan Hipotek.

Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode literatur Yuridis Normatif dengan bentuk penelitian deskriptif analitik. Dalam hasil penelitian dapat dilihat bahwa kriteria bank dalam memberikan pinjaman yang dijamin oleh tanah wakaf terikat dengan Hak Tanggungan menggunakan prinsip 5 C + 1 S. Upaya Bank dalam menyelesaikan kredit macet oleh Internal (Non Litigasi atau di luar pengadilan) dan Eksternal (melalui pihak ketiga / Pengacara) yang mencakup panggilan, negosiasi, mediasi dan eksekusi jaminan. Kata kunci: Tanah Endowment, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

Penyidikan Tindak Pidana Pengeroyokan Oleh Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Pekanbaru Kota

Intisari

Hukum dalam bahasa Indonesia akhir-akhir ini mendapat sorotan dari semua lapisan masyarakat. Itu terjadi karena undang-undang diharapkan sebagai instrumen penertib, alat penjaga keseimbangan antara kepentingan publik dengan kepentingan individu, sebagai katalisator penggerak proses perubahan untuk melindungi publik, masih jauh dari harapan seperti itu. Dari kata-kata dalam Pasal 90 jelas, lugas dan tegas bahwa kedua anak korban pelanggar anak, dan saksi anak harus diberikan perlindungan dan penanganan semaksimal mungkin. Dengan demikian, prinsip utama perlindungan anak, itu baik untuk kepentingan terbaik anak, non-diskriminasi, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta prinsip partisipasi anak dapat dijamin. Pertama, menjaga anak-anak dari pengaruh lingkungan dan orang-orang yang tidak sehat dan selalu memberikan contoh secara langsung sehingga anak-anak tidak rentan terhadap hal-hal yang buruk dan juga memberikan perlindungan kepada anak jika anak membutuhkan pertolongan pada saat kesulitan mereka. Kedua, untuk memerintahkan penyelidikan ke dalam kasus anak-anak, penyidik ??akan meminta pertimbangan atau saran dari Komunitas Pengawas setelah pelanggaran pidana dilaporkan atau diajukan. Jika dianggap perlu, penyidik ??dapat meinta pertimbangan atau saran dari pakar pendidikan, psikolog, psikiater, pemimpin agama, Pekerja Sosial Profesional atau Pekerja Kesejahteraan Sosial, dan para ahli lainnya, bahkan dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap anak-anak korban dan saksi anak, para penyelidik harus diharuskan untuk meminta laporan sosial dari Pekerja sosial Profesional atau Pekerja Sosial Sejahtera sosial, selain memfasilitasi kegiatan penyidik ??dalam mengatasi hambatan yang terjadi dalam kasus tersebut dengan mendapatkan informasi dari para korban dan pelaku, proses penyelidikan dapat berjalan dengan baik.

Wewenang Dan Tanggung Gugat Notaris Dalam Pembuatan Akta

Intisari

Akta notaris harus dibuat dengan memenuhi syarat formal dan materiil untuk sahnya suatu akta tersebut. Akta yang dibuat tidak memenuhi syarat formal, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta di bawab tangan yang apabila digunakan sebagai alat bukti di persidangan hams didukung alat bukti lain yang membenarkannya. Sedangkan suatu akta yang dibuat jika tidak memenuhi syarat materiil, maka akta tersebut menjadi batal demi hukum, di mana Pembatalannya tidak perlu dimintakan, melainkan batal dengan sendirinya.

Karakteristik Hukum Dan Pelaksanaan Bank Garansi Dalam Jaminan Kontrak Jasa Konstruksi

Intisari

Kontrak konstruksi adalah kontrak yang dikenal dalam konstruksi bangunan, dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta. Bahwa dalam kontrak kostruksi prinsipal membutuhkan jaminan dari kontraktor dalam pemenuhan kewajiban dalam bentuk bank garansi yang menjamin pemenuhan kewajiban kontraktor dalam hal terjadi wanprestasi. Fungsi utama bank adalah bisnis tabungan dan pinjaman, fungsi kredit bank untuk ini adalah pendirian perbankan utama selain fungsi layanan bank lain seperti letter of credit atau bank garansi. Adapun beberapa jenis Bank Garansi yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan kontrak konstruksi adalah: 1) Bank Garansi dalam Tender (Bid Bond), 2) Bank Garansi dalam Implementasi (Performance Bond), 3) Bank Garansi di Muka (Uang Muka) Obligasi), 4) Garansi Bank dalam pemeliharaan (Retensi Bond). Semua bentuk jaminan bank yang disebutkan di atas, mengharuskan bank untuk membayar jika pihak yang menjaminkan kontraktor) gagal bayar.

Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Yang Telah Didaftarkan Sebagai Merek Berdasarkan Instrumen Hukum Nasional Dan Hukum Internasional

Intisari

Meningkatnya perlindungan Indikasi Geografis di internasional merupakan hal yang menguntungkan bagi Indonesia dalam rangka meningkatkan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual,Hal ini karena karakter kepemilikan Indikasi Geografis yang kolektif atau komunalistik sejalan dengan nilai-nilai ketimuran dan keindonesiaan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang bagaimanakah Perlindungan Hukum Indikasi Geografis berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan mengenai bagaimanakah Pelindungan hukum Indikasi Geografis yang telah didaftarkan sebagai Merek berdasarkan Instrumen Hukum Nasional dan Instrumen Hukum Internasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, sistem perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia ialah sistem konstitutif yang mensyaratkan adanya pendaftaran untuk mendapatkanperlindungan dari Negara dan Indikasi Geografis tidak dapat dimiliki secara individu, namundimiliki secara kolektif oleh masyarakat penghasil barangIndikasi Geografis. Konsekuensi dari penerapan sistem konsitutif sistem first to file, yaitu perlindungan hukum Indikasi Geografis bagi mereka yang pertama kali mendaftarkannya. Implikasi dari tidak dihapusnya merek terdaftar yang memiliki kesamaan dengan Indikasi Geografis oleh Menteri adalah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Dalam hal terjadinya penggunaan Indikasi Geografis sebagai merek di luar negeri, Perjanjian Lisabon memfasilitasi dibuatnya sistem registrasi Internasional bagi Indikasi Geografis. Indonesia semestinya dapat mengambil manfaat dengan adanya instrumen internasional yang mendukung perlindungan Indikasi Geografis dengan meratifikasi Perjanjian Lisabon.

Pergeseran Kekuasaan Legislasi Dari Eksekutif Ke Legislatip Dalam Pembentukan Perda Di Kabupaten Magelang Menurut Uu No. 32 Tahun 2004

Intisari

Gerakan reforrnasi 1998 telah membawa angin perubahan dalarn penyelenggraan Pemerintahan di Indonesia, sistem Pemerintahan yang sentralistik dengan UU No, 5 tahun 1 974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah digantikan dengan Pemerintahan yang desentralistik. Artinya sejurnlah wewenang Pemerintahan diserahkan oleh Pemerintah kepada daerah otonom, kecuali urusan Pemerintahan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan dan yustisi yang tetap menjadi kewenangan pemerintah. Prinsip otonomi daerah menekankan pada pemberian kewenangan kepada Pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan yang menjaQ kewenangannya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonmi luas kepada daerah darahkan untuk mempercepat tenvujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas , daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pendekatan Penelitian

Pergeseran kekuasaan legislasi dari eksekutif ke legislatif dalam Pembentukan Peraturan Daerah yang mana pada masa Orde Baru cenderung didominasi oleh pihak eksekutif . Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pe~nerintah Daerah dan seiring dengan gencarnya reformasi di bidang politik telah membuka jalan dalam rangka mengubah dominasi eksekutif dalam perurnusan suatu Peraturan Daerah. Sesuai dengan UU No 32 tahun 2004, DPRD Kabupaten Magelang selaku Lembaga Legislatif mempunyai fungsi Legslasi, Budgeting dan Controling. Fungsi Legeslasi DPRD selaku pembuat, pembahas dan pemutus sebuah produk hukum yang berupa Peraturan Daerah, dimana Peraturan Daerah akan menjadi dasar berkehidupan masyarakat. Faktor transparansi dan kontrol publik terhadap fungsi legeslasi DPRD menjadi penting dalam rangka menciptakan sistem pemerintahan yang baik di daerah. Dalam fungsi Legeslasinya DPRD tidak dapat di biarkan berjalan sendiri tanpa kontrol, penting dibuka pintu akses publik terhadap pembuatan Peraturan Daerah.

Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Komandan Militer Menurut Pasal 129 Dan Pasal 132 Kuhpm Dan Hubungannya Dengan Pasal 403 Ruu Kuhp Draft 10

Intisari

Tesis ini membahas masalah Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Komandan Militer Menurut Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM dan Hubungannya Dengan Pasal 403 RUU KUHP Draft 10. Dari hasil penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Dasar Pikiran Perlu Diaturnya Pertangggung Jawaban Pidana Komandan Militer Dalam KUHPM, Undang-Undang Pengadilan HAM dan RUU KUHP adalah berbasis pada Doktrin ?Pertanggungjawaban Komando? yang kemudian berkembang menjadi ?Konsep? atau ?Asas Khusus? dalam pengaturan Angkatan Bersenjata Negara-Negara berdaulat yang ada di seluruh dunia. Sampai kini doktrin tersebut tetap eksis sebagai salah satu asas hukum fundamental dalam Hukum Humaniter maupun Hukum Pidana Militer (Nasional). Selain itu, juga didasarkan pada asas pertanggungjawaban pidana yang intinya menentukan ?tidak dipidana tanpa adanya kesalahan?, serta asas legalitas yang menyatakan perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan Perundang-undangan pidana yang telah ada. Selanjutnya juga dipengaruhi oleh perkembangan Deklarasi HAM dan Hubungannya dengan Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata, dan Pelanggaran Hukum Humaniter Setelah Perang Dunia II. 2. Batas Tanggung Jawab Komandan Militer Berdasarkan Hierarkhi Jabatan Komandan Dalam Struktur Organisasi TNI adalah setiap Komandan Militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (ANKUM). Sebagai contoh, Komandan Batalyon sebagai atasan langsung dari Komandan Kompi, sedangkan Komandan Kompi merupakan atasan langsung dari Komandan Peleton, dan Komandan Peleton sebagai atasan langsung dari Komandan Regu. Komandan regu bertanggung jawab langsung terhadap Prajurit di bawah komandonya. Tetapi keterlibatan Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton secara bersama-sama bisa saja terjadi apabla memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM, dalam Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM), dan Pasal 395 sampai Pasal 406 RUU KUHP Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Selanjutnya disarankan, dalam rangka pembaharuan KUHPM dan KUHAPMiliter hendaknya dilakukan serempak dengan pembaharuan Peradilan Pidana Militer, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Selain itu aspek kekhususan hukum militer (Lex Specialist) hendaknya tetap dapat dipertahankan, sehingga tidak menimbulkan polemik berkepanjangan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.

Perlindungan Hukum Dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Sistem Pembayaran Berbasis Teknologi Finansial

Intisari

Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa bisnis “sistem pembayaran berbasis teknologi finansial” (SP-Tekfin). Rumusan masalah meliputi empat hal yaitu : apa peran BI dalam pengembangan bisnis SP-Tekfin, apa jenis alat dan sistem pembayaran yang diakui BI, apa bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa SP-Tekfin, dan apa saja bentuk penyelesaian sengketa bisnis SPTekfin. Penelitian normatif ini memakai pendekatan perundang-undangan dan konseptual.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukan BI berperan mengatur dan mengawasi bisnis SP-Tekfin dan telah mengakui bisnis SP-Tekfin sebagai bagian dari Sistem Pembayaran Nasional (SPN). BI juga telah menerbitkan PBI nomor 18/40/PBI/2016 sebagai bentuk perlindungan hukum bagi nasabah dan pelaku bisnis SP-Tekfin. Sengketa bisnis SP-Tekfin diharapkan dapat diselesaikan dengan membentuk lembaga Penyelesaian Sengketa Daring (PSD).

Pola Pembinaan Oleii Polri Terhadap Perllaku Menyimpang Di Kalangan Remaja Pada Wilayah Hukum Polres Banyumas

Intisari

Istilah pola pembinaan diartikan sebagai model atau acuan yang digunakan memperbaharui atau membangun ke arah yang lebili-baik, tidak lain yang menjadi objek pembinaan pare remaja yang melakukan perilaku menyimpang (juvenile delinquency), istilah juvenile delinquency merupakan istilah yang lazim dipakai oleh media massa yaitu kenakalan remaja. Remaja merupakan SDM yang akan menjadi pemimpin di masa mendatang, dan dari segi usia masih dapat digolongkan sebagai anak-anak pemuda, maka remaja perlu diberikan perhatian yang serius. Salah satunya melalui pembinaan secara terpadu dan berkesinambungan. Adapun usaha-usaha pembinaan remaja ditujukan terhadap : 1. Pembinaan terhadap remaja yang tidak melakukan kenakalan, dilaksanakan pembinaanya di rumah, sekolah dan di masyarakat. 2. Pembinaan terhadap remaja yang telah mengalami tingkah laku kenakalan atau yang telah menjalani sesuatu hukuman karena kenakalannya. Hal ini perlu dibina agar supaya mereka tidak mengulangi lagi kenakalannya Dad usaha-usaha pembinaan remaja tersebut maka dapat dikemukakan pennasalahan sebagai berikut : 1. Bagaiama pola pembinaan oleh Polri secara terpadu menangani perilaku menyimpang di kalangan remaja 2. Bagaimana bentuk kerjasama yang dilaksanakan Polri dalam pembinaan remaja, sebagai pencerminan dari pelaksanaan politik kriminal yang terpadu. 3. Apa kendala-kendala yang timbul dari pola pembinaan remaja secara terpadu. Berawal dari masalah tersebut perlu dilakukan penelitian yang difokuskan kepada usaha preventif dan usaha pembinaan, hal ini berkaitan dengan judul tesis yaitu Pola Pembinaan olds Polri Terhadap Perilaku Menyimpang di Kalangan Remaja pada Wilayah Hukum Pokes Banyumas.

Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang dipakai, manakai pendekatan yuridis sosiologis, sedangkan spesifikasi penelitian dipergunakan deskriptif, dan sebagai landasan teori digunakan teori anomie dari K Merton. Apabila teori Merton diterapkan untuk meneropong masalah kenakalan remaja, maka dapatlah dipergunakan teorinya mengenai adaptasi dari pan remaja khusunya terhadap keadaan yang nyata. Proses inovasi merupakan hal nyata yang antara lain dapat menimbulkan kenakalan remaja, oleh karena pan remaja secara relatif masih mencari-cifii bentuk pola-pola perikelakuan mereka Khususnya tentang kenakalan remaja, gejala tersebut haruslah dilihat sebagai penvujudan dari kehendak kurang balk yang mendapat kesempatankearah perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Hal ini dapatlah dipandang sebagai tingkah laku yang berada diluar kemampuan pengendalian di remaja Dori basil penelitian tergadap 150 pelajar SLTA di wilayah Disdiknas Kabupaten Banyumas dengan menggunakan quesiuner, diperoleh data sebagai berikut : a. Terdapat 32 pelajar yang mengetahui tentang adanya pembinaan/ penyuluhan yang dilakukan oleh Unit Sat Binunas Pokes. b. Terdapat 142 pelajar yang menginginkan adanya pembinaan oleh Kepolisian sebagai dazes pengetahuan untuk mencegah kemungkinan timbulnya kenakalan remaja maupun kejahatan dilingkungannya. Secara singkat pengertian Politik ‘Criminal adalah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat”. dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Kebijakan kriminal hams dapat mengintegrasikan dan mengharmoniskan seluruh kegiatan preventif yang non penal ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Pernbinaan remaja yang merupakan salah sate pelaksanaan dari politik kriminal dalam bentuknya yang kedua yaitu Prevention without Punishment, juga telah diberikan arah dan garis kebijakannya dalam GBHN 1999. GBHN pada hakekatnya adalah man Pola Pembangunan Nasional di dalarnnya merupakan rangkaian program-program pembangunan yang menyeluruh, tcrarah dan terpadu yang berlangsung secara taus menerus, sehngga dengan demikian maka setnua kebijakan termasuk kebijakan kriminal hams berlandaskan kepada GBHN karena GBHN merupakan politik sosiahiya (social policy). Pedoman pembinaan Redawan di Bimmas Polri, juga mengamanatkan untuk dilakukannya keterpaduan dalam melaksanakan pembinaan remaja baik antar fungsi intern Poki maupun dengan instansi lain, sehingga dengan demikian Unit Binramarda dalam melakukan pembinatuiya hams bekeija sama dengan instansi-instansi lainnya.. Berdasarkan basil wawancara dengan Sat Binmas Pokes Banyuntas sat Binmas telah melakukan kerjasama dengan Disdiknas dan Kasospol dalam pelaksanaan pembinaan remaja pelajar SLTA. Kerjasama yang dilaksanakan ialah dengan melakukan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan yang Stan dilaksanakan, termasuk mendapatkan rekomendasi masuk ke sekolah-sekolah dan memperoleh informasi tentang sekolah-sekolah yang ada dan yang rawan kenakalan remaja/ pelajamya. Kerjasama ini juga dilakukan karena telah terbentuknya Badan Koordinasi Pembinaan Panuda dan Anak-anak Remaja Kabupaten Banyumas,berdasarkan Inpres No. 6/1971 dan Skep Kabakin No. 1CPTS 069 Th 1971. Badan ini bertugas untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan mensinkronisasikan semua usaha pembinaan remaja (pelajar) dari Badan dan Instansi yang berkompeten. Dengan adanya Bakoppar di tingkat Kabupten, maka telah terdapat organisasi yang khusus menanggulangi kenakalan remaja (pelajar), sehingga semua kegiatan pembinaan hams dilakukan secara terpadu. Melihat kondisi ini secara teoritis kebijakan kriminal telah terlaksana, yaitu terpadunya semua kegiatan preventif dalam sistern kegiatan negara. Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan remaja secara terpadu – Belum adanya dana yang khusus untuk masalah Bakoppar, kalau ada hanya pada tingkat propinsi. – Lernahnya SDM di kalangan Polri yang kurang memadai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. – Belum adanya rencana kegiatan secara terorganisasi. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, penulis sarankan agar terhadap usaha-usaha yang telah dilaksanakan namun belum secara teratur dan kontinue, dapat ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas serta kajasama yang telah tercipta dengan baik dapat dipertahankan.

Indikasi Kriminalisasi Pembela Ham Dalam Sengketa Agraria

Intisari

Dikeluarkannya Putusan Pengadilan Negeri Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 76/PID/2013/PT.PLG yang menghukum dua pegiat hak asasi manusia merupakan indikasi terjadinya kriminalisasi terhadap aktivitas pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan di sektor agraria. Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan tentang optik kajian sociolegal dalam menelaah Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG terhadap upaya perlindungan hukum dalam kerangka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum guna mencegah praktik kriminalisasi terhadap aktivis pembela hak asasi manusia. Putusan tersebut dinilai merupakan preseden buruk mengingat tindakan kriminalisasi memiliki akibat terhentinya aktivitas pembelaan hak asasi manusia, sedangkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut justru berakhir pada praktik impunitas.

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Yang Bekerja Disektor Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Uu 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo Uu 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Di Kabupaten Kubu Raya)

Intisari

Tesis ini berfokus pada perlindungan hukum pekerja anak yang bekerja di kelapa sawit dalam hal UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Dari penulis penelitian menggunakan penelitian hukum sosiologis yang diperoleh kesimpulan: 1). yaitu kondisi anak-anak yang bekerja di sektor kelapa sawit jika dikaitkan dengan pasal 69 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 jo UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, semuanya tidak terpenuhi. Ini berarti bahwa ada penyimpangan yang dibuat oleh perusahaan untuk mempekerjakan anak-anak dalam konteks hukum. Kondisi ini harus dilindungi dari pemerintah daerah Kubu Raya, anak-anak itu tidak boleh bekerja, karena usia anak masih di bawah umur harus duduk di sekolah. Pemerintah daerah nampaknya kurang memperhatikan perhatian terhadap pekerja anak. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya tindakan nyata dari pemerintah, baik berupa penghentian operasi perusahaan atau pencabutan izin usaha penanaman dan selanjutnya tidak ada upaya pemerintah daerah Kubu Raya untuk menarik anak-anak perusahaan perkebunan tempat anak-anak bekerja. 2). Bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak bekerja di perkebunan kelapa sawit adalah Faktor Kemiskinan dan Ekonomi; Faktor sosial budaya; Faktor Pengawasan.3 Pendidikan). Bahwa langkah-langkah yang diambil oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah panggilan terhadap anak-anak dan yang lebih tua. Pemanggilan Kelapa Sawit. Kedua langkah ini menjadi sangat sia-sia, karena tindakan represif dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kubu Raya sama sekali tidak ada. Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kubu Raya hanya memberikan arahan, yang lebih imbaun. Kondisi ini tidak akan menjadi penghalang bagi perusahaan untuk tetap mempekerjakan pekerja anak. Sarannya adalah 1). Upaya pencegahan harus dibuat berdasarkan hukum dalam bentuk inspeksi ketenagakerjaan dan upaya terus-menerus dari tindakan represif. 2 undang-undang tersebut dapat memberikan efek jera bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempekerjakan anak.2). Kamp pemerintah jalan raya harus membuat terobosan dalam bentuk kebijakan yang dapat menarik anak-anak yang bekerja untuk kembali ke sekolah.

Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia

Intisari

Kemajuan dalam bidang teknologi juga mendorong kemajuan dalam bidang transportasi yang semakin pesat. Kemajuan yang semakin pesat tersebut mengharuskan adanya suatu aturan yang mengatur mengenai lalu lintas. Pengaturan tersebut bertujuan untuk terciptanya keadaan yang tertib dalam berlalu lintas. Pengaturan mengenai berlalu lintas tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2009) (selanjutnya disebut UU LAJ). Adanya UU LAJ yang kenyataannya tidak membuat pengguna jalan sadar akan keselamatan diri sendiri dan/atau orang lain. Pasal 1 angka 24 UU LAJ memuat pengertian mengenai kecelakaan lalu lintas, suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Pasal 229 ayat (1) UU LAJ memuat 3 (tiga) golongan kecelakaan lalu lintas, yaitu kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang, kecelakaan lalu lintas berat. Perkara kecelakaan lalu lintas diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU LAJ, Hal tersebut terdapat dalam Pasal 230 UU LAJ, namun demikian, sering terjadi ambiguitas dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas. Penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas ada yang diselesaikan melalui proses peradilan dan ada pula yang diselesaikan tanpa melalui proses hukum dengan alasan kedua belah pihak telah berdamai. Penelitian mengenai penyelesaian kasus kecelakaan lalu linas menggunakan 2 (dua) kasus sebagai bahan kajian, yaitu Putusan Nomor: 13/ Pid.B/ 2016.PN Sit (Lalu Lintas) dan Putusan Nomor: 196/ Pid.Sus/ 2017/ PN.Sit. Berdasarkan contoh kasus di atas yang merupakan kasus kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia. Pada kasus di atas pelaku telah memenuhi kewajibannya sebagai orang yang telah menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia dengan cara memberikan uang duka kepada keluarga korban. Pada hukum positif Indonesia, meskipun terdakwa telah memberikan uang duka kepada keluarga korban (damai) ternyata tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 235 UU LAJ Umum. Hal tersebut membuat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) masih ragu jika terjadi kasus kecelakaan lalu lintas yang berdamai dikarenakan tidak terdapat payung hukum yang mengatur mengenai penghentian perkara kecelakaan lalu lintas. Penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia seharusnya dapat dilakukan menggunakan pendekatan restorative justice dengan mempertimbangkan proses perdamaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang dibahas ada 2 (dua), yaitu: pertama, bagaimanakah prinsip restorative justice dapat diterapkan pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggal dunia?, kedua, bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana yang ideal terhadap penerapan prinsip restorative justice dalam penanganan tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggal dunia?. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach). Bahan sumber hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisisi mengenai penangan tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggal dunia dengan menggunakan prinsip restorative justice dan untuk mengkaji serta menganalisis kebijakan formulasi hukum pidana yang ideal terhadap penerapan prinsip restorative justice dalam penanganan tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggal dunia. Hasil kajian yang diperileh bahwa: Pertama, Penggunaan prinsip restorative justice hanya dapat dilakukan apabila pelaku kecelakaan lalu lintas dalam keadaan sehat dan tidak terkontaminasi minuman keras atau obat-obatan terlarang. Selain itu, penggunaan prinsip restorative justice pada kecelakaan lalu linta yang mengakibatkan korban meninggal dunia hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak tidak menghendaki terjadinya perdamaian, maka proses penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas berat diselesailan dengan acara biasa. Kedua, Penggunaan prinsip ressorative justice pada tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggal dunia perlu untuk diatur dalam perundang-udangan Indonesia. oleh karena itu terdapat beberapa alternatif kebijakan formulasi terhadap UU LAJ, yaitu dengan menambahkan atau menyisipkan beberapa pasal dalam UU LAJ. Pasal tersebut berisi beberapa ayat yaitu: Ayat pertama berisi mengenai penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan prinsip restorative justice baik pada kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas berat, maupun kecelakaan lalu lintas berat bahkan yang mengakibatkan meninggal dunia. Ayat kedua berisi mengenai bahwa setiap perkara yang menggunakan prinsip restorative justice harus melakukan registrasi terlebih dahulu. Ayat ketiga berisi mengenai apa yang selanjutnya dilakukan apabila telah terjadi kesepakatan damai antar pihak yenag terlibat, seperti “apabila telah terjadi kesepakatan damai antara pihak yang terlibat, maka dibuatkan surat kesepakatan damai oleh penyidik, dan kemudian surat kesepakatan damai tersebut diarsipkan dan dilampirkan dalam berkas registrasi perkara. Dengan penambahan pasal dalam UU LAJ maka setiap kasus tindak pidana kecelakan lalu lintas yang telah terjadi kesepakatan damai telah memiliki payung hukum. Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain: Pertama, Hukum positif Indonesia saat ini yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yaitu UU LAJ masih mempunyai keterbatasan dalam hal penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas, sehingga perlu adanya suatu pembaharuan terhadap UU LAJ. Perlu segera dibahas dan direalisasikan mengenai kebijakan formulasi terhadap UU LAJ dengan menambahkan pasal mengenai penerapan prinsip restorative justice Sehingga para penegak hukum tidak ragu lagi untuk menghentikan kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas berat apabila telah terjadi kesepakatan damai antar pihak yang terlibat.

Peran Partai Politik Dalam Mobilisasi Pemilih Studi Kegagalan Parpol Pada Pemilu Legislatif Di Kabupaten Demak 2009

Intisari

Pada Pemilu 2009, Indonesia menerapkan sistem pemilu baru yang berbeda dengan sistem pemilu yang telah dipakai pada Pemilu-pemilu sebelumnya. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, sistem pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional terbuka, dengan penentuan kandidat peraih kursi yang telah diperoleh partainya, berdasar suara terbanyak. Sedangkan pada Pemilu-pemilu sebelumnya, sistem yang digunakan adalah sistem proporsional yang berdasar nomor urut kandidat. Perubahan sistem pemilu Indonesia dari sistem proporsional menjadi sistem proporsional terbuka, membawa perubahan prilaku para aktor dan memunculkan fenomena-fenomena baru yang tidak dijumpai pada Pemilu-pemilu sebelumnmya, terkait dengan pengarahan pemilih yang dilakukan oleh para aktor. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan informasi data penelitian, metode purposive sampling digunakan untuk menentukan partai-partai politik yang menjadi obyek penelitian. Partai yang dipilih adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, dan Partai Gerakan Indonesia Raya.

Pendekatan Penelitian

Metode wawancara dengan penentuan informan melalui teknik snowballing. Peneliti juga melakukan observasi untuk mendapatkan data yang lebih lengkap.. Temuan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, dari sisi dinamika Partai politik sebelum tahapan kampanye Pemilu: Partai mengalami permasalahan konsolidasi internal. Partai berorientasi pada nomor urut dan berorientasi pada suara terbanyak. Beberapa partai memiliki mesin partai yang lengkap dan lebih banyak partai yang belum. Sikap partai yang beragam dalam keterlibatan mobilisasi. Kedua, dari sisi Calon Legislatif: Caleg yang berasal dari partai yang berorientasi nomor urut, dituntut untuk merubah strateginya. Caleg dituntut untuk mobilisasi mandiri. Caleg lebih memanfaatkan faktor di luar partai. Ketiga, dari sisi harmonisasi antara Partai dan Caleg: Tidak terjadi kerjasama yang baik dalam mobilisasi pemilih. Partai cenderung lepas tangan, dan menyerahkan kepada Caleg. Keempat, bentuk-bentuk mobilisasi yang dilakukan oleh Caleg secara mandiri: Bentuk mobilisasi terbagi menjadi 2 kriteria, yakni berdasarkan hubungan emosional, dan bantuan-bantuan. Dari berbagai data yang kemudian dianalisa secara menyeluruh, maka dapat dikatakan bahwa partai politik telah gagal melaksanakan peran organisasi politk. Keterbatasan penelitian ini adalah hanya digunakan untuk menjelaskan partai politik (PDIP, Partai Demokrat, PKB, dan Partai Gerindra) di Kabupaten Demak pada Pemilu legislatif 2009. Artinya, pada kondisi politik yang lain, perbedaan kondisi internal partai, serta pada kondisi masyarakat yang berbeda, terdapat kemungkinan perbedaan penjelasan. Sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan untuk menjelaskan kondisi yang lebih luas.

Penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Pada Penyelenggaraan Pendidikan S-1 Terapan Di Akademi Kepolisian

Intisari

Polri saat ini mendapat banyak tantangan untuk menghadapi kejahatan yang semakin kompleks sebagai akibat dari dinamika perkembangan kehidupan sosial di masyarakat. Namun di sisi lain pembenahan organisasi Polri juga menjadi perhatian utama ditengah tuntutan masyarakat untuk menjadikan Polri lebih profesional, khususnya dalam membenahi dan mengembangkan SDM Polri sebagai program prioritas reformasi birokrasi di tubuh Polri. Akpol sebagai lembaga pendidikan pembentukan tertinggi di lingkup Polri menjawab tantangan ini dengan program pembentukan perwira yang memiliki kualifikasi sarjana terapan ( SST Pol) dengan harapan mampu melahirkan calon calon perwira pimpinan Polri di masa yang akan datang yang memiliki kompetensi profesionalisme, bermoral dan patuh hukum. Saat ini pendidikan di Akpol mengacu pada UU sisdiknas serta UU Pendidikan Tinggi dengan tujuan lulusannya dapat disejajarkan dengan lulusan seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan menjadikan ilmu kepolisian sebagai salah satu disiplin ilmu yang diakui oleh pendidikan di indonesia. Permasalahan timbul ketika Akpol belum mampu mengimplementasikan UU pendidikan Tinggi khususnya mengenai tenaga pendidik internal yang kualifikasinya serta home base masih belum menyesuaikan dengan syarat minimum yang ditetapkan oleh UU pendidikan tinggi sehingga berimbas kepada kualitas output peserta didik. Permasalahan ini yang coba peneliti angkat dalam tesis. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan metode analisis data yaitu metode kualitatif.

Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa secara kurikulum bahwa Akpol telah mengimplementasikan UU pendidikan tinggi dengan mengembangkan tiga kompetensi yaitu kompetensi umum, utama dan khusus sesuai dengan program pendidikan vokasi (D-4). Sedangkan dari segi tenaga pendidik, Akpol belum mampu secara menyeluruh menyediakan tenaga pendidik yang berkualifikasi minimum seperti yang diamanatkan oleh UU ditambah dengan masa dinas pengabdian yang dibatasi 2 tahun menjadikan tenaga pendidik internal sering berganti ganti. Saran yang diberikan bahwa mabes Polri harus membuka peluang bagi seluruh anggota Polri yang ingin mengabdikan diri sampai pensiun di Akpol dengan persamaan jenjang karier serta didukung peningkatan kualitas tenaga pendidik melalui jenjang beasiswa, Akpol perlu mengangkat dosen non Polri untuk menjadi dosen tetap bukan sebagai dosen tamu.

Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Hukum Waris Adat Bali

Intisari

Apabila hukum yang mengatur tentang undang-undang perkawinan tidak diperhatikan, akan mengakibatkan kekaburan terhadap arti dan tujuan perkawinan itu sendiri, untuk mengatasi kebebasan yang berlebihan, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan sebaliknya seorang isteri hanya boleh memiliki seorang suami. Kedudukan ahli wads sebagai anak yang lahir dad perkawinan kedua atau perkawinan poligami dalam hukum adat Bali masih banyak permasalahannya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat sampai saat ini pengaturan hukum wads dalam masyarakat adat bali masih diserahkan pada hukum adat masing-masing. Selain itu sebagian masih terdapat pelaksanaan hukum waris Hindu yang menuntut hak mereka disamaratakan. Tujuan dad penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pembagian warisan kepada ahli wads dari istri kedua menurut adat masyarakat Bali. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian sengketa dari permasalahan pembagian warisan dalam kaitanrtya dengan adanya ahli waris dari perkawinan poligami.

Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris, adalah pendekatan yang didasarkan pada aturan hukum yang berlaku juga melalui kenyataan di lapangan mengenai pembagian warisan dalam masyarakat adat Bali berkaitan dengan hak wads anak yang lahir dad perkawinan poligami. Pembagian warisan dalam masyarakat adat Bali, dalam status perkawinan poligami dapat dilakukan dengan dua cara: membagi anak sulung lebih banyak dari anak bungsu dan anak perempuan mendapatkan jumlah yang lebih sedikit dari anak laki-laki dan dengan cara pembagian yang sama rata antara para ahli wads satu golongan tersebut, tenth dengan tetap adanya perbedaan antara harta yang diperoleh anak perempuan lebih sedikit dari yang diperoleh anak laki-laki, juga memperhatikan penyisihan harta warisan untuk dipergunakan dalam pengurusan harta pusaka. Konflik pembagian warisan dalam masyarakat Hindu Bali sering disebabkan karena adanya keinginan beberapa ahli waris untuk memegang druwe tengah, penyelesaian konflik ini diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, bila musyawarah tidak tercapai maka akan ditempuh pilihan penyelesaian dengan menggilir pemegang druwe tengah diantara para ahli wads.

Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten

Intisari

Thesis ini mengambil judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LISENSI PATEN”, thesis ini akan melakukan pengkajian mengenai pelaksanaan Pencatatan lisensi hak paten baik itu menyangkut mekanisme pelaksanaan lisensi, peranan pemerintah dalam mengawasi perjanjian lisensi paten, keharusan pencatatan perjanjian lisensi dan pendaftaran patennya serta penyelesaian sengketa lisensi dibidang paten terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Hak Paten. Pertimbangan yang mendasari pengkajian terhadap hal-hal tersebut adalah belum adanya kesesuaian pengaturan lisensi di dalam undang-undang, dan pelaksanaan di lapangan seperti belum adanya Peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan pencatatan lisensi paten. Belum diaturnya secara formal pelaksanan pencatatan lisensi memberikan implikasi terhadap penerima lisensi dan juga berdampak kepada negara yang juga dirugikan.

Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif dan metode analisis yang dipakai bersifat kualitatif normatif. Paten merupakan hak kebendaan yang dapat dialihkan baik seluruh maupun sebagian karena; pewarisan; hibah; wasiat; perjanjiian tertulis atau, sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga dapat dialihkan melalui lisesni. Lisensi merupakan pemberian izin yang bersifat komersial, dalam arti memberikan hak dan kewenangan untuk memanfaatkan hak atas paten yang dilindungi secara ekonomis dengan pemberian ijin yang dituangkan dalam perjanjian tertulis. Perjanjian yang dibuat antara pemilik dan penerima lisensi adakalanya mengandung larangan yang dapat merugikan penerima lisensi, sehingga secara tidak langsung negara juga turut dirugikan dengan adanya perjanjian yang tidak imbang. Dengan demikian peran pemerintah dalam mengawasi dan mengontrol sangat diperlukan sehingga perjanjian lisensi mempunyai aspek keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima lisensi Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa pentingnya perlindungan hukum melalui pencatatan lisensi Paten akan membawa dampak terhadap aspek lain yaitu aspek ekonomi, sehingga pengawasan oleh pemerintah melalui pembentukan Peraturan Pemerintah tentang pencatatan perjanjian lisensi paten sudah seharusnya dilakukan Masalah penyelesaian sengketa dalam perjanjian lisensi paten dapat dilakukan melalui forum pengadilan (Litigasi) atau melalui forum arbitrase (non Litigasi). Forum arbitrase biasanya sering digunakan dalam penyelesaian antara pemberi dan penerima lisensi paten, hal ini dilakukan karena cara ini dapat dicapai win-win solution (menangmenang) dan dapat memenuhi rasa keadilan diantara mereka.

Ide Dasar Tindak Pidana Dalam Huicum Islam : Relevansi Dan Formulasinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Intisari

Dewasa ini di Indonesia sedang berlangsung upaya untulc memperbaharui KUHP sebagai bagian dari Usaha pembaharuan hulcum pidana nasional yang menyeluruh. Usalah pembaharuan tersebut ditempuh, bukan hanya karena .alasan bahwa KUHP yang sekarang ini diberlalculcan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, tetapijuga karena KUHP tidak lebih dari produlc warisan penjajah dan tidak sesuai lagi dengan pandangan hidup bangsa indonesia yang berdaulat.Sehubungan dengan hal itu, akan dikaji kettungkinan kontribusi dari hukum Islam yang diakui sebagai salah satu sumber dalatzt rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. Hal yang perlu mendapat perhatian, bertitik tolak pada masalah pokok mengenai relevansi bentulc — bentulc tindak pidana dalam hukum Islam terhadap Konsep KUHP yang kelak akan diformulasikan dalam upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini, karena yang menjadi pusat perhatian utama adalah kebijakan dalam menetapkan dan merumuskan bentuk — bentuk tindak pidana yang dirumuskan dalam hukum Islam ke dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis komparatif digunakan untuk memahami kajian perbandingan sistem pidana di beberapa negara Islam. Sehubungan dengan upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia, perlu dikaji kemungkinan kontribusi dad sumber hukum Islam. Karena antara huktun pidana Islam dengan sistem kehidupan masyarakat Indonesia terdapat relevansi yang sangat signifikan, sehingga merupakan nilai tambah bagi kontribusi hukum pidana Indoneisa, baik menurut tujuan pemidanaan modern, tinjauan sosiologis, maupun yuridis dan filosofis. Usaha memformulasikan hukum pidana Islam dalam Konsep KUHP dituangkan, dalam perumusan pasal mengenai bentuk — bentuk tindak pidana agar kelak menjadi rumusan yang mempunyai nilai tambah dengan mempertimbangkan bulcum agama.

 

Incoming search terms:

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?