HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Telaah Peraturan Daerah Tentang Pencegahan Maksiat dalam NKRI

Judul : Telaah Peraturan Daerah Tentang Pencegahan Maksiat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Ber-Bhineka Tunggal Ika (Studi Kasus di Provinsi Gorontalo)

ABSTRAK

Tujuan penulisan hukum (skripsi) ini adalah untuk menelaah Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat ditinjau dari kewenangan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah dan kedudukan Peraturan Daerah tersebut dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbhineka tunggal ika. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh data yang seteliti mungkin mengenai obyek yang diteliti. Data penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh sumber data sekunder. Data yang diperoleh tersebut selanjutnya diolah untuk diklasifikasi dengan sistem penalaran deduktif dalam bentuk analisis data model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kewenangan Daerah dalam Rangka Melaksanakan Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia secara garis besar tertuang dalam Pasal 18A UUD 1945 dan perundang-undangan dibawahnya yang menjabarkannya. UU Nomor 22 Tahun 1999 memberi kewenangan daerah pada seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. UU Nomor 38 Tahun 2000 mengatur kewenangan hanya untuk Provinsi Gorontalo. UU Nomor 32 Tahun 2004 membedakan kewenangan pemerintahan daerah menjadi urusan wajib dan urusan pilihan. Perda merupakan produk perundang-undangan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kesesuian Perda Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memperhatikan peraturan perundang-undangan diatasnya yang telah mengatur materi muatannya, dan harus mempunyai landasan yuridis, landasan filosofis, dan landasan sosiologis. Adapun materi muatan Perda ini hanya berupa pencegahan terjadinya tindakan-tindakan yang pidananya sudah diatur dalam perundang-undangan diatasnya. Perda membatasi perbuatan maksiat yang diatur hanya meliputi zina, pelacuran, pernikahan yang tidak sah, perkosaan, pelecehan seksual, judi, penyalahgunaan narkoba, minuman beralkohol, pornoaksi dan pornografi.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Prinsip dalam negara kesatuan adalah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah Pemerintah Pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasan kepada Pemerintah Daerah (local government). Dalam negara kesatuan tanggungjawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Namun karena sistem pemerintahan Indonesia salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. Pilihan bentuk desentralisasi sendiri bukan merupakan pilihan yang mudah bagi Indonesia, mengingat wilayah geografis yang sangat luas dan terbentang dalam puluhan ribu pulau, serta masyarakat yang sangat heterogen. Desentralisasi seringkali menjadi dilema ketika apresiasi terhadap keberagaman menuntut desentralisasi yang pada gilirannya melahirkan otonomi daerah. Pilihan kebijakan desentralisasi sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 juga bukan merupakan pilihan final.

Indonesia harus mengadopsi sebuah kebijaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah yang baru dan berbeda sama sekali dengan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 30 tahun lebih yang ditempuh pemerintahan Orde Baru. Jika dulu otonomi luas dianggap mengancam integritas nasional, saat ini otonomi justru diyakini bisa mempererat integrasi. Tidak pernah ada negara yang hancur karena otonomi. Kehancuran justru disebabkan sentralisme  (Ni’matul Huda, 2007: 12). Otonomi pada prinsipnya berusaha mendorong potensi daerah agar berkembang menurut preferensi daerah itu sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakatnya yang terus berkembang, karena hanya orang-orang daerahlah yang mengetahui persoalan, potensi, dan preferensi masyarakatnya dalam membawa ke arah mana pembangunan dilaksanakan. Selain itu, keberagaman yang ada di bumi pertiwi membuat konsep pembangunan yang sentralistik tidak lagi memiliki pijakan. Keberagaman berbagai daerah dengan sendirinya akan mengarah pada spesialisasi masing-masing daerah sesuai dengan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan letak geografis dalam meningkatkan kemakmuran. Sudah enam puluh tahun lebih perjalanan pemerintahan dan politik di Indonesia. Berbagai macam pengalaman dan percobaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah telah dilalui oleh bangsa Indonesia. Dari UU Nomor 1 Tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Sejak tahun 2004, melalui UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis Peraturan Daerah sudah secara resmi menjadi sumber hukum dan masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga eksistensi Peraturan Daerah telah diatur secara tegas dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Terdapat tiga aspek dalam penyusunan Perda, yakni yuridis, filosofis, dan sosiologis. Namun seringkali penyusunan Perda mengabaikan aspek sosiologis, yakni hukum yang berlaku dimasyarakat, dan karena tidak melihat potensi dan karakteristik masyarakat, implementasi Perda banyak terganggu. Selain itu sebagian besar Perda yang bermasalah umumnya bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, juga terjadi tumpah tindih antara kebijakan pusat dan daerah (Ni’matul Huda, 2007: 84). Sejumlah permasalahan terkait Perda layak untuk dikemukakan karena pemahaman masyarakat terhadap otonomi daerah sangat beragam, sehingga perlu ditegaskan koridor otonomi daerah dalam bingkai yang jelas agar tidak keluar dari rel yang sudah disepakati bersama dan membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul: TELAAH PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN MAKSIAT DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BER-BHINEKA TUNGGAL IKA (STUDI KASUS DI PROVINSI GORONTALO)

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?