HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Proposal Penelitian Hukum Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemusnahan Barang Sitaan Narkotika

Proposal merupakan salah satu bentuk rancangan kegiatan yang dibuat dalam bentuk formal dan standar. Dalam dunia pendidikan proposal lebih dikenal sebelum melaksanakan tugas akhir skripsi atau tesis. Proposal penelitian hukum akan dilakukan sebelum membuat skripsi atau tesis hukum. Proposal tersebut berisikan gambaran atau garis besar permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi atau tesis nantinya. Sehingga proposal dapat dikatakan sebagai bagian inti dari tugas akhir tersebut.

Dari contoh yang akan disajikan di bawah ini, dapat diketahui bahwa secara garis besar proposal penelitian pada contoh ini adalah skripsi, mempunyai beberapa bagian seperti pengungkapan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan diadakannya penelitian, manfaat penelitian yang dapat diambil, keaslian penelitian, tinjauan pustaka dari berbagai sumber, mencantumkan metode penelitian yang akan digunakan serta daftar pustaka yang mencantumkan berbagai sumber buku, jurnal, penelitian terdahulu, peraturan perundangan yang dicuplik untuk melengkapi proposal tersebut.

Di bawah ini merupakan contoh proposal penelitian hukum yang  berjudul “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemusnahan Barang Sitaan Narkotika Di Wilayah Pengadilan Negeri Sleman”

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PEMUSNAHAN BARANG SITAAN NARKOTIKA DI WILAYAH PENGADILAN NEGERI SLEMAN

A.      Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Dalam usaha memperkuat prinsip di atas, maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-badan lain tersebut selanjutnya dipertegas lagi oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 41 menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan badan-badan lain diatur dalam Undang-undang.

Sejalan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk Undang-undang yang baru. Untuk itu pada tanggal 26 Juli 2004 telah diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah membawa perubahan yang mendasar dalam proses penyelesaian perkara pidana, baik dalam konsepsi maupun implementasi. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut para aparat pelaksana penegakan hukum melakukan upaya-upaya reorientasi atas sikap, tata cara dan tata pikiran dengan maksud agar mampu memainkan peran yang telah ditentukan.[1]

Konsepsi sistem peradilan pidana yang dianut dalam KUHAP tersebut sejalan dengan diintrodusirnya konsepsi “Sistem Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System) sebagai pengembangan dari model sistem peradilan pidana (criminal justice system model) yang pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Pendekatan sistem dalam mekanisme peradilan pidana menunjukkan adanya unsur-unsur yang terdiri dari sub-sub sistem, yaitu sub sistem penyidikan, sub sistem penuntutan, sub sistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan sub sistem pelaksanaan putusan pengadilan. Sistem peradilan pidana melibatkan komponen-komponen yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Pendekatan sistem ini seharusnya memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen agar tercapai koordinasi dan sinkronisasi dalam penegakan hukum.

Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk keperluan itu didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat keterangan pengganti kutipan putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap kejaksaan juga mempunyai tugas melaksanakan penetapan hakim Pidana.

Tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim sebagai tahap terakhir perkara pidana dimaksudkan menjalankan pekerjaan melaksanakan putusan hakim dalam arti terbatas hanya untuk tugas eksekusi saja oleh Jaksa. Putusan hakim dapat ditetapkan dari berbagai jenis pidana yang terdapat di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau aturan hukum lainnya yang sah, dan selanjutnya pelaksanaan putusan berbagai jenis pidana tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pidana.[2]

Tugas pelaksanaan pidana sebagai akibat oleh putusan hakim ini berhubung adanya petugas-petugas pelaksana lainnya diluar kejaksaan, maka perlu dibedakan antara tugas eksekusi putusan hakim dan tugas pelaksanaan pidana sebagai tindak lanjut dari eksekusi. Misalnya mengenai pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan, petugas Bispa dan pengawasan/pengamatan yang dijalankan oleh seorang hakim yang ditunjuk dalam jangka waktu tertentu.

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana (KUHAP) dalam ayat (4) menentukan bahwa benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Termasuk dalam kategori barang sitaan yang dilarang untuk diedarkan antara lain adalah minuman keras, narkotika, psikotropika, senjata dan bahan peledak, buku-buku atau gambar atau bentuk lain dari barang-barang yang masuk dalam kelompok pornografi.

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengatur mengenai pemusnahan narkotika dan psikotropika yang salah satu sebabnya adalah berhubungan dengan tindak pidana. Menurut ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut, pemusnahan barang sitaan yang berupa narkotika dan psikotropika yang dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh pejabat kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian dan Departemen Kesehatan dengan dibuat Berita Acara Pemusnahan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka yang masih perlu untuk diperjelas adalah mengenai mekanisme pemusnahan barang sitaan yang bersifat terlarang dan bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pemusnahan barang sitaan tersebut. Pelaksanaan pemusnahan barang sitaan yang bersifat terlarang tersebut berpotensi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya maupun dalam pengawasanya, sehingga dikhawatirkan barang sitaan yang bersifat terlarang masih ada kemungkinan bisa beredar lagi di masyarakat.

B.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang muncul dan perlu mendapatkan jawaban dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimanakah pelaksanaan pemusnahan barang sitaan narkotika yang diedarkan di Kejaksaan Negeri Sleman ?
  2. Bagaimanakah bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pemusnahan barang sitaan tersebut?

C.      Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui pelaksanaan pemusnahan barang sitaan narkotika yang bersifat terlarang untuk diedarkan di Kabupaten sleman
  2. Untuk mengetahui bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pemusnahan barang sitaan  narkotika yang bersifat terlarang untuk diedarkan.

D.      Manfaat Penelitian

  1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pemusnahan barang sitaan narkotika yang bersifat terlarang untuk diedarkan
  2. Penelitian ini diharapkan juga memberikan sumbangan pemikiran terhadap bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pemusnahan barang sitaan narkotika yang bersifat terlarang untuk diedarkan

E.        Keaslian Penelitian

Menelusuri kepustakaan, ternyata telah banyak ditemukan penelitian di bidang hukum pidana. Akan tetapi menurut pengetahuan penulis penelitian pemusnahan barang sitaan narkotika di Kejaksaan Negeri Sleman berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1977 Pasal 60, sampai saat ini belum pernah ada. Namun demikian apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian yang sejenis dengan penelitian ini, maka penulis berharap penelitian ini dapat melengkapinya.

F.     Tinjauan Pustaka

Loebby Loqman membedakan pengertian sistem peradilan pidana dengan proses peradilan pidana. Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur/faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut. Proses peradilan pidana adalah dalam arti jalannya suatu peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seorang diduga telah melakukan tindak pidana sampai orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. [3]

HAGAN, sebagaimana dikutip oleh. Romli Atmasasmita, memberikan pengertian bahwa proses peradilan pidana (criminal justice process) adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. [4]

Indriyanto Seno Adji membedakan criminal justice system dengan criminal justice administration (Administrasi Peradilan Pidana). Criminal Justice Administration merupakan jalan prosedural dari suatu acara persidangan pidana, yaitu sejak adanya dakwaan sampai dengan diucapkannya suatu putusan bagi terdakwa. Administrasi peradilan pidana merupakan bagian dari cara kerja sub sistem peradilan saja. [5]

Pasal 1 butir 16 KUHAP menyatakan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Andi Hamzah menyatakan bahwa dalam definisi penyitaan menurut KUHAP tersebut terdapat hal baru yang tidak terdapat dalam HIR, yaitu kemungkinan menyita benda yang tidak berwujud.[6] Berdasarkan dalam perundang-undangan lama tidak dimungkinkan penyitaan benda yang tidak berwujud seperti tagihan piutang dan lain-lain. Yang pertama kali memperkenalkan hal demikian ialah Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955), yang menyadur Wet op de Economische Delicten di negeri Belanda.

Pada bagian lain dikatakannya definisi ini agak penting tetapi terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam Pasal 134 Ned. Sv, juga diberikan definisi penyitaan (inbeslagnming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut : “Dengan penyitaan sesuatu benda diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana”. Jadi, tidak dibatasi hanya untuk pembuktian.[7]

Orang sering mendengar kata “pembeslahan atau perampasan” atas benda atau barang yang ada kaitan dengan tindak pidana. Pengertian “membeslah” sama artinya dengan menyita, yakni mengambil barang atau denda dari kekuasaan pemegang benda itu untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian. Sedang “perampasan” benda atau barang, artinya lain dengan pembeslahan atau penyitaan. Perampasan adalah tindakan hakim yang berupa putusan tambahan pada pidana pokok sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 KUHP[8], yakni mencabut dari hak pemilikan seseorang atas benda itu, dengan demikian, benda-benda itu oleh penetapan hakim dirampas dan kemudian dapat dirusakkan atau dibinasakan atau bahkan dapat dijadikan sebagai milik negara.

Tujuan penyitaan agak berbeda dengan tujuan penggeledahan. Seperti yang sudah dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk pemeriksaan penyidikan.

Berbeda dengan penyitaan, di mana tujuannya ialah untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang pengadilan. Kemungkinan besar tanpa adanya barang bukti, perkaranya tidak dapat diajukan ke muka sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan tindakan penyitaan guna dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam tingkat penuntutan, dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan. Kadang-kadang barang yang disita tersebut bukan milik tersangka. Adakalanya barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana pencurian. Atau memang undang-undang atau diperolehnya tanpa izin yang sah menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak korupsi dan penyelundupan.

Adapun tata cara penyitaan adalah :

  • Berdasarkan surat izin pengadilan negeri kecuali tertangkap tangan hanya atas benda bergerak.

Pasal 38 KUHAP mengatakan : (1) penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.

Selanjutnya Pasal 38 KUHAP mengatakan, (2) dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1), penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini dapat dianalogikan dengan penjelasan Pasal 34 ayat (1) KUHAP tersebut di atas, sehingga penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana di tempat yang akan disita diduga keras terdapat benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.

Pasal 40 KUHAP menentukan bahwa dalam hal tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Pasal 41 KUHAP menentukan bahwa dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan tanda penerimaan.

  • Penyitaan oleh penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal

Pasal 128 KUHAP menentukan bahwa dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.

  • Penyitaan disaksikan oleh Kepala Desa atau Kepala Lingkungan dan dua orang saksi

Pasal 129 ayat (1) menentukan bahwa penyidik memperlihatkan benda yang akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dengan dua orang saksi.

  • Penyidik membuat berita acara yang dibacakan, ditandatangani serta salinannya disampaikan kepada atasan penyidik, orang yang disita keluarganya, dan kepala desa

Pasal 129 ayat (2), (3), dan (4) KUHAP menentukan bahwa, penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya, hanya itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

  • Benda sitaan dibungkus, dirawat, dijaga, serta dilak dan cap jabatan

Menurut Pasal 130 KUHAP (1) benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita, dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. (2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

Penyitaan tidak langsung ini diatur dalam Pasal 42 ayat (1) dan (2) KUHAP yang berbunyi : penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa, atau ditujukan kepadanya, atau kepunyaannya, atau diperuntukkan baginya, atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

Penyitaan surat atau tulisan lain diatur dalam Pasal 43 KUHAP yang berbunyi : penyitaan surat atau tulisan dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. Misalnya dalam hal ini notaris. Dia adalah seorang pejabat atau orang tertentu yang menyimpan dan menguasai akte testamen, dan oleh undang-undang dia diwajibkan untuk merahasiakan isinya.

Ketentuan yang mengatur mengenai benda yang dapat disita adalah Pasal 39 KUHAP. Disertai dengan contoh, secara rinci pasal ini berbunyi sebagai berikut.

(1)    Yang dapat dikenakan penyitaan adalah sebagai berikut :

(a)    Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana. Misalnya, mobil, TV, uang dan lain-lain yang merupakan barang curian atau hasil korupsi.

(b)   Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. Misalnya pisau untuk membunuh, kunci palsu yang dipakai untuk membuka lemari dan lain sebagainya.

(c)    Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. Misalnya obat yang diminum yang menyebabkan sakit sehingga tersangka tidak dapat diperiksa.

(d)   Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. Misalnya uang logam atau uang kertas palsu dan lain sebagainya.

(e)   Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Misalnya sidik jari, baju yang dipakai pada waktu membunuh atau mencuri.

(2)    Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

(Ketentuan ini sesuai juga dengan Undang-Undang Peradilan Militer. Lihat Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer).

Pasal 44 KUHAP mengatakan, (1) benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. (2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga.

Adalah patut dan wajar sekali untuk menjaga dan memelihara barang sitaan dengan cermat dan baik, sebagaimana layaknya barang kita sendiri, bahkan selayaknya melebihi penjagaan dan pemeliharaan terhadap barang sendiri. sebab, alangkah tragisnya apabila kesalahan tersangka tidak terbukti atau barang tersebut tidak tersangkut atau terlibat dalam tindak pidana yang dilakukan tersangka, ternyata pada waktu benda yang disita itu dikembalikan kepadanya, sudah hancur dan tidak mempunyai nilai apa-apa lagi. Atau yang paling sedih, benda sitaan itu ternyata memang tersangkut dalam tindak pidana, tapi benda itu adalah milik saksi yang menjadi korban tindak pidana tersebut. Dan pada saat putusan memerintahkan pengembalian barang-barang bukti sitaan kepada saksi/korban (misalnya dalam pencurian), ternyata benda tersebut sudah rusak dan tidak bisa lagi dimanfaatkan. Banyak hal-hal yang menyedihkan dalam pengembalian barang bukti sitaan kepada pemiliknya yang sah. Barangkali pada saat pengembalian kepada pihak saksi atau kepada pihak yang berhak untuk menerimanya kembali sesuai dengan amar putusan pengadilan, dapat dikatakan hampir rata-rata jarang yang masih utuh dan bernilai. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain, disamping cara pembungkusan, penyimpanan, pemeliharaan, dan penjagaan yang kurang bertanggung jawab, juga disebabkan oleh faktor tempat penyimpanannya yang tidak memenuhi syarat, semua ditumpuk berserakan pada suatu gudang sempit, rata-rata hanya berukuran 3 x 3 m2. Faktor lain yang ikut mempengaruhi kerusakan tersebut, lambatnya putusan pengadilan sampai ke taraf putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hampir semuanya harus menunggu bilangan tahun. Jarang yang memakan waktu satu dua tahun. Hal ini jelas mempengaruhi kerusakan. Seandainya kepastian hukum dapat diperoleh dengan cepat, tentu barang bukti pun bisa segera dikembalikan kepada yang berhak.

Penjelasan Pasal 44 KUHAP ayat (1), selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor Kepolisian Republik Indonesia, di Kantor Kejaksaan Negeri, di Kantor Pengadilan Negeri, di Gedung Bank Pemerintah dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita.

Dalam praktek benda sitaan yang besar-besar seperti mobil, traktor, helikopter, disimpan di kantor polisi, kantor kejaksaan, atau di kantor pengadilan, sedangkan kapal laut ditempatkan atau ditahan di pelabuhan.

Mengenai rumah penyimpanan benda sitaan negara disingkat RUPBASAN diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 serta Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.06/1983. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 26 : (1) di tiap ibukota Kabupaten/Kota dibentuk RUPBASAN oleh Menteri; (2) apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk RUPBASAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang RUPBASAN; (3) kepala cabang RUPBASAN diangkat diberhentikan oleh Menteri.

Pasal 27 (1) di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim, (2) dalam hal benda sitaan dalam ayat (1) tidak mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanan benda sitaan tersebut diserahkan kepada kepala RUPBASAN, (3) benda sitaan disimpan  di tempat RUPBASAN untuk menjamin keselamatan dan keamanannya, (4) kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut.

Pasal 28 (1), penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut, (2) pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis, (3) kepala RUPBASAN menyaksikan pemusnahan barang rampasan yang dilakukan oleh jaksa.

Barang sitaan salah satunya adalah narkotika sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Pasal 1 : (1) Narkotik adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis  yang dapat meneyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangi rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

 Kemudian pada pasal ini juga, ayat (5) Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan  sebagai tindak pidana narkotika. Dari pasal-pasal ini dapat dikatakan bahwa narkotika adalah barang yang dapat menghilangkan kesadaran dan menimbulkan ketergantungan dilarang untuk diedarkan. Barang ini juga harus dimusnahkan jika terjadi penyitaan.

Pasa 60 : (1)  pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal : huruf d. berkaitan dengan tindak pidana. Pasal 62 ayat (1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan  sebagai berikut :

  • Dalam pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan atau penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh Pejabat yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatam, dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang menguasai barang sitaan.
  • Dalam hal pemusnaham narkotika dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan di saksikan oleh Pejabat yang mewakili Kepolidsisan Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatam.

G. Batasan Konsep

  1. Barang sitaan adalah penyitaan sesuatu benda diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana
  2. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis  yang dapat meneyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangi rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

 H.     Metode Penelitian

  • Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan pada data sekunder. Jadi dalam penelitian ini data diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang/menurut ketentuan hukum/perundang-undangan yang berlaku.

  • Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari :[9]

  1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, yang berupa :
    1. Undang-Undang Dasar 1945
    2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
    3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
    4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
    5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
  2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
  3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari :
      1. Kamus Umum Bahasa Indonesia
      2. Kamus Istilah Hukum
      3. Ensiklopedia
  4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi :

  1. Pengadilan Negeri Sleman
  2. Kejaksaan Negeri Sleman
  • Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah pelaksanaan pemusnahan barang sitaan narkotika yang bersifat terlarang untuk diedarkan.

  1. Responden
    1. Kepala Kejaksaan Negeri Sleman atau yang ditunjuk mewakilinya
    2. Ketua Pengadilan Negeri Sleman atau yang ditunjuk mewakilinya
    3. Jaksa yang ditunjuk sebagai pelaksana pemusnahan barang sitaan.
  2. Metode Pengumpulan Data
    1. Penelitian lapangan, dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan mengajukan daftar pertanyaan kepada responden
    2. Penelitian kepustakaan, dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mengolah dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
  3. Metode Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan secara deskriptif dan di analisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian
  2. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan
  3. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.

I.        Sistematika Penulisan Hukum

Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut penulis sajikan tentang sistematika penulisan yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini sebagai berikut :

BAB I             PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, batasan konsep, metode penelitian, dan selanjutnya pada akhir dari bab ini disajikan tentang sistematika penulisan skripsi.

BAB II            PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan tentang, Jenis-jenis Barang Sitaan Narkotika Yang Umumnya di Sita di Kejaksaan Negeri Sleman, Pelaksanaan Pemusnahan Barang Sitaan Narkotika di Kejaksaan Negeri Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bentuk Pengawasan terhadap Pemusnahan Barang Sitaan Narkotika

BAB IV          PENUTUP

Dalam bab penutup ini penulis menarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini sebagaimana telah diuraikan dan dibahas dalam Bab I dan Bab II dan memberikan sarannya.

 E.       DAFTAR PUSTAKA

_________, 1988. Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

_________, 1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Andi Hamzah, 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Bambang Poernomo, 1988. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta.

Indriyanto, Seno Adji, 2002. Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji SH & Rekan, Jakarta, Edisi Khusus untuk Program Magister Hukum UNPAD.

Loebby Loqman, 2002. Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta.

Martiman Prodjohamidjojo, 1990. Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta.

Moeljatno, 200. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Ramelan, Peningkatan Peran Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Media Hukum Persatuan Jaksa Republik Indonesia, Volume 2 Nomor 7, 22 September 2003, Jakarta, 2003.

Romli Atmasasmita, 1996.Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisinonisme, Putra A. Barden.

Soerjono Soekamto dan Sri Mammudji, 1990. Penelitian Hukum Normatif, Pengantar Singkat, Rajawali Press, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia


[1] Ramelan, Peningkatan Peran Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Media Hukum Persatuan Jaksa Republik Indonesia, Volume 2 Nomor 7, 22 September 2003, Jakarta, 2003, hal. 1

[2] Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta, 1988, hal. 24

[3] Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta, 2002, hal. 22

[4] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisinonisme, Putra A. Barden, 1996, hal. 14

[5] Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji SH & Rekan, Jakarta, Edisi Khusus untuk Program Magister Hukum UNPAD, 2002, hal. 9

[6] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 150

[7] Ibid, hal. 148

[8] Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 36

[9] Soerjono Soekmto dan Sri Mammudji, Penelitian Hukum Normatif, Pengantar Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal. 14

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?