- Pergerakan Fakultas Hukum Dalam Dimensi Tri Dharma (Modernitas Dan Ortodoks)
- Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Bpjs Ketenagakerjaan Di Lingkungan Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 Surabaya
- Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Terhadap Istri (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik)
- Karakter Hukum Pancasila Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
- Perlindungan Hak Dan Hukum Bagi Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundangundangan Di Indonesia
- Kedudukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Untuk Memberikan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Investasi
- Dasar Keberlakuan Yuridis Bagi Labelisasi Halal Produk Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Konsumen
- Perlindungan Hukum Atas Perubahan Status Pekerja Tetap Menjadi Pekerja Kontrak
- Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
- Kedudukan Kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Sebagai Jaminan Kredit Pemilikan Rumah
- Pengaruh Tuhan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial
- Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Apartemen Yang Dirugikan Oleh Jasa Pengembang
- Perlindungan Hukum Bagi Tersangka Dalam Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia
- Perlindungan Hukum Bagi Guru Yang Melakukan Tindakan Disiplin Terhadap Anak Didik
- Permohonan Peninjauan Kembali Oleh Istri Dari Seorang Terpidana
- Paradigma Sosiologis dan Implikasinya terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia
- Tindak Pidana Pemilu Legislatif di Indonesia
- Perlindungan Hukum Kelompok Teisme dalam Sistem Negara Hukum Pancasila
- Kebijakan Kriminalisasi Pengguguran Kandungan Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia
- Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Mekanisme Transaksi Jual Beli Minuman Kemasan Dalam Mesin Otomatis Di Untag 1945 Surabaya
Pergerakan Fakultas Hukum Dalam Dimensi Tri Dharma (Modernitas Dan Ortodoks)
Intisari
Fakultas Hukum saat ini tidak berdiri dalam humaniora atau sosial. Fakultas hukum adalah ilmu hukum yang sui generis. Akibat kekhususannya, maka Fakultas Hukum sebetulnya tidak memiliki program studi dan pembagian hukum seyogianya tidak ada, namun dalam perkembangan ilmu pengetahuan dibutuhkan kekhususan dalam suatu keilmuan. Permasalahan hukum demikian menjadikan Fakultas Hukum kesulitan untuk melakukan Tri Dharma sesuai Panduan Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Edisi XII Tahun 2018 yang diterbitkan oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Dengan menggunakan penelitian normatif yaitu dengan meneliti bahan pustaka disertai pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Ditemukan bahwa Fakultas Hukum haru melepaskan diri dari sifat eksklusif yang menekankan pada penelitian hukum normatif ataupun empiris. Penelitian yang bersifat ortodoks tidak dapat menjadi penyeimbang penelitian hukum yang modern. Penelitian hukum harus merambah pada metode campuran dan mengutamakan penafsiran sehingga tercapai tujuan hukum paling tinggi yaitu keadilan hukum.
Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Bpjs Ketenagakerjaan Di Lingkungan Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 Surabaya
Intisari
Pembangunan Nasional yang selama ini merupakan Pengalaman Pancasila, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, adil makmur dan damai baik material maupun sepiritual. Semakin meningkat peran pembangunan dapat mengakibatkan semakin tingginya resiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja. Dengan demikian perlu adanya upaya perlindungan terhadap tenaga kerja. Maka dari itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bagi tenaga kerja sebagai perwujudan aspirasi perlindungan ketenagakerjaan yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan disiplin kerja. Sanksi hukum dalam pelaksanaan dan penerapan jaminan sosial bagi tenaga kerja sangat diperlukan, tidak hanya di dalam lingkungan perusahaan yang berbadan hukum seprti perseroan terbatas, yayasan, koperasi akan tetapi juga orang perorangan juga pemberi kerja sekalipun wajib menjadi anggota. Program Jaminan Sosial Tenaga kerja awal mulanya merupakan suatu perwujudan dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1997 yang dituangkan dalam Pasal 3, yang menyatakan bahwa Perusahaan wajib menyelenggarakan program Asuransi Tenaga kerja baik dengan mempertanggungkan tenaga kerjanya yang bekerja dalam suatu ikatan kerja dengan perusahaan dalam program asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian, maupun dengan memenuhi kewajibannya dalam program tabungan hari tua kepada badan penyelenggara. Jaminan Sosial Bagi Tenaga kerja merupakan suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang sebagai akibat suatu peristiwa atau keadaan yang di alami oleh tenagakerja. Hal ini bisa berupa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Dengan uraian ini, penulis ingin mengamati penerapan sanksi penyelenggaraan program Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan yang dilaksanakan oleh Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 Surabaya, yang pelaksanaan program ini dimulai sejak tahun 2004 yang masih dikelola Jamsostek, setelah keluar dari Asuransi Jiwasraya. Sebelum menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, program Jamsostek  kala itu ada 4 program yang terdiri dari jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), jaminan hari tua (JHT) dan jaminan kesehatan [JPK] sedangkan untuk program pensiun BPJS Ketenagakerjaan baru berlaku mulai per 1 Juli 2015. Sedangkan untuk jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) yang saat ini dikelola oleh BPJS Kesehatan.
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Terhadap Istri (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik)
Intisari
Korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan harus mendapat perlindungan dari negara dan atau masyarakat, agar terhindar dan terbebas dari kekerasan penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajad dan martabat kemanusiaan. Kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri , tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik tetapi juga penderitaan psikis. Oleh karena itu korban KDRT harus mendapat perlindungan secara maksimal. Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istrinya dikategorikan sebagai perbuatan pidana karena terdapat kelakuan yang dilarang dan bersifat melanggar hukum, sehingga perbuatan itu mengandung sanksi yang dikenakan bagi yang melanggar larangan tersebut. Penelitian ini berusaha membahas permasalahan apakah ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi dasar bagi hakim dalam memutus perkara kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Gresik serta apakah yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Karakter Hukum Pancasila Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Intisari
Pada saat ini bangsa Indonesia memiliki momen penting dalam kehidupan nasional maupun global, karena sejak Januari 2016 telah diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (Economic Asean Community), yaitu era Sumber Daya Manusia dari negara-negara ASEAN secara bebas memasuki pasar di negara anggota ASEAN lainnya. Era MEA dapat disebut juga sebagai era kompetisi dan kompetensi.
Disebut era kompetisi karena sumber daya manusia Indonesia bersaing secara ketat dengan sumber daya manusia negara anggota ASEAN lainnya. Sumber daya manusia negara lain akan memasuki lowongan dan kesempatan kerja yang ada di Indonesia bersaing
dengan orang Indonesia, sebaliknya sumber daya manusia Indonesia juga dapat memasuki pasar kerja di negara-negara ASEAN lainnya.
Disebut era kompetensi karena untuk memasuki dunia kerja, baik di Indonesia maupun di negara-negara ASEAN lainnya harus didasarkan pada standart kompetensi yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Hanya orang yang memiliki dan diakui kompetensinya yang dapat memasuki pasar kerja di negara ASEAN.
Perlindungan Hak Dan Hukum Bagi Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundangundangan Di Indonesia
Intisari
Perempuan seringkali menjadi korban tindak kejahatan khususnya perkosaan yang menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut memiliki pilihan meneruskan kehamilan atau melakukan aborsi, namun kehamilan tersebut tentu membuat penderitaan psikologis bagi perempuan. Tindakan aborsi adalah tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang Kesehatan di Indonesia, namun Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengecualian bahwa tindakan aborsi dapat dilakukan oleh korban perkosaan. Korban perkosaan yang melakukan aborsi memiliki hak-hak hukum untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang aman, bermutu, hak mendapatkan layanan konseling sebelum atau sesudah tindakan aborsi, dan hak-hak lainnya, serta korban perkosaan yang melakukan aborsi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena adanya alasan penghapus pidana yakni adanya daya paksa, dan atas dasar perintah undang-undang.
Kedudukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Untuk Memberikan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Investasi
Intisari
Diera modern globalisasi saat ini, transaksi bisnis sudah mengglobal dan melibatkan banyak pihak dari penjuru dunia, bisnis dan investasi menjadi lebih mudah dan dapat dilakukan oleh siapapun asalkan tidak memiliki resiko perdagangan yang berpotensi merugikan. Hal ini mengharuskan masing-masing negara harus mau menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang keharmonisan dan kesinambungan hubungan yang ada dan yang akan ada. Maka pada tanggal 12 Agustus 1999, pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, bahwa : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Investasi atau penanaman modal, dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia.Sistem peradilan Indonesia terdapat pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam sistem Hukum di Indonesia, keberadaan BANI merupakan salah satu lembaga Peradilan Quasi. Menurut UU No. 4 Tahun 2004 Jo. UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1), bahwa : “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara diluar pengadilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.” Sengketa yang dapat diselesaikan melalui BANI hanya sengketa di bidang perdagangan (Pasal 55 UU No. 30 Tahun 1999 Jo. Pasal 5 ayat (1) dan (2), Jo. Penjelasan Pasal 66 huruf b). Putusan BANI bersifat final dan mengikat yang menurut Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999. Putusan BANI mempunyai kekuatan eksekutorial setelah putusan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri dan memiliki kekuatan Hukum tetap.
Dasar Keberlakuan Yuridis Bagi Labelisasi Halal Produk Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Konsumen
Intisari
Pengaturan pelabelan halal produk makanan selain keberadaan UU Keamanan Produk Halal telah diatur dalam UU Footl. Namun, komponen di brent nrrrns, yang wajib untuk H (tlal Product SecuriN Act, sedangkan oluntary. Namun Makanan Act. Sementara halal label yang diatur dalam Consumer Protection Act adalah labelcd of-hatal seller, kemudian barang-barang yang dijual harus sesuai dengan label yang ditentukan. Dengan demikian, ada konflik norma, antara lain Produk Halal ectLrityA ct dan Undang-Undang Pangan dan juga peraturan makanan dan iklan makanan, serta pelabelan makanan dan iklan, juga Undang-undang Keamanan Produk Halal dan UU Perlindungan Konsumen. Untuk menyelesaikan konflik nornl, maka validitas dasar. Undang-undang Keamanan Produk Ftalal adalah konsep Stufentheorie, yang didasarkan pada norma dasar (Gnrndnorm) sebagai norma tertinggi, yang sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan prinsip preferensi, yaitu: prinsip Lex posteriori derogat legi priori dan prinsip Lex superiori derogat legi inferiori.
Perlindungan Hukum Atas Perubahan Status Pekerja Tetap Menjadi Pekerja Kontrak
Intisari
Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja yang tiap tahun semakin banyak tidak bisa berimbang kepada ketersediaan lowongan pekerjaan. Melihat melonjaknya angka pencari kerja membuat banyak perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan pun semakin merasa sewenang-wenang dalam membuat peraturan perihal kontrak kerja dengan pekerjanya.Bagi pekerja kontrak, kebijakan penggunaan tenaga kerja kontrak dinilai kurang menguntungkan karena mereka merasa tidak memiliki kepastian terutama dalam hal kelangsungan maupun jenjang karir pada saat kontrak akan berakhir. Bahkan mereka tidak bisa menuntut kenaikan upah maupun pesangon jika sewaktu-waktu terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sehingga semua kebijakan dan kewenangan secara mutlak menjadi milik para pengusaha. Banyak perusahaan menggunakan alasan kondisi keuangan yang terus merugi sebagai pembenar untuk tidak memberikan hak-hak para pekerja, apalagi pekerja kontrak. Sehingga telah di jumpai adanya perusahaan yang mengalihkan beberapa status pekerjanya yang semula pekerja tetap menjadi pekerja kontrak. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana akibat hukum dari peralihan status pekerja tetap menjadi pekerja kontrak dan apakah pekerja kontrak dalam hukum ketenagakerjaan diIndonesia sudah mendapatkan perlindungan hukum. Penulis mengkaji permasalahan tersebut menggunakan metode yuridis normatif, terdiri dari peraturan perundang-undangan dan buku yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini menemukan bahwa pekerja tetap yang dirubah statusnya maka ia akan kehilangan hak-hak diantaranya tidak mendapatkan tunjangan hari tua, upah yang didapatkan berkurang, tidak mendapatkan peluang peningkatan karier. Namun demikian selaku tenaga kerja kontrak masih mendapatkan perlindungan hukum menurut hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) menyatakan bahwa pelaksana penempatan kerja (PJPT) wajib memberikan perlindungan sejak rekruitmen sampai penempatan tenaga kerja dan Pasal 35 ayat (3) menyebutkan pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan, baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
Intisari
Persoalan yang menonjol berkaitan dengan aturan pelaksanaan pidana hingga saat ini adalah Indonesia belum memiliki satu aturan yang bersifat komprehensif mengatur pelaksanaan pidana. Selama ini bahasan mengenai pembaharuan hukum pidana cenderung terfokus hanya pada bidang hukum pidana materiel dan hukum pidana formal. Sedangkan pembaharuan hukum pelaksanaan pidana hampir tidak pernah mendapatkan tempat. Untuk itu diperlukan pembaharuan hukum pidana khususnya mengenai hukum pelaksanaan pidana. Permasalahan difokuskan pada dua hal pokok yaitu bagaimana kebijakan hukum pelaksanaan pidana dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini dan yang akan datang. Tujuan penelitian adalah menganalisa kebijakan hukum pelaksanaan pidana saat ini serta untuk mengetahui dan menganalisa mengenai kebijakan formulasi yang harus dilakukan dalam rangka pembaharuan hukum pelaksanaan pidana yang akan datang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan mengkonsepsikan hukum sebagai kaidah norma yang merupakan patokan perilaku manusia, dengan menekankan pada sumber data sekunder yang dikumpulkan dari sumber primer yaitu perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kebijakan formulasi hukum pelaksanaan pidana masih terdapat beberapa kelemahan, sehingga dalam rangka reorientasi dan reformulasi hukum pelaksanaan pidana untuk masa yang akan datang, seyogyanya ide kodifikasi pelaksanaan pidana menjadi latar belakang pemikiran bagi kebijakan legislatif demi menunjang pelaksanaan sistem pemidanaan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.
Kedudukan Kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Sebagai Jaminan Kredit Pemilikan Rumah
Intisari
Bank merupakan salah satu badan usaha atau lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak Bank menyalurkan simpanan tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya. Dalam perkembangan hukum lahirlah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan Dalam Program Jaminan Hari Tua yang memberikan manfaat layanan tambahan kepada anggotanya yang ikut dalam program Jaminan Hari Tua, dimana para anggota dapat memanfaatkan kepesertaannya dengan mengajukan Kredit Pemilikan Rumah yang selanjutnya disebut KPR kepada Bank yang telah ditunjuk oleh BPJS Ketenagakerjaan setempat. Berdasarkan paparan peneliti di atas, secara singkat bahwa dalam hal dapatnya Kartu BPJS Ketenagakerjaan ini dijadikan sebagai jaminan tambahan atas KPR pada Bank perlu dipertanyakan kembali kedudukan hukum atas kebendaannya yang dapat dijadikan jaminan. Sehingga yang menjadi pertanyaan dalam rumusan masalah penulis adalah apakah kartu bpjs ketenagakerjaan dapat dijadikan sebagai jaminan KPR pada Bank dan Bagaimana penyelesaian KPR apabila debitur pemilik kartu BPJS Ketenagakerjaan wanprestasi. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang akan digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini. Penulis akan menggunakan oleh metode pendekatan perundang-undangan dan metode konseptual dalam penelitian ini. Sumber bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum primer dan sekunder serta sumber bahan non hukum yang berupa wawancara terstruktur dan tak terstruktur. Dalam penelitian hukum normatif, bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan dikumpulkan dengan metode inventarisasi dan juga kategorisasi. Bahan hukum yang telah disusun tersebut dianalisis dengan normatif preskripitif sehingga akan diperoleh jawaban atas rumusan masalah yang diajukan. Jawaban atas rumusan masalah tersebut adalah Kartu BPJS Ketenagakerjaan dapat dijadikan sebagai jaminan tambahan atas KPR pada Bank BTN yang telah bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan, dan apabila terjadi wanprestasi oleh debitur atau pemilik kartu BPJS Ketenagakerjaan maka akan dilakukan eksekusi atas sertipikat hak tanggungan yang telah didaftarkan di Kantor ATR/BPN setempat dan pihak kreditur berhak melakukan lelang atas tanah yang dijaminkan, serta debitur dalam hal ini adalah seorang pekerja yang memiliki kartu BPJS Ketenagakerjaan program jaminan hari tua mendapatkan pencairan 30% atas saldo iuran sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Mekanisme Penetapan Dan Distribusi Hasil Pengembangan Dana Jaminan Hari Tua.
Pengaruh Tuhan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial
Intisari
Adanya keragaman SARA di Indonesia tidak akan dapat menjadikan UU No. 7-2012 berjalan optimal karena esensi Tuhan mendapatkan bagian kecil dalam landasan filosofis undang-undang tersebut. Sebagai penyelesaian yaitu wajib memahami makna ketuhanan serta menghapus irah-irah “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” menjadi “Dengan Keadilan Berdasarkan Pancasila”.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Apartemen Yang Dirugikan Oleh Jasa Pengembang
Intisari
Penelitian ini membahas tentang perlindungan hukum bagi konsumen apartemen yang haknya dirugikan oleh jasa pengembang (developer). Di dalam penelitian ini dipaparkan permasalahan konsumen yang yang haknya dirugikan terutama dalam perjanjian jual beli apartemen yang sedang dalam tahap pembangunan oleh jasa pengembang, maka penting untuk mengetahui pertanggungjawaban jasa pengembang serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen apabila haknya dirugikan. Dalam membahas permasalahan-permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu mengidentifikasi dan membahas ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kosumen yang membeli apartemen yang sedang dalam tahap pembangunan jika di dalam kenyataannya pengembang tidak melakukan kewajibannya seperti yang telah dicantumkan didalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atau melaksanakan prestasinya tetapi tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam brosur maka dapat dikatakan bahwa jasa pengembang telah melakukan ingkar janji atau wanprestasi. Secara normatif tanggung jawab jasa pengembang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen apartemen apabila haknya dilanggar oleh jasa pengembang yaitu melalui proses litigasi dan non litigasi.
Perlindungan Hukum Bagi Tersangka Dalam Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum tersangka dalam proses penyidikan dan perlindungan hukum tersangka dalam batas waktu penyidikan tindak pidana umum menurut hak asasi manusia. Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Undang-Undang(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa KUHAP telah menjabarkan ketentuan-ketentuan yang menjadi hak tersangka dan upaya perlindungan hukum bagi tersangka menurut Hak Asasi manusia. Namun kewenangan yang diberikan KUHAP terhadap penyidik member keleluasaan kewenangan kepada Penyidik, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan keharusan dan masih selaras dengan wewenang sebagaimana diatur dalam rumusanrumusan sebelumnya. Interprestasi kewenangan sepenuhnya ada di penyidik. Dan dalam proses penyidikan tidakterdapat ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu maksimal penetapan status tersangka mulai dari penyidikan sampai pelimpahan perkara kepersidangan, sehingga status tersangka tergantung pada proses penyidikan. Keleluasaan kewenangan penyidik dan tidak adanya batas waktu dalam penetapan tersangka menyebabkan ketidak pastian hukum yang dijamin dalam Pasal 28D dan 28G Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Hak Asasi Manusia dengan status tersangka pidana umum.
Perlindungan Hukum Bagi Guru Yang Melakukan Tindakan Disiplin Terhadap Anak Didik
Intisari
Dilatar belakangi persoalaan yang terjadi dalam hubungan kependidikan antara guru dan murid, dimana guru menjadi korban kekerasan siswa atau orang tua siswa dalam memberikan sanki disiplin. Tujuan dalam penelitian untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi guru yang melakukan tindakan disiplin terhadap anak didik dan untuk menganalisis dasar alasan penghapus pidana bagi guru yang melakukan tindakan disiplin terhadap anak didik. Dengan jenis penelitian yuridis normatif, ditopang pendekatan utama, seperti pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan pendekatan kasus. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perlindungan hukum terhadap guru belum berjalan dengan baik sesuai harapan. Adapun bentuk-bentuk perlindungan hukum guru yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dimana didalamnya mengatur bahwa guru mendapat perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat,birokrasi, atau pihak lain. Tindakan pendisiplinan terhadap anak didik masih berperan dalam sistem hukum pidana Indonesia sekarang ini sebagaimana ditunjukkan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor: 1554K/Sip/2013 yang membenarkan guru menggunting rambut murid yang gondrong, hal ini didasari oleh alasan pembenar dimana tindakan yang dilakukan oleh guru tersebut sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana, dan tidak dapat dijatuhi atas perbuatan/tindakannya karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin.
Permohonan Peninjauan Kembali Oleh Istri Dari Seorang Terpidana
Intisari
Tujuan penulisan ini sebagai suatu syarat untuk kelulusan dan mendapatkan gelar Sarjana Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya. Tujuan praktis yang hendak dicapai yakni untuk mengetahui apakah permohonan peninjauan kembali dapat diajukan oleh terpidana yang melarikan diri dan apakah seorang istri terpidana yang melarikan diri dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa upaya hukum peninjauan kembali tidak dapat diajukan oleh terpidana yang melarikan diri dan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh istri terpidana berdasarkan KUHAP adalah tidak dapat, karena dalam ketentuan tersebut status istri harus sebagai ahli waris, sedangkan status terpidana belum meninggal atau tidak dalam status bercerai. Hal ini berdasarkan pertimbangan sebagai berikut, berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali No. 97 PK/Pis.Sus/2012, hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menyatakan menerima permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri dari seorang terpidana yang melarikan diri, sehingga putusan hakim dianggap tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Saran yang dapat diberikan adalah upaya hukum peninjauan kembali harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu diajukan oleh terpidananya sendiri atau apabila dilakukan oleh kuasa hukumnya, tetap harus dihadiri oleh terpidana, karena berakibat tidak dapat diterimanya pengajuan peninjauan kembali ke mahkamah Agung dan bahwa pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh ahli waris harus berdasar pada ketentuan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, dan meskipun pengertian ahli waris tidak dijelaskan secara eksplisit dalam KUHAP, akan tetapi pengertian ahli waris yang dimaksud adalah dimana pewaris dinyatakan telah meninggal.
Paradigma Sosiologis dan Implikasinya terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia
Intisari
Ada dua permasalahan utama yang dianalisis. Pertama, paradigma sosiologis dan implikasinya terhadap pengembangan ilmu hukum. Kedua, implikasi ilmu hukum berparadigma sosiologis terhadap penegakan hukumnya. Analisis dua permasalahan tersebut penting dilakukan, sebab hakikat pengembangan ilmu hukum terletak dan ditentukan oleh paradigma. Paradigma, menentukan pandangan fundamentil mengenai apa yang menjadi pokok persoalan (subject-matter) ilmu hukum, sehingga paradigma yang dianut dalam pengembangan ilmu hukum mempunyai implikasinya tersendiri terhadap penegakan hukumnya Meskipun telah mendapat kritik intern para eksponen pengikutnya, paradigma positivisme mendominasi pemikiran-pemikiran hukum di Indonesia. Paradigma ini dianut begitu kuat bahkan mentradisi sebagai satu-satunya paradigma dalam pengembangan ilmu hukumnya. Implikasinya, hukum difahami sebagai bangunan normatif semata, terlepas dengan realitas yang melingkupinya. Dalam pengembangan ilmu hukum, paradigma positivisme menempatkan ilmu hukum “terjatuh” pada practical science yang kering. Pengembangan ilmu hukum, hanya bersifat teks sentries dan membatasi model interpretasi teks, sehingga mengandung kelemahan. Paradigma positivisme, tidak membantu pengembangan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu (genuine science). Ilmu hukumnya, tidak mampu memberikan penjelasan yang lengkap dan benar mengenai hukum. Yang ideal adalah bahwa ilmu hukum harus tampil segai sebenar ilmu (genuine science), sehingga hukum harus diterima sebagai realitas yang utuh. Ilmu hukum harus melakukan pencairan, pembebasan dan pencerahan. Pengembangan ilmu hukum berparadigma positivisme, bukan memahami hukum sebagai realitas bahkan mereduksi realitas lain dari hukum. Dominasi paradigma positivisme, mempunyai implikasi terhadap penegakan hukumnya. Penegakan hukumnya, berhenti pada prosedur, peraturan dan administrative, sehingga bukan pencarian keadilan. Para penegak hukum, terjebak pada absolutisme yang sangat legal positivistic. Paradigma positivisme, melahirkan legisme, sehingga hakim diibaratkan sebagai mesin semata (subsumptie automaat), tidak secara kreatif memandu dan melayani masyarakat. Memasuki dunia peradilan, bukan medan pencarian keadilan melainkan menjadi memasuki rimba peraturan, prosedur dan administrasi. Banyak permasalahan hukum yang timbul sekalipun menusuk rasa keadilan masyarakat, penyelesaiannya hanya berhenti pada prosedur. Di sini prosedur ditempatkan di atas idealisme penegakan hukum. Keadilan terdistorsi sehingga yang dihasilkan adalah keadilan prosedural. Kelemahan penegakan hukum yang diderivikasi dari paradigma positivisme mendorong lahirnya paradigma sosiologis. Paradigma ini menempatkan posisi alami dari hukum, sehingga berbeda dengan paradigma positivisme. Paradigma ini menempatkan posisi alami dari hukum, sehingga berbeda dengan paradigma positivisme, akan tetapi tidak berkehendak menggeser apalagi memfalsifikasi paradigma positivisme. Paradigma sosiologis, justru lahir karena adanya berbagai kelemahan yang diderivikasi dari paradigma positivisme. Di antara paradigma, tidak boleh ada sekat tertutup melainkan saling melengkapi satu sama lain dengan paradigma ini pengembangan ilmu hukum menampilkan hukum sebagai realitas yang utuh dan kompleks. Kondisi ideal yang ingin dicapai, baik dalam pengembangan ilmu hukum maupun dalam penegakan hukumnya yakni ada keseimbangan antara positivisme (legal positivistic) dan yang sosiologis, sehingga paradigma sosiologis, mutlak diperlukan. Derajat dan kematangan ilmu hukum, diukur dengan kesediaan menghadapi dan menggarap realitas secara penuh. Ilmu hukum harus bersedia menerima hukum sebagai realitas dan menjadikan sebagai objek keilmuannya. Pengembangan ilmu hukum berparadigma sosiologis, akan mempunyai implikasi positif dalam penegakan hukumnya. Dengan paradigma sosiologis, pengembangan ilmu hukum secara mendasar menjadi berbeda dengan cara-cara yang lama yakni menuju terciptanya ilmu hukum sebagai sebenar ilmu (genuine science). Penegakan hukum senantiasa melihat hukum sebagai institusi yang utuh dan memahami dalam dimensinya yang lengkap. Ke depan, tidak ada lagi dominasi status di antara komunitas ilmuan hukum bahkan sudah saatnya saling terbuka untuk bersama secara kontruktif memahami hukum sehingga mempunyai implikasi yang positif terhadap penegakan hukumnya. Para penegak hukum, tidak lagi berkutat pada pembicaraan hukum yang abstrak melainkan lebih terlibat pada pekerjaan-pekerjaan menyelesaikan problem-problem sosial dalam masyarakat.
Tindak Pidana Pemilu Legislatif di Indonesia
Intisari
Pemilihan anggota legislatif tahun 2014 diiringi dengan potensi permasalahan bidang hukum. Bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu legislatif atau DPR RI, DPRD, dan DPD (dalam tulisan ini disingkat menjadi pemilu legislatif) secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu. Tindak pidana pemilu baru diperkenalkan oleh Undang-Undang No.8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tindak pidana pemilu adalah pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana dan diancam dengan sanksi pidana. Adapun tindak pidana pemilu memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana umum yang tertuang dalam KUHP. Penelitian ini akan mengkaji ciri khusus atau karakteristik tindak pidana Pemilu berdasarkan Undang-Undang No.8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif.
Perlindungan Hukum Kelompok Teisme dalam Sistem Negara Hukum Pancasila
Intisari
Di era global saat ini, suatu bangsa dituntut mampu bersaing dengan negara lain. Agar tidak terlepas dari unsur khas Indonesia maka penguatan Pancasila sebagai ideologi adalah keharusan. Pancasila yang melingkupi keragaman suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) kurang tercermin dalam UU Nomor 23 Tahun 2006. Permasalahan yang timbul yaitu hilangnya unsur khas Indonesia yaitu kepercayaan atau agama tradisional karena adanya diskriminasi dengan pengosongan kolom agama dalam Kartu Kelurga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) (Pasal 61 dan Pasal 64 UU No. 23-2006). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi hukum UU No. 23 tahun 2016 dengan keberadaan Pancasila dan SARA di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UU No. 23 Tahun 2006 tidak selaras dengan semangat Pancasila yang mengakui keragaman SARA dan bertentang dengan asas keadilan dalam UU No. 12Tahun 2011.
Kebijakan Kriminalisasi Pengguguran Kandungan Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia
Intisari
Indonesia adalah negara berkeTuhanan. Agama adalah unsur yang harus ada dalam national and character building. Walaupun telah diatur dalam KUHP tetapi banyak didapati pengguguran kandungan. Tulisan ini hendak menggali kebijakan kriminalisasi pengguguran kandungan dalam hukum positif..
Hasil Penelitian
Kesimpulannya adalah kebijakan kriminalisasi pengguguran kandungan yang diatur dalam hukum positif belum cukup memberikan jaminan perlindungan kesehatan. Saran adalah pengguguran kandungan bukanlah langkah terbaik yang dipilih tetapi dalam kondisi membahayakan kesehatan sebaiknya perlu pengaturan yang memberi rasa perlindungan dan jaminan kesehatan ibu hamil, perlu dirumuskan aturan yang memberikan kepastian hukum bagi dokter-pasien, pengaturan kebijakan kriminalisasi pengguguran kandungan hendaknya berdasarkan Pancasila dan tujuan pembangunan nasional.
Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Mekanisme Transaksi Jual Beli Minuman Kemasan Dalam Mesin Otomatis Di Untag 1945 Surabaya
Intisari
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana mekanisme jual beli minuman kemasan dalam mesin otomatis di Universitas 17 Agusutus 1945 Surabaya? dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap mekanisme transaksi jual beli minuman kemasan dalam mesin otomatis (UNTAG 1945 Surabaya)?.
Pendekatan Penelitian
Data penelitian dihimpun melalui observasi, wawancara dengan pengelola, sales dan pihak UNTAG LPPM, serta melalui studi dokumentasi, selanjutnya data yang berhasil dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif yaitu membuat deskripsi, gambaran atau menjelaskan secara sistematis atas data yang berhasil dihimpun terkait dengan pembahasan.
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian disimpulkan: 1) Analisis mekanisme transaksi jual beli minuman kemasan dalam mesin otomatis di UNTAG 1945 Surabaya hampir sama dengan cara pengoperasian mesin ATM, pemilik mesin telah mencantumkan mekanisme transaksi jual beli minuman kemasan dalam mesin otomatis di mana ada klausula yang didalamnya terdapat harga atau mesin tidak dapat mengembalikan sisa uang, atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa konsumen setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh produsen. 2) Analisis hukum Islam terhadap mekanisme transaksi jual beli minuman kemasan dalam mesin otomatis (UNTAG 1945 Surabaya) sebagian ulama yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali membolehkan jual beli seperti ini. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, jual beli ini tidaklah sah kecuali dengan adanya ijab dan qobul. Analisis menurut UUPK terutama Psl 18 ayat 1 huruf a yang isinya pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Sebenarnya kontrak standar masih dibenarkan. Namun, UUPK melarang dengan tegas kontrak standar yang isinya mengalihkan tanggungjawab pelaku usaha alias pihak produsen/penjual. Hal ini pelaku usaha dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), ketika mereka melanggar ketentuan pasal 16 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dalam kaitannya tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.Dalam kasus ini, diharapkan kepada para konsumen untuk membaca dan meningkatkan pemahaman serta pengetahuan mengenai informasi yang tertera dalam mesin. Dan untuk produsen diharapkan meningkatkan management pengelolaan yang lebih baik lagi.
Leave a Reply