Perjalanan sistem desentralisasi di Indonesia jika dirunut sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini cukup panjang dan berliku. Perubahan politik di tahun 1990-an menjadi arus balik perjalanan bangsa Indonesia yang membawa beberapa dampak positif. Perubahan tersebut di antaranya mengubah tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ke arah yang lebih demokratis dengan memperbesar porsi desentralisasi. Dengan perubahan sistem pemerintahan tersebut, otomatis berbagai pranata pendukung sistem yang selama ini bersifat sentralistik juga mengalami perubahan.

Pemerintahan Daerah Yang Demokratis
Sistem pemerintahan desentralisasi sebenarnya telah digagas oleh para pendiri negara ini dengan menempatkan satu pasal dalam UUD 1945 (pasal 18). Implementasi pasal tersebut selalu menimbulkan persoalan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Pergulatan mencari makna kebangsaan yang dipandang sebagai identitas sekunder, selalu menghadapi persoalan identitas primer berupa kuatnya solidaritas etnik, agama, adat dan bahasa serta tradisi lokal. Faktor-faktor ini pula yang menyebabkan timbulnya pemberontakan kedaerahan selain faktor ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya ekonomi antara Pusat dan Daerah (Maryanov, 1958; Harvey, 1983).
Secara tegas dapat dikatakan bahwa, desentralisasi tidak semata-mata untuk membentuk pemerintahan daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah untuk membangkitkan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri, komunitas dan pemerintah lokal. Dengan demikian, secara akademik banyak pelajaran dan argumen yang kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan modal sosial dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerja-sama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut komunitas sipil (civic community). Indikatorindikator civic engagement solidaritas sosial dan partisipasi massal yang merentang luas pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokrasi.
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat dan mengundang keterlibatan publik seluasluasnya dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan. Untuk itu, desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara demokratis mengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-cita sistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah
(1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah;
(2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah;
(3) sumber daya manusia yang terbatas;
(4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan
(5) keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya dimana desa memiliki tatanan sosial budaya yang otonom.
Pada kenyataannya, mindset atau mentalitas menjadi kendala yang cukup besar bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baru ini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah (2000-2005), timbul berbagai persoalan yang disebabkan karena pola pikir dan mentalitas yang belum berubah.
Di masa lalu, sistem sentralistik mengebiri inisiatif lokal dan menempatkan pemerintah pusat sebagai penguasa yang memiliki wewenang sangat besar atas berbagai bentuk kebijakan pembangunan. Keseragaman dan kepatuhan daerah terhadap pusat menjadi kata kunci sekaligus sebagai mainstream dan ideologi pembangunan yang dijalankan. Karenanya, pada masa itu kritik menjadi sesuatu yang tabu dan jika terlontar akan sangat mudah untuk dijerat secara hukum sebagai tindakan subversi atau anti pemerintah.
Demokrasi
Terminasi demokrasi berasal dari istilah demo – demos yang bermakna rakyat, masyarakat dan penduduk dan kratia yang bermakna hukum dan kekuasaan. Demokrasi bermakna kedaulatan yang berasaldari rakyat, diatur oleh rakyat sendiri dan dipergunakan untuk kepentingan mereka sehingga kedaulatan kekuasaan tertinggi negara adalah rakyat.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, rakyat memerintah dirinya sendiri melalui perwakilan mereka yang dipilih secara bebas. Mereka juga merupakan pihak yang berwenang membuat hukum. Hal tersebut dapat dipahami bahwa demokrasi merupakan pelindung rakyat dari kesewanang-wenangan kekuasaan pemerintah dan menjadikan pemerintah berfungsi sebagai pemegang kewenangan untuk melindungi seluruh rakyat dari ancaman dan gangguan dari pihak luar. Demokrasi dalam konteks modern bertujian untuk membentuk persamaan universal bagi seluruh rakyat untuk secara langsung turun serta dalam setiap proses politik.
Konseptualisasi demokrasi dapat dikatakan merupakan konsep lama yang digagas dan selalu diperbarui pemahamannya. Mulai Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas dan Cirero. Socrates menyebut bahwa cita-cita negara tidak hanya melayani kebutuhan penguasa semata, namun juga harus berlaku adil bagi masyarakatnya sebab penguasa itu sendiri berasal dan menjadi wakil masyarakat.6 Konsep demokrasi muncul sebagai respon dari terselenggaranya pemerintahan monarki diktatorian sebuah kekuasaan di zaman Yunani Kuno dan pada abad ke 16 demokrasi berkembang seiring bergulirnya wacana sekularisme, liberalisme dan gagasan konstitusionalisme, kontrak sosial antara negara dan rakyatnya, dan konsep kedaulatan rakyat.7 Bahkan Amin Rais secara lugas menyebutkan bahwa negara di dunia, khususnya negara dunia ketiga yang lahir dari semangat keluar dari kolonialisme pasca abad 20 menjadikan demokrasi sebagai dasar fundamental sistem yang dibangun mereka.
Konferensi International Commission of Juris pada 1965 di Bangkok merumuskan ciri khas pemerintahan yang demokratis berupa adanya jaminan perlindungan konstitusional atas setiap individu warga negara, lembaga kehakiman yang independen, penyelenggaraan pemilu yang bebas, warga negara memiliki kebebasan dalam menyatakan pendapat dan berserikat/ berorganisasi, serta beroposisi, rakyat berhak memperoleh pendidikan kewarganegaraan.
Menurut Ni’matul Huda, implementasi nilai-nilai demokrasi yang dilakukan oleh setiap lembaga pemerintahan dilihat dari adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggung jawab, lembaga legislatif merupakan representasi golongan dan kepentingan masyarakat yang dipilih melalui pemilu yang umum bebas dan memiliki keterwakilan yang cukup, partai politik peserta pemilu lebih dari satu partai, pers dan media bebas dalam menyatakan pendapatnya, dan adanya penyelenggaraan peradilan yang independen dan memiliki kebabasannya dalam memberikan penjaminan atas hak warga negara serta mampu memberikan keputusan yang adil bagi para pencari keadilan.11 Sistem demokrasi di suatu negara akan berjalan dengan baik jika sistem penyelenggaraan pemerintahannya berdasar pada kehendak rakyat, kebijakan negara dilakukan oleh dan untuk rakyat sehingga kedaulatan negara benar-benar berada di tangan rakyat. Salah satunya adalah dengan dilaksanakannya pemilu melalui prakarsa rakyat melalui sistem suara terbanyak atau melalui prosedur mayoritas. Pemerintahan yang terbentuk dari hasil pilihan rakyat merupakan manifestasi dari kehendak rakyat secara menyeluruh sehingga kepentingan pemerintah akan selalu seiring dan sejalan dengan kepentingan rakyatnya.
Desentralisasi
Desentralisasi merupakan gabungan dari kata de (lepas), centrum (pusat), sehingga kata desentralisasi dapat dimaknai sebagai kegiatan melepas diri dari pemerintah pusat.12 Desentralisasi merupakan upaya pemerintah daerah dalam melepaskan diri dari kewenangan mengelola pemeritahan dari pemerintah pusat dengan tujuan agar lebih mandiri dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menurut Mahfud MD, bagian penting prinsip penyelenggaraan negara hukum adalah adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah sebab adanya pembatasan kekuasaan dan menganut prinsip nasionalisme. Hal tersebut dapat bermakna bawa desentralisasi merupakan langkah lanjutan dari teori pemisahan dan pembagian kekuasaan pengelolaan negara.
Desentralisasi sebagai sistem yang berfungsi untuk menyelenggaraan pemerintahan, khususnya terkait dengan relasi antara pemerintahan pusat dan pemerintah di daerah. Mekanisme desentralisasi menegaskan bahwa pemerintah pusat memberi pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara langsung. Penyelenggaraan desentralisasi bertujuan untuk:
- Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan
- Proses politik yang dapat mendidik masyarakat di daerah secara langsung.
- Integrasi nasional
- Memberi peluang lebih besar kepada masyarakat untuk terjun dalam politik dan pemerintahan
- Membuka peluang yang besar bagi masyarakat agar dapat memberikan partisipasinya di dalam pemerintahan khususnya bagi proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kinerja pemerintah daerah
- Sebagai sarana percepatan pembangunan daerah.
- Pemerintahan yang bersih dan bermartabat dalam terlaksana.
Menurut Bagir Manan, desentralisasi dalam sistem negara berbentuk kesatuan akan terwujud jika kesatuan sistem dalam pemerintahan dari tingkat paling rendah secara territorial dan fungsinya dalam hal pengaturan urusan rumah tangga pemerintahannya. Sistem pemerintahan Indonesia yang berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan-peraturan lainnya dengan menggunakan sistem desentralisasi selalu menjadi dasar yang fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, meskipun secara substansinya sampai saat ini masih terus dan terus mengalami perkembangan dan mencari bentuk sempurnanya. Desentralisasi sebagai upaya pembagian kekuasaan secara vertikal merupakan sendi yang tepat untuk menampung, menyalurkan dan melayani dengan baik sifat-ifat khusus yang berbeda-beda. Desentralisasi juga dipandang sebagai sarana tepat untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan karena desentralisasi memberikan tanggung jawab kepada daerah untuk bersama-sama melaksanakan kewajiban pemerintahan untuk menciptakan kesejahteraan umum dan menjaga keutuhan Negara melalui keikut-sertaannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Otonomi Daerah
Menurut Bagir Manan, otonomi daerah merupakan tatanan ketatanegaraan (staatsrechtlijk) dan tatanan administrasi negara (administratiefrechtlijk). Dalam tatakenegaraan, hal yang terkait dengan otonomi daerah adalah sebuah skema dalam menjalankan negara beserta organisasi negara. Otonomi daerah merupakan kewenangan untuk bebas dan mandiri (vrijheid dan zelftandingheid) dalam satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat dari isi otonomi yang akan mengikat dan membentuk persatuan. Otonomi merupakan sub-sistem dari bentuk negara kesatuan (unitary state, eenheidstaats). Sistem otonomi daerah merupakan sistem yang menjadi landasan batas dari substansi otonomi dalam negara kesatuan. Sistem otonomi pada akhirnya akan berkembang dan melahirkan peraturan (rules) dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang akan menciptakan keseimbangan antara sistem kesatuan di satu sisi dan tuntutan penyelenggaraan otonomi disisi lainnya.
UUD 1945 memberi peluang yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dalam bentuk pembuatan peraturan perundangan, pemanfaatan dan pembagian SDA secara adil. Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan menggunakan prinsip demokrasi yang memberikan peranan langsung kepada masyarakat untuk mengelola potensi daerahnya.
Dari penjabaran atas beberapa teori diatas, dapat dikatakan bahwa teori demokrasi, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan suatu skema pemikiran dan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan bersinergi satu sama lainnya. Demokrasi sebagai materialisasi dari kedaulatan rakyat yang didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan. Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan hasil dari pembagian kekuasaan itu sendiri yaitu pembagian kekuasaan secara vertikal antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dengan kewenangan atau kekuasaannya sendiri-sendiri.
Paradigma Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Sangat sulit untuk menentukan formula yang tepat dan seimbang untuk menemukan titik temu antara kekuasaan yang sentralistik dan kekuasaan yang desentralistik. Diakui bahwa pemerintahan yang sentralistik tidak populer lagi, karena ketidak-mampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal.
Beberapa faktor yang melatar-belakangi perlunya desentralisasi khususnya di negara-negara berkem-bang termasuk Indonesia muncul dari dua segi yaitu dari dalam dan dari luar negara yang dapat dirangkum sebagai berikut :
- Untuk mempercepat terwujud-nya keadilan yang merata dan mampu memenuhi kebutuhan dasar ma-syarakat miskin serta memperluas partisipasi dalam proses pem-buatan kebijakan pembangunan.
- Untuk mengintegrasikan daerah-daerah yang beragam kondisi sosial ekonominya, pengembang-an sumber daya dalam rangka mengatasi persoalan kemiskinan di daerah.
- Desentralisasi merupakan strategi untuk mendemokratisasikan sistem politik, sedangkan otonomi daerah merupakan bentuk pemerintahan yang akan datang.
- Tidak ada pemerintah dari negara yang luas akan mampu secara efektif membuat public policies disegala bidang ataupun mampu melaksanakan public policies secara efisien di seluruh wilayah negara tersebut.
- Derajat otonomi daerah tidak tergantung pada bentuk negara
melainkan tergantung pada pola pemerintahan yang dianut negara tersebut.
Faktor lain yang mempengaruhi derajat otonomi daerah adalah kecilnya pendapatan daerah, besarnya bantuan pusat, kurang kuatnya pajak daerah, dan sistem pemungutan pendapatan serta, luasnya lingkup pengawasan pusat. Jadi derajat otonomi daerah sangat tergantung kepada kondisi geografis, sejarah, kebudayaan, ekonomi dan sistem politik suatu negara.
Menurut Koswara1 penekanan-nya harus mempertimbangkan “kriteria kepentingan lokal” yang akan melahirkan corak pemerintahan yang desentralistik dan juga mem-pertimbangkan “kriteria kepentingan nasional” yang tetap menjamin identitas dan keutuhan bangsa. Perwujudan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerin-tahan merupakan penerapan konsep areal division of power yang membagi kekuasaan suatu negara secara vertikal menjadi kekuasaan “pemerintahan pusat” dan “pemerintahan daerah”. Sedangkan oto-nomi daerah diistilahkan oleh Kjellberg2 sebagai “local self- gevernment“ bahwa dalam otonomi daerah terdapat three sets of values, however, are generally perceived to be essential to it: liberty, or otonomy, democracy or partici-pation and effeciency.
Pertama, bahwa otonomi sebagai nilai utama dari teori local self-government, dimaknai sebagai adanya kebebasan masyarakat untuk membatasi ikut campurnya peme-rintah untuk bertindak dalam pemecahan masalah bersama.
Kedua, partisipasi atau demokratis berarti bahwa untuk memperkuat demo-kratisasi dalam masyarakat diperlukan adanya partisipasi aktif masyarakat itu sendiri, baik dijadikan sebagai tujuan maupun sebagai alat.
Efisiensi sebagai unsur ketiga otonomi daerah adalah merupakan hasil dari terlaksananya kedua unsur otonomi daerah di atas.
Sementara itu Wahab, menyatakan sifat pemerintah adalah intervensionis dalam pelayanan publik dan Kingsley4 mensinyalir peran besar pemerintah sering kaku, inefisien dan sering korup. Oleh sebab itu otonomi daerah memberi kebe-basan kepada rakyat untuk menggali sumberdaya, mempersiapkan atau merencanakan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu mengelola usaha tanpa menunggu dari pemerintah.
Toune agak berbeda dari Kjellberg. Ia menyatakan ada empat hal dalam otonomi daerah yaitu terbentuknya lembaga lokal yang representatif; adanya sumber-sumber keuangan lokal yang memadai; dan adanya tanggungjawab administratif pemerintah daerah dalam bidang keamanan, kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi; serta adanya kebebasan untuk mengambil inisiatif yang berbeda dari lokalitas lain. Lebih lanjut, Henry Toune dalam artikelnya yang berjudul “Local Government and Democratic Political Development” menjelaskan bahwa otonomi politik lokal yang partisipatoris dan lembaga-lembaga yang representatif dan bertanggung jawab kepada rakyat sangat menentukan hubungan antara pemerintahan lokal dan demokratisasi, dan satu prasyarat penting lainnya bagi otonomi daerah, yaitu personil yang berkualitas untuk mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerin-tahan lokal secara layak.
Dengan demikian otonomi daerah bukan hanya sekedar re-orientasi paradigma self local govern-ment menjadi self local governance sebagaimana yang dinyatakan Stoker7 melalui teori governance, melainkan juga harus ditindaklanjuti dengan restrukrisasi pelaksanaan otonomi daerah yang sarat dengan nilai-nilai kebebasan (liberty), partisipasi, demokrasi, akuntabilitas dan efisiensi.
Perubahan akibat reformasi dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma Pemerintahan Daerah dari structural efficiency model yang menekan efisiensi dan keseragaman pemerintah lokal ditinggalkan dan dianut local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari mengutamakan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi.
Pengejawantahan desentrali-sasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom.baik dalam definisi daerah otonom mapun otonomi daerah mengandung elemen wewe-nang mengatur dan “mengurus” merupakan subsatnsi otonomi dae-rah. Aspek spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliputi dalam otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan daerah otonom. Oleh sebab itu tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang atau lazim disebut urusan pemerintah. Berarti terjadi distribusi urusan pemerin-tahan yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.
Relasi antara Demokrasi dan Integrasi dengan Otonomi Daerah
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang selama ini bergulir tentu akan menguatkan integrasi nasional jika demokrasi di daerah dilaksanakan dengan tepat dan benar sehingga kesejahteraan rakyat di daerah meningkat dan keadilan sosial terlaksana. Meskipun suatu daerah menerapkan otonomi daerah dan desentralisasi tetapi tidak dibingkai dengan sistem demokrasi yang kuat pula, bisa dipastikan desentralisasi dan otonomi daerah akan rapuh. Pemberian keleluasaan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka untuk menyelenggarakan otonomi daerah sehingga daerah dalam menghadapi perkembangan jaman dan tantangan persaingan regional dan global dapat bertahan dan bahkan mampu untuk bersaing. Pelaksanaan otonomi daerah juga diarahkan untuk mempercepat kemandirian sosial sehingga kesejahteraan masyarakat tercipta dengan tepat.
Otonomi daerah yang bergulir di Indonesia dapat dikelompokkan dalam dua jenis otonomi yaitu Otonomi Khusus sebagaimana berlaku di Aceh dan Papua dan Otonomi Biasa. Desentralisasi dan otonomi biasa inilah sebenarnya yang mampu menjaga integrasi nasional sebabkan oleh adanya demokratisasi dan kemandirian masyarakat berjalan dengan baik, peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin dirasakan signifikan, keadilan dalam rangka membagi pendapatan nasional terlaksana dengan baik, terbukanya akses masyarakat dalam berpartisipasi, penyampaian aspirasi dan kontrol atas kebijakan pmerintah, dan otonomi daerah mampu mengangkat potensi-potensi lokal dibidang ekonomi dan kebudayaan yang sejatinya merupakan modal penting dalam pembangunan nasional.
Demokrasi Dan Good Governance
Perubahan besar-besaran akibat pro-ses globalisasi dan interna-sionalisasi sangat drastis terutama di bidang pemerintah, yang sebenarnya telah dimulai pertengahan dasa warsa 70-an yang disebut dengan “krisis kemam-puan memerintah” (governability crisis). Dalam pemahaman teori governance, yaitu teori yang mencoba menjelaskan secara makro proses perubahan dalam kepemerintahan.
Krisis kemampuan memerintah disebabkan kuatnya hegomoni negara yang ditandai oleh dominannya pengaruh negara atas segala aspek kehidupan masyarakat. Akar per-soalannya menurut teori governance terletak pada model pemerintahan yang berciri struktur yang vertikal, birokrasi yang kental dengan watak yang intervensionis.
Perkembangan paradigm sift dari government ke governance dapat dilihat dari kecenderungan globalisasi yang paralel dengan perkembangan masyarakat ke arah suatu masyarakat madani/ masyarakat warga, sistem politik yang lebih demokratis, meng-hargai hak asasi manusia (HAM) dan rule of law, dari ekonomi perencanaan sentral ke arah ekonomi pasar global. Dalam Good Governance yang berperan tidak lagi pemerintah, tetapi juga warga, masyarakat dan terutama sektor swasta8. Jadi ada pengelolaan pemerintah, pengelolaan swasta, bahkan oleh organisasi masyarakat (LSM). Pemerintahan lebih berperan facilitating dan enabling. Sektor swasta menciptakan pekerjaan, kelom-pok masyarakat berpartisipasi dalam dalam aktiviats sosial, ekonomi dan politik dengan menjaga rules of the games dan rules of the ethics, hubungan berdasarkan partnership (kemitraan). Pada pokoknya ada sharing, interaksi dalam proses yang transparan agar hasilnya accountable.
Model pemerintahan tradisional seperti itu tidak mampu meng-adaptasikan diri dengan lingkungan yang ekonomi, sosial dan kultural yang sedang mengalami perubahan9. Menghadapi stuasi yang demikian sangat diperlukan keputusan politik dari pihak pemerintah mereformasi kebijakan pemerintah untuk men-cermati dan membenahi mekanisme pengaturan kelembagaan yang ada, yang harus menjangkau perubahan yang mendasar dalam rutinitas kerja administrasi, budaya birokrasi guna memungkinkan dikembangkannya ke-pemimpinan yang berwatak kewira-usahaan pada birokrasi publik. Dengan arti kata bahwa pilihan kita dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi pemerintah yang: ’banyak memerintah” atau pemerintah yang “sedikit memerintah” atau sekedar “pemerintahan yang baik”, sebagai-mana yang dikemukakan oleh Osborn dan Gaebler10 dalam Reinventing government:
(1) sebagai pengarah bukan sebagai pelaksana;
(2) memberdayakan masyarakat ketim-bang hanya melayani;
(3) memberikan semangat kompetitif bukan hanya monopoli pelayanan;
(4) bebas berkreasi untuk mewujudkan misi bukan dipasung dengan segala aturan;
(5) berorientasi hasil bukan hanya terfokus pada masukan;
(6) mementingkan terpenuhinya kepuasan masyarakat dari pada kepuasan sendiri;
(7) menghasilkan ketimbang membe-lanjakan;
(8) mencegah timbulnya masalah ketimbang meredam masalah;
(9) model kerja partispatif dan kerja sama;
(10) berorientasi kepada pasar bukan kepada organisasi.
Dengan mencermati isu-isu sentral tersebut, maka kata kuncinya adalah kemampuan pemerintah untuk mengatur penyediaan pelayanan publik yang responsif, kompetitif dan berkualitas kepada rakyat. Partisipasi sebagian besar rakyat merupakan legitimasi, kredibilitas dan sekaligus kapasitas politik pemerintah. Public bureaucracy /public governance juga harus berubah dari sikap bureaucratic menjadi lebih enterpreneural, ini yang disebut governance.
Beragamnya institusi pemerin-tah serta kekuatan masyarakat madani (civil society) yang berpartisipasi dalam prose pembuatan kebijakan, maka hasil akhir (outcome) yang memuaskan tidak akan tercapai bila hanya diadalkan dari sektor pemerintah saja. Oleh sebab itu kbjakan publik dari sudut teori governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor dan intitusi. Pemerintah tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi/aktor yang mampu secara efisien, ekonomis, dan adil menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat12 (Rhoders dalam Wahab, 1999)
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan UU No. 34/2004 adalah menganut model demokrasi yaitu menuntut partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah dalam menyelenggaraan pemerin-tahan daerah yang berhak mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Tuntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih, berwibawa dan bebas dari KKN malah dicemari oleh perilaku yang tercela (kasus DPRD Riau, Sumbar, Jawa Barat, Surabaya), yang meng-akibatkan bertambah rumitnya perso-alan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yangefektif dan efisien.
Beberapa penyebab yang dapat diidenfikasi sehubungan persoalan tersebut adalah:
- pengaruh sistem sistem pemerin-tahan daerah model efisien struktural sebelumnya menyebab-kan tingginya ketergantungan terhadap pusat, kemandirian daerah dalam penyelenggaran pemerin-tahan dan pengelolaan keuangan masih rendah.
- kualitas sumberdaya manusia (SDM) di lingkungan pemerin-tahan daerah sekalipun telah ada peningkatan kualitas melalui program pendidikan dan pelatihan masih belum berdampak signi-fikan.
- masih rendahnya kemampuan dalam menyelenggarakan pemerin-tahan secara efektif efisien dan ekonomis serta rendahnya pemi-likian responsibilitas, responsivitas dan representativitas dalam peme-nuhan tuntutan kebutuhan masya-rakat.
- belum adanya kontrol dan meka-nisme secara melembaga dari masyarakat sehingga memung-kinkan terjadinya penyimpangan dan inefisiensi dalam penyeleng-garaan pemerintahan.
Berdasarkan kondisi yang demikian pemerintahan daerah perlu menyelenggarakan pemerintahan tidak saja berdasarkan prinsip birokrasi effective, efficient, dan economics, (three E’s) tetapi juga berdasarkan pada prinsip ideologi demokrasi yang memiliki responsiveness, responsibili-ty, dan representativeness (three R’s) dalam memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat13.
Seperti telah dikemukakan terdahulu ada tiga domain dalam good governance yaitu sektor pub-lik, sektor swasta/privat dan organi-sasi masyarakat justru itu untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah perlu menerapkan prinsip-prinsip three E’s dan three R’s tersebut dalam bentuk privatisasi untuk mengurangi beban pemerin-tah. Dengan kata lain privatisasi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kinerja peme-rintahan daerah agar lebih efektif dan efisien. Oleh sebab itu organi-sasi publik perlu memangkas berbagai institusi yang tidak efisien, mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Elisabeth, Adriana , dkk, 2004, Pemetaan Peran dan Kepentingan Para Aktor dalam Konflik di Papua, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hagul, Peter, ed. 1992. Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat , Rajawali Press, Jakarta.
Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern , PT Gramedia, Jakarta.
Haba, John, dkk, 2003, Konflik di Kawasan Ilegak Logging di Kalimantan Tengah, Jakarta, LIPI. Kasiepo, Manuel, 1987,
Dari Perpol itikan Birokratik ke Korporatisme Negara: Birokrasi dan Politik di Indonesia Era Orde Baru, Jurnal Ilmu Politik 2, Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jakarta.
Ndara, Talizuduhu, 1986, Birokrasi dan Pembangunan, Dominasi atau Alat Demokratisasi: Suatu Telaah Pendahuluan, Jurnal Ilmu Politik 1, Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jakarta.
Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership Governance Reform in Indonesia, Jakarta.
Ratnawati, Tri (ed.), 2000, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, Kasus Jawa Timur, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur, Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI, Jakarta.
Zulkarnaen, Iskandar, dkk, 2003, Potensi Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus Pongkor dan Cilandak, Jakarta, LIPI. Clark, John.1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi . Tiara Wacana, Yogyakarta.
Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. 1992. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta, Jakarta.
Isdijoso, Brahmantio, et. al. 2001. Prospek Penerapan Budget Tranparency dalam Pelaksanaan otonomi Daerah dan Desentral isasi F iskal Di Daerah Kabupaten dan Kota d i Indonesia . Center for Economic and Social Studies, Jakarta.
Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. 2000. Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Erlangga, Jakarta.
Pilliang, Indra J. et. al. 2003. Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi. Yayasan Harkat Bangsa Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesi, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. PT Eresco, Bandung.
Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Leave a Reply