Berikut ini adalah contoh skripsi ekonomi yang mengambil tema Analisis Penerimaan Daerah pada saat Sebelum Otonomi Daerah dan Sesudah Otonomi Daerah.
ABSTRAK
Berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang otonomi daerah, dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri maka konsekuensi untuk tiap-tiap daerah dapat mengembangkan dan menggali potensi yang ada di daerahnya dalam rangka pengembangan perekonomian daerah. Masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengelolaan penerimaan daerah Kota Pekanbaru dilihat dari perbandingan masa sebelum otonomi daerah dan setelah otonomi daerah periode 1999/2000-2003. Di mana dalam penelitian ini, peneliti menitik beratkan pada dua sumber Pendapatan Asli Daerah yaitu pajak dan retribusi daerah, sedangkan Dana Perimbangan untuk melihat tingkat kemandirian daerah Kota Pekanbaru.
Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan penerimaan daerah Kota Pekanbaru, peneliti menggunakan beberapa alat analisis yaitu kontribusi pajak dan retribusi daerah, Rasio PAD, pajak dan retribusi daerah, Elastisitas pajak dan retribusi daerah, dan tingkat derajat desentralisasi fiskal.
Berdasarkan analisis yang ada, kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah pajak daerah memberikan kontribusi terbesar bagi Kota Pekanbaru bila dibandingkan dengan retribusi dan sumber-sumber PAD lainnya. Rasio yang paling tinggi adalah rasio pajak bila dibandingkan rasio retribusi daerah dan ini juga berdampak pada peningkatan rasio PAD terhadap PDRB. Elastisitas diantara dua sumber PAD tersebut yang paling elastis secara rata-rata adalah retribusi daerah. Sedangkan tingkat desentralisasi fiskal Kota Pekanbaru adalah masih besarnya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat, bila ditinjau dari pendanaan yang bersumber dari PAD maka Kota Pekanbaru masih belum mampu membiayai seluruh belanja daerah dari PAD.
Contoh Tesis
- Daftar Contoh Tesis Ilmu Ekonomi
- Daftar Contoh Tesis Ekonomika Pembangunan
- Daftar Contoh Tesis Ilmu-Ilmu Sosial
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola, mengembangkan, dan membangun daerah masing-masing sesuai kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Untuk merealisasikan pelaksanaan otonomi daerah ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. UU ini kemudian di perbarui menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Sesuai dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab serta perimbangan keuangan yang lebih adil, profesional dan transparan antar pemerintah menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat. MPR sebagai wakil rakyat menjawab tuntutan tersebut dengan menghasilkan beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu ketetapan MPR yang dimaksud adalah ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Keuangan Pusat dan Daerah.
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu pada tanggal 1 Januari 2001 Pemerintah Republik Indonesia secara resmi menyatakan dimulainya pelaksanaan Otonomi Daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang selama ini bersifat”Ultra Fires”, dimana tiap daerah tidak dapat melakukan apa saja kecuali kewenangan yang diserahkan oleh pusat (Hendra, 1999).
Otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 lebih bernuansa “Desentralistik”, yang mana daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan adalah pemerintah pusat yang didelegasikan kepada Gubernur (Bratakusumah, 2004:2).
Pengertian otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi rakyat (Suparmoko, 2002:18).
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang dimaksud mencakup dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali wewenang dalam bidang politik Luar Negri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.
Di samping pelimpahan wewenang pembangunan didaerah (Simanjuntak, 1999) mengidentifikasikan tiga unsur peraturan dalam otonomi daerah yaitu:
1. Adanya DPRD yang berwenang menentukan pelayanan jasa apa saja yang harus disediakan oleh pemerintah daerah bersangkutan dan pengeluaran yang diperlukan.
2. Adanya keleluasaan pemerintah daerah untuk menetapkan bentuk organisasi pemerintah yang diperlukan untuk merekrut sendiri pegawai sesuai kebutuhan daerahnya.
3. Adanya sumber pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah tetapi bukan berarti bahwa daerah tidak memerlukan lagi subsidi dari pemerintah pusat.
Konsekuensi dari pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 adalah pemahaman tentang pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan kejelasan perimbangan keuangan pusat dan daerah menjadi sangat penting bagi pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, karena dengan pemahaman yang tepat dan benar maka upaya pemberian otonomi akan menjadi lebih efektif dan efisien. Sebaliknya bila pemahaman yang keliru maka pemberian otonomi akan menambah beban daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya dibiayai oleh APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan sendiri yang digali dari potensi daerah. Ini artinya pendapatan yang digali dalam APBD juga dapat mendukung pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah. Selama ini, sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), bagian daerah dari bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP), dana alokasi berupa sumbangan dan bantuan pembangunan pusat kepada daerah, pinjaman daerah, dan sisa lebih APBD tahun sebelumnya. Semua jenis penerimaan ini dimasukkan ke dalam APBD propinsi, kabupaten dan kota (Saragih, 2003:51).
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu (Mardiasmo, 2002:59) :
1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Jika dilihat dari tujuan Otonomi Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu secara nyata dan bertanggung jawab, sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban dan campur tangan pemerintah pusat di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi lokal.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan yang menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat (Drs. Tamrin Simanjuntak/Davey, 1998:95). Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa Pemerintah Daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri, maka kepada setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri sendiri melalui sumber – sumber keuangan yang dikuasainya. Peranan Pemerintah Daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah ( Halim, 2004:21-22).
Peningkatan PAD sangat menentukan sekali dalam penyelenggaraan otonomi daerah karena semakin tinggi PAD disuatu daerah maka daerah tersebut akan menjadi mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada pusat sehingga daerah tersebut mempunyai kemampuan untuk berotonomi. Jadi PAD merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. Biasanya penerimaan PAD untuk masing-masing daerah berbeda dengan yang lainnya, rendahnya PAD merupakan indikasi nyata di mana masih besarnya ketergantungan daerah kepada pusat terhadap pembiayaan pembangunan baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini disebabkan di samping rendahnya potensi Pendapatan Asli Daerah di daerah juga disebabkan kurang intensifnya pemungutan pajak dan retribusi di daerah (Ismail, 2001).
Kriteria yang biasanya digunakan untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri adalah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak dan retribusi daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk pemerataan pembangunan daerah, meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat (Brata Kusumah, 2001:264).
Sejak tahun 1948 berbagai UU tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah telah menempatkan pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah, bahkan dalam UU No 5 Tahun 1974 pajak dan retribusi daerah dimasukkan menjadi Pendapatan Asli Daerah (Siahaan, 2005:1-2). Oleh karena itu sudah sewajarnya bila PAD dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi, akan tetapi PAD tersebut masih relatif lebih rendah bila dilihat dari proporsi PAD terhadap APBD maupun PDRB. Selain mengandalkan PAD dalam membiayai pengeluaran pembangunan daerah Kota Pekanbaru juga mengandalkan kepada sumber-sumber?
Leave a Reply