BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Secara umum kemasan plastik biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable antara lain campuran biopolimer dengan polimer sintetis, polimer mikrobiologi (polyester) dan polimer pertanian. Beberapa polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pati gandum, pati jagung, kentang, casein, zein, konsentrat protein dan isolat protein (Latief, 2001). Tetapi pemanfaatan konsentrat protein dan isolat protein masih terbatas dari kedelai saja, sehingga pemanfaatan legumes protein isolates sangat dianjurkan (Salunkhe & Deshpande, 1991).
Pemenuhan kebutuhan protein sering ditujukan pada sumber protein nabati karena lebih murah daripada protein hewani. Padahal legumes memegang peranan penting dalam diet manusia karena mengandung protein 2-3 kali lebih banyak dari sereal (Salunkhe & Deshpande, 1991; Potter & Hocthkiss, 1995; Amarteifiol & Moholo, 1998). Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang kaya di seluruh bumi ini. Banyak species kacang-kacangan yang prospektif untuk dikembangkan, namun belum banyak mendapatkan perhatian dari kalangan peneliti dan pengambil kebijakan pangan, misalnya leguminosa minor.
Isolat protein yang akan digunakan dalam penelitian ini berasal dari exotic legumes (koro-koroan) yaitu koro begog (Canavalia ensiformis) yang merupakan salah satu kelompok kacang-kacangan yang bersifat minor yang belum banyak dimanfaatkan (Salunkhe & Deshpande, 1991; Amarteifiol & Moholo, 1998). Canavalia adalah genus tumbuhan memanjat yang hidup di daerah tropis. Hingga saat ini telah dikenal empat jenis Canavalia, yaitu Canavalia gladiata, Canavalia microcarma, Canavalia obtusifolia, dan Canavalia ensiformis (Mourbas, 1977). Di Indonesia leguminosa ini disebut juga koro bedog, koro begog, koro bendo, koro pedang, kacang prasman, koro bakol atau koro wedus. Canavalia ensiformis berasal dari India Barat dan dari beberapa bagian Amerika (Ko et al., 2000). Secara umum, koro begog diidentifikasikan berwarna putih dengan mata biji berwarna hitam.
Namun demikian penelitian terhadap penggunaan protein sebagai bahan dasar pembuatan edible film relatif masih sedikit (Damat et al., 1996). Edible film memiliki manfaat yang cukup besar antara lain untuk melapisi permukaan makanan dan memisahkan komponen-komponen yang berbeda atau sebagai pengemas (Klahorst, 1999). Salah satu sumber protein nabati yang memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan edible film adalah protein koro begog (Canavalia ensiformis). Kandungan gizi koro begog, tepung koro begog serta tepung rendah lemak koro begog sebagai bahan awal pembuatan isolat protein koro begog tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Koro Begog , Tepung Koro Begog dan Tepung Rendah
Sumber : Salunkhe & Kadam (1989); Darmatjahjana (2002)
Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa titik isoelektris optimum koro begog adalah pH 4,4 yang ditunjukkan dengan total protein isolat protein koro begog tertinggi (Darmatjahjana, 2002). Menurut Salunkhe & Kadam (1989), kelarutan minimum dari protein koro begog pada pH 4,5. Dan ekstraksi protein dengan menggunakan metode ini cukup efektif dengan tingkat efisiensi metode penelitian sebesar 45,6% bila dilihat dari total isolat protein koro begog. Secara keseluruhan, legumes protein isolates yang dihasilkan memiliki kadar protein sebesar 81,46% sampai 86,57%. Sedangkan soy isolated proteins memiliki kandungan protein antara 90%-92%. Faktor yang mungkin mempengaruhi hal ini adalah kandungan protein bahan awal, dimana kandungan protein tepung rendah lemak koro-koroan hanya sekitar 23,96%- 31,21%, sedangkan kandungan tepung rendah lemak kedelai dapat mencapai 53% (Darmatjahjana, 2002).
Edible film merupakan lapisan tipis yang layak dimakan (McHugh, 2001) dan dapat memperbaiki kestabilan makanan dan kualitas makanan dengan adanya aksi merintangi minyak, oksigen dan kelembaban (Yildirim & Hettiarachchy, 1998; Al-Ameri & Hettiarachchy, 2001). Namun bila edible film dikehendaki tidak turut dikonsumsi, secara mudah dapat didaur ulang. Edible film dapat dibuat dari berbagai macam polisakarida, lemak dan protein, baik sebagai senyawa tunggal maupun dalam bentuk campurannya. Syarat edible film adalah memiliki ketebalan sekitar 0,1 mm, cukup kuat tidak seperti kertas, elastis, hidrofilik (McHugh, 2001). Edible film digunakan untuk mencegah perpindahan kelembaban pada makanan yang bersifat multikomponen dan sebagai kemasan untuk makanan mudah busuk atau rusak (Gnanasambandam, 1997). Protein dan karbohidrat dapat membentuk edible film yang merupakan pemisah atau barier terbaik untuk oksigen, tetapi kebanyakan edible film tidak dapat ditembus oleh uap air (Maynes & Krochta, 1994).
Perpindahan kelembaban antara produk makanan dan lingkungannya dapat dikontrol dengan mengukur kelembaban yang dapat menembus bahan kemasannya (Kamper & Fennema, 1984). Selain itu, perpindahan massa edible film terhadap produk makanan juga dapat dikontrol sehingga akan memperpanjang masa simpan dan kualitas makanan (Potter & Hotchkiss, 1995; Shellhammer & Krochta, 1997). Edible film dari protein akan menghasilkan lapisan yang transparan, lunak dan fleksibel (Gago & Krochta, 2001). Menurut Krochta & Franssen (2002), protein dan polisakarida berpotensi dalam menahan perpindahan oksigen karena kerapatan dari film yang terbentuk dan struktur jaringan film yang berupa ikatan hidrogen. Bahan untuk pembentukan edible film antara lain lipid (minyak, waxes, emulsi), resin (shellac, rosin), karbohidrat (selulosa, pektin, chitin, starches, gum) dan protein (susu, kacang, colagen / gelatin, tepung, jagung, kacang).
Beberapa bahan utama yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein isolate, wheat gluten, whey protein isolate (WPI), carageenan, dan CMC (Al- Ameri & Hettiarachchy, 2001). Pembuatan edible film dari isolat protein harus disesuaikan kadar air dan pH-nya. Film dari isolat protein dapat merintangi oksigen, aroma dan minyak pada kelembaban tinggi (Klahorst, 1999 dan Gago & Krochta, 2001). Sehingga pada kenyataannya, edible film dapat dipakai sebagai pelengkap nutrisi makanan (Druchta & Johnston, 1997). Bahan lain yang juga diperlukan dalam pembuatan edible film adalah sorbitol, CMC, skim, casein dan antifoam.
1.1. Plasticizers (Sorbitol)
Plasticizers merupakan substansi non volatil, mempunyai titik didih yang tinggi, dan jika ditambahkan ke dalam materi lain dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik bahan tersebut (Krochta et al., 1994). Beberapa plasticizers yang biasa digunakan dalam pembuatan edible film antara lain glycerol, sorbitol dan polyethylene glycol. Glycerol dan sorbitol mampu memberikan rasa manis sedangkan polyethylene glycol tidak berasa (Han, 2001). Plasticizers seperti sorbitol mempunyai kemampuan mengurangi ikatan hidrogen internal dan meningkatkan jarak intermolekuler (Lieberman & Gilbert, 1973 dalam Kristanoko, 1996). Menurut Mc Hugh et al. (1994), sorbitol memberikan tingkat kelenturan tertinggi diantara jenis plasticizers lainnya. Sorbitol adalah alkohol gula, dan merupakan pemanis yang ditemukan dalam sejumlah produk. Sorbitol merupakan zat humectant (pengatur kelembaban) dan texsturizing (Anonym, 2002a). Struktur kimiawi sorbitol dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Kimiawi Sorbitol (Sudarmadji, 1982)
1.2. Carboxymethyl Cellulose (CMC)
Carboxymethyl Cellulose (CMC) merupakan hydrocoloid multifungsional dan memiliki kemampuan untuk memberi karakteristik penting dalam sebuah formulasi. CMC bersifat tidak berbau busuk, tidak beracun dan biodegradable (Anonym, 2002b). CMC larut air, baik air panas maupun air dingin, tetapi tidak larut dalam pelarut organik. CMC juga larut dalam campuran air dan etanol atau aseton (Krochta et al., 1994). Fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air atau memberi kekentalan kepada fase cair (Sanderson, 1981 dalam Kristanoko, 1996). Struktur kimiawi Carboxymethyl Cellulose dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimiawi Carboxymethyl Cellulose (Kristanoko, 1996)
1.3. Susu Skim
Susu skim adalah bagian susu yang banyak mengandung protein (Hadiwiyoto, 1983). Susu skim merupakan sebuah produk yang dibuat dengan menghilangkan kandungan air dari proses pasteurisasi susu tak berlemak. Susu ini mengandung laktosa, protein susu dan mineral dalam proporsi yang hampir sama dengan susu segar (Anonym, 2002c). Komposisi kandungan gizi susu skim dan komposisi asam amino essensial susu skim dapat dilihat pada Tabel 2. dan Tabel3.
1.4. Casein
Casein merupakan protein utama dalam susu sapi. Casein sebagai emulsifier dapat digunakan sebagai pelapis pada makanan sehingga memudahkan untuk ditembus uap air dan gas (Bustillos & Krochta, 1993). Komponen asam amino casein yang berperan dalam pembentukan film adalah cysteine (Krochta et al., 1994). Cysteine merupakan asam amino yang mengandung unsur S. Penambahan cysteine akan membentuk ikatan kovalen disulfida yaitu ikatan yang menentukan stabilitas struktur protein (Damat et al., 1996). Sehingga penambahan casein akan mempengaruhi permeabilitas uap air dan elastisitas film (Krochta et al., 1994 dan Damat et al., 1996). Komposisi kandungan gizi casien dan komposisi asam amino casein dapat dilihat pada Tabel 4. dan Tabel 5.
1.5. Antifoam
Busa merupakan sekumpulan gelembung-gelembung yang terbentuk ketika jenis gas tertentu menyebar dalam media cair dan sebaran ini kemudian stabil. Salah satu jenis antifoam yang biasa digunakan dalam pengolahan makanan adalah silicone antifoam (Anonym, 2002f). Silicone Antifoam digunakan untuk mencegah timbulnya busa (Smith,1991). Struktur kimiawi Silicone Antifoam dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimiawi Silicone Antifoam (Anonym, 2002e)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan susu skim dan casein serta antifoam terhadap kualitas edible film berbahan dasar isolat protein koro begog. Parameter kualitas edible film yang digunakan adalah sifat permeabilitas uap air, persen perpanjangan film dan kekuatan renggangan putus, ketebalan film dan kadar air.
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
Leave a Reply