HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Kebijakan Politik Korea Utara Atas Intervensi Amerika Serikat (1994-2002)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan politik yang terjadi di kawasan Asia Timur pasca Perang Dunia II cukup menarik untuk dikaji. Asia Timur tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik global, terutama setelah Perang Dunia II berakhir dan dalam waktu yang sama menciptakan basis Perang Dingin. Perang Dingin mencakup semua gejala yang menyinggung konflik antara ideologi komunis dan demokrasi liberal yang di pimpin oleh dua super power yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS). Situasi dalam Perang Dingin tidak damai, tetapi juga tidak perang terbuka, tumbuhnya suatu konflik yang tidak dapat dengan mudah di akhiri baik melalui kompromi atau melalui penggunaan kekerasan sebagaimana konflik masa lalu diselesaikan. Berbagai upaya dalam perang dingin telah dilakukan, tetapi belum menunjukkan penyelesaian masalah. Uni Soviet dan AS bercerai dalam sekutu dan mulai terlibat dalam kompetisi yang berkepanjangan memperebutkan pengaruh politik atas beberapa kawasan di dunia (J. Frankel, 1980 : 172).

Harapan untuk mewujudkan perdamaian dunia yang sesungguhnya rupanya tidak akan pernah dicapai. Situasi dunia internasional tidak mendukung usaha kearah perdamaian itu. Uni Soviet menanamkan pengaruh paham komunis dan AS pun berusaha mengimbangi dengan menyerukan politik pembendungan komunis. Uni Soviet dan AS melibatkan pula soal ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi nuklir (Syamsu Suryadi, 1992 : 10).

AS dan Uni Soviet merupakan dua kekuatan global serta mempunyai strategi global yang mengisyaratkan bahwa keduanya ingin melihat suatu negara berada di bawah pengaruhnya. Tidak bertemunya kedua negara tersebut pada peperangan terbuka secara langsung karena keduanya menghindari resiko yang sangat besar, yaitu masalah survival atau pembiayaannya. Perang dingin juga sempat menjadikan beberapa kawasan di dunia bergolak dan terjadi perang terbuka, antara lain di Korea, Vietnam, dan Libya (Dahlan Nasution, 1991 : 69).

Korea merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Timur Laut merupakan negara yang sangat penting di kawasan tersebut yakni menghubungkan Asia Timur Laut dengan dunia luar. Korea terletak di tengah tiga negara besar, yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Bahkan pada akhir abad ke-19 AS juga mencoba memberikan pengaruhnya ke tanah Korea (Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, 2003 : 1).

Korea terbagi menjadi dua negara yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Terbaginya Korea menjadi dua negara ini merupakan simbol warisan persaingan ideologi di masa Perang Dingin. Pada akhir tahun 1970-an, Korea Utara dan Korea Selatan mulai tampil di kalangan masyarakat internasional akibat keberhasilannya dalam pertumbuhan ekonomi dan menghilangkan kemiskinan dalam waktu yang cukup singkat. Selain dari segi ekonomi, Korea menjadi pusat perhatian masyarakat internasional karena pertentangan dan persaingan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang semakin tajam, yakni dengan memperkokoh sistem pertahanannya masing-masing. Pada tahun 1988 Korea Selatan berhasil menyelenggarakan Olimpiade dengan sukses, Korea Utara juga berhasil mengembangkan berbagai macam senjata modern yakni program “plutoniumbased nuclear” dan “highly-enriched-uranium (HEU) nuclear program”. Korea Utara memproduksi cukup plutonium untuk pembuatan senjata nuklir. Seperti yang dikemukakan oleh Andi Purwono bahwa Korea Utara memang negeri yang unik, meskipun hampir seluruh penduduknya hidup dalam kemiskinan, pemerintahnya masih tetap bisa membelanjakan jutaan dolar untuk keperluan persenjataan (Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, 2003 : v).

Korea Utara mengembangkan doktrin Ju Che, ajaran dari pemimpin Korea Utara, Kim Il Sung, yakni nasionalisme yang didefinisikan sebagai keyakinan untuk melakukan percepatan kemajuan dalam bidang politik, ekonomi dan pertahanan di atas kemampuan sendiri. Doktrin ini dikembangkan untuk membentuk rakyat Korea Utara agar mengabdikan diri pada pembangunan bercorak sosialis tanpa bantuan pihak asing. Korea Utara memodernisasi negara dengan memfokuskan kekuasaan negara dalam perencanaan ekonomi, industri berat dan pengembangan militer. Upaya ini berhasil sampai tahun 1970-an, pada saat perkembangan ekonomi Korea Utara bergerak maju. Pada tahun 1980-an kinerja ekonomi Korea Utara mengalami kemunduran, kemudian merosot ketika subsidi dari Uni Soviet berhenti dengan bubarnya Uni Soviet (Mohammad Shoelhi, 2002 : 182).

Korea Utara berusaha memperbaiki keadaan ekonomi dengan mengembangkan energi nuklir sebagai pengganti energi listrik dan untuk tujuan pertahanan-keamanan negara (Kompas, 12 Mei 2003). AS merasa khawatir dengan program pengembangan nuklir Korea Utara, karena dianggap mengancam stabilitas di Semenanjung Korea. Bagi AS masalah nuklir Korea Utara dianggap serius, sehingga AS berusaha menekan Korea Utara untuk menghentikan program pengembangan nuklirnya (Tempo,12 Februari 1994). AS menghendaki Korea Utara untuk menghentikan program pengembangan senjata nuklir untuk dipertukarkan dengan bantuan ekonomi, tetapi pemerintah Korea Utara mengumumkan bahwa Korea Utara keluar dari keanggotaan Nuclear Nonproliferation Treaty (NPT) yakni kesepakatan nonproliferasi nuklir pada tahun 1993, karena Korea Utara merasa ditekan untuk menghentikan program nuklirnya. Pemerintah AS dibawah Presiden Bill Clinton dengan keras meminta Korea Utara supaya menerima pengawasan senjata nuklir dan masuk kembali ke dalam NPT (Mohammad Shoelhi, 2003 : 186).

Pemerintahan AS di bawah Presiden Bill Clinton memilih kebijakan intervensi dalam urusan internasional dan menunjukkan tindakan nyata. Dalam hal ini, AS menaruh perhatian besar pada masalah regional, khususnya permasalahan Korea. Pemerintahan Bill Clinton berusaha mengatasi krisis yang berkembang dalam permasalahan Korea sehubungan dengan pengembangan nuklir oleh Korea Utara (Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, 2003 : 127).

Pemerintah AS meminta Korea Utara untuk menerima tim pemeriksa International Atom Energy Assosiation (IAEA) yakni Badan Energi Atom Internasional dan menghentikan program pengembangan nuklir. AS bersama Korea Selatan mengadakan latihan perang, untuk menggertak Korea Utara. AS dan IAEA melakukan inspeksi instalansi nuklir Korea Utara di Yongbyon (dicurigai tempat membuat nuklir). Inspeksi ditolak, kemudian Pyongyang diberi waktu untuk memenuhi tuntutan IAEA, jika tetap menolak inspeksi IAEA maka Dewan Keamanan PBB akan memberlakukan embargo ekonomi (Tempo,12 Februari 1994).

Korea Utara tidak mempedulikan himbauan AS, bahkan Korea Utara terus meningkatkan percobaan mesin baru bagi peluru kendali (rudal) jarak jauh. Sebaliknya AS terus mempermasalahkan pengembangan teknologi sistem senjata Korea Utara, karena perangai dan tindakan negara itu berimplikasi secara regional dan global. Di samping itu AS sesungguhnya khawatir rudal Korea Utara dapat menjangkau Alaska dan negara itu mengekspor teknologi rudalnya ke negara lain yang tidak bersahabat dengan AS, sementara tidak ada yang bisa menghalangi karena Korea Utara keluar dari NPT (Mohammad Shoelhi, 2003 : 186-187).

Setelah masuknya era baru Presiden George W. Bush, pemerintah AS meningkatkan sikap kerasnya kepada Korea Utara. Sementara itu, Korea Utara menuduh Washington telah melancarkan sikap permusuhan dan agresif yang dapat menimbulkan konflik baru. Seperti disebutkan kantor berita Korea Utara, Korean Central News Agency (KCNA) bahwa sikap permusuhan Presiden George W. Bush terhadap Korea Utara terkait dengan kepemilikan senjata nuklir merupakan alasan agar AS tetap bisa melanjutkan kebijakan agresifnya terhadap Korea Utara dan mempertahankan penempatan pasukan AS di Korea Selatan (Forum Keadilan, 10 Februari 2002).

Dengan makin aktifnya program pengembangan rudal Korea Utara, AS semakin marah, karena AS menganggap Korea Utara selalu menjaga jarak dalam mengakhiri ketegangan di Semenanjung Korea. Dalam persepsi AS, pengembangan senjata perusak massal dan peluru kendali Korea Utara dapat mengancam stabilitas di Semenanjung Korea. AS berpendirian, Korea Utara harus terlebih dahulu melepaskan program nuklir sebelum meningkatkan langkah di bidang politik, ekonomi dan militer. Sedangkan Korea Utara tetap berpendirian, bahwa AS harus lebih dulu melepaskan politik memusuhi Korea Utara dengan menandatangani perjanjian nonagresi dan memberi ganti rugi ekonomi kepada Korea Utara (Mohammad Shoelhi, 2003 : 186).

Korea Utara berpandangan penghancuran senjata nuklir harus dimulai oleh AS sebagai pemilik senjata nuklir terbesar di dunia. Kepemilikan itu mengancam kedaulatan negara. AS menginginkan pengembangan senjata nuklir Korea Utara segera dihentikan. Sebagai timbal balik, AS bersedia memberi bantuan ekonomi. AS mendesak Korea Utara terlebih dahulu menghentikan program pengembangan nuklirnya, baru kemudian bantuan ekonomi diberikan. Keputusan dalam perundingan antara Korea Utara dan AS tidak dilaksanakan oleh kedua negara, sehingga masalah nuklir Korea Utara belum terselesaikan (Kompas, 12 Mei 2003).

Pada tahun 2002, dalam pidato kenegaraan, Presiden AS, George W. Bush menyebut Korea Utara sebagai poros kejahatan karena membangun senjata perusak masal dan mendukung terorisme. Dengan pernyataan tersebut, maka Kementrian Luar Negeri Korea Utara, memastikan tidak akan menerima ajakan Presiden AS, George W. Bush untuk memulai kembali perundingan soal senjata nuklir (Mohammad Shoelhi, 2003:193).

Inilah yang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian dan mengambil judul : “Kebijakan politik Korea Utara atas intervensi Amerika Serikat (1994-2002)”.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?