Sudahkah kita menerapkannya dalam memilih Capres?
Banyak sekali yang tidak memandang secara bijak ketika salah seorang pendukung mengambil kelebihan capres yang didukungnya, dan kelemahan capres yang tidak didukungnya secara ‘pritilan’ (per bagian), tidak dipandang sebagai upaya ‘wajar’ dalam proses demokrasi. (wajar tak mesti benar).
Tapi tidak satu pun sampai sekarang saya temui dari kedua pendukung yang memberikan analisis komparasi lebih komprehensif terhadap kedua capres melalui tools decision theory.
Kondisi ini yang pada akhirnya menjadi perdebatan panjang tak henti-henti yang diperparah lagi dengan sikap emosional yang tidak mencerminkan budaya akademis.
Mungkin tidak banyak dari kita yang mengenal istilah Decision Theory (DT). Dan bisa jadi lebih banyak lagi yang tak sempat atau tak mau mempelajarinya.
Decision Theory yang saya pahami sebenarnya persis sama dengan konsep Mashlahah Mursalah dalam kaidah fikih.
Secara garis besar, decision theory atau kaidah mashlahah mursalah adalah sebuah teori atau kaidah dalam merumuskan dan menghitung manfaat dan resiko dari dua atau lebih pilihan. Mana pilihan yang banyak memiliki manfaat dibandingkan resikonya, maka itulah yang sebaiknya dipilih dengan cara mengukur kelebihan dan kelemahan dari sekian banyak pilihan.
Ada banyak metode yang digunakan dalam merumuskan manfaat dan resiko tadi. Yang paling sederhana menggunakan teori ‘tanda’ +/-. Pengembangan DT dilakukan dengan mengukur menggunakan skala likert dan memberikan bobot pada masing-masing variabel ukur.
Dalam konteks Pilpres, maka masing-masing calon pasangan beserta karakteristik koalisinya dibandingkan satu sama lain dengan memberikan value dan bobot pada masing-masing variabel ukur.
Sedapat mungkin setiap variabel ukur yang dipertimbangkan pada masing-masing kelompok ukur (kedua pasangan) dibuat sesama mungkin. Dalam ilmu statistik di kenal dengan ANOVA. Sebagai misal, kita tidak elok mengukur keberhasilan seorang pembuat pesawat terbang tentang kemampuannya membuat cendol oleh seorang pedagang cendol.
Sangat aneh jika JOKOWI dituntut untuk membuktikan keberhasilan memimpin militer. Begitupun sebaliknya, PRABOWO diminta membuktikan keberhasilan di pemerintahan. Dalam hal ini, apa variabel ukur yang sama? Tentunya KEPEMIMPINAN.
Nilailah keduanya dengan parameter umum keberhasilan kepemimpinannya. Bukan pada ‘jenis’ kepemimpinannya. Atau jika ingin diukur secara bersamaan dan terpisah, maka silakan mendefinisikannya sebagai bagian-bagian dari variabel ukur keberhasilan kepemimpinan tersebut.
Contoh DT dalam format scoring matrix seperti yang saya lampirkan dalam gambar berikut.
CAPRES yang MEMILIKI KEUNGGULAN KOMPARATIF adalah yang MEMILIKI SKOR TERTINGGI.
Silakan rubah (kurangi atau tambah) jumlah variabel ukurnya, faktor bobotnya, dan nilainya. Matriks skor ini bisa dikembangkan ke level skoring untuk pasangan cawapresnya atau koalisi secara terpisah.
Tentu saja nilai dan bobot sesuai dengan hasil pemikiran dan data-data yang diperaya oleh masing-masing. Sebagai misal, untuk mengukur variabel kejujuran, silakan di daftar semua hal yang berkaitan dengan kejujuran masing-masing capres. Berikan indeks dan bobot. Semakin tinggi skornya maka capres tersebut memiliki ketidakjujuran yang tinggi seperti pada gambar berikut:
Sebagai penutup, jika perlu, silakan dikalikan dengan peluang masing-masing capres. Sebab menurut Decision Theory, keputusan terbaik itu = Value (N) X Probability (P).
Mengejar value tinggi dengan probablitas rendah atau probabalitias rendah dengan value tinggi. Silakan dikembangkan oleh masing-masing.
Semoga bermanfaat.
Sumber : Kaskus
Leave a Reply