HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Tesis S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional (UNAS)

  1. Ketidakoptimalan Penanganan Perkara Pidana Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika Di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun
  2. Prinsip Pengawasan Dan Pembinaan Kantor Pertanahan Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah
  3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
  4. Kajian Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
  5. Inkonstitusionalitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi
  6. Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Perspektif Ius Consti Tutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum)
  7. Perlindungan Hukum Bagi Petugas Polri Dalam Pengamanan Terhadap Pelaku Unjuk Rasa Anarkis
  8. Pembayaran Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Asset Recovery (Studi Pada Pengadilan Negeri Binjai)
  9. Analisis Yuridis Prinsip-Prinsip Syari’ah Dan Good Corporate Governance Pada Perbankan Syari’ah
  10. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Penguasaan Tanah Tanpa Hak Sebagai Tindak Pidana Ringan (Studi Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)
  11. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Terhadap Tanah-Tanah Bekas Swapraja Di Kota Surakarta
  12. Penerapan Lembaga Rechtverwerking Sebagai Upaya Untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Guna Menjamin Kepastian Hukum Bagi Pemilik Hak Atas Tanah
  13. Analisis Yuridis Terhadap Corporate Sustainability Dalam United Nations Global Compact 2000 Dikaitkan Dengan Pengaturan Korporasi Indonesia
  14. Evaluasi Kebijakan Pembelajaran Bilingual Di Madrasah Aliyah Negeri 2 Madiun
  15. Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan Di Indonesia Ditinjau Dari Guiding Principles On Business And Human Rights
  16. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli)
  17. Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Anak Di Polwiltabes Semarang
  18. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Peminangan Dalam Perkawinan Di Kecamatan Ampana Kota Kabupatenn Tojo Una-Una
  19. Relevansi Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (Abh) Dengan Pembinaan Anak Yang Dilakukan Oleh Dpppa (Studi Di Dpppa Kabupaten Jombang)
  20. Paradigma Kepastian Hukum Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah: Perspektif Hukum Positif

Ketidakoptimalan Penanganan Perkara Pidana Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika Di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun

Imtisari

Ketidakoptimalan Penanganan Perkara Pidana Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun. Tujuan dari penulisan tesis ini yaitu pelaksanaan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika yang belum dilaksanakan dan upaya yang dilakukan agar rehabilitasi secara optimal dilaksanakan di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan tesis ini adalah Mengapa rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika di wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun belum dilaksanakan secara optimal dan Upaya apa yang suharusnya dilakukan agar rehabilitasi penyalahguna narkotika di wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun dilaksanakan secara optimal.

Pendekatan Penelitian

Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis empiris, jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah kualitatif adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden sacara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Pelaksanaan rehabilitasi belum dilaksanakan secara optimal oleh penegak hukum di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Upaya-upaya terhadap pelaksanaan rehabilitasi penyalahguna narkotika, aparat penegak hukum di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Mejayan Kabupaten Madiun dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Madiun dalam proses awal penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika sedini mungkin dilakukannya Assesmen Terpadu.

Prinsip Pengawasan Dan Pembinaan Kantor Pertanahan Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah

Hasil Penelitian

Hasil penelitian : 1) Berpijak dari sejarah pendaftaran tanah di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Adapun PPAT sebagai pejabat umum diberi kewenangan unuk membuat akta-akta tanah dalam perbuatan hukum tertentu mengenai pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dan pembebanan hak tanggungan. Hubungan hukum antara PPAT dengan BPN merupakan hubungan antar lembaga, khususnya mengenai hukum administrasi pertanahan. Oleh karena BPN yang mengangkat dan memberhentikan PPAT, maka agar terwujudnya ketertiban hukum administrasi pertanahan perlu adanya pembinaan dan pengawasan dari BPN terhadap PPAT; 2) BPN dalam penyelenggaraan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT berlandaskan pada prinsip ketertiban, guna mewujudkan ketertiban hukum administrasi pertanahan. Prinsip kepastian hukum bagi para pihak yang melakukan perbuatan hukum dihadapan PPAT yang berhubungan dengan hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, menjamin perlindungan hukumnya bagi para pihak. Sehubungan dalam pembinaan dan pengawasan terkandung prinsip ketertiban hukum, kepastian hukum, dan perlindungan hukum, maka pembinaan dan pengawasan merupakan prinsip ketertiban hukum administrasi pertanahan; 3) Kepala Kantor Pertanahan dalam menyelenggarakan pengawasan dan pembinaan terhadap PPAT mendapatkan kewenangan yang bersifat mandat dari BPN. Sedangkan BPN sebagai lembaga yang mendapat kewenangan atribusi dari Presiden sebagai delegated legislator. PPAT dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara administrasi bertanggung jawab kepada BPN selaku lembaga yang mengangkat dan memberhentikan PPAT. Namun apabila PPAT tidak menjalankan tugas dan kewajiban akan mendapatkan sanksi administrasi berupa pemberhentian sementara ataupun pemberhentian permanen oleh BPN atas usulan Kepala Kantor Pertanahan.

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Intisari

Perkosaan merupakan persoalan yang semakin banyak terjadi namun sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Di Indonesai secara umum kasus perkosaan semakin hari semakin meningkat bahkan tak jarang perkosaan terjadi di dalam lingkungan keluarga bahkan kini pelaku perkosaan maupun korbannya adalah anak dibawah umur ini menjadi suatu masalah yang sangat perlu untuk diperhatikan secara serius. Tindak pidana perkosaan sering terjadi akibat lemahnya penegakan hukum pidana matriil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadp anak korban pemerkosaan di bawah umur dalam sistem peradilan pidana.

Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum normatif adalah hukum yang dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Kegiatan penelitian ini didasarkan pada sistematika, metode dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan mengenalinya. Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.

Hasil Penelitian

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak yang dimaksud dengan Anak adalah seseornag yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, temasuk yang masih dalam kandungan menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Bertolak dari konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, maka undang-undang meletakan kewajiban atas perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : a) nondiskriminasi; b) kepentingan yang terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; d) penghargaan terhadap pendapat anak. Bahwa perlindungan yang di berikan kepada korban perkosaan anak belum maksimal, padahal korban perkosaan di bawah umur merupakan korban yang sangat dirugikan baik secara fisik maupun psikis karena konteks perlindungan terhadap korban dalam sistem pemidaan adanya upaya preventif dan represif yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, kepastian dan keadilan oleh aparat penegak hukum menyangkut memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan anak di bawah umur seyognya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Semua pihak diwajibkan untuk memberikan perlindungan kepada anak dimulai dari lingkungan keluarga sampai di mana anak menjalankan aktifitasnya sehari-hari, sehingga mengurangi kesempatan bagi calon pelaku yang akan melakukan kejahatan, dan baik pemerintah, aparat hukum dan LSM juga dapat meningkatkan profesionalnya dalam memahami permasalan anak sehingga mampu mensejahterahkan anak Indonesia yang bertanggungjawab kepada bangsa dan negara, keluarga, orang tua dan lingkungannya.

Kajian Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

Intisari

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan yang merupakan hasil revisi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan menimbulkan dampak bagi kelangsungan usaha pelayaran maupun usaha kepelabuhanan. Bagi usaha pelayaran dengan keluarnya Undang-Undang tersebut memberikan kepastian hukum terhadap perkembangan pelayaran nasional di Indonesia terkait dengan jumlah armada nasional yang melakukan kegiatan di perairan Indonesia, sedangkan bagi usaha kepelabuhanan memberikan dampak seperti dipisahkannya fungsi regulator dan operator yang selama ini merupakan kewenangan PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) serta menghilangkan dan mengakhiri monopoli PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) di dalam pengelolaan usaha jasa kepelabuhanan. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak ataupun pengaruh penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran baik terhadap kelangsungan usaha pelayaran maupun usaha kepelabuhanan serta upaya-upaya yang dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) dalam mengantisipasi berlakunya Undang-Undang tersebut.

Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif sedangkan spesifikasi penelitian ini adalah penelitian preskriptif analitis. Jenis datanya menggunakan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Teknis analisa menggunakan teknik analisis normatif- kualitatif.

Hasil Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah : 1 ). Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut memberikan kepastian hukum yang jelas terhadap usaha pelayaran salah satunya terkait dengan peningkatan armada nasional yang melakukan kegiatan di perairan Indonesia, hal ini dapat dilihat dari perbandingan perkembangan jumlah armada nasional dengan armada asing selama 5 (lima) tahun mulai tahun 2005- 2009 yang diuraikan sebagai berikut: tahun 2005 (armada nasional : 6.012 unit ; armada asing : 1.955 unit), tahun 2006 (armada nasional : 6.428 unit ; armada asing : 1.448 unit) tahun 2007 (armada nasional : 7.154 unit ; armada asing : 1.154 unit), tahun 2008 (armada nasional : 8.165 unit ;·armada asing : 977 unit), dan tahun 2009 (armada nasional : 9 .164 unit ; armada asing : 865 unit). 2) Fungsi regulator terhadap pengelolaan (pengendalian, pengawasan dan pengaturan) pelabuhan diserahkan kepada Otoritas Pelabuhan sedangkan fungsi operator diserahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang dalam hal ini termasuk PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang berakibat terhadap pengurangan kegiatan pengusahaan jasa kepelabuhanan oleh PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang pada akhirnya berpotensi mengurangi pendapatan yang diperoleh selama ini. 3). Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut maka semua pihak dapat melakukan investasi di bidang kepelabuhanan baik pihak swasta maupun pemerintah daerah serta investor-investor lainnya sehingga hal tersebut akan menimbulkan persaingan yang ketat diantara operator-operator di pelabuhan, dan untuk mengantisipasinya PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) telah melakukan beberapa upaya dalam menghadapinya. Upaya-upaya yang telah dan terus dilakukan antara lain dengan melakukan penambahan dan perbaikan alat serta fasilitas pelabuhan yang didukung dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia di dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa kepelabuhanan.

Inkonstitusionalitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi

Intisari

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) merupakan salah satu produk hukum yang dibentuk oleh Presiden pada saat negara dalam keadaan genting yang memaksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) kedudukan Perpu diletakkan sejajar dengan undang-undang. Pada hakekatnya dari segi bentuk Perpu adalah Peraturan Pemerintah sedangkan dari segi materi muatan adalah sama dengan undangundang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11. Eksistensi Perpu yang demikian menjadi menarik ketika produk hukum tersebut diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sedangkan secara konstitusional kewenangankewenangan MK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 salah satunya adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 bukan menguji Perpu terhadap UUD NRI 1945.

Hasil Penelitian

Berdasarkan itu, adapun rumusan masalahnya ialah apakah dengan disejajarkannya Perpu dengan undangundang dalam hierarki peraturan perundang-undangan Perpu memiliki kualifikasi yang sama dengan undang-undang? Dan apakah MK berwenang menguji Perpu? Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif yang bersifat analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan memakai sistem kartu sebagai teknik pengumpulan bahan hukumnya. Kajian terhadap masalah ini didukung oleh konsep negara hukum, teori kewenangan, teori penafsiran konstitusi dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah walaupun secara materiil substansi Perpu sama dengan undang-undang namun secara formil Perpu tidak sama dengan undang-undang. MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sebab kewenangan MK bersifat otoritatif dan limitatif, sehingga pengujian Perpu oleh MK dapat dikatakan inkonstitusional.

Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Perspektif Ius Consti Tutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum)

Intisari

Fenomena penegakan hukum pidana dewasa ini semakin kehilangan arah bahkan dinilai telah mencapai titik terendah, masyarakat pencari kadilan mengeluhkan proses penyidikan tindak pidana ( umum) yang prosesnya berbelit-belit, berlarut-larut bahkan tidak ada ujung penyelesaianya, keadaan ini jelas tidak memberi kepastian hukum, keadilan serta menfaat dalam penegakan hukum terlebih lagi akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, salah satu penyebab keadaan tersebut adalah tidak adanya ketentuan batas waktu penyidikan (kekosongan norma), yang memberi kesempatan kepada penyidik untuk menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, berkenaan dengan hal tersebut penulis mengangkat judul tesis “Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Ius Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum) ”.

Pendekatan Penelitian

Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode deskriptif normatif, dilakukan untuk mencari jawaban atas permasalahan : Bagaimana ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? dan Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang ?.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian kepustakaan, diperoleh jawaban atas permasalah tersebut yaitu : Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Ius Constitutum) tidak diatur mengenai ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara tegas sehingga banyak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersangka dan pembaharuan hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) seharusnya mengatur mengenai batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara tegas dan pasti, serta mengatur mengenai penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi tersangka, korban maupun saksi pada umumnya. Untuk mewujudkan tindakan penyidikan yang memiliki kepastian hukum, mencerminkan keadilan serta penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (tersangka, korban dan saksi ) .

Perlindungan Hukum Bagi Petugas Polri Dalam Pengamanan Terhadap Pelaku Unjuk Rasa Anarkis

Intisari

Kepolisian Negara Republik Indonesia mengemban tiga tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan keteriban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat, (Pasal 13 UU RI Nomor 2 Tahun 2002) tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Didalam pelaksanaan tugas pokok sebagaimana Pasal 13 UU RI Nomor 2 Tahun 2002, Polri melakukan upaya – upaya hukum dengan menitik beratkan kepada upaya preventif atau upaya pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana dan upaya represif apabila tindak pidana sedang atau telah terjadi. Upaya preventif oleh petugas Polri dilakukan dengan menyelenggarakan Turjawali (pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli) secara teratur, terjadwal dan terarah terhadap obyek – obyek kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan ( Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2002). Upaya preventif tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh petugas Polri dalam mencegah bertemunya niat dan kesempatan pelaku tindak pidana untuk melakukan kejahatan. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana pengaturan hukum bagi Polri dalam pengamanan terhadap unjuk rasa anarkis, Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa anarkis serta Bagaimana perlindungan hukum bagi petugas polri dalam pengamanan terhadap pelaku unjuk rasa anarkis.

Pendekatan Penelitian

Metode yang dipakai dalam penulisan atau penelitian ini dengan menggunakan metode library research dan field research disesuaikan dengan kualifikasi penelitian yakni menggunakan metode deskriptif, maka data dilapangan yang diperoleh merupakan suatu gambaran yang nyata terhadap kehidupan dalam masyarakat yang ada pada saat ini dan fenomena hukum yang berlaku. Penegakan hukum dengan mengedepankan fungsi hukum sebagai fasilitator yang dikembangk:an oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan mengarahkan, merencanakan, mengendalikan dan mengkoordinasikan secara baik dalam pengelolaan penyampaian pendapat di muka umum dengan bekerja sama dan melibatkan tokoh masyarakat, koordinasi antar instansi terkait, serta menjalankan penyesuaian atau negosiasi dengan tokoh dan penanggung jawab pengunjuk rasa baik yang memberitahukan aksinya ataupun tidak kepada pihak aparat penegak hukum lebih efektif dan menjadikan aksi penyarnpaian pendapat di muka umum tepat sasaran hingga agresifitas tindakan yang menimbulkan kerugian jiwa, harta benda dan psikologi tidak terjadi dalam penyampaian pendapat di muka umum dan tercipta harkamtibmas di wilayah tersebut. Penanganan unjuk rasa yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan cara memberdayakan seluruh fungsi yang ada di Polres-Polres atau satuan Polri lainya yang terjadi di wilayah hukum Polda Sumut, sangat tergantung dari kebijakan Kapolda Sumut. Kebijakan dari Kapolda tersebut didasarkan pada penilaian Kapolda terhadap unjuk rasa yang terjadi, dan juga saran-saran dari Direktur Intelkam maupun perwira lainnya yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pengamanan unjuk rasa.

Pembayaran Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Asset Recovery (Studi Pada Pengadilan Negeri Binjai)

Intisari

Pengadilan Negeri Binjai pada priode tahun 2008 sld 2010 telah menghukum pelaku tindak pidana korupsi dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 890.658. 004;-. Dari jumlah Rp. 890.658.004;- dalam kenyataannya yang bisa ditagih oleh Kejaksaan Negeri Binjai hanya sebesar Rp. 76.977.500,-. Sekitar 8% dari yang seharusnya ditagih oleh Kejaksaan Negeri Binjai. Mekanisme pengembalian kerugian uang negara melalui pembayaran uang pengganti yang diatur UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tidak memadai lagi, perlu dicari mekanisme lain yang dapat memberikan hasil yang optimal terhadap pengembalian kerugian negara, diantaranya melalui penerapan prinsip asset recovery sebagaimana yang diatur dalam UNCAC 2003.

Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini diajukan permasalahan yaitu pemahaman dan penerapan asset recovery dalam tuntutan pidana Jaksa Penuntul Umum dan putusan Hakim pada Pengadilan Negeri Binjai. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu meneliti hukum sebagai norma positif dengan menganalisis permasalahan berdasarkan peraturan perundang- undangan, putusan hakim dan sural tuntutan Penuntut Umum serta literature dari data puslaka, studi dokumen dan data lapangan. Hakim di Pengadilan Negeri Binjai maupun Jaksa di Kejaksaan Negeri Binjai khususnya yang menangani perkara tindak pidana korupsi masih memakai cara pandang lebih pada upaya penindakan berupa penjatuhan hukuman badan dari pada upaya pemulihan sehingga kerugian yang telah dialami negara tidak dapat dikembalikan secara optimal. Sudah waktunya untuk menerapkan penyitaan atau perampasan dan pembekuan aset yang diatur dalam UNCAC 2003 dalam UU Tipikor yang baru.

Analisis Yuridis Prinsip-Prinsip Syari’ah Dan Good Corporate Governance Pada Perbankan Syari’ah

Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangan lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat. Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam UndangUndang No 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Adapun prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yaitu kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. dan menggunakan sistem antara antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperolah keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) Seiring dengan perkembangan industri perbankan syariah yang antara lain ditandai dengan semakin beragamnya produk perbankan syariah dan bertambahnya jaringan pelayanan perbankan syariah, maka Good Corporate Governance pada industri perbankan syariah menjadi semakin penting untuk dilaksanakan. Pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan syariah harus berlandaskan pada lima prinsip dasar. sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Pertama, transparansi (transparency), Kedua, akuntabilitas (accountability). Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility). Keempat, profesional (professional). Kelima, kewajaran (fairness). Sekarang sudah dikeluarkan PBI yang spesifik menekankan perlunya penerapan GCG pada perbankan, yaitu PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum. PBI ini juga berlaku bagi bank syari’ah yang artinya perbankan syari’ah juga diwajibkan menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam pengoprasian kegiatannya. Namun sejak tahun 2010, PBI No, 8/4/PBI/2006 sudah tidak berlaku lagi bagi bank syari’ah. Sebagai gantinya, telah dikeluarkan PBI No.11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah. Latar belakang dikeluarkannya PBI ini adalah bahwa pelaksanaan GCG di dalam industri Perbankan syari’ah harus memenuhi prinsip syari’ah. Ada 3 komponen dasar yang harus dipenuhi oleh perbankan syari’ah, Pertama Perbankan syariah harus menerapkan kegiatan operasional usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah, yang kedua bahwa Perbankan syari’ah diwajibkan pula untuk melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik sesuai Pasal 34 UU N0 21 Tahun 2008, selain itu yang ketiga adalah sesuai dengan PBI No.11/33/PBI/2009 pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) di industri perbankan syariah juga harus memenuhi prinsip syariah (sharia compliance). Ketidak sesuaian tata kelola bank (Good Corporate Governance) dengan prinsip syariah akan berpotensi menimbulkan berbagai risiko terutama risiko reputasi bagi industri perbankan syariah. Terdapat perbedaan pada level prinsip dan operasional antara bank konvensional dan bank syari’ah yang memerlukan tambahan dibidang GCG untuk menciptakan perbankan syari’ah yang sehat. Perbedaan tersebut adalah : (i) GCG perbankan konvensional diatur dan dikembangkan secara bebas nilai (sekular) dengan mengesampingkan aspek akuntabilitas kepada Allah SWT. (ii) Pentingnya jaminan pelaksanaan kepatuhan pada prinsip syari’ah dan ketentuan dalam setiap kegiatan usaha bank syari’ah. (iii) Perbedaan posisi nasabah bank syari’ah yang umumnya menggunakan prinsip mudharabah sehingga lebih mirip sebagai quasy equity holder. Namun dengan hak dan kewajiban yang berbeda dengan pemegang saham. Bahwa dalam pengembangan GCG perbankan syari’ah diperlukan pula rujukan norma yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan faktor keunggulan antara lain untuk pengembangan etika dan sistem pengawasan berbasis pengawasan dari dalam diri sendiri (Ihsan). Selain itu karena citra islami yang melekat pada institusi perbankan syari’ah maka stakeholders perbankan syari’ah juga menjadi lebih luas yaitu mencakup pula umat muslim secara umum, hal ini antara lain karena ada hak umat yang melekat pada lembaga bank khususnya mustahik yang terkait dengan permasalahan zakat yang dikelola bank serta citra islami yang diemban oleh bank dimana umat secara umum akan terugikan bila bank syari’ah mengalami kegagalan usaha atau melakukan kecurangan yang dapat merusak citra islami secara umum. Untuk itu Tatakelola perusahaan yang baik di dalam perbankan syari’ah seharusnya mengakomodir prinsip-prinsip syari’ah sesuai dengan konsep sistem ekonomi hukum islam yang telah mengaturnya tidak hanya asal menggunakan tatakelola perusahaan yang baik yang telah ada (baca: yang sudah berlaku di bank onvensional) karena ada perbedaan secara prinsip dan operasional diantara keduanya. Maka penting bagi pembuat undang-undang sebelum membuat sebuah Undang-Undnag dan atau aturan pelaksanaannya untuk memperhatikan dengan seksama metode memformulasikan ajaran hukum islam tersebut kedalam sistem hukum Indonesia.

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Penguasaan Tanah Tanpa Hak Sebagai Tindak Pidana Ringan (Studi Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)

Intisari

Salah satu perihal permasalahan tanah yang juga merupakan masalah hukum pidana adalah masalah penguasaan tanah tanpa hak. Penguasaan tanah tanpa hak bukanlah suatu hal yang baru dan terjadi di Indonesia. Kata penguasaan sendiri dapat diartikan dengan perbuatan mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain, yang bukan merupakan haknya. Tindakan penguasaan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana. Permasalahan penelitian ini adalah: bagaimana pengaturan hukum pidana mengenai pertanggungjawaban penguasaan tanah tanpa hak, bagaimana faktor penyebab terjadinya penguasaan tanah tanpa hak serta bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pertanggungjawaban pidana penguasaan tanah tanpa hak sebagai tindak pidana ringan.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini diarahkan kepada penelitian hukum yuridis normatif, atau doktriner yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian hukum normatif atau doktriner yang diajukan dalam kajian ini adalah penelitian terhadap asas-asas hukum.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pengaturan hukum pidana mengenai pertanggungjawaban penguasaan tanah tanpa hak ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) no. Pasal 2 Undang-Undang No. 51/PRP/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, Pasal 167 KUHPidana, Pasal 385 ayat (1) KUHP. Faktor penyebab terjadinya penguasaan tanah tanpa hak adalah Kurangnya kesadaran hukum masyarakat serta kurangnya pengetahuan hukum masyarakat

Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Terhadap Tanah-Tanah Bekas Swapraja Di Kota Surakarta

Intisari

Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, maka bangsa Indonesia telah memiliki hukum tanah Nasional yang berstruktur tunggal (unifikasi hukum). Sebelum berlakunya UUPA berlaku bersamaan berbagai perangkat hukum tanah di Indonesia. Ada yang bersumber pada hukum Adat yang berkonsepsi komunalistik religius, ada yang bersumber pada hukum Administrasi Belanda/Perdata Barat yang individual liberal dan ada pula yang berasal dari Pemerintahan Swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Indonesia di Jawa dibagi menjadi dua daerah kekuasaan yaitu daerah Gubernemen yang dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan daerah Vorstenlanden atau daerah kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta yang sering disebut daerah Swapraja. Pola penguasaan tanah di Swapraja Surakarta sangat ditentukan oleh raja. Peraturan dasar hukum tanah yang dipakai untuk Swapraja Surakarta disusun tersendiri dan berlaku khusus yang dimuat dalam Rijksblad Kasunanan no 12 s/d no 15 tahun 1938 dan Rijksblad Mangkunegaran no 5 s/d no 8 tahun 1938. Setelah berlakunya UUPA status tanah bekas Swapraja di Kota Surakarta telah menjadi TANAH NEGARA. Seperti disebutkan dalam Diktum Keempat huruf A UUPA bahwa “Hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang Undang ini hapus dan beralih ke negara”. Pengertian Tanah Negara tersebut merupakan pengejawantahan dari Hak Menguasai dari Negara. UUPA menganut konsep negara “menguasai” dan bukan “memiliki” dalam hubungan antara negara dan tanah. Negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat Indonesia pada tingkatan tertinggi bertugas mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Secara normatif perlakuan terhadap tanah-tanah bekas swapraja dapat mendasarkan pada aturan Diktum Keempat huruf A UUPA, namun secara sosiologis ada tanah-tanah yang merupakan pamijen kraton yang tidak dilakukan individualisasi. Karena dalam pola pemilikan tanah Swapraja, raja tidak pernah memiliki tanah secara pribadi. Sebagian besar telah diindividualisasi dan terdaftar dalam buku Persil, sedangkan raja dan kerabat raja tidak memiliki tanah yang terdaftar dalam buku Persil melainkan kraton sebagai lembaga (bukan Badan Hukum) yang tercatat memiliki tanah berupa pamijen (DKS untuk Kasunanan dan DMN untuk Mangkunegaran).


Pendekatan Penelitian

Dengan demikian, pemahaman mengenai status tanah-tanah bekas Swapraja setelah berlakunya UUPA, akan menjadi tidak sederhana ketika berhadapan dengan peristiwa hukum yang konkret. Kesulitan utama adalah menghilangkan kebiasaan untuk segera menerapkan aturan-aturan yang bersifat formal dengan pendekatan legalistik, karena dengan pendekatan ini dapat berakibat pengingkaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Adanya berbagai persoalaan tanah bekas Swapraja di Kota Surakarta menunjukan bahwa UU No. 5 Tahun 1960 belum dapat diterapkan dengan baik.

Hasil Penelitian

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor-faktor seperti diuraikan di bawah ini : 1. Faktor-faktor penyebab dari Pemerintah Kota yang beranggapan : a. Bahwa dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah No. 16 Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 telah menghapus kekuasaan kraton sekaligus menghapus ketentuan mengenai penguasaan atas tanah di wilayah Swapraja Surakarta. b. Bahwa dengan mendasarkan pada Diktum Keempat huruf A UUPA status tanah bekas Swapraja telah menjadi TANAH NEGARA. c. Bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan Landreform, pengaturan peruntukan dan pemilikan tanah-tanah bekas Swapraja dengan pembagian sebagian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. 2. Faktor-faktor penyebab dari pihak kraton atau ahli warisnya yang beranggapan : a. Bahwa Penetapan Pemerintah No. 16 Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 merupakan pembekuan terhadap Pemerintahan Swapraja, sedangkan harta kekayaan yang berupa hak-hak atas tanah berikut bangunannya masih milik Swapraja dalam hal ini pihak kraton atau ahli warisnya. b. Bahwa dengan mendasarkan pada telegram Menteri Dalam Negeri tanggal 25 September 1967 yang isinya antara lain mengenai larangan penanganan tanah-tanah Swapraja, sehingga mengenai status tanah bekas Swapraja tersebut dinyatakan dalam status quo. 3. Faktor-faktor dari peraturan hukum a. Bahwa terjadi perbedaan penafsiran terhadap pengertian TANAH NEGARA atau “tanah yang langsung dikuasai oleh negara”. b. Bahwa UUPA belum dapat mengakomodasikan mengenai subjek hak atas kepemilikan tanah-tanah bekas Swapraja, karena Raja atau lembaga Kraton bukan sebagai subjek hak atas tanah. c. Terhadap tanah-tanah bekas Swapraja belum dibuat peraturan pelaksanaannya, yang dapat mengatasi konflik tanah-tanah bekas Swapraja. Faktanya konflik terjadi bukan antara pihak kraton dengan rakyat, melainkan konflik antara pihak kraton dengan Negara.

Penerapan Lembaga Rechtverwerking Sebagai Upaya Untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Guna Menjamin Kepastian Hukum Bagi Pemilik Hak Atas Tanah

Intisari

Indonesia menganut sistem publikasi negatif, dimana pemerintah tidak menjamin sepenuhnya kebenaran data yang disajikan, namun demikian tidak dapat diartikan sistem publikasi yang digunakan adalah sistem publikasi negatif yang murni. Hal tersebut tampak dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang menyatakan pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan digunakannya kata “kuat”, maka dapat dilihat bahwa sistem publikasi yang di anut adaIah negatif Sebab jika yang di anut adaIah sistern publikasi positif maka kata yang tepat adaIah “mutlak”. Sehingga dengan demikian sertiflkat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak.

Analisis Yuridis Terhadap Corporate Sustainability Dalam United Nations Global Compact 2000 Dikaitkan Dengan Pengaturan Korporasi Indonesia

Intisari

Konsep Corporate Sustainability seringkali dikaitkan dengan United Nations Global Compact, dimana pengaturannya bervariasi dalam satu negara ke negara lainnya. Tesis ini berusaha menguraikan permasalahan dimana perlunya pemahaman mengenai akomodasi Corporate Sustainability terhadap pengaturan Korporasi Internasional maupun Nasional serta analisa pranata hukum Corporate Sustainability dalam bisnis yang dijalankan. Tujuan tesis ini adalah untuk memahami dan menganalisis terakomodasinya pengaturan Corporate Sustainability ke dalam pengaturan Korporasi internasional maupun Nasional serta menganalisis diimplementasikannya pranata hukum Corporate Sustainability oleh Korporasi Indonesia dalam kegiatan bisnis yang dijalankan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang menekankan pada penggunaan data sekunder antara lain yaitu : asas-asas atau prinsip-prinsip hukum, baik dalam kaidah hukum positif, kasus-kasus maupun perjanjian internasional yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini adalah bagaimana langkah – langkah agar perusahaan transanasional maupun hukum Indonesia dapat mengikuti dan up to date dengan kebijakan politik Internasional, agar negara dan korporasi dapat bersaing di kancah dunia global. Yaitu dengan memperdalam dan mengeneralisasi pembelajaran mengenai Corporate Sustainability serta standardisasi dan normalisasi laporan keberlanjutan oleh perusahaan-perusahaan, baik transnasional maupun perusahaan biasa di Indonesia.

Evaluasi Kebijakan Pembelajaran Bilingual Di Madrasah Aliyah Negeri 2 Madiun

Intisari

Optimalisasi potensi siswa harus dibarengi dengan pembaharuan sistem pendidikan. Sejalan dengan itu, pemerintah menyusun Standar Nasional Pendidikan telah ditetapkan peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Di MAN 2 Madiun menggulirkan kebijakan pembelajaran bilingual untuk melancarkan program pendidikan tersebut. Hal ini harus selalu dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektivitas dan evisiensi kebijakan yang diterapkan. Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Menemukan efektivitas kebijakan pembelajaran bilingual di MAN 2 Madiun; (b) Menemukan efisiensi kebijakan pembelajaran bilingual di MAN 2 Madiun; (c) Menemukan dampak dari pelaksanaan kebijakan bilingual di MAN 2 Madiun; (d) Mendeskripsikan langkah-langkah solutif sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan kebijakan pembelajaran bilingual di MAN 2 Madiun. Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan teknik pengambilan data:observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sumber informasi dari Kepala MAN 2, Waka, Ketua Program, Guru-guru bilingual dan siswa. Pelaksanaan penelitian ada empat tahap, yaitu: (1) tahap sebelum ke lapangan, (2) tahap pekerja lapangan, (3) tahap analisis data, dan (4) tahap penulis laporan. Adapun hasil penelitian ini sebagai berikut: Pertama, efektivitas kebijakan pembelajaran bilingual dalam hal pembelajaran di kelas MIPA di MAN 2 Madiun sudah sesuai dengan kurikulum yang disatndartkan Direktorat Madrasah & Pendidikan Agama Islam bagi sekolah penyelenggara bilingual. Kedua, efisiensi kebijakan program pembelajaran bilingual dalam hal sarana prasarana di MAN 2 Madiun untuk menentukan kelancaran proses pendidikan dalam menunjang program pembelajaran bilingual. Ketiga, kendala-kendala dalam melaksanakan kebijakan program pembelajaran bilingual dalam hal minat, motivasi dan gaya belajar siswa di MAN 2 Madiun dapat dikendalikan dengan baik. Keempat, solusi-solusi dalam mengendlikan hambatan program pembelajaran bilingual dalam hal guru sebagai tenaga pengajar di MAN 2 Madiun dengan meningkatkan profesionalisme guru. Di samping itu adanya tenaga pengajar dengan kualifikasi pendidikanMagister (S2) yang memiliki kepribadian yang baik, dan mempunyai kompetensi yang memadai dalam hal pendidikan. Penguasaan bahasa Inggris dan potensi dalam diri selalu ditingkatkan, sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan terbaru.

Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan Di Indonesia Ditinjau Dari Guiding Principles On Business And Human Rights

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan di Indonesia dan menganalisis pengaturan dan pelaksanaan tersebut melalui tinjauan berdasarkan UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP). Permasalahannya adalah banyak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang timbul akibat dampak dari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan baik terhadap masyarakat maupun lingkungan. Kegiatan TJSL perusahaan yang selama ini dilakukan pun dianggap tidak dapat memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi, hal ini dikarenakan terdapat kesalahan dalam memaknai konsep dan pelaksanaan TJSL hanya sebatas sebagai kegiatan filantropi semata, serta absennya produk hukum memadai yang mengatur tentang hal ini.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelilitian normative dengan menggunakan empat pendekatan yaitu: Pendekatan perundang-undangan, historis, perbandingan dan konseptual. Dari penelitian ini dihasilkan jawaban bahwa: (1) Hukum di Indonesia berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan kepada setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam dan berkaitan dengannya untuk melaksanakan kegiatan TJSL. Namun pengaturan tentang TJSL di Indonesia belum mengatur secara memadai terkait bentuk dan ruang lingkup pelaksanaannya. Perusahaan lebih mengacu pada instrument internasional seperti UN Global Compact dan ISO 26000 berdasarkan hal ini bentuk pelaksanaan TJSL di Indonesia dapat dilihat dalam tiga bentuk yaitu community relation, community service, dan community empowering. (2) Diaturnya TJSL dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia berimplikasi pada ditetapkannya TJSL sebagai kewajiban hukum dan bukan sebagai kewajiban moral. Apabila tidak melaksanakan TJSL maka perusahaan dapat dikenai sanksi berupa sanksi administratif sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. (3) Secara peraturan prinsip yang terdapat dalam UNGP sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang TJSL, hal ini dapat dilihat dari diwajibkannya pelaksanaan TJSL disertai sanksi, Ini dapat diartikan sebagai wujud tanggung jawab negara dalam melindungi HAM dari pelanggaran oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan. Namun secara pelaksanaan, TJSL di Indonesia masih belum sesuai dengan UNGP. Dalam UNGP terdapat prinsip operasional uji tuntas HAM yang mengamanatkan perusahaan untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi dampak rill dan potensial pelanggaran HAM serta ditentukan solusi pencegahannya. Masih terdapatnya kasus pelanggaran HAM akibat kegiatan bisnis dapat memperlihatkan bahwa model pelaksanaan TJSL di Indonesia belum mengikuti prinsip panduan PBB tersebut.

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli)

Intisari

Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk tindakan kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak. Seharusnya seorang anak diberi pendidikan yang tinggi, serta didukung dengan kasih sayang keluarga agar jiwanya tidak terganggu.hal ini terjadi karena Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Adapun perumusan masalahnya adalah bagaimana aturan hukum perlindungan terhadap kekerasan pada anak, bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pada Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli, faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan. Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui kekerasan pada anak dipengadilan gunungsitoli, untuk mengetahui upaya hukum dalam perlindungan anak terhadap kekerasan anak, untuk mengetahui faktor penghambat dalam perlindungan anak dalam pengadilan negeri gunungsitoli. Manfaatnya adalah untuk memberikan masukan kepada pengadilan negeri gunungsitoli mengenai perlindungan hukum terhadap korban kekerasan. ·

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya menggambarkan fakta-fakta yang diteliti dan hubungan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori clan pendapat ahli hukum.

Kebijakan Penyidikan Tindak Pidana Anak Di Polwiltabes Semarang

Intisari

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi demi kepentingan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Namun dalam kenyataannya, anak memiliki permasalahan dengan kehidupannya baik konflik dengan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal ini dapat membawa anak berkonflik dengan hukum. Dalam hal berkonflik dengan hukum, tentunya tidak lepas dari peran Polisi sebagai penegak hukum. Hal ini dikarenakan polisi memiliki peran sebagai penyidik demi tegaknya hukum yang berlaku di Indonesia.

Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pada uraian tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagau berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan anak di Polwiltabes Semarang? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan munculnya problematika penyidikan tindak pidana anak di Polwiltabes Semarang? 3. Bagaimanakah kebijakan yang seharusnya ditempuh oleh Polwiltabes Semarang dalam mengatasi problematika penyidikan tindak pidana anak? Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan sosiologis dengan spesifikasi deskriptif analisis. Untuk menganalisa data, peneliti menggunakan metode normatif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap anak di PolwiltabesSemarang telah sesuai dengan ketentan dalam Undnag-Undang Nomor3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan digabungkan dengan pelaksanaan fungsi dan tugas Polisi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya problemaatika yuridis ternyata dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti faktor hukum, faktor penegak hukum, dan lain sebagainya. Sedangkan kebijakan yang ditempuh oleh Polwiltabes Semarang dalam mengatasi problematika penyidikan tindak pidana adalah dengan cara memberikan pendidikan kejuruan kepada para calon penyidik anak sehingga penyidik dapat membedakan tugasnya dalam menyidik anak maupun orang dewasa. Selain itu, membangun sarana dan prasaarana yang menunjang penyidikan terhadap anak yang berkonfik dengan hukum.

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Peminangan Dalam Perkawinan Di Kecamatan Ampana Kota Kabupatenn Tojo Una-Una

Intisari

Tesis ini membahas masalah tinjauan hukum Islam terhadap adat peminangan di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Tojo Una-una. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan deskripsi tentang adat peminangan yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Ampana Kota. Permasalahan yang menjadi objek penelitian ini adalah pelaksanaan adat peminangan dan tinjauan hukum Islam terhadap proses peminangan. Penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif, dengan metode pelaksanaan penelitian mengambil bentuk studi kasus yaitu membandingkan dua obyek dengan menunjukan persesuaian dan perbedaan. Sedangkan pengumpulan data dalam bentuk observasi, wawancara, dokumentasi dengan melakukan analisis data. Sedangkan metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan syar’i, pendekatan yuridis dan pendekatan sosiologis kultural. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deduktif, induktif dan komparatif.

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan bahwa peminangan pada masyarakat kecamatan Ampana Kota Kabupaten Tojo Una-una dilaksanakan berdasarkan adat masing-masing suku, jika terjadi pernikahan beda suku, maka prosesnya dibicarakan antar suku tersebut. Pelaksanaan adat peminangan dalam perkawinan di Kecamatan Ampana Kota menunjukkan berjalan secara baik dan benar, baik terhadap suku Taa, suku Gorontalo maupun suku Bugis. Bila terjadi peminangan beda suku selalu dilakukan musyawarah untuk menghasilkan kesepakatan, dan hasil kesepakatan itulah yang dilaksanakan. Dalam pelaksanaan peminangan secara umum masyarakat di kecamatan Ampana Kota masih meyakini dan taat terhadap aturan-aturan adat yang berlaku. Hal itu karena adat peminangan di wilayah tersebut tidak bertentangan dengan ajaran dan hukum Islam bahkan antara tata cara adat dan hukum Islam dipadukan dalam pelaksanaannya. Implikasi dari Penelitian diharapkan menjadi rujukan masyarakat Kecamatan Ampana Kota dalam rangka pelaksanaan peminangan berdasarkan adat, sepanjang pelaksanaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Relevansi Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (Abh) Dengan Pembinaan Anak Yang Dilakukan Oleh Dpppa (Studi Di DPPPA Kabupaten Jombang)

Intisari

Masalah pemidanaan atau penghukuman terhadap anak yang berhadapan dengan hukum disebabkan melakukan tindak pidana narkotika sangat penting, sebab dalam praktek banyak terjadi pelaksanaan pidana tidak efektif. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah residivis atau pengulangan tindak pidana narkotika pada anak. Pemidanaan anak yang melakukan tindak pidana, harus mendapatkan perhatian khusus dengan pendekatan tertentu yang bermanfaat. Kajian ini bermaksud untuk menelaah efektifitas pemidanaan bagi anak dalam pendekatan edukatif dan dikaitkan dengan kebijakan pengaturannya.

Pendekatan Penelitian

Kajian ini menggunakan metode pendekatan hukum empiris dan normatif dengan bahan hukum skunder dan data primer, dengan analisis kualitatif. Dari kajian ini dapat dikemukakan bahwa pembinaan anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dengan pendekatan edukatif mempunyai dampak yang positif bagi anak dan masyarakat. Hal ini dimungkinkan sebab pendekatan edukatif memberikan peluang kepada anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia anak, yang tetap diberi kesempatan untuk bergaula di masyarakat dalam bimbingan keluarga dan lingkungannya. Kemduian, pedekatan edukatif juga dapat menghindarkan anak dari stigmatisasi negatif dari masyarakat. Oleh sebab itu, sosialisasi peraturan perundangan tentang perlindungan anak dan sistem peradilan pidana anak harus terus ditingkatkan.

Paradigma Kepastian Hukum Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah: Perspektif Hukum Positif

Intisari

Perkembangan perbankan syariah di negeri ini membawa upaya di mana perkembangan positif telah sedemikian pesat. Hal itu dengan berbagai macam produk dalam bentuk perbankan syariah salah satunya adalah musyarakah. Uniknya di dalam musyarakah ini bentuk fiqh klasik yang tegang masih berbentuk sangat sederhana dapat ditulis dan tidak tertulis serta tidak adanya aspek keamanan yang melekat pada pola pembiayaan seperti ini. Saat ini pola musyarakah di industri perbankan dituangkan secara tertulis dalam perjanjian seperti yang kita kenal dengan istilah kontrak standar dan dalam produk pembiayaan, musyarakah juga merupakan aspek lem dari colleteral. Dari gambar tersebut kita dapat melihat bahwa produk musyarakah pembiayaan dalam sudut pandang hukum positif memiliki aspek kepastian hukum dalam kontrak dengan kontrak standar dan colleteral untuk aspek keamanan.

 

 

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?