- Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek “Matahari” Pada Produk Roti Di Kota Pasuruan
- Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
- Penyelesaian Kepailitan Melalui Perdamaian (Studi Kasus Nomor 05/Pailit/2006/Pn.Niaga.Smg)
- Status Hukum Terhadap Perkawinan Konghucu Menurut Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
- Praktik Penerapan Diversi Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Mungkid)
- Implementasi Regulasi Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan Sebagai Bagian Dari Kebijakan Hukum Pidana
- Pelaksanaan Perpres No 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang Atau Jasa Pemerintah Dalam Pengadaan Obat Menggunakan Media E-Katalog Di Rsud Kota Semarang
- Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum Sosiologis
- Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Medan
- Kebijakan Hukum Pidana (Penal) Dan Non Hukum Pidana (Non Penal) Dalam Menanggulangi Aliran Sesat
- Analisis Yuridis Terhadap Corporate Sustainability Dalam United Nations Global Compact 2000 Dikaitkan Dengan Pengaturan Korporasi Indonesia
- Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah Daerah Apabila Terjadi Gagal Bayar (Default) Dalam Penerbitan Obligasi Daerah
- Peralihan Status Desa Wates Menjadi Kelurahan Wates Kecamatan Wates Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Perubahan Status Desa Wates Menjadi Kelurahan Wates
- Analisis Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) Sengketa Antara Konsumen Dan Pt.Nissan Motor Indonesia; Putusan Nomor 099/Pts.A/Bpsk-Dki/Ii/2012
- Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Melindungi Transaksi E – Commerce Di Indonesia
- Perlindungan Hukum Tentang Pengembangan Pelabuhan Di Daerah Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelyaran Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Studi Di Pelabuhan Belawan)
Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek “Matahari” Pada Produk Roti Di Kota Pasuruan
Untuk memperoleh perlindungan hukum atas merek, wajib dilakukan pendaftaran merek sebagaimana diatur dalam Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.Pasal tersebut mewajibkan adanya merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek agar pemilik merek dapat memperoleh hak – haknya sebagai pemegang merek asli. Apabila suatu merek belum terdaftar dalam Daftar Umum Merek yang dibuktikan dengan adanya sertifikat merek, maka akan sulit memperoleh perlindungan hukum atas suatu merek. Salah satu potensi merek dagang adalah makanan olahan roti khas pasuruan dengan merek “Matahari”. Roti tersebut sudah ada sejak tahun 1955 dan menjadi oleh – oleh khas Kota Pasuruan karna cita rasanya yang khas dan dianggap berbeda dari roti – roti yang ada. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menelit i mengenai makanan olahan roti dengan merek “Matahari” yang belum terdaftar sebagai merek dengan judul :“Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek “Matahari” Pada Produk Roti Di Kota Pasuruan”, serta mengkaji rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu pertama, merek “Matahari” pada produk makanan olahan roti di Kota Pasuruan apakah sudah mampu memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek tersebut?. Kedua, Indikasi Geografis pada produk makanan olahan roti di Kota Pasuruan.Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi tugas sebagai persyaratan pokok kurikulim Fakultas Hukum Universitas Jember serta untuk memahami upaya perlindungan hukum atas pemilik merek “Matahari” pada produk makanan olahan roti di Kota Pasuruan yang belum terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara : pertama, perlindungan hukum secara preventif, yang memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang sangat besar artinya bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah terdorong untuk bersikap hati–hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan deskresi. Kedua, perlindungan hukum secara represif, yang tujuannya untuk menyelesaikan sengketa dalam artian yang luas, yaitu perlindungan hukum bagi hak masyarakat melalui proses pengenaan sanksi administrasi. Merek berdasarkan perspektif hukum yang disepakat i secara internasional adalah : “tanda atau serangkaian tanda yang menyatakan asal produk atau jasa dana membedakannya dari para pesaing”. Perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa dalam udanng–undang diatur juga perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang karena faktor alam atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Letak Kota Pasuruan yang tepat di jalur utama transportasi dan perdagangan Surabaya – Bali, menjadikan Kota dengan luas wilayah 36.58 km2 atau sekitar 0.07 persen luas Jawa Timur ini cukup strategis memberikan kontribusi pada pergerakan perindustrian dan perdagangan. Hasil pembahasan dari skripsi ini adalah Perusahaan roti “Matahari” didirikan oleh Bapak Yakobus Laksamana dan Ibu Wurilatsih pada tanggal 1 Maret 1955. Struktur organisasi Perusahaan Roti “Matahari” adalah struktur organisasi garis. Pimpinan merupakan satu – satunya sumber kekuasaan, keputusan, dan kebijaksanaan dari organisasi. Seluruh karyawan perusahaan melakukan seluruh perintah dari pimpinan. Ketetapan – ketetapan mengenai pemasaran, produksi dan administrasi dibuat oleh direktur dan dilaksanakan oleh seluruh karyawan sesuai dengan bagiannya masing masing. Produk roti khas Pasuruan dengan merek “Matahari” adalah salah satu usaha industri rumahan yang mereknya masih belum di daftarkan kepada Ditjen HKI. Perlindungan hukum bagi pemegang merek diatur dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh perusahaan roti “Matahari” adalah ada 2, yaitu : Pertama, perlindungan hukum preventif sebuah bentuk perlindungan hukum yang mengarah pada tindakan yang bersifat pencegahan. Tujuannya adalah untuk meminimalisir peluang terjadinya pelanggaran merek dagang. Kedua, perlindungan hukum secara represif adalah perlindungan yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menanggulangi suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi. Produk roti khas Kota Pasuruan dengan merk “Matahari” bukan merupakan salah satu potensi Indikasi Geografis di Kota Pasuruan. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Produk roti khas pasuruan dengan merek “Matahari” tidak termasuk potensi Indikasi Geografis karena tidak memenuhi unsur – unsure Indikasi Geografis yang diatur oleh Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pasal 56 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan bahwa Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Kesimpulan dari skripsi ini yang pertama adalah Merek “Matahari” pada produk roti di Kota Pasuruan belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek, karena merek “Matahari” belum terdaftar dalam Daftar Umum merek di Dit jen HKI. Kedua, Kurangnya kesadaran tentang pentingnya pendaftaran merek sesuai dengan ketentuan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dari pemilik merek produk roti “Matahari” menjadi faktor penyebab tidak didaftarkannya merek tersebut. Saran yang dapat diberikan dari skripsi ini adalah pertama kepada pemegang merek “Matahari” harus lebih meningkatkan kesadaran hukumnya akan pentingnya pendaftaran merek sebagai kekayaan intelektual dan sesegera mungkin melakukan mereknya kepada Ditjen HKI. Karena pemegang merek tersebut perlu juga melindungi merek nya dari tindakan peniruan. Kedua, kepada Dinas Koperasi dan UMKM seharusnya lebih giat melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pendaftaran merek dagang agar para pemilik hak merek dapat mengerti pentingnya perlindungan merek dagang mereka.
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
Salah satu bentuk cyber crime yang sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan, karena perkembangannya yang pesat dan dampak negatifnya yang luas dan berbahaya adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan, yaitu cyberporn. Minimnya kontrol terhadap peredaran cyberporn, baik oleh Pemerintah, aparat maupun menyedia jasa internet, mengakibatkan internet di Indonesia menjadi media non sensor yang online 24 jam dan dapat dikonsumsi oleh siapa pun, termasuk anak-anak dan remaja dengan harga yang relatif murah. Oleh karena itu perlu adanya penelitian, pengkajian dan analisis mengenai kebijakan hukum pidana saat ini maupun kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang dalam rangka upaya penanggulangan dan pencegahannya. Dalam penelitian kebijakan formulasi ini digunakan metode penelitian dengan metode pendekatan yuridis normatif. Pada dasarnya sudah ada kebijakan hukum pidana yang dapat digunakan untuk penanggulangan cyberporn, seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun beberapa kebijakan hukum pidana ini memiliki kelemahan dan kekurangan, seperti masalah jurisdiksi, tidak adanya pengaturan secara khusus tentang cyberporn, tidak jelasnya sistem perumusan pertanggungjawaban korporasi dan lain-lain. Adanya kelemahan dan kekurangan dalam kebijakan hukum pidana saat ini menunjukkan perlu adanya suatu kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya penanggulangan cyberporn. Kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang berkaitan dengan penanggulangan cyberporn, diantaranya adalah Konsep KUHP 2005, Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) dan Rancangan Undang-undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Namun beberapa kebijakan formulasi ini ternyata juga memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, menurut penulis kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang dalam upaya penanggulangan cyberporn hendaknya dirumuskan dengan memperhatikan karakteristik cyberporn sebagai kejahatan yang berbasis teknologi informasi (terjadi di dunia maya) dan bersifat transnasional, baik pada tahap kriminalisasi, penentuan aspek jurisdiksi, subjek tindak pidana, sistem perumusan tindak pidana, sistem perumusan pertanggungjawaban pidana, sistem perumusan sanksi pidana dan perumusan pedoman pemidanaan. Di samping itu, kebijakan formulasi hukum pidana ini hendaknya berorientasi pada Konsep KUHP 2005, karena kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang dalam upaya penanggulangan cyberporn merupakan bagian dalam pembaharuan hukum pidana nasional. Dalam rangka memaksimalkan upaya penanggulangan dan pencegahan cyberporn, maka kebijakan integral harus ditempuh, yakni perpaduan antara sarana penal dan non penal.
Penyelesaian Kepailitan Melalui Perdamaian (Studi Kasus Nomor 05/Pailit/2006/Pn.Niaga.Smg)
Setiap pernyataan pailit berdampak pada hilangnya sebagian hak-hak kreditor ataupun hilangnya nilai piutang karena harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit itu tidak mencukupi untuk menutupi semua kewajibannya kepada kreditor. Upaya perdamaian dapat menjadi pilihan utama meskipun telah ada putusan hakim. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : PENYELESAIAN KEPAILITAN MELALUI PERDAMAIAN (STUDI KASUS NOMOR : 05/PAILIT/2006/PN.NIAGA.SMG). Berdasarkan uraian latar belakang penelitian dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : Bagaimana pelaksanaan perdamaian setelah adanya putusan pailit dari Pengadilan Niaga dalam peradilan tingkat pertama (Kasus Nomor : 05/Pailit/2006/PN.Niaga.Smg) ? Apa akibat hukum adanya putusan perdamaian bagi debitor maupun kreditor pada penyelesaian kepailitan melalui perdamaian di Pengadilan Niaga (Kasus Nomor : 05/Pailit/2006/PN.Niaga.Smg) ? Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah Yuridis Normati. Dalam penulisan tesis ini spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis. Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Penyelesaian Kepailitan Melalui Perdamaian (Studi Kasus Nomor : 05/Pailit/2006/Pn.Niaga.Smg) dapat disimpulkan :Pelaksanaan perdamaian setelah adanya putusan pailit, dalam perkara Nomor : 05/Pailit/2006/PN.Niaga.Smg, telah dilakukan. Kesepakatan perdamaian tersebut melibatkan pihak ketiga selaku kreditor separatis. Akibat hukum adanya perdamaian pada perkara Nomor : 05/Pailit/2006/PN.Niaga.Smg, yaitu : Putusan pernyataan pailit menjadi gugur, debitor pailit dikembalikan hak mengurus dan menguasai kekayaannya, segala perikatan tetap dapat dibayar dari harta debitor.
Praktik Penerapan Diversi Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Mungkid)
Diversi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan tidak diatur oleh Undang-Undang yang berlaku sebelumnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai praktik penerapan diversi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid dengan melakukan penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis. Rumusah masalah dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimanakah praktik penerapan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid? dan 2) Apakah pelaksanaan diversi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid sesuai dengan maksud dan tujuan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Adapun hasil penelitian ini yaitu: 1) Sejak berlakuknya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (31 Juli 2014) sampai dengan Desember 2014, dalam menyelesaikan perkara pidana anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid telah dilakukan diversi pada tingkat penyidikan dan tingkat penuntutan, sedangkan pada tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan belum pernah dilakukan diversi, namun demikian Ketua Pengadilan Negeri Mungkid telah menerbitkan penetapan diversi atas diversi-diversi yang dilakukan pada tingkat penyidikan dan tingkat penuntutan tersebut; 2) Dari beberapa praktik penerapan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid tersebut ada yang sudah sesuai dengan maksud diversi dalam UU SPPA dan ada juga yang belum sesuai dengan maksud diversi dalam UU SPPA; 3) Belum sesuainya beberapa praktik penerapan diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid dengan syarat dan tata cara / prosedur diversi dalam UU SPPA tersebut disebabkan beberapa hal, yaitu: a)Terdapat kerancuan diantara beberapa pasal dalam UU SPPA yang berkaitan dengan syarat diversi; b) Terdapat perbedaan persepsi diantara penegak hukum dalam memahami syarat diversi dalam UU SPPA; c) Tidak seimbangnya antara jumlah Pembimbing Kemasyarakatan yang ada dengan beban kerja dan batas waktu kerja yang diatur dalam UU SPPA; 4) Sebagian besar diversi yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid tersebut sudah sesuai dengan tujuan diversi dalam UU SPPA dan dapat mewujudkan keadilan restoratif, sedangkan sebagian kecil diversi yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Mungkid tersebut tidak sesuai dengan tujuan diversi dalam UU SPPA dan tidak dapat mewujudkan keadilan restoratif.
Implementasi Regulasi Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan Sebagai Bagian Dari Kebijakan Hukum Pidana
Aborsi atau lazim disebut dengan pengguguran kandungan masuk ke dalam peradaban manusia disebabkan karena wanita tidak menghendaki kehamilan yang dialaminya. Aborsi merupakan fenomena yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Sejak jaman kuno hingga modern seperti sekarang ini, aborsi telah menjadi permasalahan bagi kehidupan manusia karena menyangkut berbagai aspek kehidupan, baik itu agama, moral, hukum, kesehatan, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hukum di Indonesia pada prinsipnya melarang tindakan aborsi. Tetapi kenyataannya, tindakan aborsi pada beberapa kondisi medis merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan dokter untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil yang mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan. Pada kondisi berbeda akibat pemaksaan kehendak pelaku, seorang wanita korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Trauma mental yang berat juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan menginginkan untuk dilakukan aborsi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada, yaitu melarang setiap orang untuk melakukan aborsi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus melindungi warganya, dalam hal ini wanita hamil yang terindikasi kedaruratan medis atau wanita yang hamil akibat perkosaan, serta dokter yang melaksanakan tindakan aborsi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membuka pengecualian larangan untuk aborsi, yaitu berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji implementasi regulasi aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan, di dalam realitasnya di lini lapangan/masyarakat (tahap aplikasi). Peraturan hukum yang melegalkan aborsi memuat persyaratan-persyaratan yang tergolong rumit karena indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan merupakan kata kunci mutlak untuk dapat dilaksanakannya aborsi secara legal di Indonesia. Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian bahwa di dalam implementasi regulasi aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, terdapat ketidak-sesuaian atau ketidak-efektifan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan (law in the book) dengan realitasnya di lini lapngan/masyarakat (law in action). Ketidak-efektifan tersebut terdapat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah karena memuat persyaratan-persyaratan aborsi yang tergolong rumit dan sulit untuk dipenuhi, bahkan regulasi aborsi kehamilan akibat perkosaan hingga saat ini tidak dapat diterapkan dikarenakan bertentangan dengan Sumpah Dokter. Namun, di sisi lain terdapat fenomena di masyarakat bahwa wanita hamil dengan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), mempunyai kecenderungan pilihan untuk mengakses pelayanan aborsi di klinik swasta dengan alasan keterjaminan privasi dan kemudahan persyaratan. Dengan diketahui ketidak-efektifan implementasi antara regulasi aborsi dengan realitasnya lini lapangan/masyarakat, maka perlu dirumuskan formulasi regulasi yang ideal dalam pengaturan hukum aborsi di masa yang akan datang (tahap formulasi).
Pelaksanaan Perpres No 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang Atau Jasa Pemerintah Dalam Pengadaan Obat Menggunakan Media E-Katalog Di Rsud Kota Semarang
RSUD Kota Semarang merupakan fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Untuk melaksanakan hal tersebut maka diperlukan obat sebagai komponen penting pemberian pelayanan. Kebijakan Perpres No.4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan pada media e-katalog dapat melakukan pengadaan secara e-tendering atau e-purchasing, kendala yang dialami terbatasnya kemampuan sdm, terbatasnya kapasitas server, sehingga jika terjadi keterlambatan pada pelaksanaan pengadaan menggunakan media e-katalog menyebabkan terganggunya pemberian pelayanan paripurna khususnya pada pelayanan farmasi yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pengadaan obat dengan menggunakan media e-katalog di RSUD Kota Semarang, untuk mengetahui kendala dalam penggunaan e-katalog pada pengadaan obat di RSUD Kota Semarang, untuk mengetahui apakah sistem e-katalog dapat meningkatkan pelayanan paripurna di RSUD Kota Semarang.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Sosiologis dengan spesifikasi kualitatif . dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara.
Hasil dari Penelitian ini adalah Pada perencanaan pengadaan RSUD Kota Semarang tidak membuat kerangka acuan kerja dan berita acara serah terima, pengadaan obat menggunakan e-katalog ditemukan kendala : harga pada e-katalog sering berubah-ubah, mutu obat yang diterima jelek, jika stok obat kosong untuk restock memakan waktu lama, obat yang dimuat dalam e-katalog sering kosong sehingga mempengaruhi kegiatan pelayanan kesehatan, pengadaan obat dengan media e-katalog belum dapat membantu kegiatan pelayanan Paripurna di RSUD Kota Semarang ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa 2 orang pasien RSUD Kota Semarang mendapatkan obat di tempat lain dan 1 orang pasien RSUD Kota Semarang harus menunggu hingga 2 hari untuk mendapatkan obat.
Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum Sosiologis
Penelitian dilakukan oleh seseorang jika ada masalah, situasi yang mencerminkan kontradiksi antara fakta ideal dan yang nyata. Elemen-elemen yang menciptakan masalah dapat ditemukan dengan melakukan penelitian. Ada dua jenis peta konseptual penelitian dalam hukum. Mereka adalah: Rasional-konsistensi-interpretatif dan konstruktif-empiris-tujuan. Penelitian hukum didasarkan pada rasional-konsistensi-interpretatif dan penelitian sosial-hukum didasarkan pada empiris-obyektif-konstruktif. Model-model ini didasarkan pada konsep yang berbeda. Unsur-unsur penelitian hukum adalah: rasionalisme, positivisme hukum, teori koherensi, apriori, analisis, deduksi, konsistensi, interpretatif, penelitian perpustakaan, data sekunder dan kualitatif. Unsur-unsur penelitian sosial-hukum adalah empirisme, yurisprudensi sejarah, teori korespondensi, a posteriori, objektivitas, konstruktif, sintesis, induksi, penelitian lapangan, data primer dan kuantitatif.
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Medan
UU Narkotika dan UU Psikotropika mengamanatkan kewajiban untuk menjalani perawatan dan pengobatan atau rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Ketentuan mengenai “kewajiban” untuk menjalani rehabilitasi bagi pengguna yang mengalami kecanduan, dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36 s/d Pasal 39 dan pada UU Narkotika diatur dalam Pasal 45. Pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban, dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU Narkotika, Mahkamah Agung RI mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan beberapa surat edaran, antara lain : Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang dituangkan ke dalam Surat No. 07/BUA.6/HS/SP/III/2009 tertanggal 17 Maret 2009 (selanjutnya disingkat SEMA No. 07 Tahun 2009); dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disingkat SEMA No. 04 Tahun 2010). Akibat dari SEMA No. 07 Tahun 2009 dan dilanjutkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010 dikaitkan dengan penegakan hukum pidana terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan, bagi Penyidik kesulitan menentukan apakah seseorang yang tertangkap tangan dengan barang bukti dibawah SEMA No. 07 Tahun 2009 termasuk ke dalam kategori pengguna ataukah pecandu. Karena kedua-duanya adalah selaku korban kejahatan tindak pidana narkotika. Kesulitan tersebut terjadi, karena banyaknya pelaku yang tertangkap tangan membawa barang bukti narkoba sebanyak yang ditentukan dalam SEMA No. 07 Tahun 2009 adalah seorang residivis, dan lebih parah lagi, malahan pelaku tersebut adalah seorang bandar narkoba kelas kakap. Hambatan-hambatan lain juga dihadapi oleh Penyidik Polresta Medan dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana narkotika. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat penelitian deskriptif analisis. Menggunakan metode pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan yaitu menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder. Sumber data menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Lalu dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif, abstraktif, interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi Satres Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika, sebagai berikut : SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, namun, SEMA tersebut mengikat para hakim yang menjatuhkan hukuman, karena pengadilan merupakan salah satu unsur dalam Sistem Peradilan Pidana; Keterbatasan personil, anggaran, dan kemampuan penyidik Satres Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Personil yang ada hanya berjumlah 81 orang, namun, tidak kesemuanya dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan karena sudah termasuk pimpinan-pimpinan yang disebut dengan Kepala Satuan maupun Kepala Unit. Anggaran yang diberikan oleh Polda Sumut juga sangat minim, hanya dapat menyelesaikan + 15 (Kurang Lebih Lima Belas) perkara tindak pidana narkotika, sedangkan perkara yang masuk berjumlah + 1.000 (Kurang Lebih Seribu) perkara tindak pidana narkotika yang dilaporkan dan ditangani oleh Satres Narkoba Polresta Medan. Belum lagi ditambah dengan kemampuan penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap peredaran narkotika; SEMA No. 04 Tahun 2010 sering digunakan Penyidik untuk melepaskan Pecandu Narkotika, hal ini dikarenakan anggaran yang disediakan oleh pemerintah tidaklah cukup untuk melakukan penyidikan. Sehingga sangat rentan sekali suap terjadi kepada Penyidik; Adapun solusi-solusi yang didapat untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan terhadap tindak pidana narkoba dikaitkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010, yaitu : Melakukan peninjauan ulang/review terhadap SEMA No. 04 Tahun 2010 dan membuat aturan pelaksanaan dan aturan teknis dalam hal rehabilitasi sebagai pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat berupa Peraturan Pemerintah; Menambah personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan Penyidik Polresta Medan; Memberikan penyuluhan dan sosialisasi terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang baru kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi tahu tentang adanya peraturan perundang-undangan yang baru disahkan dan tidak menjadi buta hukum. Sebaiknya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Satres Narkoba Polresta Medan didukung dalam hal personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan penyidik oleh Polda Sumut dengan melakukan penambahan personil, penambahan anggaran, dan meningkatkan kemampuan penyidik.
Kebijakan Hukum Pidana (Penal) Dan Non Hukum Pidana (Non Penal) Dalam Menanggulangi Aliran Sesat
Meningkatnya masalah-masalah kejahatan dan kekerasan yang berlatar belakang agama dan kepercayaan, terutama mengenai aliran sesat sampai saat ini dinilai sangat meresahkan, dan menghawatirkan, yang jika tidak ditanggulangi, dihawatirkan akan menimbulkan perpecahan di kalangan anggota keluarga dan masyarakat, bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bertolak dari hal tersebut diatas, subtansi permasalahannya ada dua , yaitu kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi aliran sesat untuk saat ini dan untuk saat yang akan datang maupun kebijakan non penal dalam menanggulangi aliran sesat. Dua permasalahan pokok ini pada intinya ditujukan untuk mengetahui dan menganalisa kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi aliran sesat untuk saat ini dan untuk masa yang akan datang, maupun untuk mengetahui dan menganalisa kebijakan non penal dalam menanggulangi aliran sesat Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengetahui sejauh mana asas-asas hukum, sinkronisasi vertikal/ horisontal, dan sistemik hukum diterapkan. Sedangkan, pendekatan yuridis empiris pada prinsipnya hukum dikonsepsikan secara sosiologis sebagai gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan secara empiris yang teramati dalam pengalaman. Dari hasil penelitian di dapat bahwa saat ini maka kebijakan penanggulangan aliran sesat dapat dilakukan dengan menggunakan hukum pidana (penal) dengan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang di luar KUHP, terutama UU No 1 Pnps 1965. Sedangkan upaya antisipatif di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan antisipasi yuridis, yaitu mempersiapkan berbagai peraturan yang bersangkut-paut dengannya. Sedangkan upaya non penal dapat ditempuh dengan melakukan pendekatan agama, budaya/kultural, moral/edukatif sebagai upaya preventif dengan melakukan serangkaian program kegiatan dengan fokus pengkuatan, penanaman nilai budi pekerti yang luhur, etika sosial, serta pemantapan keyakinan terhadap agama melalui pendidikan agama. Konsepsi kebijakan penanggulangan aliran sesat adalah mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non penal dan penal itu ke arah penekanan atau pengurangan faktor-faktor potensial untuk tumbuh dan suburnya aliran sesat di Indonesia. Dengan pendekatan integral inilah diharapkan , ummat dapat hidup berampingan secara damai dalam menjalankan agama, keyakinan, ibadah dan kepercayaannya sebagaimana dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945.
Analisis Yuridis Terhadap Corporate Sustainability Dalam United Nations Global Compact 2000 Dikaitkan Dengan Pengaturan Korporasi Indonesia
Konsep Corporate Sustainability seringkali dikaitkan dengan United Nations Global Compact, dimana pengaturannya bervariasi dalam satu negara ke negara lainnya. Tesis ini berusaha menguraikan permasalahan dimana perlunya pemahaman mengenai akomodasi Corporate Sustainability terhadap pengaturan Korporasi Internasional maupun Nasional serta analisa pranata hukum Corporate Sustainability dalam bisnis yang dijalankan. Tujuan tesis ini adalah untuk memahami dan menganalisis terakomodasinya pengaturan Corporate Sustainability ke dalam pengaturan Korporasi internasional maupun Nasional serta menganalisis diimplementasikannya pranata hukum Corporate Sustainability oleh Korporasi Indonesia dalam kegiatan bisnis yang dijalankan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang menekankan pada penggunaan data sekunder antara lain yaitu : asas-asas atau prinsip-prinsip hukum, baik dalam kaidah hukum positif, kasus-kasus maupun perjanjian internasional yang berkaitan dengan pokok permasalahan.Hasil penelitian ini adalah bagaimana langkah – langkah agar perusahaan transanasional maupun hukum Indonesia dapat mengikuti dan up to date dengan kebijakan politik Internasional, agar negara dan korporasi dapat bersaing di kancah dunia global. Yaitu dengan memperdalam dan mengeneralisasi pembelajaran mengenai Corporate Sustainability serta standardisasi dan normalisasi laporan keberlanjutan oleh perusahaan-perusahaan, baik transnasional maupun perusahaan biasa di Indonesia.
Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah Daerah Apabila Terjadi Gagal Bayar (Default) Dalam Penerbitan Obligasi Daerah
Pembiayaan pembangunan infrastruktur di daerah melalui obligasi daerah tidak terlepas dari risiko gagal bayar (default). Pemerintah pusat yang tidak menjamin obligasi daerah, sehingga pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadinya gagal bayar (default) dibebankan kepada pemerintah daerah selaku penerbit obligasi daerah, sementara dalam proses penerbitan obligasi daerah melibatkan berbagai pihak, termasuk menteri keuangan dan wali amanat. Penelitian tesis ini menitikberatkan pada batas pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penerbitan obligasi daerah, serta pertanggungjawaban hukum pemerintah daerah apabila terjadi gagal bayar (default) dalam penerbitan obligasi daerah, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian tesis ini bahwa pemerintah pusat melalui menteri keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan atas usulan rencana penerbitan obligasi daerah, menerima laporan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan obligasi daerah, serta memberikan sanksi penundaan penyaluran dana perimbangan kepada pemerintah daerah yang tidak menyampaikan laporan pelaksanaan obligasi daerah, sedangkan pemerintah daerah hanya dapat menerbitkan obligasi pendapatan (revenue bond), membentuk unit pengelola obligasi daerah, dan menerbitkan peraturan daerah. Pertanggungjawaban hukum pemerintah daerah dalam penerbitan obligasi daerah meliputi pertanggungjawaban pengelolaan dan dana hasil obligasi daerah. Di sisi lain, apabila wali amanat sebagai pihak dalam penerbitan obligasi daerah tidak melaksanakan tugas dan kewajiban dalam perjanjian perwaliamanatan, maka ikut bertanggungjawab atas terjadinya gagal bayar (default).
Peralihan Status Desa Wates Menjadi Kelurahan Wates Kecamatan Wates Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Perubahan Status Desa Wates Menjadi Kelurahan Wates
Berduscrkan Pasal200 ayat (3) ddam Undang-Undang Nomor 32 Tah-in 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Desa di kubupatehta seccra bert~hupd apat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahun sesuai usul drrn prakarsc Pemerintah Desa berscrma Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengafz Perda. Selanjutnya pemerintah menerbitkaiz Perattzran Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2096 tentag pembentukan, pe~ghapusanp, enggabungan desa dan perubahan status desa rnenjad:’ kelurahan ymg mana Kepmendagri tersebut merupakan pedoman bagi daeralz kabupaten dan kota serta DPRD dalam menetapkan peraturan daerah kzbupaten dan kota mengenai pem bentukan kelurahan. Merespon tuntutan ketentuan/peraturan perundang-undangan tersebut Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menerhitkan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2009 tentang Perubabun atas Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Status Desa Wates ldenjadi Kelurahan Wates, sehingga dalam pelaksanaanya terdapat permasalahan terkait pelaksanaan Per& dirnaksud yaitu mengenai bagaimanakah perlakuan terhadap asset berupa Tanah Kas Desa sebanyak 77 bidang yang merupakan saluh satu sumber pendapata~zy ang ternyata tjdak &pat dikelola scruiiri oleh Kelura.tran Wates? Bagaimanakah sikap Pemerintah Kabupaten Kulon Progo terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LK2Y) Binangun Wates dan sendi-sendi organisasi kmasyarahtan penopang kegiatan pembangunan dan pemberdayaan mcwyarakzit seperti LKMD, KKLKMD, BPD, Pedukuhan, Rukun Warga (Rq, maupun Rukun Tetangga (Rq? Bagaimanakah Kelangsungan pembangunan $an peningkatan pelayanan kepada masyarakat di Kelurahan Wates akibat terbatasnya anggaran belanja yang didapat Kelurahan Wates kurena saat ini tergantling pa& alohi APBD yang diberikun oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang jumlahnya sangat terbatas? Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji pokok permasalahan melalui pendekatan yuridis-normat$ yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ditambah dengan bahan-bahan hukum lain yang terdiri dari buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian dun kmya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.. Hasil penelitian tersebtft terjawab sebagai berikut : Pelahaman Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 16 Tahun 2008 tentang PeruEahan Status Desa Wates menjadi Kelurahan yang telah diubah dengan Peraturnn Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2009 masih belum optimal sesuai yang diharapkan karena masih meninggalkun permasalahan pa& Tanah Kas Desa sebanyak 77 bidarrg yang merupakan salah sat2 sumber pendapatan yortg teinyata tidak dapat dikelola sendiri oleh Kelurahan Wates, hilangnya Leiizbaga Keuangan Mikro (LKh.3 Binangun Wates dan sendi-sendi organisasi kemasyaraktan penoparzg kegiatan pembangunan dun pgmberdayaan masyarakut seperti LKMD, kXLKMD, BPD, Pedukuhan, Rukun K’arga (Rv, maupn Rukun Tetangga (RT) serta terhambatnya Pensbangunan dun qeningkatan pelayanan kepada masyarakat di Kelurahan Wates akibat terbatasnya anggaran belanja yang didapat Kelurahan Wates karena saat ini tergantung pada alokasi APBD yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang jumlahnya terbatas.
Analisis Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) Sengketa Antara Konsumen Dan Pt.Nissan Motor Indonesia; Putusan Nomor 099/Pts.A/Bpsk-Dki/Ii/2012
Perlindungan terhadap konsumen masih sangat lemah, jika kita melihat kasus iklan menebar janji yang tidak pasti, konsumen lah yang akan selalu dirugikan akan iklan tersebut disebabkan oleh ketidak jujuran pelaku usaha dalam memberi informasi. Metode penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Tujuan penelitian skripsi ini yaitu untuk mengetahui dasar pertimbangan putusan dan kekuatan eksekutorial putusan BPSK dalam kasus sengketa konsumen No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pertama, dasar Pertimbangan Putusan Arbitrase (BPSK) yaitu Pasal 9 Ayat (1) huruf k dan Pasal 10 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dan pertimbangan tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, terhadap inkonsistensi yang terdapat di dalam UUPK, ternyata justru diperkuat dengan lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2006. Pasal 1 ayat 3 Perma Nomor 1 Tahun 2006 menjelaskan bahwa keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK. Rumusan tersebut justru memperkuat pasal-pasal yang bertentangan dalam UUPK, sehingga membuat tidak adanya kepastian hukum dalam putusan yang di keluarkan oleh BPSK.
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Melindungi Transaksi E – Commerce Di Indonesia
Kegiatan perdagangan di masyarakat telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut dipengaruhi salah satunya dengan berkembangnya teknologi yang berbasis internet yang dikenal dengan nama e-commerce. E-commerce merupakan bentuk perdagangan yang mempunyai karakteristik tersendiri yaitu perdagangan yang melintasi batas negara, tidak bertemunya penjual dan pembeli, media yang dipergunakan internet.Kondisi tersebut di satu sisi sangat menguntungkan bagi para pihak baik konsumen maupun pelaku usaha karena Akses ke pasar global secara langsung dan banyak pilihan yang didapat dengan mudah, di sisi lain menimbulkan kejahatan baru karena karakteristik e-commerce yang khas. Maka dari itu sangat diperlukan perlindungan hukum dalam transaksi e-commerce. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam tesis ini diangkat tiga permasalahan yaitu pertama bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidana dalam melindungi terhadap transaksi e commerce saat ini dan kedua bagaimanakah Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam melindungi terhadap transaksi e-commerce yang akan datang. Metodelogi yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, Serta ditunjang dengan pendekatan yuridis historis dan yuridis komparatif. Hasil analisa yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan dalam tesis ini terhadap Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam melindungi terhadap transaksi e commerce saat ini belum tercantumnya secara jelas dan terpadu dalam hukum positif di Indonesia, baik dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), maupun dalam perundang-undangan di luar KUHP. Akan tetapi, terdapat ketentuan dalam KUHP dan dalam perundang-undangan di luar KUHP yang dapat diterapkan terhadap transaksi e-commerce. Kebijakan formulasi perlindungan hukum pidana dalam transaksi e-commerce yang akan datang adalah Konsep KUHP 2008 namun kebijakan formulasi ini dirasa masih kurang karena tidak mengatur secara khusus terhadap tindak pidana transaksi e-commerce. Oleh karena itu, menurut penulis Para pembuat kebijakan formulasi hukum pidana dalam melindungi terhadap transaksi e-commerce seyogyanya adanya hubungan dan harmonisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa dikatakan cyberlaw Indonesia dengan undang-undang induk yaitu KUHP dan undang-undang khusus lainnya maupun konvensi internasional yang berkaitan dengan transaksi e-commerce.
Perlindungan Hukum Tentang Pengembangan Pelabuhan Di Daerah Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelyaran Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Studi Di Pelabuhan Belawan)
Pelayaran merupakan bagian dari sarana transportasi laut sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menjadi suatu yang sangat strategis bagi wawasan nasional serta menjadi sarana vital yang menunjang tujuan persatuan dan kesatuan nasional. Sebagaimana undang-undang pemerintahan daerah telah memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi daerah untuk mengelola dan meningkatkan pendapatan derah terkait pengembangan pelabuhan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama, Bagaimanakah Perlindungan Hukum Tentang Pengaturan Pengelolaan Pelabuhan di Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran ? Kedua, Bagaimanakah Pemenuhan Hukum dalam Rangka Perlindungan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah? Ketiga, Bagaimanakah Mengatasi Permasalahan dalam Pengembangan Pengelolaan Pelabuhan di Daerah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah ? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Alasannya didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Kesimpulan yang diperoleh bahwa Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran diperlukan pengaturan di bidang kepelabuhan yang memuat ketentuan mengenai isu-isu strategis yang tertuang dalam undang-undang tersebut. Perlindungan hukum didalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan daerah membuat Perda sebagai dasar hukum bagi daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari daerah tersebut. Dalam era otonomi daerah sekarang, ada kecenderungan otonomi ditafsirkan sebagai kebebasan daerah untuk melakukan apa saja tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Saran yang diharapkan adalah: Pemerintah sebaiknya mengambil langkah yang serius dalam menangani pengaturan di bidang kepelabuhan di daerah yang memiliki kewenangan untuk membuat berbagai kebijakan daerah guna memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat dan bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Diatur secara tegas dan jelas dalam perlindungan hukum yang menetapkan Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran.
Leave a Reply