HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Rute I Bus Rapid Transit(Brt) di Surakarta Dengan Model Set Covering Problem

ABSTRAK

Pemerintah Kota Surakarta berencana untuk menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai salah satu moda transportasi yang diharapkan dapat meningkatkan daya tarik angkutan umum sehingga dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi sebagai usaha untuk mengurangi tingkat kemacetan, kesemrawutan dan kecelakaan lalu lintas. Untuk pengoperasian BRT diperlukan adanya fasilitas penunjang, salah satunya adalah halte. Penentuan lokasi dan jumlah halte memiliki peran yang penting dalam penggunaan moda BRT. Pembangunan halte yang tidak baik akan mengakibatkan bertambahnya permasalahan transportasi, sebab banyak masyarakat yang seharusnya menjadi target pengguna menjadi malas untuk menggunakan moda ini karena adanya kesulitan disaat akan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Dalam penelitian ini, penentuan lokasi dan jumlah halte di sepanjang rute I BRT dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi bangkitan yang mempunyai tingkat permintaan relatif tinggi dan kandidat lokasi halte. Lokasi halte terpilih ditentukan dengan menggunakan Model Set Covering Problem. Hasil perhitungan menyimpulkan bahwa terdapat 17 lokasi halte terpilih di sepanjang rute. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis penentuan lokasi halte ketika pemerintah memiliki keterbatasan anggaran pembangunan halte.

Kata Kunci : Bus Rapid Transit, Penentuan Lokasi, Halte, Set Covering Problem

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Aktivitas manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan setiap hari menimbulkan sebuah perjalanan/pergerakan dari tata guna lahan yang satu ke tata guna lahan yang lain. Dalam melakukan aktivitas pergerakan, manusia menggunakan sarana dan prasarana transportasi. Bertambahnya manusia serta meningkatnya aktivitas dilakukan menyebabkan kebutuhan akan sarana dan prasarana transportasi semakin meningkat. Namun, kenyataannya angkutan umum semakin ditinggalkan oleh masyarakat. DLLAJR (2007) menyatakan bahwa jumlah penumpang angkutan umum menurun setiap tahun dikarenakan pertumbuhan kendaraan pribadi. Peningkatan penggunaan kendaraan pribadi dikarenakan kelebihan yang dimilikinya, yaitu waktu perjalanan yang cepat dan nyaman. Data Samsat Surakarta tahun 2008 menunjukkan bahwa mobil pribadi jenis sedan, jeep, minibus, stasiun wagon, makrobus, dan bus berjumlah 32.249. Sedangkan angkutan umum dengan jenis yang sama hanya berjumlah 1492 atau sekitar 4,42% dari total jumlah kendaraan di Surakarta. Rata-rata laju pertumbuhan kendaraan pribadi pada 2 tahun terakhir mencapai 4,88% pertahun.

Pemerintah Kota Surakarta berencana untuk menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai salah satu moda transportasi di Surakarta. Penyediaan BRT ini dimaksudkan untuk mendukung penyediaan angkutan umum perkotaan sesuai dengan keinginan masyarakat yakni efisien, aman, nyaman, handal dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dengan pengoperasian BRT diharapkan dapat meningkatkan daya tarik angkutan umum sehingga dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi sebagai usaha untuk mengurangi tingkat kemacetan, kesemrawutan dan kecelakaan lalu lintas (DLLAJR, 2007). Dalam pengoperasian BRT sebagai angkutan umum penumpang di Surakarta tentunya ditunjang dan didukung dengan adanya rute perjalanan. Rute perjalanan ini diharapkan mampu memenuhi tujuan, yaitu melayani kebutuhan masyarakat terhadap angkutan umum penumpang yang memiliki kelebihan dalam hal pelayanan dan fasilitas fisik yang memadai. Penggunaan BRT ini memiliki tujuan yakni mampu melayani kebutuhan masyarakat akan angkutan umum penumpang di sepanjang rute.

Sebagai tahap awal, Pemerintah kota Surakarta menyediakan sebanyak 10 buah armada BRT. Bus dengan kapasitas 40 penumpang tersebut akan melayani penumpang di sepanjang rute. Armada BRT tersebut digunakan untuk rute I. Rute yang akan ditempuh adalah bandara Adi Sumarmo – jalan Adi Sucipto – jalan Ahmad Yani – terminal Tirtonadi – Panggung Jebres – pasar Gede – bundaran Gladag – pertigaan Faroka – jalan Adi Sucipto – bandara Adi Sumarmo. Lintasan rute bersifat looping dan searah (tidak bolak – balik). Rute I BRT juga dapat melayani rute dari dan menuju bandara Adi Sumarmo. Hal ini berguna bagi perkembangan bandara dan kota Surakarta secara ekonomi dan menjadi pendukung utama bandara. Selama ini belum tersedia angkutan umum yang relatif murah dari dan menuju bandara Adi Sumarmo. Satusatunya angkutan umum yang menghubungkan bandara Adi Sumarmo dengan kota Surakarta hanyalah taksi bandara yang mempunyai tarif lebih mahal dibandingkan angkutan umum yang lain.

Untuk pengoperasian BRT diperlukan adanya fasilitas penunjang, salah satunya adalah halte. Halte adalah lokasi di mana penumpang dapat naik ke dan turun dari angkutan umum dan lokasi di mana angkutan umum dapat berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang, sesuai dengan pengaturan operasional (Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat ITB, 1997). Halte BRT berbeda dengan halte bus umum lain. Halte ini merupakan suatu bentuk terminal dalam skala kecil. BRT tidak mempunyai terminal besar dan hanya menaikkan dan menurunkan penumpang pada halte-halte khusus yang hanya digunakan oleh BRT.

Penentuan lokasi dan jumlah halte memiliki peran yang penting dalam penggunaan moda BRT. Pembangunan halte yang tidak baik akan mengakibatkan bertambahnya permasalahan transportasi, sebab banyak masyarakat yang seharusnya menjadi target pengguna menjadi malas untuk menggunakan moda ini karena adanya kesulitan disaat akan memanfaatkan fasilitas yang ada. Penyebab utama penumpang yang tidak menggunakan halte sebagai tempat naik/turun dari angkutan umum adalah jarak yang harus ditempuh menuju ke halte terlalu jauh (Prabowo, 2007). Penumpang dalam pemilihan lokasi perhentian bis kota dominan dilakukan di sekitar persimpangan dan di sembarang tempat yang tidak dilengkapi rambu atau fasilitas tempat henti seperti di depan pertokoan, perkantoran dan sekolah/kampus karena alasan jarak yang lebih dekat dengan tujuan, keamanan dan secara fisik tidak melelahkan (Rakhmat, 2003). Oleh karena itu, alokasi halte ke titik permintaan (sumber bangkitan) diusahakan seoptimal mungkin.

Hal tersebut di atas menunjukkan pentingnya aksesibilitas (kemudahan untuk mendapatkan) bus. Dengan semakin banyaknya jumlah halte yang dibangun, berarti semakin meningkatnya tingkat aksesibilitas pelayanan bus. Tetapi, di sisi lain pembangunan halte yang terlalu banyak dapat menyebabkan biaya pembangunan dan perawatan yang semakin besar. Karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah halte maka diperlukan efektivitas pembangunan halte. Ada beberapa model untuk menentukan lokasi fasilitas. Pada penelitian ini
dipilih model set covering problem dan max covering problem. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan aksesibilitas dan pertimbangan biaya pendirian halte. Model Set covering problem bertujuan untuk memberikan akses yang layak ke halte terdekat kepada semua penumpang dengan jumlah halte yang minimum (pertimbangan aksesibilitas). Sedangkan max covering problem bertujuan untuk menentukan lokasi halte yang akan dibangun ketika terdapat batasan jumlah dalam mendirikan halte (pertimbangan biaya pendirian halte).

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?