Judul Tesis : Pendekatan Konseptual dan Implikasi Normatif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/Puu-VI/2008 Terhadap Konsep Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat
A. Latar Belakang
Ada pengunggulan konsep tentang demokrasi dari para pihak baik yang pro maupun kontra dengan putusan MK tersebut yang berdampak pada kebijakan affirmative action yang masih terus diperjuangkan oleh gerakan perempuan. Bagi kalangan feminis affirmative action tanpa ada zipper dan nomor urut, hanyalah demokrasi setengah hati karena di alam demokrasi formal masih terlalu buas tanpa ada reserve bagi perempuan. Sementara dari pihak yang pro suara terbanyak dan belum sensitif gender masih memandang demokrasi formal adalah suatu sistem yang sempurna bagi pembangunan demokrasi perwakilan yang berkualitas sehingga tidak perlu ada zipper dan nomor urut dalam affirmative action.
Pengunggulan nilai demokrasi yang terkandung dalam putusan MK yang pada akhirnya memenangkan suara terbanyak daripada nomor urut dengan zipper didalamnya masih terus diperdebatkan meskipun Pemilu sudah usai dan menempatkan para caleg yang terpilih menjadi anggota legislatif yang terhormat. Namun, bagaimanapun juga adanya Putusan MK No. 22- 24/PUU-VI/2008 telah membuat konsep keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat mengalami perubahan signifikan dalam upaya mencapai peningkatan kesetaraan gender dalam bidang politik. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Pendekatan Konseptual dan Implikasi Normatif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 terhadap Konsep Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat.
B. Perumusan Masalah
- Apa pertimbangan dan pendekatan yang mendasari Mahkamah Konstitusi atas perubahan konsep keterwakilan perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat?
- Bagaimana implikasi normatif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22- 24/PUU-VI/2008 terhadap konsep keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat?
C. Landasan Teori
Demokrasi dan Negara Hukum
Demokrasi sudah dikenal sejak jaman Yunani Kuno (Abad VI s.d XIII SM). Secara etimologis demokrasi berasal dari kata “demos” (rakyat) dan “cratein” (memerintah). Demokrasi dijelaskan sebagai bentuk pemerintahan, biasanya suatu demokrasi perwakilan, dimana kekuatan-kekuatan mayoritas digunakan untuk menjamin terpenuhinya keuntungan atau kemakmuran bagi semua warga Negara. Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh CF. Strong dalam buku “Modern Political Constitution”, dikatakan bahwa demokrasi itu merupakan bentuk kemerosotan. Hal ini didukung pula oleh Maurice Duverger yang pada intinya mengatakan bahwa kalau arti kata demokrasi dipahami secara awam, maka demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah ada, …sebab hal ini adalah bertentangan dengan kodrat alam dan sangat utopis mengingat tidak mungkin segolongan orang yang berjumlah besar memerintah, sedangkan yang berjumlah sedikit diperintah.
Pemilu dan Sistem Pemilu
Pemilu merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol).
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan konsep dan pendekatan historis.
Penelitian ini menggunakan sumber utama dari bahan pustaka yang meneliti dan menganalisis data-data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur keterwakilan perempuan dalam Pemilu dan Partai Politik.
Data-data tersebut dianalisis menggunakan logika deduktif dan disajikan secara sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
E. Kesimpulan
1. Pertimbangan dan Pendekatan yang Mendasari Mahkamah Konstitusi atas Perubahan Konsep Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Pertimbangan MK dalam memilih ketentuan suara terbanyak daripada nomor urut menyiratkan karakter hukum otonom yang tidak mau tercampuri kepentingan politik apapun. Sehingga ketika hukum otonom itu ditegakkan maka segala hal terkait upaya perubahan politik dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Pendekatan positivistik MK yang tercermin dalam penafsiran proseduralisme yang memilih suara terbanyak daripada nomor urut menunjukkan keberpihakan MK pada kepentingan hukum yang patriarkis. Penafsiran proseduralisme yang digunakan MK dengan menyatakan suara terbanyak adalah cerminan kedaulatan rakyat yang murni telah menyebabkan terpinggirkannya kedaulatan rakyat kaum perempuan sebagai minoritas dalam politik.
2. Implikasi Normatif Putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008 terhadap Konsep Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan ketentuan suara terbanyak dibandingkan dengan nomor urut dalam mekanisme keterpilihan caleg pada Pemilu Tahun 2009 telah menyebabkan konsep keterwakilan perempuan yang berorientasi hasil (result based management) menjadi tidak dapat terlaksana.
Pilihan keadilan prosedural melalui ketentuan suara terbanyak telah menegasikan hak konstitusional perempuan untuk mendapatkan perlakuan khusus yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Pijakan nilai keadilan prosedural yang berasal dari prinsip netral dan objektif pada kenyataannya telah menutup ruang responsifitas hukum terhadap keadilan substantif yang bertujuan menciptakan kesetaraan dan keadilan gender secara de facto bagi perempuan.
Leave a Reply