HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Pembahasan Lengkap Teori Implementasi Kebijakan Pertanian Menurut Para Ahli Dan Contoh Tesis Implementasi Kebijakan Pertanian

Gambaran dari Implementasi Kebijakan Pertanian

  1. Dampak Kebijakan

Kebijakan yang dibuat pasti akan memunculkan dampak. Dampak dari kebijakan menurut Agustino (2008:191) sebagai berikut:

 

Pengaruhnya pada persoalan masyarakat yang berhubungan dan

melibatkan masyarakat. Lebih jauh lagi bahwa kebijakan dapat

mempunyai akibat yang diharapkan atau yang tidak diharapkan.

  1. Kebijakan dapat mempunyai dampak pada situasi dan kelompok lain.
  2. Kebijakan dapat mempunyai pengaruh dimasa mendatang seperti

 

pengaruhnya pada kondisi yang ada saat ini.

Kebijakan dapat mempunyai dampak yang tidak langsung yang

merupakan pengalaman dari suatu komunitas atau beberapa anggota

diantaranya.

  1. Program Penyuluhan Pertanian

Penyuluhan pertanian menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,dan Kehutanan adalah “proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Sedangkan Program Penyuluhan Pertanian menurut Pasal 1 angka (23) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,dan Kehutanan adalah “rencana tertulis yang disusun secara sistematis untuk memberikan arah dan pedoman sebagai alat pengendali pencapaian tujuan penyuluhan”.

 

 

Pelaksanaan program penyuluhan pertanian di Kabupaten Sukoharjo dilaksanakan oleh penyuluh pertanian dari unsur Pegawai Negeri Sipil (Penyuluh PNS) dan penyuluh pertanian swasta yang dikontrak oleh Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo dengan status Tenaga Harian Lepas- Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) serta Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,Perikanan, dan Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Sukoharjo Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,Perikanan, dan Kehutanan. Penyuluh pertanian pegawai negeri sipil menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya Dan Penyuluh Pertanian Swasta adalah “Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian untuk melakukan kegiatan penyuluhan”. Sedangkan Penyuluh Swasta adalah “penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan”.

Jumlah Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Sukoharjo berjumlah 80 orang dan jumlah Tenaga Harian Lepas- Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) 62 orang, sehingga jumlah total penyuluh pertaian di Kabupaten Sukoharjo adalah 142 orang. Bila dibandingkan dengan jumlah desa di Kabupaten Sukoharjo yang berjumlah 167, dengan perkiraan kondisi ideal menurut pejabat Dinas Pertanian kabupaten Sukoharjo bahwa setiap desa dibina oleh seorang penyuluh maka di Kabupaten Sukoharjo masih kekurangan penyuluh pertanian sejumlah 25 orang. Dengan kondisi yang ada sekarang, seorang penyuluh pertanian dapat memiliki daerah binaan hingga 2 desa.

  1. Kelembagaan Pertanian

Kelembagaan di bidang pertanian sangat banyak macamnya, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji tentang kelembagaan pertanian yang berkaitan dengan tanaman pangan yaitu Kelompok Tani (POKTAN) serta Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) dan Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A).

  • Kelompok Tani (POKTAN)/Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN).

Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Pertanian menyebutkan bahwa kelompok tani adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota”. Dan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) adalah “kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha”.

Dalam pengembangan kelompok tani, Pemerintah dan pemerintah daerah pada dasarnya berperan menciptakan iklim untuk berkembangngnya prakarsa dan inisiatif para petani, memberikan bantuan kemudahan/fasilitas dan pelayanan informasi serta pemberian perlindungan hukum. Pengembangan kelompok tani diselenggarakan di semua tingkatan mulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat dengan penanggung jawab pejabat yang berwenang di masing-masing tingkatan. Untuk mendapatkan legitimasi, kepengurusan POKTAN/GAPOKTAN dikukuhkan oleh pejabat wilayah setempat.

  • Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).

Pasal 66 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi menetapkan bahwa aset pengelolaan irigasi terdiri atas Jaringan irigasi dan pendukung pengelolaan irigasi. Dan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa yang termasuk pendukung pengelolaan irigasi adalah kelembagaan pengelolaan irigasi, sumberdaya manusia, dan fasilitas pendukung seperti bangunan kantor, telepon, rumah jaga, gudang peralatan, lahan dan kendaraan. Disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) yang termasuk kelembagaan irigasi, adalah perkumpulan petani pemakai air, instansi pemerintah yang membidangi irigasi dan komisi irigasi. Setelah itu disebutkan pula bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air. Dan berdasarkan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi disebutkan bahwa Menteri yang membidangi irigasi mengeluarkan aturan pelaksanaan dan ini telah dilakukan dengan dikeluarkannya PERMEN PU no 33/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A Pengertian Perkumpulan petani pemakai air menurut Pasal 1 angka (21) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi adalah “kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk lembaga lokal pengelola irigasi”. Sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) Nomor 12 Tahun 1992 tentang Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) , maka pelaksanaan pemberdayaan dan fasilitasi organisasi P3A dilakukan oleh tiga departemen, yaitu Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian dan Departemen Dalam Negeri, yang masing-masing membawahi bidang teknologi irigasi, pertanian, dan institusi pengelola irigasi. Namun secara faktual Departemen Pekerjaan Umum lebih banyak berperan dalam pelaksanaannya. Bahkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006, maka aturan pelaksanaan tentang pedoman pemberdayaan organisasi petani pemakai air di berbagai aras pengelolaan suatu Daerah irigasi (DI) dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dalam bentuk Peraturan Menteri (PERMEN) PU bernomor 33 /PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A.

 

Teori-teori dari gambar model teori Implementasi Kebijakan Pertanian

  1. Strategi Kebijakan

Dalam menentukan pilihan strategi dalam perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Magelang, dilakukan diskusi dengan key person yang berkompeten dengan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Key person dimaksud adalah : – Sekretaris Dinas Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Magelang – Kepala Sub Bidang Penataan Ruang Bappeda Kabupaten Magelang – Kepala Sub Seksi Penatagunaan Tanah BPN Kabupaten Magelang – Akademisi dari Politeknik Muhammadiah Magelang – Perwakilan dari LSM Wahana Belajar Petani

  1. Model Pembangunan Pertanian

  • Model Eksploitasi

Model ini menggarisbawahi bahwa pertumbuhan pertanian sebagai dampak adanya ekploitasi (penggalian) sumberdaya alam. Pada awalnya, jumlah lahan yang masih luas menyebabkan penduduk dapat memproduksi berbagai macam komoditas dengan cara pengeksplorasian lahan baru. Pendekatan ini mengisyaratkan bahwa peningkatan produksi tidak dilakukan dengan meningkatan intensifikasi akan tetapi lebih pada ekstensifikasi. Namun demikian, model ini menjelaskan bahwa setelah adanya eksplorasi sumberdaya baru, muncul pioneer (penghuni awal suatu tempat) yang menghuni suatu tempat dengan system tanam yang berpindah dalam suatu kawasan. Kondisi ini terus berlangsung hingga kepadatan penduduk mulai meningkat dan selanjutnya penduduk mulai melakukan model pola tanam tahunan. Beberapa ahli ekonomi (sejarah) yang mengemukakan pendapat ini adalah H. A. Innis dan Hla Myint. Innis adalah seorang ahli sejarah ekonomi dari Kanada yang mengkaji peningkatan produksi dan ekspor pertanian di pada lahan hunian baru Amerika Utara. Temuan ini mengindikasikan bahwa adanya lokasi hunian baru (termasuk model bercocok tanam) akan meningkatkan produksinya. Model yang dikenalkannya disebut dengan model “staple” yang berarti bahwa kondisi di mana penduduk menghuni suatu daerah tertentu (yang relative baru).

 

Sedangkan Hla Mynt adalah ahli ekonomi dari Birma yang mengemukakan bahwa terdapat pertumbuhan produksi dan perdagangan di negara-negara tropis terutama oleh petani kecil selama abad 19 sebagai respon adanya permintaan ekspor komoditas perkebunan. Pertumbuhan produksi tersebut dipicu adanya kapasitas lahan dan tenaga kerja yang relative melimpah pada saat itu. Sedangkan pertumbuhan ekspor dipicu adanya pasar-pasar baru dan biaya transportasi yang lebih murah. Model ini dikenal dengan istilah “vent for surplus” yang berarti bahwa adanya surplus lahan dan tenaga kerja.b Model staple dan vent for surplus (eksploitasi) merupakan model dominan dalam pembangunan ekonomi dan pertanian. Hal ini mengingat pada kondisi tersebut jumlah lahan masih luas dan penggunaan tenaga kerja hanya terbatas untuk bidang pertanian. Namun, dengan bertambahnya jumlah penduduk dan karenanya luas lahan perkapita mengalami penyempitan, maka model eksploitasi dirasa tidak dapat bertahan lama dalam jangka panjang.

  • Model konservasi

Model ini hadir karena adanya kelangkaan tenaga kerja dan lahan di beberapa  negara industri terutama di Inggris sebagai dampak revolusi Industri. Model ini juga sebagai respon atas menurunnya kesuburan tanah akibat eksploitasi yang berlebihan. Revolusi tersebut tidak terjadi secara serentak dalam waktu yang pendek, namun lebih pada perubahan bertahap dari waktu ke waktu, sedikit demi sedikit (evolutionary). Revolusi tersebut mencakup model pertanian penting yaitu system pertanian yang intensive, terintegrasi, dan system integrase ternaktanaman atau dikenal dengan new husbandry system. Revolusi dengan penggunaan teknologi tersebut dapat meningkatkan produksi total dan produksi tiap satuan lahan. Selain meningkatkan produksi, model ini juga dianggap mampu mengembalikan kesuburan tanah dengan proses yang alami.

Sistem new husbandry merupakan reaksi dari doktrin awal di mana telah tejadi pengekplotasian tanah yang berlebihan. Sistem tersebut dikaitkan dengan teori klasik tentang pengembalian yang semakin menurun “classical diminishing returns” dan literature tentang pertumbuhan sumberdaya alam. Doktrin ini mensarikan bahwa sumberdaya alam bersifat langka, dan kelangkaan meningkat dengan adanya pertumbuhan ekonomi, sehingga adanya kelangkaan tersebut mengancam kehidupan dan juga pertumbuhan ekonomi.

 

Adanya kondisi kelangkaan dimaknai beberapa hal oleh ahli ekonomi sekarang ini dengan membagi dalam pertumbuhan perekonomian dengan pendekatan preindustrialisasi, masa rasionalisasi konservasi, dan masa penggunaan teknologi. Beberapa ahli menyangkal adanya pertumbuhan ekonomi pada masa preindustrialisasi hal ini karena tidak adanya penggunaan teknologi pada waktu itu, meskipun sudah ada peralihan dari masa ektensifikasi menuju intensifikasi yang lebih menekankan pada peningkatan frekuensi tanam, dan peralihan dari system pertanian kehutanan menuju system tanam majemuk (multicropping system). Masa rasionalisasi konservasi dicirikan dengan pemeliharaan kesuburan lahan dengan bekonsentrasi pada tanah itu sendiri, nutrisi tanaman, agronomi, dan teknik pengolhannya. Selain itu rasionalisasi juga mempertimbangkan aspek ekonomi lahan dengan memperhatikan manajemen usahatani dan kebijakan publik terkait kesuburan lahan. Terakhir, masa penggunaan teknologi lebih menghubungkan adanya kelangkaan dengan penggunaan teknologi yang tergantung dari penggunaan tenaga kerja, modal, dan ekspektasi harga produk.

Model konservasi ini merupakan salah satu model yang digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan pembangunan pertanian terutama dengan peningkatan yang relative kecil, 1% pertahun dalam waktu lama yang pertumbuhannya didukung dengan penggunaaan sumberdaya daur ulang baik tanah, hewan dan tenaga kerja manusia. Model ini menandai adanya pertanian organik.

  • Model Lokasi

Model ini didasarkan bahwa masing-masing wilayah memiliki perbedaan geografi dan intensitas dalam berproduksi. Hal ini berdampak pada perkembangan pembangunan pertanian. Penggagas model ini adalah H. V. Thunen (1783-1850) yang mengikuti jejak Ricardo dengan theorinya “Rent” yang berhipotesis bahwa urbanisasi mempengaruhi lokasi produksi pertanian dan mempengaruhi teknik dan intensitas tanaman. Premis ini menarik ekonom-ekonom lain untuk mengkaji bagaimana dampak pertumbuhan pembangunan industry di kota pada produktivitas dan pendapatan di daerah sekitarnya. Diantaranya adalah T. W. Schultz (1985) yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi terjadi dalam matrik lokasi yang spesifik yang biasanya terdapat dalam wilayah perkotaan-industri, perkembangan selanjutnya akan mengacu pada perkembangan perkotaan tersebut.

 

Meskipun demikian, model ini memiliki keterbatasan jika diaplikasikan pada negara yang kurang berkembang di mana penggunaan teknologi masih kurang, penyerapan luapan tenaga kerja yang masih rendah. Hal ini berdampak pada lambatnya penyebaran teknologi dari kota ke desa. Akan tetapi lebih pada masuknnya tenaga kerja di desa ke kota pada sektor-sektor manufaktur.

  • Model difusi

Model ini lebih menggambarkan penyebaran teknologi dan pembangunan pertanian dibandingkan upaya untuk meningkatkan produksi itu sendiri. Ketiga model di atas (model ekspolitasi, model konservasi, model lokasi) didukung pengukuran peningkatan produksi persatuan inputnya, sedangkan model difusi merupakan langkah untuk mentranformasi satu teknologi ke suatu wilayah. Model ini memberikan dasar penting bahwa pembangunan pertanian tidak terlepas dari upaya menyebarkannya hasil penemuan ke wilayah-wilayah yang jauh dari penemuan teknologi. Model ini menjadi penting ketika tidak semua teknologi yang sebenarnya dapat meningkatkan produksi akan tetapi tidak dapat diaplikasikan sepenuhnya oleh petani.

  • Model high-pay off input (Input dengan hasil tinggi)

Adanya keterbatasan kemampuan perekonomian petani kecil di negara berkembang menyebabkan petani tersebut tidak dapat meggunakan tekonologi seperti pada negara maju di mana teknologi tersebut pada umumnya ditemukan. Karenanya, muncul model pembangunan pertanian yang mengadopsi teknologi dari negara maju dengan menyesuaikan kondisi social ekonomi petani di negara berkembang. Karenanya muncul perspektif bahwa teknologi pertanian bersifat “location specific” yang dimaknai bahwa teknologi bersifat spesifik pada lokasi di mana teknologi tersebut diterapkan. Karenanya, teknologi tersebut tidak langsung dapat diaplikasikan di negara pengadopsi. Artinya, petani tidak menerapkan teknologi tersebut sebagaimana teknologi tersebut diterapkan di negara asalnya.

  1. Arah Kebijakan Pembangunan dan Peraturan Pembangunan Pertanian

Secara makro, sejarah telah membuktikan bahwa pertanian telah memberikan surplus tenaga kerja, simpanan dan devisa negara yang mampu menyokong pertumbuhan sektor lain. Baik di negara maju maupun negara berkembang. Sektor ini juga mampu memberikan sumbangan yang besar pada perekonomian negara dan pertumbuhannya. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi sektor pertanian memiliki multiplier effect (efek pengganda) yang lebih besar dibandingkan sektor lain. Beberapa studi menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang secara efektif mampu menurunkan kemiskinan baik di desa maupun di kota, meskipun keuntungan masyarakat yang secara ekonomi terbatas lebih rendah pada negara yang distribusi pendapatannya tidak merata.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan (terutama pembangunan pertanian) adalah rendahnya produktivitas dalam skala mikro, produksi total secara makro, dan kesejahteraan pelaku usaha pertanian itu sendiri. Dalam jangka pendek pembangunan  bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan, akan tetapi dalam jangka panjang tujuan pembangunan bertujuan memberikan kesetabilan harga pelaku usaha. Secara umum arah kebijakan pertanian adalah memberikan kepastian berlangsungnya usaha baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya, kebijakan tersebut tidak terlepas dari perdagangan luar negeri.

 

Contoh Tesis yang membahas tentang Implementasi Kebijakan Pertanian

Contoh Tesis 1: Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Magelang

 

Pada penelitian tahun 2017 menyatakan bahwa Isu penting dalam pembangunan dewasa ini adalah pertanian berkelanjutan. Seiring dengan laju konversi lahan pertanian,sumberdaya pertanian yang perlu mendapatkan prioritas adalah lahan pertanian, terutama lahan pertanian pangan. Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian, telah diterbitkan Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan mengkaji implementasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta strategi pencapaiannya.

 

Tipe penelitian adalah deskriptif dengan metode gabungan (mixed method). Adapun variabel dan indikator dalam implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi sosialisasi,petugas, dana, respon implementor, pemahaman terhadap kebijakan, peraturan pendukung, SOP, koordinasi antar instansi, tingkat pendidikan, usia, kepemilikan lahan, persepsi masyarakat dan komitmen pelaksana. Obyek penelitian adalah para pemilik lahan petanian baik yang telah melakukan konversi lahan maupun yang belum melakukan konversi dan anggota IPPT sebagai pelaksana kebijakan.

 

Hasil penelitian menunjukkan implementasi Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 di Kabupaten Magelang sampai pada tahap identifikasi lokasi. Hal ini menyebabkan variabel dan indikator penelitian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Berdasarkan analisis AHP menunjukkan bahwa aspek ekologi dan alternatif konservasi tanah dan air menempati prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan lahan pertanian berkelanjutan sangat berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Dampak dari kerusakan tanah tidak secara langsung berpengaruh pada pada hasil produksi pertanian, tetapi tanpa adanya upaya konservasi, produktivitas lahan pertanian yang tinggi dan usaha pertanian tidak akan berkelanjutan. Dengan kondisi lingkungan dewasa ini, sistem pertanian konservasi dianggap tepat untuk pemulihan dan kelestarian lingkungan.

Contoh Tesis 2: Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah Membuka Lahan Pertanian di Kabupaten Lingga ( Studi Kasus di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lingga )

 

Pada Tahun 2018 penelitian ini menyatakan bahwa Luas Kabupaten Lingga wilayah daratan 2.117,72 km2 (1 %) dan lautan 209.654 Km2 (99%), dengan jumlah pulau 531 buah pulau besar dan kecil, serta 447 buah pulau diantaranya belum berpenghuni. Dapat dilihat luas lautan jauh lebih dominan jika dibandingkan dengan daratan. Hal ini dapat dibuktikan pada tahun 2016 pemerintah Kabupaten Lingga membuka lahan pertanian di Desa Sungai Besar Kecamatan Lingga utara. Kebijakan ini berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Lingga nomor 23 tahun 2012 tentang penyerahan urusan pemerintah Kabupaten Lingga kepada Desa, pasal 7 ayat (3) berdasarkan hasil pengkajian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jenis urusan pemerintahan yang tidak dapat dilaksanakan menjadi kewenangan Kabupaten. Hal ini dapat ditegaskan pada pasal 4 Urusan pemerintahan desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 (a) bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan dan (c) bidang Kehutanan dan Perkebunan.

 

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriftif kualitatif, tujuan penelitian untuk mendeskripsikan kebijakan hal-hal yang melatarbelakangi pemerintah Kabupaten Lingga mencetuskan ide untuk pembukaan lahan pertanian. Penulis meneliti lahirnya kebijakan pembukaan lahan pertanian di Kabupaten Lingga serta mengetahui dan melakukan analisis terhadap proses lahirnya kebijakan dengan menggunakan teori penyaringan kebijakan yang dilihat dari 5 kirteria sudut pandang yaitu efektif, efisien, cukup, adil dan terjawab. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lingga dalam perumusan kebijakan lahan pertanian melakukan pendekatan dengan kepala daera-daerah (desa). Pendekatan tersebut dilakukan dengan daerah-daerah yang memiliki potensi untuk dibukanya lahan pertanian. Dibukanya lahan pertanian ini untuk mensejahterakan masyarakat dan membuka peluang kerja bagi masyarakat Kabupaten Lingga. Adanya kebijakan lahan pertanian merupakan bagian dari program pemerintah Kabupaten Lingga yaitu Agro Mina Wisata.

 

Contoh Tesis 3: Implementasi Kebijakan Penyuluhan Pertanian pada Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Karawang

 

Penelitian ini dilatarbelakangi dari belum optimalnya implementasi kebijakan penyuluhan pertanian pada Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Karawang. Tujuan penelitian ini yaitu (1) Implementasi kebijakan penyuluhan pertanian pada Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Karawang; dan (2) Faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penyuluhan pertanian pada Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Karawang.

 

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, adapun teknik pengumpulan data dilakukan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan seperti observasi dan wawancara.

 

Hasil penelitian menunjukan bahwa; (1) implementasi kebijakan penyuluhan pertanian pada PPL di BP4K Kabupaten Karawang didominasi dengan ceramah, diskusi, dan kunjungan baik anjangsana maupun anjangkarya. Hal tersebut karena dana yang tersedia untuk melaksanakan metode penyuluhan sangat terbatas, jadi dengan penggunaan metode tersebut materi penyuluhan dapat tersampaikan kepada para petani dengan dana yang relatif murah; (2) Faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penyuluhan pertanian pada PPL BP4K Kabupaten Karawang yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

 

Contoh Tesis 4: Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Sukoharjo

 

Pembangunan pertanian di Indonesia diarahkan menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Kabupaten Sukoharjo sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi lahan pertanian yang memadai dan potensial sudah seharusnya menerapkan kebijakan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti hendak mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai pelaksanaan, harmonisasi peraturan perundang-undangan, visi dan misi Kabupaten Sukoharjo dalam mendukung kebijakan nasional pembangunan pertanian berkelanjutan.

 

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan sumber penelitian dilakukan dengan teknik riset kepustakaan dan teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi.

 

Penelitian ini menggunakan indikator pendukung pertanian yaitu lahan pertanian; sarana produksi (saprodi); sarana prasarana pertanian; program penyuluhan pertanian; dan kelembagaan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kebijakan yang terkait dengan indikator tersebut belum mendukung kebijakan nasional pembangunan pertanian berkelanjutan, peraturan perundangundangan yang diterapkan di Kabupaten Sukoharjo terkait kebijakan nasional pembangunan pertanian berkelanjutan masih memiliki beberapa kelemahan, sedangkan visi dan misi Kabupaten Sukoharjo sudah mendukung kebijakan nasional pembangunan pertanian berkelanjutan.

 

Contoh Tesis 5: Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian

 

Pada tahun 2016 penelitian ini menyatakan bahwa WTP merupakan pendekatan yang sangat berguna untuk mengetahui nilai suatu barang baik barang yang tidak dapat diukur di pasar (barang sumberdaya bersama, barang public, barang semi publik) maupun barang yang baru diperkenalkan di pasar. Banyak cara yang digunakan untuk mengukur WTP salah satunya adalah dengan wawancara langsung. Pada barang sumberdaya bersama dan barang public metode langsung sering disebut dengan istilah contingency value method, sedangkan pada barang yang baru diperkenalkan di pasar disebut dengan strategi penetapan harga. CVM lebih ditujukan untuk pemertaan barang sumberdaya bersama, sedangkan strategi penetapan harga lebih ditujukan pada strategi penentuan harga produk yang baru dikeluarkan di pasar. Terakhir, langkah-langkah dalam analisis CVM dan strategi pengaturan harga memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Pertanyaan lanjutnya, apakah kedua langkah tersebut dapat dipertukarkan. Hal itu membutuhkan kajian lebih lanjut.

 

Contoh Tesis 6: Implementasi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Klaten dalam Program Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan pada Kawasan Pangan

Tujuan  dari  penelitian  ini  adalah  mengkaji  penetapan  kawasan  pangan  di Kabupaten  Klaten  yang  merupakan  bagian  dari  penetapan  rencana  tata  ruang  kawasan di wilayah Desa/Kabupaten sudah sesuai dengan UU No. 41 tahun 2009 serta  untuk  mengkaji  faktor-faktor  yang  menjadi  kendala  penetapan  kawasan  pangan sebagai lahan abadi dan solusi mengatasi kendala yang dihadapi.

Berdasarkan fakta, upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, karena  lahan  sawah  merupakan private  good yang  legal  untuk  ditransaksikan.

Oleh   karena   itu   upaya   yang   dapat   dilakukan   hanya   bersifat   pengendalian.  Pengendalian yang dilakukan sebaiknya bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab  terjadinya  konversi  lahan  sawah,  yaitu  faktor  ekonomi,  sosial,  dan  perangkat  hukum.  Namun  hal  tersebut  hendaknya  didukung  oleh  keakuratan  pemetaan  dan  pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai.

Metode penelitian  yang  digunakan dalam penelitian  ini adalah jenis  yuridis  sosiologis, sifat penelitian adalah bersifat deskriptif, sumber data yang digunakan  data  sekunder  yang  meliputi  bahan  hukum  primer,  bahan  hukum  sekunder  dan  bahan   hukum   tersier.   Teknik   pengumpulan   data   meliputi   dokumentasi   dan  wawancara. Metode analisis data menggunakan analisa data kualitatif.

Hasil  penelitian  diperoleh  hasil  sebagai  brikut  :

1)  Strategi  yang  dilakukan  di Kabupaten Klaten dalam pelaksanaan kawasan pangan yang merupakan bagian  dari  penetapan  rencana  tata  ruang  kawasan  di  wilayah  Desa/Kabupaten  sudah  sesuai  dengan  UU  No.  41  tahun  2009 dilaksanakan  dengan  konsep  bangun  yang  dipakai  sebagai  landasan  dalam  menyusun  strategi  pencegahan  alih  fungsi  lahan  berikut: a) Pengembangan tata ruang wilayah berbasis sosial-ekonomi-budaya dan  ekosistem, b) Bentuk strategi pendekatan pengendalian alih fungsi lahan irigasi, c)  Penetapan zonasi ”permanen” kawasan lahan sawah beririgasi, d) PERDA sebagai  instrumen perlindungan hukum zonasi permanen kawasan lahan irigasi. 2) Faktor- faktor  yang  menjadi  kendala  penetapan  kawasan  pangan  sebagai  lahan  abadi  diantaranya  adalah  :  1)  faktor  ekonomi  yaitu  tingginya  harga  tanah  saat  ini,  2)  perubahan  perilaku  petani  yang  enggan  menggarap  sawahnya,  dan  3)  lemahnya  peraturan  perundang-undangan.  3)  Solusi  guna  mengatasi  faktor-faktor   yang  menjadi  kendala  penetapan  kawasan  pangan  sebagai  lahan  abadi  di  Kabupaten  Klaten dilaksanakan  dengan cara   melakukan  pengawasan dan  pengelolaan lahan  sawah  dengan  tepat,  di  samping  itu  saat  ini  Kabupaten  Klaten  sudah  melakukan  rancangan  Peraturan  Daerah  Tentang  Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  Kabupaten  Klaten Tahun 2010-2029.

 

Contoh Tesis 7: Implementasi Kebijakan Izin Terkait Alih Fungsi Lahan Pertanian menjadi Non Pertanian (Studi di Wilayah Hukum Pemerintah Kabupaten Sidoarjo)

Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai Implementasi Kebijakan Izin Terkait Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Non Pertanian. Pilihan tema tersebut dilatarbelakangi karena masih banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang tidak menggunakan instrumen perizinan yang berlaku bahkan melanggar tata ruang yang ada, dibuktikan dengan menurunnya jumlah luas lahan pertanian dari 5 tahun terakhir. Tujuan penelitian ini yakni untuk mendeskripsikan serta menganalisis faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan, implikasi hukum alih fungsi lahan pertanian tersebut serta upaya kebijakan pemerintah Kabupaten Sidoarjo terhadap pelanggaran izin terkait alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian dalam hal ini yakni Badan Pertanahan Nasional, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Dinas Pangan dan Pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Hasil penelitian membuktikan bahwa implementasi izin terkait alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Sidoarjo belum dapat berjalan dengan maksimal. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor yakni adanya peningkatan jumlah penduduk, tekanan ekonomi petani atau pemilik lahan dan penegakan hukum dari pemerintah sangat minim. Upaya kebijakan pemerintah mengenai alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan khususnya Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo membuat aplikasi berbasis android yang dinamakan “dekabzonita” berfungsi untuk mencari informasi-informasi mengenai pertanahan seperti zona nilai tanah, biaya perizinan, rencana detail tata ruang dan diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengurus apa saja yang berhubungan dengan pertanahan termasuk informasi mengenai alih fungsi lahan. Upaya kebijakan pemerintah Kabupaten Sidoarjo sendiri saat ini yakni akan ada penetapan lahan pertanian berkelanjutan sesuai dengan apa yang diundangkan yakni seluas 12.205 Ha serta pemberian insentif dan disinsentif terhadap lahan tersebut, diharapkan dapat mengendalikan alih fungsi lahan yang terjadi secara terus-menerus setiap tahunnya.

Contoh Tesis 8: Implementasi Kebijakan Alih Fungsi Lahan Pertanian menjadi Kawasan Perumahan

Implementasi Kebijakan Alih Fungsi Lahan Petanian Menjadi Kawasan Perumahan (Studi pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Sidaorjo). Peningkatan jumlah penduduk secara tidak langsung mempengaruhi jumlah permintaan perumahan. Pembangunan kawasan perumahan di Kabupaten Sidoarjo mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Untuk kegiatan tersebut, developer kerap memanfaatkan serta mengalihfungsikan lahan pertanian. Dalam hal ini Pemerintah Daerah melalui Perda RTRW No.6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009-2029, memiliki peran dalam mengatur dan mengendalikan penggunaan lahan pertanian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan perumahan diatur dalam penetapan pola ruang untuk kawasan perumahan, sedangkan presentase lahan pertanian yang dialihkan untuk perumahan sebesar 60% dengan penyebaran yang tidak merata di seluruh Kabupaten Sidoarjo.

 

Contoh Tesis 9: Implementasi Kebijakan Pembangunan Pertanian Kabupaten Mamasa. (dibimbing oleh Fakhri Kahar Andi Agustang).

 

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui implementasi kebijakan dilihat dari program, proyek dan kegiatan pembangunan pertanian di Kabupaten Mamasa, dan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan pembangunan pertanian di Kabupaten Mamasa.

Fokus penelitian adalah implementasi kebijakan pembangunan pertanian berdasarkan program, proyek dan kegiatan. Analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif adalah flow model analysis atau model analisis mengalir yang meliputi data reduksi, data display dan penyajian kesimpulan.

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, (1) implementasi kebijakan pembangunan pertanian diterapkan berdasarkan program, proyek dan kegiatan yang mengacu pada Rencana Strategik tahun 2008 – 2012, instansi Dinas Pertanian, Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Mamasa belum efektif untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan yaitu peningkatan produksi tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura, mengembangkan agribisnis hortikultura dan perkebunan, meningkatkan kualitas SDM petani dan kelompok tani, optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian, mendorong penggunaan mekanisasi pertanian serta mengembangkan tanaman spesifik lokal dan mempertahankan plasma nuftah, (2) komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi merupakan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan pembangunan pertanian di Kabupaten Mamasa. Keberhasilan suatu pembangunan pertanian harus ditunjang oleh adanya faktor komunikasi yang proaktif antara pengambil keputusan dan pelaksana di dalam mengkomunikasikan program, proyek dan kebijakan. Karenanya SDM yang memiliki pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan penguasaan kerja memainkan peranan penting dalam mengimplementasikan pembangunan pertanian tersebut dengan baik. Demikian halnya adanya kesiapan atau disposisi antara pelaksana dan pengembang kebijakan tersebut dalam mengimplementasikan pembangunan pertanian dengan baik secara struktur, di mana struktur organisasi merupakan pembagian uraian kerja dan jenis kerja yang diperlukan dalam melaksanakan program dengan lancar.

 

Contoh Tesis 10: Pelaksanaan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Kecamatan Baros Kebupaten Serang

 

Penelitian ini mengenai pengembangan kawasan Agropolitan di Kecamatan Baros Kabupaten Serang. Dengan dilatarbelakangi oleh belum lengkapnya syarat administrasi dan buruknya koordinasi dan sosialisasi serta belum lengkapnya syarat administrasi dan buruknya koordinasi dan sosialisasi serta belum tercukupinya infrastruktur penunjang. Sehingga tujuan penelitian penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan program pengembangan kawasan Agropolitan di Kecamatan Baros Kabupaten Serang.

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengembangan Agropolitas di Baros masih belum optimal. Hal ini terlihat dari belum adanya keseriusan dan komitmen dari lembaga pemerintah terkait untuk mendukung pengembangan Agropolitan, belum terjalinnya kerjasama yang harmonis antara Bappeda dengan Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pariwisata serta tidak dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan pengembangan kapasitas serta peningkatan wawasan untuk mendukung sepenuhnya pengembangan Aagropolitasn di Kecamatan Baros.

 

 

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?