BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan politik keraton menjelang tahun 1940-an ditandai oleh dua hal, yaitu persaingan antara Kasunanan dan Mangkunegaran dan suksesi di Kasunanan. Alasan yang menjadi dasar persaingan ini adalah ketidaksudian kraton Kasunanan menerima kemandirian Mangkunegaran yang dianggap sebagai bagian dari wilayahnya. Sejak awal, sikap Susuhunan tidak menginginkan Mangkunegara bertindak melebihi kekuasaannya sehingga Mangkunegaran merupakan suatu pemberian pribadi, bukan hak turun-temurun kepada Mangkunegara I. Ketegangan yang muncul di balik serangkaian insiden yang sepele, pada dasarnya merupakan pertentangan pribadi dan ambisi Paku Buwono dengan kehendaknya untuk menegaskan sebagai penguasa tradisional yang tertinggi.
Munculnya campur tangan Belanda dan Jepang terhadap Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran menambah semakin memuncaknya kontroversi antara Jepang dengan Belanda.. Jepang banyak memberikan bantuan dan perhatian terhadap Praja Mangkunegaran mengakibatkan menambah semakin panasnya reaksi Belanda. Perubahan dalam kedudukan konstitusional Kasunanan yang dari status “vasal” dengan semi-otonomi menjadi sebuah “badan hukum” (rechtspersoon), yaitu meleburnya wilayah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah Hindia-Belanda dengan adanya kontrak-kontrak yang ditandatangani tahun 1940 dengan kepala Kasunanan dan Mangkunegaran.
Ketegangan meningkat antara Kasunanan dengan Mangkunagaran terlihat pada pertengahan hingga akhir tahun 1940, disebabkan adanya serangan jurnalistik yang sensasional terhadap Mangkunegaran bertujuan untuk menodai citra pegawaipegawainya. Keberadaan kraton tidak terlepas dari keberadaan raja yang memiliki arti penting sebagai eksponen mikrokosmos dan makrokosmos. Raja merupakan Hyang Sukma Kawekas karena dianggap mampu bertindak wicaksana (bijaksana) dan waskita (melihat hal-hal yang rahasia), sehingga tidak aneh apabila raja begitu dihormati rakyatnya. Selain itu, raja juga berperan sebagai vorstendomein (hak milik raja) bahwa raja adalah pemilik tanah di seluruh kerajaan. Di dalam sistem apanage para patuh hidup dari hasil tanah yang digarap petani. Tanah-tanah yang menghasilkan padi misalnya, hasilnya dibagi dua atau maro, untuk patuh dan petani sama besar. Bagian yang diserahkan kepada patuh disebut pajak. Selain dalam bentuk barang, pajak dapat berupa uang yang dibayarnya satu real tiap jung. Di samping pajak, masih ada pungutan dari patuh yang disebut pundhutan, atau taker turun, sedangkan berasal dari petani disebut sumbangan untuk berbagai macam keperluan. Selain itu pajeg dapat dibayar dengan uang (sistem majegan) atau dalam natura (sistem maro atau maron). Pemungut pajeg pada awalnya dilakukan oleh para bekel.
Kekuasaan kolonial Belanda yang lama meninggalkan berbagai bentuk penderitaan bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi lapisan terbawah. Kekurangan pangan, sandang, papan dan rendahnya tingkat kesehatan telah membebani pundak rakyat. Upah kerja yang rendah, rutinitas kerja paksa dan pajak yang harus dibayar, berjalan begitu saja dalam upaya eksploitasi dengan diiringi diskriminasi. Pemerintah kolonial cenderung mengeruk keuntungan, yang semakin banyak yang membuat rakyat Indonesia menderita, tetapi juga kelangsungan pemerintahan Hindia-Belanda.
Karesidenan Surakarta merupakan daerah yang subur dan luas. Sehingga memiliki areal perkebunan yang luas pula, selain empat dasar agroindustri, di Surakarta masih terdapat perkebunan kecil antara lain kapas, lada, pala, coklat, panili dan padi. Kehidupan petani di tanah partikelir memang berat karena berbagai pajak dan layanan, yang disebut cuke, yang harus diserahkan kepada tuan-tuan tanah Belanda dan China. Pada dasarnya petani yang tinggal di tanah-tanah mereka harus membayar pajak antara lain berupa sebagian hasil panen, uang dan layanan tenaga kerja. Karena itu, tuan-tuan tanah mengangkat petugas administrasi dan pengawas pajak.
Petani dikenakan layanan kerja yang disebut kompenian, yaitu kerja wajib yang dilakukan lima hari sekali dalam sebulan. Selanjutnya petani masih dituntut kerja untuk umum yang disebut garol, tiga hari setiap bulan, kroyo, hanya untuk orang dewasa, dan tugas kemit berupa ronda atau jaga. Pada waktu penarikan cuke, pajak dan sejenisnya, petugas pajak menghadapi kesulitan. Petani tidak mau membayar pajak, karena selain terlalu berat mereka juga tetap membayarnya meskipun panen gagal yang disebabkan oleh gangguan alam, penyakit tanaman dan sejenisnya. Kemenangan Jepang atas serangannya terhadap pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 dalam Perang Dunia ke-II7, Jepang berhasil menguasai daerah Malaya (sekarang Malaysia), Filipina dan Indonesia. Berawal dari itulah Jepang mulai mengeksploitasi Asia secara besar-besaran yang didukung dengan kondisi wilayah di Asia terutama Indonesia yang subur dan kaya akan sumber daya alamnya.
Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh Jepang terhadap bangsa Indonesia sampai ke tingkat desa dan dihadapkan pada rezim kolonial yang bersifat sangat menindas dan merusak bangsa Indonesia. Jepang membagi wilayah Indonesia menjadi tiga bagian yakni Sumatera berada di bawah pimpinan Angkatan Darat ke- 25, sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16; kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat ke-7 dengan markas besarnya di Singapura. Karena Jawa dianggap sebagai wilayah yang secara politik paling maju dengan sumber daya manusianya yang banyak. Hal itu sesuai dengan kebijakan politik di Jepang bahwa daerah kekuasaan yang kurang maju dengan ekonomi yang penting berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang, sedangkan untuk wilayah yang maju berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang, wilayah ini meliputi wilayah Indonesia bagian timur termasuk Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian. Selama pendudukan Jepang citra kedua puri di Surakarta mulai menurun. Keluarga raja-raja di Surakarta tidak berusaha untuk menjauhkan dirinya dari penguasa pendudukan Jepang. Ekonomi perkebunan yang runtuh mengakhiri sumber penting bagi dana kerajaan. Inflasi pun dengan serius mengurangi daya beli dari gaji para pegawai kerajaan. Organisasi-organisasi setempat yang disponsori oleh Jepang yang didominasi oleh keluarga raja dan kaum politikus keraton.
Pembiayaan negara di suatu kerajaan dalam artian modern, diartikan sebagai suatu usaha yang sistematis dan menyeluruh untuk mengatur pendapatan dan pengeluaran negara secara keseluruhan. Hal ini juga disebabkan oleh adanya suatu perbendaharaan (sistem keuangan) negara yang dikelola oleh pusat tetapi juga karena cara-cara yang insidental untuk memenuhi keperluan keuangan negara. Setiap keperluan seperti perbaikan jalan, biaya hidup para pejabat, bagian pengangkutan mempunyai sumber pendapatan sendiri, yang mungkin berupa sebidang tanah, pungutan tertentu, atau tenaga menusia di desa tertentu. Pemeliharaan suatu bagian pemerintahan (departemen), kantor atau lembaga, diserahkan seluruhnya kepada kesanggupan dan pertimbangan moral si pemegang jabatan.
Kewenangan setiap kraton untuk memiliki daerah kekuasaan dan sumber penghasilan, maka Praja Mangkunegaran juga memiliki kebijakan terhadap pelaksanaan sistem pajak yang ada. Mangkunegaran sebagai daerah swapraja mempunyai kebijakan administratif birokrasi dari struktur pemerintahan. Urusan dalam pemerintahan untuk Praja Mangkunegaran memiliki pangreh praja yang mengurusi di dalam masing-masing bidang. Untuk daerah pusat terbagi menjadi tiga kabupaten (departemen) yakni Kabupaten Nata Praja yang mengurusi tentang urusan pemerintahan, Kabupaten Niti Praja termasuk di dalamnya Kabupaten Martapraja yang bertugas mengurusi kas atau keuangan serta pajak dan Reksa Hartana yang mengurusi tentang beasiswa dan pensiunan. Praja Mangkunegaran membentuk sebuah kabupaten yang menangani tentang urusan pajak. Hal ini bertujuan agar sistem pelaksanaannya berjalan lancar dan teratur, meskipun pada masa penguasa sebelumnya sudah ada lembaga yang mengurusi sistem pajak tersebut.
Keraton mempunyai sumber penghasilan sendiri untuk setiap kebutuhannya yang bermacam-macam, sumber-sumber itu dapat berupa daerah tertentu yang menyediakan beras untuk keperluan dapur istana, desa tertentu yang menyediakan minyak kelapa dan hutan tertentu untuk menyediakan kayu bagi bangunan istana. Walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar bagi bea dan cukai, kerajaan sebagai suatu organisasi institusional yang sangat mengandalkan petani, yang dapat memberikan tenaga yang diperlukan tidak hanya untuk mengerjakan sawah tetapi melakukan pekerjaan untuk memelihara dan menopang kerajaan, mulai dari pekerjaan untuk memelihara jalan sampai pengangkutan barang, dan menjadi pelayan para bangsawan atau pejabat dan berperang menjadi tentara raja. Penguasaan daerah yang berpenduduk padat merupakan suatu keuntungan besar bagi Praja Mangkunegaran sendiri. Berkaitan dengan pentinganya kepadatan penduduk, maka perlu adanya cacah, untuk menunjukkan ukuran luas daerah penguasaan dipandang dari segi luas tanah yang dikenai pajak.
Periode sistem kekuasaan selama tiga kali perubahan yakni masa peralihan kekuasaan Belanda, kemudian Jepang dan masa revolusi fisik banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan ekonomi dan sosial-politik terhadap kehidupan di wilayah Surakarta begitu juga di wilayah Praja Mangkunegaran. Sistem kebijakan masing-masing penguasa yang mengubah sistem tatanan ekonomi mulai dari sistem perkebunan dengan penyerahan pajak pada masa Belanda lalu kewajiban setor padi pada masa pendudukan Jepang yang sangat membebani rakyat. Pada masa akhir perang, Jepang melaksanakan kebijaksanaan politik ekonomi “mencukupi kebutuhan sendiri” (genchi jikatsu) bertujuan untuk memperoleh dan menguasai sumber alam dan manusia, khususnya bahan pangan dari Jawa untuk memenuhi kebutuhan tentara Jepang.11 Hal ini juga berpengaruh terhadap sistem pendapatan yang diperoleh Praja Mangkunegaran, karena sistem pendapatan utama dari praja ini adalah pajak dari rakyat di wilayah kekuasaannya selain dari sektor perkebunan.
Pemerintah Jepang menetapkan Jawa sebagai pemasok beras untuk pulau-pulau di luar Jawa bahkan sampai ke luar negeri. Wajib serah padi telah dimulai di Jepang pada bulan Oktober 1940, dengan dikeluarkannya Beikoku Kanri Kisoku (Peraturan untuk Kontrol Beras), yang di dalamnya memuat kebijakan di Jawa.12 “Wajib serah” padi secara resmi diawali dengan dikeluarkannya dekrit di setiap karesidenan, dan masing-masing karesidenan diizinkan untuk menetapkan dekrit tersebut sesuai kehendak mereka. Suatu karesidenan dianggap sebagai suatu unit otonom untuk produksi dan sirkulasi komoditi.
Leave a Reply