ABSTRAK
Penelitian ini tentang kemandirian pada remaja yang terlibat dalam Program Pembinaan Kesiswaan (P2K). P2K terdiri dari organisasi siswa dan kegiatan ekstrakurikuler. Remaja yang terlibat aktif dalam P2K dinilai akan memiliki inisiatif, tanggung jawab dan kontrol diri yang tinggi. Ketiga hal ini erat kaitannya dengan kemandirian remaja. Data yang didapat dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan metode kuesioner sebagai alat pengumpul data. Partisipan penelitian berjumlah 119 siswa/I SMA kelas XI yang sedang terlibat sebagai pengurus maupun anggota dalam P2K baik organisasi siswa maupun kegiatan ekstrakurikuler. Analisis dilakukan dengan teknik korelasi Pearson Product Moment.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan dalam P2K dengan kemandirian remaja. Berarti, remaja yang terlibat semakin aktif dalam P2K akan semakin mandiri. Berdasarkan pengolahan dimensi-dimensi kemandirian remaja, ditemukan bahwa keterlibatan dalam P2K memiliki hubungan positif yang signifikan dengan dimensi Attitudinal Autonomy dan Functional Autonomy. Ini berarti, keterlibatan dalam P2K membuat remaja mampu menentukan tujuan dan memilih strategi efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan Emotional Autonomy. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dalam P2K tidak membuat remaja sepenuhnya terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Saran untuk penelitian selanjutnya antara lain dapat dibandingkan kemandirian antara siswa yang terlibat dengan yang tidak terlibat dalam P2K. Saran praktis untuk sekolah adalah agar lebih meningkatkan kualitas dari organisasi siswa dan kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah.
Kata kunci :
Keterlibatan dalam P2K, kemandirian, remaja
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 226/C/Kep/O/1992 BAB II Pasal 3, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal memiliki kewajiban melakukan pembinaan kesiswaan dengan tujuan untuk: “meningkatkan peran serta dan inisiatif para siswa dalam menjaga dan membina sekolah sebagai Wiyatamandala sehingga terhindar dari usaha dan pengaruh yang bertentangan dengan kebudayaan nasional; menumbuhkan daya tangkal pada diri siswa terhadap pengaruh negatif yang datang dari luar maupun dari dalam lingkungan sekolah; memantapkan kegiatan ekstrakurikuler dalam menunjang pencapaian kurikulum; meningkatkan apresiasi dan penghayatan seni; menumbuhkan sikap berbangsa dan bernegara; meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat serta nilai-nilai ‘45; serta meningkatkan kesegaran jasmani.” Pembinaan kesiswaan dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi kesiswaan. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar jam pelajaran sekolah dan pada waktu libur sekolah, yang dilakukan baik di sekolah ataupun di luar sekolah secara berkala atau hanya pada waktu-waktu tertentu (Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan Kesiswaan dan Program Kemitraan, 1992). Kegiatan ekstrakurikuler ini memiliki fungsi pengembangan diri, fungsi sosial, fungsi rekreatif dan fungsi persiapan karir (Panduan Model Pengembangan Diri, n.d. ). Cakupan kegiatan ekstrakurikuler meliputi delapan bidang yang juga merupakan cakupan materi Pembinaan Kesiswaan yaitu pembinaan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pembinaan kehidupan berbangsa dan bernegara, pembinaan pendidikan pendahuluan bela negara, pembinaan kepribadian dan budi pekerti luhur, pembinaan berorganisasi, pendidikan politik dan kepemimpinan, pembinaan keterampilan dan kewiraswastaan, pembinaan kesegaran jasmani, dan daya kreasi serta pembinaan persepsi, apresiasi dan kreasi seni (Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan Kesiswaan dan Program Kemitraan, 1992). Selain kegiatan ekstrakurikuler, terdapat pula organisasi kesiswaan. Setiap sekolah wajib membentuk organisasi kesiswaan yaitu Organisasi Siswa Intra Sekolah, disingkat OSIS (Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan Kesiswaan dan Program Kemitraan, 1992). OSIS merupakan organisasi kesiswaan yang menjalankan program-program yang diaspirasikan oleh siswa, atau dengan kata lain, OSIS adalah lembaga eksekutif bagi siswa di sekolah. Kedudukannya menjembatani antara siswa dan sekolah sehingga siswa dapat menyampaikan saran, kritik, dan masukannya untuk kemajuan sekolah. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/31/belia/utama01.htm).
Oleh karena itu, setiap siswa secara otomatis menjadi anggota OSIS dari sekolah yang bersangkutan dan keanggotaan itu akan secara otomatis berakhir dengan keluarnya siswa dari sekolah bersangkutan (Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan Kesiswaan dan Program Kemitraan, 1992). Untuk menjalankan fungsi tersebut di atas, OSIS memiliki perangkat yang terdiri dari Pembina OSIS, Perwakilan Kelas (PK) dan Pengurus OSIS (PO). Pembina OSIS terdiri dari Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah dan Guru. Perwakilan Kelas terdiri dari dua orang perwakilan tiap kelas, Pengurus OSIS terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara beserta wakilnya serta delapan orang Ketua Seksi yang memimpin delapan bidang sesuai materi Pembinaan Kesiswaan. Dalam pelaksanaan di lapangan, ketua seksi tersebut memiliki tugas khusus yaitu mengkoordinasikan masing-masing kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah. (“http://id.wikipedia.org/wiki/OSIS”).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang berada di dalam OSIS dan pelaksanaan kegiatan tersebut diawasi oleh perangkat OSIS tersebut. Pembinaan kesiswaan memiliki istilah yang bermacam-macam dalam literatur yang membahasnya, antara lain Youth Based Organization, Youth Programms, Youth Development Programms, After-School Programms dan lain-lain. Mahoney, Cairns dan Farmer (2003) menggunakan istilah School-Based Extracurricular Activities dimana kegiatan Pembinaan Kesiswaan terdiri dari atletik, seni, political-student government, karir, pelayanan siswa dan kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan akademis. Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kegiatan sekolah sehari-hari dalam beberapa hal. Pertama, mengikuti kegiatan ini bukanlah syarat kelulusan sehingga siswa dapat dengan bebas mengikuti kegiatan yang diminatinya. Kedua, kegiatan ini terstruktur dipimpin oleh satu atau lebih orang dewasa dan memiliki jadwal pertemuan yang rutin di luar jam sekolah. Ketiga, dalam mengikuti kegiatan ini, dibutuhkan usaha-usaha untuk menjalani tantangan yang ada berkaitan dengan keterampilan-keterampilan sosial yang tidak didapat hanya dari mempelajari mata pelajaran wajib di sekolah. Kegiatan ini berbeda dengan kegiatan belajar di dalam kelas yang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi tetapi kurang dapat dinikmati ketika melaksanakannya sehingga cenderung membosankan dan juga berbeda dengan kegiatan di waktu luang yang tidak terstruktur dan sangat dinikmati tetapi tidak membutuhkan tantangan dan konsentrasi dalam pelaksanaannya (Larson 2000; Rathunde & Csikszentmihalyi 2005 dalam Shernoff & Vandell, 2007).
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat kesamaan karakteristik antara School-Based Extracurricular Activities dengan Pembinaan Kesiswaan yang dilakukan di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari ciri-ciri kedua kegiatan yang beririsan. Ciri-ciri tersebut antara lain: dilaksanakan di luar jam sekolah, dibimbing oleh orang dewasa atau guru serta kegiatan-kegiatannya mencakupi bidang seperti seni, olahraga, kepemimpinan dan karir. Oleh karena itu, untuk memudahkan penjelasan mengenai Pembinaan Kesiswaan dan School-Based Extracurricular Activities dalam tulisan ini akan digunakan istilah Program Pembinaan Kesiswaan atau disingkat P2K. Fredricks dan Eccles (2005) mengemukakan beberapa penjelasan mengenai pentingnya P2K bagi remaja. Pertama, dengan lebih banyaknya waktu luang yang digunakan dalam kegiatan yang terstruktur maka remaja akan terhindar dari tingkah laku bermasalah (Mahoney & Stattin, 2000; Osgood et al., 1996 dalam Fredricks & Eccles, 2005) seperti terlibat dalam tawuran, geng motor atau bahkan narkoba (Gusman, 2004). Kedua, kegiatan tersebut akan memfasilitasi remaja untuk menunjukkan keahlian-keahlian yang mereka miliki serta menggali identitas diri mereka (Eccles & Barber, 1999; Larson, 2000 dalam Fredricks & Eccles, 2005). Kegiatan ini dapat pula melatih remaja untuk melakukan segala sesuatu dengan motivasi yang berasal dalam dirinya yang disebut motivasi internal karena dalam mengikuti P2K mereka terlibat dalam kegiatan – kegiatan yang mereka minati (Csikszentmihalyi & Larson 1984 dalam Shernoff & Vandell, 2007) Ketiga, kegiatan ini dapat menghubungkan remaja.
Leave a Reply