ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan pada siswa program akselerasi di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, dan bertujuan untuk melihat adanya korelasi antara skor self-report penerimaan peer group dengan prestasi akademik pada siswa akselerasi. Penelitian ini tergolong dalam penelitian kuantitatif dengan desain field study, tanpa memanipulasi variabel. Skor self-report penerimaan peer group didapat dengan pemberian kuesioner PEERACC dengan skala tipe Likert, sementara untuk prestasi akademik digunakan nilai raport semester terakhir dari setiap subyek. Sampel penelitian diambil dari SLTPN 11 Kebayoran Baru, SLTPN 49 Kramat Jati, dan SLTPN 252 Kalimalang dengan karakteristik usia antara 12-15 tahun sejumlah 70 orang. Dari penelitian ini diperoleh r = -0,066 dan p = 0,590; p > 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara penerimaan peer group dengan prestasi akademik pada siswa program akselerasi tingkat SLTP. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori-teori dan penelitian-penelitian sebelumnya pada remaja umumnya. Hal ini menunjukkan kekhasan siswa program akselerasi dengan kemampuan akademik yang di atas rata-rata dan pola afiliasi yang cukup berbeda dengan kecenderungan remaja pada umumnya.
Kata kunci: akselerasi, penerimaan peer group, prestasi akademik
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan remaja selalu menarik untuk diamati karena seperti yang dikatakan dalam Conger (2001), masa remaja merupakan masa penuh “storm and stress”, yaitu suatu masa bergejolak yang ditandai dengan adanya konflik dan ketidakstabilan mood. Menurut Conger, masa remaja memiliki rentang usia antara 12 sampai 23 tahun, dan dipandang sebagai suatu tahap tersendiri dari perkembangan manusia, yang merupakan tahap peralihan dari fase anak-anak menuju ke fase orang dewasa. Remaja, khususnya mereka yang berusia sekolah menengah, menghabiskan waktu mereka dengan peer, yaitu dengan siapa mereka dapatmengidentifikasikan diri dan merasa nyaman (Larson & Richard, dalam Papalia, 2002). Mengenai definisi peer itu sendiri, Hartup (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa “Peer are children or adolescent who are of about the same age or maturity level.” Corsini (2002), dalam The Dictionary of Psychology mendefinisikannya sebagai sekelompok orang yang tergabung karena kesemuanya memiliki tujuan kelompok yang sama. Condry, Simon, dan Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa bagi kebanyakan remaja, peer merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Seorang remaja akan mengadopsi nilai dan perilaku kelompok karena tidak ingin dianggap dan diperlakukan berbeda oleh anggota yang lain dalam kelompoknya. Dapat diterima oleh lingkungan sosial merupakan salah satu tugas perkembangan remaja yang tidak dapat dipungkiri untuk mendapatkan identitas sosialnya. Hurlock (1993) juga mengatakan bahwa semakin seorang remaja diterima dalam kelompoknya, maka semakin ia memilih aktivitas yang melibatkan banyak orang, dibandingkan dengan remaja yang tidak begitu diterima oleh kelompoknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin seorang remaja tidak diterima dalam suatu kelompok, maka ia akan semakin cenderung menutup diri.
Sebagian besar waktu remaja dihabiskan di sekolah, di mana remaja memaksimalkan pencapaiannya terhadap prestasi dan juga afiliasi sebagai bagian dari proses identifikasi sosialnya, sehingga ia dapat menentukan identitas sosialnya sendiri (Lindgren, 1967). Menurut Lindgren, masa remaja ini adalah masa di mana kebutuhan akan prestasi dan juga afiliasi mengambil tempat yang dominan, karena sesuai perkembangan kognitifnya yang kritis menjelang dewasa, remaja menyadari bahwa keberhasilan mereka di masa depan bergantung pada prestasi belajar mereka saat di sekolah. Di sisi lain, mereka juga mengetahui kebutuhan mereka yang sangat besar atas hubungan dengan teman-teman sebaya mereka, terutama teman-teman terdekat atau peer group mereka. Hubungan ini menjadi indikator penerimaan dari teman-teman sebaya yang nantinya akan berdampak kepada kepercayaan diri individu dan kemampuannya untuk mengembangkan diri (Papalia, 2004). Untuk memfasilitasi kebutuhan siswa dengan lebih baik, pendidikan Indonesia mengadakan program-program yang berbeda untuk setiap siswa dengankebutuhan yang berbeda. Salah satunya adalah program akselerasi yang memfasilitasi anak-anak yang berbakat akademik, untuk mendapatkan materi yang lebih tinggi dari anak-anak sebayanya di kelas reguler sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan oleh siswa program reguler.
Istilah akselerasi tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Seperti yang dijelaskan oleh Colangelo dan Davis (1991), istilah akselerasi merujuk pada pemberian pelayanan (service delivery) dan penyampaian materi (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, pengertian akselerasi termasuk juga melompat kelas atau mengikuti pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Masih menurut Colangelo dan Davis (1991), sebagai model kurikulum akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu. Dalam hal ini, akselerasi dapat dilakukan dalam kelas reguler maupun kelas khusus dan bentuk akselerasi yang diambil bisa dengan cara telescoping, di mana siswa menyelesaikan dua tahun atau lebih kegiatan belajarnya menjadi lebih singkat. Cara lainnya adalah dengan cara self-paced studies, yaitu siswa mengatur kecepatan belajarnya sendiri. Program akselerasi diadakan untuk memfasilitasi kebutuhan anak-anak berbakat akademik yang kemampuannya berada di atas rata-rata anak seusianya untuk dapat mencapai hasil pendidikan yang optimal sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penjabaran Colangelo dan Davis (1991) di atas, pelaksanaan program akselerasi yang belakangan diterapkan di beberapa sekolah menengah di Indonesia mengacu pada curriculum delivery, dengan membentuk kelas percepatan yang menggunakan metode telescoping, di mana materi yang bagi siswa reguler diberikan dalam kurun waktu tiga tahun dipercepat menjadi dua tahun bagi siswa-siswi berbakat akademik. Sutomo, Kepala Sekolah SLTPN 2 Semarang, yaitu salah satu sekolah yang turut menyelenggarakan program akselerasi di sekolahnya dengan standar mutu yang tinggi, dalam salah satu wawancara media mengemukakan syarat-syarat penempatan siswa di program akselerasi. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah tes IQ sesuai standar above average skala Wechsler, tes emosional, kreativitas, komitmen harus baik, dan ada
pula penilaian indeks prestasi (IP).
Program akselerasi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat akademik, memiliki kekuatan dan kelemahan dalam pelaksanaannya. Ada beberapa kekuatan dan kelemahan program akselerasi yang dipaparkan dalam Hawadi (2004). Beberapa kekuatan program akselerasi yaitu meningkatkan efisiensi dan efektivitas belajar; merupakan pengakuan atas prestasi yang dimiliki; meningkatkan waktu untuk meniti karir; meningkatkan produktivitas; meningkatkan pilihan eksplorasi dalam pendidikan; serta mengenalkan siswa dalam kelompok teman baru. Dalam menjelaskan kelemahan program akselerasi, Southern dan Jones (1991) membaginya sesuai dengan karakteristiknya, di mana akan dibahas di bawah ini dalam bidang akademik, penyesuaian sosial, dan penyesuaian emosional. Kelemahan program akselerasi dalam bidang akademik antara lain adalah karakteristik siswa akselerasi yang kurang matang secara sosial, fisik, dan juga emosional untuk berada dalam tingkat kelas yang tinggi walaupun memenuhi kualifikasi secara akademik. Kelemahan lain adalah dalam proses identifikasi, di mana ada kemungkinan prestasi yang dihasilkan saat itu merupakan prestasi sesaat saja, sehingga ada kemungkinan bahwa siswa tersebut bukan benar-benar siswa berbakat. Selain itu, kurikulum yang dipadatkan dan mengenyampingkan materi-materi yang dianggap tidak penting dapat menghilangkan kesempatan siswa akselerasi untuk mengalami pengalaman yang dialami teman-teman sebayanya di program reguler. Kelemahan program akselerasi dalam penyesuaian sosial siswa dapat timbul karena siswa akselerasi didorong untuk berprestasi secara akademik, hal ini akan mengurangi waktunya untuk melakukan aktivitas lainnya, termasuk kesempatan bermain dan beraktivitas bersama teman sebayanya. Keberadaan kelas khusus ini secara alami dapat membentuk kesenjangan antara siswa-siswi kelas reguler dengan siswa-siswi kelas akselerasi, yang tentu saja tidak sebanding secara jumlah, sehingga kecenderungan sosial yang sering terjadi ialah kelompok minoritas akan terisolasi dengan sendirinya. Hal-hal yang dapat memicu isolasi ini antara lain adalah karena kecemburuan yang timbul akibat perhatian guru yang dirasa lebih besar terhadap siswa program akselerasi dibandingkan terhadap siswa program reguler, siswa reguler yang merasa inferior dalam hal akademik terhadap siswa akselerasi, demikian juga munculnya stigma bahwa siswa akselerasi sombong dan angkuh karena keeksklusifannya. Beberapa orang staf pengajar kelas akselerasi di beberapa SLTP Negeri mengemukakan hal yang sama, yaitu bahwa siswa reguler memang sulit untuk bergaul dengan siswa akselerasi dan enggan untuk mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan karena perbedaan jadwal dan rasa perbedaan di antara mereka. Hal ini memicu perasaan senasib pada siswa akselerasi dan membuat rasa kebersamaan mereka semakin kuat, sehingga mereka semakin mengasingkan diri dari kegiatan-kegiatan bersama di sekolah. Salah seorang guru juga menyatakan turut andil dalam menstimulasi dan menjaga keeksklusifan mereka, dengan tujuan memotivasi mereka untuk tetap bertahan di kelas akselerasi dan berprestasi maksimal. Dengan berbagai stimulasi di atas, terbentuklah peer group di kalangan siswa akselerasi sendiri, di mana kelompok yang baru terbentuk ini pada umumnya menjadi lebih kohesif karena sama-sama terisolasi. Kelemahan lainnya adalah dalam hal penyesuaian emosional, di mana adanya tekanan dan tuntutan akan memicu frustrasi pada diri siswa program akselerasi yang justru dapat menurunkan apresiasinya dan menjadikannya underachiever atau drop out. Tekanan-tekanan yang mungkin timbul dalam diri siswa program akselerasi ini bisa muncul karena harapan-harapan dari orang-orang di sekeliling mereka, seperti para guru dan orangtua yang mengharapkan mereka menjadi contoh bagi teman-teman di reguler, menjadi anak yang dapat dibanggakan, dan lain sebagainya. Harapan-harapan ini dapat membuat mereka takut gagal, jenuh, merasa terbebani, dan akhirnya memaksa merekamenghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar lebih keras sehingga semakin sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan sosialnya bersama teman-teman sebaya. Penilaian lingkungan yang memberikan label kepada mereka sebagai individu sempurna juga akan menimbulkan harapan dan tuntutan yang terlalu besar terhadap mereka, padahal kemampuan yang sebenarnya tidak seperti itu karena keberbakatan yang mereka miliki tidak pada seluruh aspek. Selain itu kesempatan yang kecil untuk membangun persahabatan dapat membuat individu terisolir dan pada akhirnya menutup diri serta tidak mampu bekerja efektif dengan orang lain. Sementara pada masa remaja, siswa pada umumnya tidak suka menjadi berbeda di antara teman-temannya, dan mereka juga memiliki minat untuk melakukan hal-hal di luar kegiatan akademik seperti teman-temannya.
Pendidikan anak berbakat di Indonesia yang menitikberatkan pada perkembangan kognisi anak tanpa memberikan perhatian lebih kepada perkembangan sosial dan emosional anak juga turut memiliki andil dalam hubungan sosial siswa program akselerasi yang rapuh. Hal ini sesuai dengan teori Colangelo dan Davis (1991). Seorang wali kelas dari siswa akselerasi di sebuah SLTPN juga menemukan bahwa sulit bagi siswa akselerasi untuk dapat diterima dan bergaul normal dengan siswa reguler karena adanya perbedaan waktu belajar. Menurut wali kelas lainnya, kondisi ini perlu diimbangi dengan pemberian motivasi secara terus-menerus pada siswa akselerasi untuk bertahan di program akselerasi ini dan membentuk hubungan yang kuat dengan sesama siswa akselerasi dalam kelas tersebut. Hal ini bertujuan agar proses dan prestasi belajar siswa tidak terpengaruh oleh kondisi di luar kelasnya. Guru lainnya menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa mereka lebih membutuhkan dukungan moral agar tidak larut dalam kekecewaan karena perasaan tertolak dan harus menjalankan beban studi yang berat. Seperti yang dijelaskan oleh Hawadi (2004), menjadi anak berbakat dengan kemampuan di atas rata-rata tidak menjamin bahwa tidak akan muncul masalah dalam perkembangan mereka, bahkan mereka justru lebih rentan terhadap faktor sosial dan emosional.
Berbagai penelitian di dalam dan luar negeri telah membuktikan bahwa keberadaan peer group dapat mempengaruhi prestasi akademik seseorang. Penelitian Cole (dalam Wentzel & Caldwell, 1997) menunjukkan hasil bahwa individu yang melakukan suatu kegiatan agar dapat diterima oleh peer-nya menunjukkan prestasi akademik yang baik pula, sementara individu yang menyalahi norma sosial kelompok akan tertolak oleh peernya dan menunjukkan prestasinya yang relatif buruk sebagai siswa. Wentzel dan Caldwell (1997), dalam penelitiannya sendiri, menyatakan bahwa peer relation pada masa remaja awal secara kompleks memiliki hubungan dengan prestasi akademik. Demikian juga halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratitia (1999) terhadap remaja pertengahan Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 70 Bulungan. Pratitia mendapati adanya korelasi positif antara peer relation dengan prestasi belajar, di mana peer relation yang baik akan menghindarkan remaja dari situasi individualistik yang akan mengganggunya untuk mencapai prestasi belajar yang diinginkan.
Melihat fakta-fakta yang timbul dalam penelitian-penelitian tersebut di atas, maka diperoleh hubungan sebagai berikut: yaitu ketika peer relation baik, maka akan timbul rasa berarti dan dibutuhkan pada diri individu yang akhirnya menimbulkan perasaan nyaman, puas, senang, gembira, dan bahagia. Situasi dan perasaan seperti ini memicu produktivitas pada diri individu dan memupuk rasa percaya diri yang semakin besar serta menimbulkan keyakinan bahwa ia mampu dan menjadi berani untuk melakukan banyak hal, termasuk di dalamnya kemampuan untuk berprestasi di bidang akademik. Dengan kata lain, sejalan dengan penemuan Wentzell (2004), hubungan emosional yang positif dengan teman sebaya membawa pengaruh positif bagi individu, dalam hal ini adalah bagi remaja. Peer relation yang baik akan terbentuk jika terjadi ikatan relasional yang setara. Relasi sosial yang setara ini paling mungkin didapatkan dari adanya persamaan akan pengalaman sosial. Dengan demikian hubungan sosial yang baik dapat terbentuk oleh pihak-pihak dengan latar belakang yang sama. Siswa akselerasi akan memiliki peer dari kalangan siswa akselerasi juga. Hal ini dapat terjadi karena mereka memiliki persamaan dalam beban akademik dan waktu yang dimiliki. Penelitian ini hendak dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar keunikan program akselerasi. Perlu diketahui apakah performa akademik siswa program akselerasi dengan lingkungan belajar mereka yang sudah terberi berhubungan dengan penerimaan peer group seperti yang terjadi pada remaja umumnya.
Leave a Reply