ABSTRAK
Body dissatisfaction merupakan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif yang dimiliki seseorang terhadap penampilan fisiknya (Littleton & Ollendick, 2003; dalam Skemp-Arlt, Rees, Mikat, & Seebach, 2006). Menurut penelitian Casper dan Offer (1990; dalam Markey & Markey, 2005), body dissatisfaction banyak dialami oleh remaja putri. Body dissatisfaction yang dialami seseorang diduga berperan dalam pembentukan perilaku diet mereka. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri. Perilaku diet sendiri dipisahkan menjadi dua kategori, yaitu perilaku diet yang sehat dan tidak sehat. Responden dalam penelitian ini adalah 114 orang remaja putri dengan kisaran usia antara 11 sampai 18 tahun. Penelitian ini menemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara body dissatisfaction dan perilaku diet baik yang sehat maupun tidak sehat.
Kata kunci: Body dissatisfaction, perilaku diet, remaja putri.
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, pada umumnya masyarakat masih memiliki standar bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang langsing. Standar tersebut dimiliki oleh wanita maupun pria. Menurut Atwater dan Duffy (1999), cover majalah, iklan-iklan televisi, dan film berperan penting dalam pembentukan standar kecantikan dalam suatu masyarakat. Wanita yang umumnya dianggap cantik adalah wanita dengan kulit putih, badan langsing, dan berambut panjang. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya iklan-iklan yang menampilkan model dengan karakteristik fisik tersebut. Salah satu iklan produk susu pelangsing tubuh bahkan memperlihatkan seorang pria yang terlihat enggan saat dimintai saran oleh pacarnya yang sedang memilih-milih baju karena tubuh sang pacar tidak langsing. Pria tersebut malah asyik memasangkan tubuh model wanita yang lebih langsing di majalah dengan kepala pacarnya. Dalam satu iklan ini saja sudah terlihat bahwa wanita dengan tubuh yang kurus cenderung lebih diminati oleh lawan jenisnya. Iklan-iklan produk kecantikan yang lainpun, seperti shampo atau produk pemutih kulit juga hampir selalu menggunakan model yang berbadan langsing walaupun sebenarnya produk mereka bukanlah produk pelangsing. Dari iklan-iklan dan media massa yang terbit di Indonesia dapat dilihat bahwa model iklan dengan tubuh yang langsing lebih menjual dan diminati oleh pasar karena bentuk tubuh langsing dianggap cantik dan ideal. Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa media-media informasi cenderung mendefinisikan kecantikan dengan sangat sempit bahwa untuk tampil cantik, wanita paling tidak harus bertubuh langsing. Adanya anggapan semacam itu tentu dapat mendorong wanita untuk tampil langsing karena pada dasarnya wanita selalu ingin tampil cantik dan menarik. Selain untuk kepercayaan diri, tubuh langsing bagi seorang wanita dapat dianggap sebagai salah satu daya tarik untuk memikat lawan jenisnya. Anggapan mengenai bentuk tubuh menarik yang diciptakan oleh media tersebut dapat mempengaruhi terbentuknya body ideal pada remaja. Body ideal ini bukan selalu berat badan ideal yang disarankan untuk menjaga kesehatan (Body Mass Index atau BMI). Seperti yang telah disebutkan di atas, media massa di Indonesia saat ini cukup banyak membombardir masyarakat dengan pesan bahwa salah satu syarat bagi seorang wanita untuk dianggap cantik adalah memiliki tubuh yang langsing.
Dengan demikian, memiliki tubuh yang langsing dapat menjadi body ideal pada remaja, khususnya remaja putri. Secara teoritis, wanita yang menginternalisasi bentuk tubuh ideal menurut masyarakat ke dalam dirinya akan lebih mudah untuk memiliki body dissatisfaction apabila standar ideal ini tidak terpenuhi (McCarthy, 1990; dalam Bearman, Martinez, & Stice, 2006). Body dissatisfaction sendiri merupakan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif yang dimiliki seseorang terhadap penampilan fisiknya (Littleton & Ollendick, 2003; dalam Skemp-Arlt, Rees, Mikat, & Seebach, 2006). Istilah body dissatisfaction berada di bawah istilah citra tubuh. Thompson et al. (1998) mengemukakan empat komponen dalam citra tubuh yang dapat mengalami gangguan yaitu komponen afektif, kognitif, perilaku, maupun perseptual. Gangguan citra tubuh yang terjadi pada komponen perseptual akan mengakibatkan distorsi citra tubuh, sedangkan gangguan pada komponen lain akan mengakibatkan body dissatisfaction (Monteath & McCabe, 1997; Thompson et al., 1998). Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian remaja putri ternyata memiliki body dissatisfaction (Thompson, Heinberg, Altabe, & Tantleff-Dunn, 1998; dalam Stice & Whitenton, 2002). Hal tersebut dikarenakan pada saat mulai memasuki masa remaja, seorang wanita akan mengalami peningkatan jaringan lemak yang membuat tubuhnya menjadi semakin jauh dari badan kurus yang ideal (Graber, Brooks-Gunn, Paikoff, & Warren, 1994; Tobin-Richards, Boxer, Kavrell, & Petersen, 1984; dalam Stice & Whitenton, 2002). Persepsi mengenai tubuh yang negatif ini dapat mengakibatkan adanya usaha-usaha obsesif terhadap kontrol berat badan pada remaja (Davison & Birch, 2001; Schreiber et al., 1996; Vereecken & Maes, 2000; dalam Papalia, 2007).
Salah satu usaha yang sering dilakukan oleh masyarakat umum untuk menurunkan berat badan adalah diet. Dalam jurnal Eating in the Adult World: The Rise of Dieting in Childhood and Adolescence (Hill, Oliver, & Rogers, 1992), diet digambarkan sebagai suatu usaha pengurangan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh yang memungkinkan seseorang untuk merampingkan bagian-bagian yang tidak diinginkan pada tubuh mereka, membuat mereka tampak lebih langsing, lebih diinginkan, dan lebih sukses. Diet merupakan salah satu cara yang paling populer untuk menurunkan berat badan karena diet dapat dilakukan oleh hampir semua orang, tidak mahal, diterima secara sosial, dan tidak menimbulkan efek samping yang langsung terasa. Diet mencakup pola-pola perilaku yang bervariasi, dari pemilihan makanan yang baik untuk kesehatan sampai pembatasan yang sangat ketat akan konsumsi kalori (Kim & Lennon, 2006). Perilaku tidak sehat yang dapat diasosiasikan dengan diet misalnya puasa, tidak makan dengan sengaja, penggunaan pil-pil diet, penahan nafsu makan atau laxative, muntah dengan disengaja, dan binge eating (French & Jeffery, 1994; USDHHS et al., 1989, Serdulla, Collins, et al., 1993; dalam French, Perry, Leon, & Fulkerson, 1995). Saat ini perilaku diet sudah mulai tampak pada kelompok usia remaja awal.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap anak- anak usia tujuh sampai 12 tahun (mean 9.7 tahun), 41% anak mengaku bahwa mereka pernah mencoba untuk menurunkan berat badan (Maloney, McGuire, Daniels, & Specker, 1989; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Penelitian lain menyebutkan bahwa dua per tiga dari remaja putri melakukan diet dan sebagian besar dari mereka memiliki berat badan normal (French, Perry, Leon, & Fulkerson, 1995). Diet yang dilakukan oleh remaja bukanlah hal yang dapat disepelekan. Saat remaja adalah saat ketika tubuh seseorang sedang berkembang pesat dan sudah seharusnya mendapatkan komponen nutrisi penting yang dibutuhkan untuk berkembang (Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Kebiasaan diet pada remaja dapat membatasi masukan nutrisi yang mereka butuhkan agar tubuh dapat tumbuh. Selain itu, diet pada remaja juga dapat menjadi sebuah titik awal berkembangnya gangguan pola makan (Polivy & Herman, 1985; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Beberapa penelitian lain juga mengatakan bahwa seorang remaja yang berdiet kemudian menghentikan dietnya dapat menjadi overeater pada tahun-tahun berikutnya (Hill, Rogers, & Blundell, 1989; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Hasil-hasil penelitian di atas menjadi sebuah bukti bahwa perilaku diet dapat membawa dampak yang buruk bagi kesehatan remaja yang melakukannya. Mengutip Mental Health Weekly Digest edisi Agustus 2006, sebuah penelitian menunjukkan bahwa remaja putri yang merasa tidak puas dengan tubuh mereka memiliki kecenderungan untuk melakukan binge eating, kurang melakukan kegiatan fisik, kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, mengkonsumsi pil diet, dan memuntahkan dengan paksa makanan yang telah mereka makan. Penulis sendiri mencoba membuat survey kecil pada remaja putri kelas 1 di sebuah SMA di Jakarta Selatan untuk mengetahui bagaimana fenomena diet yang terjadi pada mereka. Ternyata, 7 dari 10 remaja putri yang diwawancarai mengaku pernah melakukan diet. Diet yang mereka lakukan bukanlah diet yang berada dalam pengawasan ahli gizi. Mereka mengaku mengetahui cara diet tersebut dari teman maupun dari tips-tips diet yang mereka dapatkan dari media massa. Beberapa cara menurunkan berat badan yang mereka lakukan antara lain adalah melewatkan makan malam, hanya mengonsumsi apel dan sayur dalam sehari, melewatkan sahur saat puasa dan hanya berbuka puasa dengan apel, menggunakan obat diet dari dokter kecantikan, menggunakan obat penyerap lemak, dan juga tidak mengkonsumsi karbohidrat. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan ahli gizi Tuti Soenardi pada tanggal 24 Mei 2007, saat ini tidak banyak remaja yang mendatangi dokter atau ahli gizi untuk berkonsultasi mengenai cara menurunkan berat badan yang sehat. Mereka cenderung mencoba-coba cara diet populer yang belum tentu baik untuk kesehatan agar berat badan mereka lebih cepat turun. Namun demikian, cara diet populer yang mereka terapkan tersebut belum tentu mengandung asupan nutrisi seimbang yang sangat penting bagi kesehatan mereka. Penelitian juga menunjukkan bahwa alasan untuk berdiet mempengaruhi perilaku diet seseorang. Sebagai contoh, orang-orang yang berdiet semata-mata bertujuan untuk memperbaiki penampilan akan cenderung untuk menempuh cara-cara yang tidak sehat untuk menurunkan berat badan mereka. Sebaliknya, orang yang melakukan diet untuk alasan kesehatan akan melakukan cara yang sehat pula, misalnya mengikuti pola makan yang dianjurkan (Kim & Lennon, 2006). Seperti yang telah disebutkan di atas, masa puber adalah masa ketika remaja putri menjadi sangat rentan dengan body dissatisfaction. Fuhrmann dan Foresman (1990) menyebutkan bahwa remaja awal pada rentang usia 9 sampai 14 tahun cenderung memiliki kekhawatiran yang akut mengenai bentuk tubuh mereka. Mereka juga cenderung sensitif terhadap kritik dari orang lain maupun dari diri mereka sendiri. Pada usia-usia ini opini subjektif mengenai diri mereka sendiri juga masih sering berubah. Sebagai contoh, apabila sekarang seorang remaja merasa dirinya normal, bisa saja beberapa waktu kemudian ia akan merasa gemuk. Pada masa pertengahan dan akhir remaja (usia 15 sampai 18 tahun), walaupun mereka masih peduli dengan tubuh mereka, opini mengenai diri mereka sendiri sudah lebih stabil dan perasaan self-conscious pada diri mereka berkurang (Fuhrman & Foresman, 1990). Walaupun banyak penelitian yang dilakukan mendukung adanya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet, beberapa penelitian mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Lennon (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar wanita memiliki kecenderungan untuk memiliki citra tubuh negatif walaupun mereka tidak memiliki penyimpangan dalam pola makan (Kim & Lennon, 2006). Sebagai tambahan, dalam Ogden (2002) dikatakan bahwa orang-orang yang mempunyai keinginan untuk mengubah bentuk tubuhnya tidak selalu melakukan diet. Beberapa orang memilih untuk mengenakan baju-baju yang membuat mereka terlihat kurus atau melakukan jalan pintas melalui operasi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata seseorang yang memiliki rasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya belum tentu melakukan diet. Walaupun pada saat ini jalan terpopuler untuk menurunkan berat badan adalah diet, orang yang tidak puas dengan tubuhnya dapat memilih cara-cara lain untuk memperbaiki penampilannya. Adanya perbedaan hasil penelitian seperti di atas membuat penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri. Penelitian semacam ini juga penting untuk dilakukan karena masalah diet pada remaja bukanlah hal yang dapat dipandang sebelah mata mengingat perilaku diet dapat menjadi sebuah awal dari terbentuknya kelainan gangguan pola makan seperti bulimia nervosa atau anorexia nervosa.
Leave a Reply