Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Strategi Seleksi, Optimasi, dan Kompensasi terhadap Kepuasan Kerja Manajer
ABSTRAK
Penelitian ini membahas pengaruh konflik pekerjaan-keluarga (time-based, strain-based, dan behaviour-based) menurut Greenhaus dan Beutell (1985) dan strategi SOK menurut Baltes dan Baltes (1960) terhadap kepuasan kerja menurut Spector (1997) pada manajer. Penelitian ini melibatkan 143 manajer yang berasal dari ketiga perusahaan, yaitu swasta, BUMN/BUMD, dan institusi pemerintah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi lapangan. Hasil perhitungan statistik dengan menggunakan teknik ANOVA-dua arah menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara jenis konflik dan tingkat penggunaan strategi SOK terhadap kepuasan kerja manajer ( F= 187,223, p= 0,000). Manajer dengan jenis konflik strain-based memiliki kepuasan kerja tertinggi dibandingkan dengan manajer dengan jenis konflik time-based dan behaviour-based apabila didukung tingkat penggunaan strategi SOK yang tinggi. Namun demikian, manajer berjenis konflik strain-based memiliki kepuasan kerja terendah dibandingkan dengan dua jenis konflik lainnya apabila level strategi SOK yang dimiliki rendah. Tidak ditemukan pengaruh level SOK dalam menentukan kepuasan kerja pada manajer yang berjenis konflik time-based.
Kata kunci :
Time-based conflict, Strain-based conflict, Behaviour-based conflict, Strategi Seleksi, Optimasi, dan Kompensasi, Kepuasan kerja, Manajer.
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manajer merupakan seseorang yang berusaha menggapai tujuan organisasi atau perusahaan dengan mengatur orang lain agar bersedia melakukan tugas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, sekaligus mengatur semua sumber daya organisasi atau perusahaan. Dengan demikian, manajer tidak melakukan aktivitas pencapaian tujuan organisasi secara langsung (Robbins & Judges, 2009). Stoner (1981) selanjutnya mengemukakan bahwa peran utama manajer meliputi peran interpersonal, peran pemberi informasi, serta peran pembuat keputusan. Dengan adanya ketiga peran tersebut, manajer memiliki kewajiban utama sebagai wakil dari organisasi baik di dalam maupun di luar organisasi, mengawasi keluar-masuknya informasi di perusahan tempat bekerja, sekaligus sebagai pembuat keputusan penting.
Oleh karena itu, agar tujuan organisasi dapat tercapai, maka ketiga peran manajerial tersebut harus dilaksanakan secara seimbang. Sayangnya, untuk menyeimbangkan berbagai tuntutan peran manajerial, manajer sering dihadapkan pada karakteristik pekerjaan yang memicu stres kerja yang tinggi (French & Caplan, 1972). Secara umum, pekerjaan manajerial menuntut waktu kerja yang sangat panjang, tingginya frekuensi lembur, beban kerja yang tinggi serta hubungan interpersonal yang sangat erat dengan orang lain. Sebagai konsekuensi, kondisi tersebut dapat mengakibatkan munculnya beban keterlibatan peran, konflik peran, serta ambiguitas peran yang tinggi. Selain itu, adanya interdependensi dan tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaan orang lain juga ditemukan di dalam pekerjaan manajerial. Interdependensi dalam hal ini, dapat dilihat sebagai sejauh mana kinerja seseorang dapat diprediksi, atau tergantung pada interaksi sosial (Dierdorff & Morgeson, 2007. Dengan adanya level interdependensi yang tinggi, manajer juga sering dituntut untuk melakukan pekerjaan di luar tanggung jawabnya (boundary spanning). Khususnya di dalam penelitian ini, manajer yang digunakan berasal dari perusahaan swasta, BUMN/BUMD, dan instansi pemerintah, karena ketiga jenis perusahaan tersebut merupakan organisasi formal yang memiliki spesifikasi jabatan manajer yang jelas dan hierarki tujuan organisasi yang baik. Yang cenderung dibatasi oleh banyak peraturan yang membuat organisasi ini menjadi relatif tidak fleksibel (Wursanto, 2003). Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa tuntutan peran yang kompleks juga lebih nyata ditemukan di ketiga jenis perusahaan tersebut dibandingkan jenis perusahaan lain di Indonesia. Selanjutnya, penelitian dari Shirom, Fried, dan Cooper (2008) menunjukkan bahwa posisi sebagai manajer umumnya dicapai ketika seseorang berada di dalam rentang usia dewasa madya (41-65 tahun). Papalia, Olds, dan Feldman (2004) mengemukakan bahwa pada rentang usia ini, peran seseorang di dalam keluarga meningkat lebih banyak dibandingkan ketika seseorang berada pada masa dewasa muda (20-40 tahun). Manajer yang berusia dewasa muda umumnya baru memutuskan untuk menetapkan karir dan menikah. Adapun pada usia dewasa madya, manajer harus menjalani perannya sebagai anggota keluarga dan manajer secara seimbang, mengurus anak yang sedang berkembang, melakukan perawatan atas orang tua lanjut usia, ataupun memulai karir yang baru.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Good, Page, dan Young (1996), menunjukkan bahwa tuntutan karir yang berasal dari karakteristik pekerjaan manajerial yang kompleks disertai tuntutan yang tinggi dari perannya di keluarga dapat menyebabkan rendahnya kepuasan kerja. Hal ini mungkin terjadi karena manajer mempersepsikan banyaknya beban pekerjaan yang dimiliki, paperworks dengan jumlah yang tinggi, sekaligus hilangnya tenaga akibat tuntutan peran yang tinggi di pekerjaan. Sebagai tambahan, Kesper, Meyer, dan Schmidt (2004) mengungkapkan bahwa sebagian besar manajer memiliki ketergantungan personal yang besar terhadap pekerjaannya, sehingga menjadi apa yang disebut dengan workaholics, dan melupakan perannya di dalam keluarga. Namun demikian, manajer yang mengaku dirinya sebagai workaholics mempunyai skor kepuasan yang lebih tinggi daripada manajer yang mempersepsikan dirinya sebagai nonworkaholics. Hal ini dapat terjadi karena manajer merasa bahwa pekerjaan adalah bagian dari identitas diri yang melekat kuat pada individu, sehingga manajer mendedikasikan sebagian besar hidup mereka untuk bekerja (they live to work). Oleh karena itu, kepuasan kerja menjadi dampak sifat pekerjaan manajerial yang tergolong kompleks. Kepuasan kerja merupakan variabel yang akan diteliti karena kepuasan kerja merupakan indikator bagi kesejahteraan emosional atau kesehatan psikologis, sekaligus dapat menentukan perilaku manajer, dan mencerminkan fungsifungsi organisasi. Seperti contoh, apabila terdapat kepuasan kerja yang berbeda di beberapa unit berbeda, maka hal ini dapat menjadi potensi munculnya masalah di perusahaan (Spector, 1997). Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam merasakan kepuasan terhadap pekerjaannya dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan pekerjaannya (Spector, 1997). Ditambahkan oleh Spector, kepuasan kerja terdiri dari sembilan aspek yang meliputi gaji, kesempatan berpromosi, atasan, tunjangan, penghargaan dari perusahaan, prosedur kerja, rekan kerja, sifat pekerjaan, dan komunikasi dalam organisasi. Menurut Spector (1997) terdapat tiga anteseden yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu, karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan, karakteristik pribadi, dan kesesuaian antara pekerjaankepribadian. Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan terdiri dari karakteristik pekerjaan, hambatan keorganisasian, variabel peran, konflik pekerjaan-keluarga, beban kerja, kendali, dan jadwal kerja. Karakteristik pribadi melibatkan kepribadian, usia, dan jenis kelamin. Adapun kesesuaian antara lingkungan pekerjaan dan kepribadian merupakan interaksi antara anteseden lingkungan pekerjaan dan karakteristik pribadi, yang secara bersamaan mempengaruhi kepuasan kerja manajer. Kepuasan kerja merupakan topik dalam ranah Psikologi Industri dan Organisasi yang cukup banyak diteliti baik sebagai variabel bebas maupun sebagai variabel terikat. Namun demikian, literatur mengenai kepuasan kerja yang dimiliki seorang manajer, masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk diajukan karena kepuasan kerja manajer merupakan sikap manajer secara keseluruhan terhadap pekerjaannya yang penting dalam mempengaruhi kinerja manajer, sekaligus berlaku sebagai nilai-nilai penting yang dianut oleh kebanyakan peneliti perilaku keorganisasian (Robbins & Judge, 2009). Selanjutnya, peneliti tertarik untuk lebih mendalami anteseden kepuasan kerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan, yaitu konflik pekerjaan-keluarga serta strategi yang efektif untuk mengatasi konflik tersebut. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan tema yang banyak diteliti berkaitan dengan kepuasan kerja mengingat adanya konflik dapat memunculkan berbagai konsekuensi negatif di dalam organisasi. Hasil penelitian dari Lambert, Hogan, dan Barton (2002) mengungkap adanya korelasi negatif yang besar (r = – 0,80) antara konflik pekerjaankeluarga dengan kepuasan kerja. Selain itu, penelitian Carlson dan Kacmar (2000) juga menunjukkan adanya kontribusi yang bermakna antara konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja, kepuasan keluarga, dan kesejahteraan hidup. Dengan demikian, semakin tinggi konflik pekerjaan-keluarga yang dipersepsi manajer, semakin ia merasa tidak puas dengan pekerjaannya. Konflik pekerjaan-keluarga adalah konflik antar peran yang berasal dari tuntutan peran di dalam pekerjaan dan keluarga yang saling bertentangan (Greenhaus & Bautell, 1985). Berdasarkan jenisnya, konflik pekerjaan-keluarga terdiri dari tiga jenis, yaitu waktu (timebased), ketegangan (strain-based), dan perilaku (behaviour-based). Konflik time-based muncul ketika waktu yang dibutuhkan untuk menjalani suatu peran bertentangan dengan waktu ketika seseorang harus mengerjakan perannya yang lain. Konflik strain-based dialami seseorang ketika stres yang diakibatkan ketika seseorang menjalani suatu peran membuatnya sulit untuk menjalani peran yang lain. Adapun konflik behaviour-based muncul ketika perilaku spesifik yang dibutuhkan di dalam mendalami suatu peran membuatnya kesulitan untuk mendalami peran yang lain. Penelitian oleh Carlson, Kacmar, dan Williams (2000) mengungkapkan bahwa konflik dengan jenis strain-based mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kepuasan kerja, kepuasan terhadap keluarga (family satisfaction) dan kesejahteraan hidup (life satisfaction). Adapun jenis konflik behaviour-based berpengaruh terhadap komitmen organisasi manajer, sedangkan jenis time-based tidak memiliki pengaruh yang bermakna terhadap kinerja manajer. Peneliti menemukan cukup banyak penelitian mengenai pengaruh konflik pekerjaan keluarga terhadap kepuasan kerja. Namun demikian, salah satu faktor penting yang selama ini belum banyak diteliti dalam kaitannya dengan kepuasan kerja manajer adalah strategi penanganan konflik pekerjaan-keluarga. Dengan adanya pemakaian strategi yang efektif, peneliti berpendapat bahwa konflik pekerjaan-keluarga yang dipersepsi manajer akan berkurang, sehingga kepuasan kerja manajer akan meningkat. Dengan demikian, fokus terhadap strategi penanganan konflik dalam kaitannya dengan konflik pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja manajer merupakan suatu hal baru yang penting untuk dibahas di dalam penelitian ini. Strategi penanganan konflik pekerjaan-keluarga merupakan bagian dari anteseden lingkungan yang selanjutnya dipilih menjadi anteseden kedua yang mempengaruhi kepuasan kerja manajer. Strategi ini selanjutnya dinamakan strategi pengaturan hidup atau lebih dikenal dengan strategi Seleksi, Optimasi, dan Kompensasi (SOK), yang dicetuskan oleh Baltes dan Baltes (1990). Strategi SOK pada dasarnya merupakan suatu model perkembangan manusia yang berguna untuk menjelaskan proses adaptasi efektif dalam menghadapi hilangnya sumber daya akibat proses penuaan (aging). Hasil dari penelitian oleh Freund dan Baltes (1998) menunjukkan bahwa seseorang dengan usia lanjut yang memakai strategi pengaturan hidup SOK mempunyai kepuasan yang tinggi terhadap pertambahan umurnya dan emosi yang positif, serta hilangnya rasa kesepian. Hal tersebut dapat terjadi karena penggunaan strategi SOK memungkinkan seseorang untuk menyesuaikan penggunaan dan pengalokasian sumber daya yang tersedia dalam mencapai suatu tujuan (Baltes, Baltes, Lang, & Freund, 1995).
Leave a Reply