PENDAHULUAN
Dunia telah mengalami polarisasi dari dua kekuatan sistem ekonomi, ditandai dengan adanya dua negara adidaya sebagai representasi dari dua sistem ekonomi tersebut, Amerika dan Sekutu Eropa Baratnya merupakan bagian kekuatan dari Sistem Ekonomi Kapitalis, sedangkan Sistem Ekonomi Sosialis diwakili oleh Uni Soviet dan Eropa Timur serta negara China dan Indochina seperti Vietnam dan Kamboja. Dua Sistem Ekonomi ini lahir dari dua muara Ideologi yang berbeda sehingga Persaingan dua Sistem Ekonomi tersebut, hakikatnya merupakan pertentangan dua ideologi politik dan pembangunan ekonomi. Posisi negara Muslim setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2 menjadi objek tarik menarik dua kekuatan ideologi tersebut, hal ini disebabkan tidak adanya Visi rekonstruksi pembangunan ekonomi yang dimiliki para pemimpin negara muslim dari sumber Islami orisinil pasca kemerdekaan sebagai akibat dari pengaruh penjajahan dan kolonialisme barat.
Dalam perjalanannya dua Sistem Ekonomi tersebut jatuh bangun, Sistem Kapitalis – yang berorientasi pada pasar – sempat hilang pamornya setelah terjadi Hyper Inflation di Eropa tahun 1923 dan masa resesi 1929 – 1933 di Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya. Sistem Kapitalis dianggap gagal dalam menciptakn kesejahteraan masyarakat dunia akibat dampak sistem yang di kembangkannya.
Momentum ini digunakan oleh Keynesian untuk menerapkan Sistem Ekonomi Alternatif yang telah berkembang ideologinya- dipelopori oleh Karl mark, sistem ini berupaya menghilangkan perbedaan pemodal dari kaum baruh dengan Sistem Ekonomi tersentral, dimana negara memiliki otoritas penuh dalam menjalankan roda perekonomian, tetapi dalam perjalanannya sistem ini pun tidak dapat mencarikan jalan keluar guna mensejahterakan masyarakat dunia sehingga pada akhir dasawarsa 1980-an dan awal dekade 1990-an hancurlah Sistem Ekonomi tersebut ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin dan terpecahnya Negara Uni Soviet menjadi beberapa bagian.
Awal tahun 1990-an dunia seakan hanya memiliki satu Sistem Ekonomi yaitu Ekonomi Orientasi Pasar dengan perangkat bunga sebagai penopang utama, negara-negara Sosialispun bergerak searah dengan trend yang ada sehingga muncullah istilah neososialis yang sesungguhnya adalah modifikasi Sistem Sosialis dan perubahannya kearah sistem “Mekanisme Pasar”.
Tetapi walaupun modifikasi Sistem Ekonomi Pasar dan Neososialis yang dijalankan pasca Perang Dunia ke-2 menuju kearah dualisme Sistem Ekonomi, tetap belum mampu untuk mencari solusi dari krisis dan problematika ekonomi dunia diantaranya inflasi, krisis moneter Internasional,Problematika Pangan, Problematika hutang negara berkembang dll. Disaat yang sama negara-negara dunia ketiga mengalami masalah keterbelakangan dan ketertinggalan dalam seluruh aspek, penyebab utamanya adalah negara tersebut memakai model pembangunan negara barat yang tidak selalu sesuai dengan kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik negara dunia ketiga hingga tidak akan pernah dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.[1] Bersama dengan problematik dunia tersebut, adanya suara nyaring untuk menemukan Sistem Ekonomi dunia baru yang dapat mensejahterakan masyarakat dunia atas dasar Keadilan,dan persamaan Hak.
Ekonomi Islam: Definisi dan Metodologi
Ilmu ekonomi islam dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka yang sesuai dengan maqashid tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan sehingga menimbulkan ketidak seimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan sosial dari masyarakat.
Dengan ruang lingkup analisis yang lebih luas dan tujuan yang lebih sulit, pluralisme metodologi nampak menjadi pilihan yang paling banyak dipilih para ekonom Islam, dengan lebih fokus pada makna dan tujuan.
Meskipun demikian, sejumlah langkah perlu diambil untuk menerima atau menolak suatu proposisi atau hipotesis tertentu, antara lain:
- Melihat apakah proposisi yang dikemukakan sesuai dengan inti atau struktur logis dari paradigma Islam?
- Mengevaluasi kebenaran logis dari proposisi melalui analisis rasional
- Menguji berbagai proposisi yang diturunkan, sejauh mungkin, terhadap catatan historis dan data statistik yang tersedia bagi masyarakat.
Maqashid Syariah
Menurut Imam Al Ghazali (w.505/1111), tujuan utama syariah Islam (maqashid syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama (dien), jiwa (nafs), akal (aqal), keturunan (nasl), dan kekayaan (maal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum (maslahah) dan dikehendaki.
- Urutan prioritas dalam maqashid ini secararadikal berbeda dari ekonomi konvensional
- Dalam ekonomi Islam, maqashid ini memiliki peran penting dalam alokasi dan distribusi sumber daya.
Keimanan memberi dampak signifikan terhadap hakikat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan material dan non material manusia beserta cara pemuasannya. Keimanan juga berfungsi sebagai filter moral yang akan mengontrol self-interest dalam batas-batas social-interest. Filter ini menyerang langsung pusat masalah dalam ekonomi konvensional yaitu klaim yang tidak terbatas terhadap sumber daya (unlimited wants) dengan cara mengubah perilaku manusia dan skala preferensinya agar selaras dengan tujuan-tujuan normatif. Sedangkan jiwa, akal, dan keturunan adalah kebutuhan moral, intelektual, dan psikologis manusia yang sangat penting. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini akan menciptakan pemenuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup manusia dan juga akan berpengaruh signifikan terhadap variabel-variabel akonomi yang penting, seperti konsumsi, tabungan dan infestasi, lapangan kerja dan produksi, serta distribusi pendapatan.
Imam Asy-Syatibi (w.790/1388) membagi maqashid kedalam tiga tingkatan, yaitu: dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Dharuriyat adalah landasan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang terletak pada pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan, yaitu keimanan, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Pengabaian terhadap maqashid dharuriyat ini akan menimbulkan kerusakan di muka bumi dan kerugian yang nyata di akhirat kelak.
Hajiyat adalah menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur kehidupan menjadi lebih baik.
Tahsiniyat adalah menyempurnakan lima unsur pokok kehidupan.
Ketiga tingkatan maqashid tersebut memiliki keterkaitan yang erat. Maqashid dharuriyat adalah dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Namun demikian, pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat adalah diperlukan demi memelihara maqashid dharuriyat secara tepat. Jika terjadi konflik atau pertentangan antar aktivitas dari tingkat yang berbeda, maka aktivitas maqashid yang lebih rendah harus dikesampingkan.
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Ekonomi Islam berbasis pada paradigma dimana keadilan ekonomi-sosial menjadi tujuan utama.[2] Paradigma keadilan ini berakar pada kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa, yang menciptakan langit dan bumi untuk kepentingan seluruh umat manusia. Semua sumber daya ekonomi pada hakikatnya adalah titipan dari sang pancipta yang penggunaanya harus dipertangguangjawabkan di akhirat nanti. Penekanan pada filter moral dalam alokasi dan distribusi sumber daya pada Ekonomi Islam tidak menafikan pentingnya peranan harga dan pasar. Filter moral adalah komplemen mekanisme pasar sehingga alokasi dan distribusi sumber daya dilakukan melalui dua lapis filter. Pemerintah dibebankan tugas untuk mengawasi dan memastikan bahwa alokasi dan distribusi sumber daya melalui mekanisme pasar terjadi secara efisien dengan mematuhi semua ketentuan moral sehingga akan mencapai tujuan-tujuan normatif. Tujuan ekonomi Islam diturunkan dari tujuan syariah Islam (maqashid syariah) itu sendiri yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, yang terletak pada perlindunga lima unsur pokok kehidupan manusia, yaitu: keimanan (dien), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan kekayaan (maal).
Lihat antara lain QS 4: 58, 135; QS 5: 8, 42; QS 6: 152; QS 7: 58; QS 10: 47; QS 11: 58; QS 16: 90; QS 38: 22, 26; QS 42: 15; QS 49: 9; QS 55: 7, 9; QS 57: 25; QS 60: 8.
Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi adalah sekumpulan institusi yang mengatur, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan perilaku ekonomi dari masyarakat. Sedangkan institusi adalah organisasi, praktek, konvensi, atau adat yang penting dan persisten dalam kehidupan masyarakat. Klasifikasi sistem ekonomi umumnya didasarkan pada bebrapa faktor, antara lain:
System of ownership > monarch, private, “socially”System of coordinationallocation > tradition, market, planned (command planning – indicative planning)System of incentives > coercive, material, moralSystem of objectives > freedom, welfare, equity, stability, environment protection, etc
Akan tetapi konstitusi Indonesia memiliki jawaban khas pada Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, Pasal 33 ayat 1-4 UUD 1945, dan Pasal 34 ayat 1-3 UUD 1945
Mispersepsi Terhadap Sistem Ekonomi Islam
Sebagian pihak masih sering memandang ekonomi Islam secara skeptis. Ekonomi Islam tampil tidak untuk mengentaskan berbagai permasalahan ekonomi kontemporer, namun dipandang lebih dimotivasi oleh isu politik dan kultural dalam konteks menolak infiltrasi pemikiran Barat dalam masyarakat Islam. Karena lebih bernuansa politis-kultural itulah, maka ekonomi Islam dianggap tidak memenuhi koherensi, presisi, dan realisme dari kaidah-kaidah ilmiah.[3]
Sejak awal kebangkitannya hingga kini, karakteristik fundamental ekonomi Islam hanyalah pelarangan riba, dan yang lainnya adalah zakat dan filter moral Islam untuk setiap pengambilan keputusan ekonomi. Karakteristik fundamental ekonomi Islam dianggap tidak realistik, kontradiktif, dan keliru yang bersumber dari dua kelemahan metodologis yaitu kegagalan mendervasikan hukum Tuhan pda kerangka ekonomi yang komprehensif dan keengganan melihat bukti-bukti sejarah.
Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam memiliki bentuk yang jelas dan utuh, dimana sistem berdiri diatas:
Fondasi: sistem finansial non-riba dan non-gharar, sistem moneter yang stabil berbasis emas-dinar, sistem fiskal berbasis zakat.
Pilar: sistem alokasi melelui mekanisme pasar dengan pengawasan pasar yang luas dan ketat (hisbah), dan sistem kepemilikan pribadi, wakaf dan kepemilikan bersama untuk barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Atap: sistem insentif moral dan material, dan sistem tujuan maqashid syariah
Fondasi Sistem
Sistem finansial non-riba, non-maysir dan non-gharar
Islam melarang riba namun tidak melarang laba sebagai hasil (return) untuk usaha wirausahawan dan modal finansial. Islam memiliki dua bentuk utama pengaturan finansila dari bisnis, yaitu mudharabah, dan musyarakah. Pada transksi dimana bagi-hasil tidak dapat diaplikasikan, bentuk pembiayaan lain dapat diterapkan seprti qard al-hasanah, ba’i mu’jal, ba’i salam, ijarah, dan murabahah.
Sistem moneter berbasis emas-dinar
Dalam Islam, sistem uang yang mendapat dukungan adalah sistem uang yang stabil dan non-inflatoir. Islam memberi keleluasaan yang luas untuk bentuk uang dan sistem pembayarannya, namun menekankan stabilitas dari nilai uang sebagai syarat utama.
Sistem fiskal berbasis zakat
Sistem finansial non-riba, non-maysir dan non-gharar Sistem moneter emas-dinar Sistem fiskal berbasis zakat
Zakat memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan sekaligus stabilisasi dalam perekonomian. Khums adalah seperlima bagian dari anfal (ghanimah) yang menjadi kekayaan publik. Hal ini diterangkan dalam (Q.S. 8:41)
??????????? ???????? ?????????? ???? ?????? ??????? ??????? ???????? ????????????? ??????? ?????????? ????????????? ??????????????? ??????? ?????????? ???? ???????? ?????????? ????????? ????? ??????????? ????? ????????? ?????? ???????????? ?????? ???????? ???????????? ????????? ????? ????? ?????? ???????
Artinya:
Ketahuilah, sasungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (muhammad) dihari furqan, yaitu dihari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al Anfal: 41)
Pilar Sistem
Sistem alokasi melalui mekanisme pasar dengan pengawasan yang luas dan ketat (hisbah)
Islam mengakui dan menghormati mekanisme pasar sebagai instrument utama dalam alokasi dan distribusi sumber daya, yang terjadi atas dasar kerelaan (Q.S. 4: 29). Namun kekuatan pasar ini harus melewati filter moral terlebih dahulu sehingga permintaan (demand) dan penawaran (supply) pasar yang terbentuk akan konsisten dengan pencapaian tujuan-tujuan normatif.
Lebih jauh lagi, pembentukan harga dan transaksi dalam pasar mendapat pengawasan ketat agar menghasilkan pasar yang bebas distorsi. Dalam Islam, fungsi ini dijalankan oleh institusi hisbah. Sistem kepemilikan pribadi, wakaf dan kepemilikan untuk barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Secara umum, Islam mengizinkan menerima dan menghormati kepemilikan oleh individu, namun tidak secara absolut. Untuk barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak (dharuri), Islam menetapkan adanya kepemilikan bersama. Dan dalam Islam, individu dapat memberikan hartanya untuk kepentingan sosial dan dikelola melalui usaha kolektif sukarela tanpa ada keterlibatan atau intervensi pemerintah (wakaf).
Atap Sistem
Sistem insentif moral dan material
Dorongan ekonomi dalam Islam harus berada dalam kerangka kepentingan sosial. Islam mendorong individu untuk mengejar kepentingan pribadi mereka didalam kerangka kepentingan sosial dimana terdapat konflik antara self-interest dan social-interest, dengan cara memberi perspektif jangka panjang bagi pribadi, menarik kepentingan pribadi melebihi jangka waktu dunia ke akhirat.Sistem tujuan maqashid syariah
Tujuan utama syariah Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan kekayaan. Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum (maslahah) dan dikehendaki.
Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah
Baru-baru ini, UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.
Pada pasal 49 point (i) disebutkan dengan jelas bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah”.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank Syari’ah, b. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, c. Asuransi Syari’ah, d. Reasuransi Syari’ah, e. Reksadana Syari’ah, f. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah, g. Sekuritas Syari’ah, h. Pembiayaan Syari’ah, i. Pegadaian Syari’ah, j. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah dan k. Bisnis Syari’ah
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.
Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), Kitab Undang-Undang Hukum Sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.
Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.
Urgensi Kodifikasi
Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang absolut hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syari’ah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita belum memilikinya.
Kedudukan KHI secara konstitusional, masih sangat lemah, karena keberadaannya hanyalah sebagai inpres. Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat yang dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum .
Untuk itulah kita perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam, sebagaimana yang dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang terdiri dari 1851 pasal.
Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau peraturan dibuat secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai macam peraturan perundang-undangan. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar mereka bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.
Berdasarkan dasar pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal dari fikih muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syariah, memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut.
Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syariah dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan berfariasinya putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian lahirnya Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi materi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia. Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya, keputusan hukum masa lampau itu difikihkan, karena dinilai sesuai dengan syariah.
Jadi pekerjaan para mujtahid ekonomi syariah Indonesia, bukan saja merumuskan hukum ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa memfikihkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah, maka materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk yurusprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi.
KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini dalam pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan fikih Muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain.
Selain itu, yurisprudensi putusan ekonomi syariah, mungkin juga bisa dicari dari penerapan hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling bagus adalah merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani yang disebut Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah” KUH Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini.
Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh. Disiplin ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia.
Secara teoritis penerapan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah ‘Political Will’ Penguasa, sebagaimana telah diterapkan pada Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat penting, mengingat IAEI adalah kumpulan para pakar ekonomi syariah Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.
Menjawab Keraguan Ekonomi Syariah
Semakin hari, kondisi bangsa ini semakin memprihatinkan. Hampir setiap tahun penduduk Indonesia senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan baik yang sifatnya force majeur maupun yang disebabkan ulah manusia sendiri seperti musibah gempa bumi, kebakaran-kebakaran yang sering terjadi hingga banjir yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia pada umumnya dan ibu kota pada khususnya. Tidak cukup dengan itu, masyarakat juga masih harus berhadapan dengan masalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok hingga kelangkaan bahan bakar minyak terutama minyak tanah yang semakin melengkapi penderitaan masyarakat.
Melihat permasalahan yang begitu complicated seperti di atas, penulis sangat yakin, dengan hanya mengandalkan peran pemerintah saja tidak akan bisa mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Untuk keluar dari jerat permasalahan ini, seluruh komponen bangsa, yaitu pemerintah dan rakyat harus bekerja sama dan saling memercayai satu sama lain.
Namun di sisi lain, pemerintah tampaknya belum cukup serius menjalin kerja sama dengan masyarakat terutama umat Islam dalam masalah perekonomian. Padahal, masyarakat muslim adalah mayoritas di negeri ini dan mencatat sejarah yang mengagumkan sekaligus mengharukan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tercatat dalam sejarah bahwa para pemuka umat Islam-lah yang sering memicu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syari’ah dalam konteks ke-Indonesia-an justru seringkali menghadapi ganjalan yang berasal dari bangsa sendiri.
Penentangan Rancangan Undang-Undang SBSN (Sukuk) dan Perbankan Syariah oleh salah satu fraksi di DPR, misalnya. Dengan alasan klise, yakni penerapan syariat agama tertentu yakni agama Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia, mereka seperti ketakutan bahwa Islam lambat laun akan menggantikan dasar negara Indonesia. Padahal, sejarah mencatat bahwa umat Islam Indonesia adalah umat berjiwa besar serta legowo yang karena alasan persatuan bangsa rela menerima penghapusan klausul pada sila pertama yang berbunyi “dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”
Penentangan dari bebrapa elemen pemerintah tersebut tak hanya melukai umat Islam, tetapi menghambat pertumbuhan perekonomian pada umumnya, dimana ekonomi syari’ah sedang menjadi alternatif utama, baik dunia maupun Indonesia untuk menggantikan ekonomi kapitalis yang menurut beberapa pendapat tengah berada diambang kehancuran.
Peran Nyata Ekonomi Syari’ah
Di antara peran ekonomi syariah yang harusnya menjadi bahan pertimbangan golongan yang melakukan penentangan terhadap kedua RUU tersebut adalah peran nyata ekonomi syariah serta instrumen ekonomi syariah dalam menjawab tantangan serta permasalan perekonomian. Praktik perbankan syariah yang adil, yang berbasis bagi hasil selain menguntungkan juga berhasil menggaet nasabah dengan indikasi pertumbuhannya yang sangat pesat. Selain itu, praktik sektor keuangan syariah senantiasa bersesuaian dengan sektor riil, yang pelaku utamanya adalah masyarakat menengah ke bawah. Makin besar porsi sektor keuangan syariah beroperasi makin besar pula sektor riil yang beroperasi sehingga tidak terjadi ketimpangan antara sektor riil dan sektor moneter serta makin sempitnya jurang pemisah si kaya dan si miskin. Dengan tumbuhnya sektor riil, pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan masyarakat secara lebih adil dam merata.[4]
Selain itu, sektor syari’ah yang tidak bisa dianggap remeh adalah peran sosial ekonomi syari’ah melalui instrumen-instrumennya, seperti zakat, infak/sedekah, dan wakaf. Melalui pengelolaan yang optimal, zakat, infak, dan wakaf berpotensi besar mengatasi berbagai permasalahan bangsa, baik ekonomi maupun sosial.
Berbeda dengan industri perbankan syariah sebagai unit bisnis, instrumen ekonomi syariah seperti zakat, infak/sedekah dan wakaf berperan besar dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Zakat dan infak/sedekah berperan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin. Peran tersebut sangat sesuai dengan cita-cita pemerintah yang diamanahkan Undang-Undang yang berbunyi; “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Sedangkan wakaf, memiliki peran yang besar dalam menunjang serta mendukung pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat. Melalui wujudnya yang biasanya berupa asset kekal, wakaf sangat sesuai untuk pembangunan sarana-sarana seperti rumah sakit, sekolah, perpustakaan dan sebagainya. Sebagai bukti akan peran wakaf yang memihak rakyat adalah apa yang dicontohkan oleh beberapa lembaga seperti Dompet Dhuafa dengan Lembaga Kesehatan Cumu-Cuma (rumah sakit bebas biaya bagi orang miskin) dan Sekolah Smart Ekselensia (sekolah bebas biaya). Sebelumnya, kita juga bisa melihat peran UII dan Pondok Modern Gontor dalam mengelola wakaf. Dan perlu diketahui, peran wakaf selain sarana ibadah, tidak hanya terbatas untuk umat Islam, akan tetapi bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dari agama manapun.
Melihat peran yang besar dari ekonomi syariah tersebut, sepatutnya-lah bagi pemerintah untuk memberikan perhatian serius. Perhatian tersebut bisa berupa dukungan penuh terhadap praktik ekonomi syariah, salah satunya dengan meyakinkan beberapa pihak yang menentang penerapan RUU yang berkaitan dengan ekonomi syariah bahwa ekonomi syariah tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam akan tetapi bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebisa mungkin pemerintah harus turut serta dalam mempercepat pemberlakuan UU tersebut. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk mendorong pertumbuhan serta perkembangan ekonomi syariah yang saat ini menjadi tuntutan masyarakat secara luas. Dalam hal zakat, upaya pemerintah yang bisa dilakukan adalah dengan memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan sebagaimana telah dicontohkan Negara Malaysia.[5]
Peran Lembaga Keuangan Syari’ah
Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan lembaga permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha kecil.
Indonesia misalnya, adalah negara berkembang yang jumlah pengusaha kecilnya mencapai 39.04 juta jiwa. Namun para pengusaha kecil tersebut tidak memiliki akses yang signifikan ke lembaga perbankan, sebagai lembaga permodalan. Lembaga-lembaga perbankan belum bisa menjangkau kebutuhan para pengusaha kecil, terutama di daerah dan pedesaan.
Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah pedesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta kebutuhan ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT (Baitul Maal wat Tamwil) dapat dihadirkan di daerah kabupaten kota dan bahkan di kecamatan dan perdesaan. Konsep BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah, merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) ditingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya ditingkat pemerintah (administrasi) terendah yaitu desa.
Dari data di lapangan harus diakui bahwa konsep BRI Unit Desa sudah mampu ‘menjangkau’ komunitas pedesaan, terutama untuk pelayanan penabungan (saving). Kampanye pemerintah agar rakyat menabung efektif dilaksanakan masyarakat perdesaan hampir dua dekade (1970-80’an). Namun kelemahan dari konsep pembangunan masa lalu adalah adalah terserapnya ‘tabungan masyarakat’ pedesaan ke ‘kota’ dan hanya sepertiga dana tabungan masyarakat yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaaan itu sendiri. Selebihnya lari ke kota dan digunakan oleh orang kota. Meskipun pada tahun 1992 terjadi peningkatan, namun masih jauh dari signifikan. Menurut data 1992, akumulasi tabungan masyarakat Desa di BRI Unit Desa sebesar Rp 21,8 trilyun, sedangkan kredit yang dikucurkan untuk masyarakat desa hanya Rp 9,9 triliun. Berarti masih cukup banyak dana desa yang diserap orang kota. Padahal seharusnya terjadi sebaliknya, dana orang kota digunakan orang desa.
Konsep BRI Unit Desa ini sebenarnya sudah bisa dijadikan semacam acuan untuk pengembangan daerah (desa), namun apakah BRI Unit Desa sudah dapat mengakses kelompok yang paling miskin di akar rumput? Mungkin secara teknis dan di atas kertas bisa saja. Namun jika dilihat dari karakteristik bisnis perbankan dan karakteristik peminjam, jawabannya tidak bisa. Maka dengan kekosongan pada pasar lembaga keuangan untuk tingkat paling miskin ini, institusi yang paling cocok adalah BMT.
Asumsi dan teori lama yang sudah menjadi mitos tentang lemahnya kapasitas usaha mikro dalam mengelola pinjaman, telah dipatahkan dengan keberhasilan performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia). Di Indonesia kepiawaian lembaga keuangan mikro telah terbukti pada masa krisis moneter sejak tahun 1997-2002. yang lalu. Keuangan mikro kini dianggap sebagai terobosan institusional untuk melayani pembiayaan masyarakat pedesaan maupun perkotaan para pengusaha mikro.
KESIMPULAN
Ilmu ekonomi islam dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka yang sesuai dengan maqashid tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan sehingga menimbulkan ketidak seimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan sosial dari masyarakat. Sistem ekonomi Islam memiliki bentuk yang jelas dan utuh, dimana sistem berdiri diatas: fondasi, pilar, dan atap sistem
Membahas mengengenai implementasi ekonomi Islam dalam era otonomi daerah, aktor-aktor daerah sangat berperan penting dalam pengembangan lembaga keuangan syari’ah seperti BMT. Sebab bagaimanapun juga, untuk memfasilitasi pengembangan keuangan mikro syariah tersebut, diperlukan suasana yang kondusif (enabling environment) dan political will yang kuat, misalnya dukungan peraturan-peraturan yang memfasilitasi pengembangannya maupun melindungi keuangan mikro itu sendiri, bukan malahan menghambat atau mematikannya. Tentu aturan merupakan satu faktor untuk pengembangan keuangan mikro, faktor lain adalah para pelaku maupun stakeholders yang terlibat di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an
UU No.3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama·
P. Todaro, Michael, Pembangunan Ekonomi, Jakarta: P.T. Bumi Aksara·
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Wakaf,
Mansur, Seluk Beluk Ekonomi Islam, Salatiga: STAIN Press Salatiga, 2009
Leave a Reply