HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Pengaruh Political Marketing Terhadap Keputusan Elektoral dan Skala Konflik Keputusan (sebuah pendekatan Structural Equation Modeling)

Perubahan Lanskap Politik dan Komunikasi Kampanye

Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi perubahan signifikan dalam cara kampanye politik dilakukan, baik di tingkat global maupun regional. Jika sebelumnya ideologi partai, orientasi kelas sosial, dan afiliasi politik menjadi faktor dominan dalam pilihan pemilih, kini hal tersebut semakin memudar. Pemilih cenderung menilai kandidat secara retrospektif berdasarkan kinerja ekonomi, atau melalui perbandingan rasional antar kandidat. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari politik berbasis ideologi menuju politik berbasis citra dan kinerja aktual.

Jasa Pembuatan Skripsi, Tesis, Disertasi

Jasa Pembuatan Skripsi, Tesis, Disertasi

Perubahan ini membawa konsekuensi bahwa strategi komunikasi dalam politik semakin menekankan aspek pemasaran politik. Kandidat diposisikan layaknya sebuah “produk” yang harus dijual ke publik, lengkap dengan branding, promosi, serta diferensiasi nilai. Media sosial, iklan politik, hingga interaksi langsung dengan pemilih menjadi instrumen penting dalam mengkonstruksi persepsi publik. Seiring meningkatnya intensitas penggunaan media digital, pemilih dibombardir oleh informasi yang sangat besar jumlahnya, yang tidak selalu sejalan antara realitas dan janji politik.

Fenomena ini menimbulkan dilema baru: apakah strategi pemasaran politik benar-benar membantu pemilih membuat keputusan yang rasional dan tepat, atau justru menambah kebingungan dan konflik batin dalam menentukan pilihan? Pertanyaan inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa penelitian tentang pengaruh pemasaran politik terhadap keputusan elektoral menjadi semakin relevan.

Fenomena Pemasaran Politik

Dalam konteks, dinamika pemasaran politik juga berkembang dengan cepat. Pemilih Peru cenderung mempertimbangkan berbagai aspek non-ideologis, seperti kepribadian kandidat, latar belakang pendidikan, tim teknis yang mendukungnya, serta citra publik yang ditampilkan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor emosional dan persepsi publik terhadap kandidat berperan besar dalam menentukan pilihan politik, terkadang bahkan lebih kuat daripada evaluasi terhadap kinerja pemerintahan sebelumnya.

Selain itu, lemahnya institusi partai politik di Peru membuat identifikasi pemilih terhadap partai menjadi rendah. Pemilih lebih mudah dipengaruhi oleh strategi pemasaran politik yang agresif, baik berupa iklan di media massa maupun kampanye digital. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi, kekecewaan publik terhadap pemerintah, serta polarisasi politik yang tajam. Situasi tersebut menjadikan pemilih berada dalam kondisi rentan terhadap manipulasi informasi politik.

Fenomena inilah yang mendorong kebutuhan untuk meneliti secara lebih komprehensif bagaimana pemasaran politik memengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih. Penelitian ini tidak hanya penting bagi konteks lokal, tetapi juga memberi kontribusi dalam memahami pola perilaku pemilih di negara-negara dengan sistem kepartaian yang lemah dan dominasi kampanye berbasis citra.

Kompleksitas Pengambilan Keputusan dan Konflik Elektoral

Pengambilan keputusan elektoral bukanlah proses yang sederhana. Selain faktor rasional, seperti menilai manfaat program kerja kandidat, terdapat pula faktor emosional, sosial, dan budaya yang memengaruhi perilaku pemilih. Pemilih tidak hanya mempertimbangkan janji politik, tetapi juga mengalami pengaruh dari keluarga, teman, media, serta identitas sosial yang mereka miliki. Kompleksitas ini sering kali menimbulkan konflik internal dalam diri pemilih, terutama ketika harus memilih di tengah informasi yang berlebihan dan seringkali kontradiktif.

Konflik keputusan ini semakin jelas dalam konteks politik Peru, terutama pada pemilu presiden tahun 2021 yang memperlihatkan polarisasi ekstrem antara dua kubu besar. Pemilih dihadapkan pada pilihan yang dianggap sama-sama sulit: satu sisi mewakili ideologi kiri yang populis, sementara sisi lain mewakili politik kanan yang pro-pasar. Kondisi ini menimbulkan disonansi kognitif, di mana pemilih merasa tidak sepenuhnya puas dengan pilihan yang ada, namun tetap harus mengambil keputusan.

Oleh karena itu, penelitian mengenai hubungan antara pemasaran politik, keputusan elektoral, dan konflik keputusan sangat penting. Dengan menggunakan pendekatan PLS-SEM, penelitian ini berupaya memberikan gambaran empiris mengenai bagaimana elemen-elemen pemasaran politik memengaruhi pilihan pemilih, serta sejauh mana keputusan tersebut memicu konflik batin atau ketidakpastian dalam menentukan sikap politik.

Teori Perilaku Pemilih (Theories of Electoral Behavior)

Grand theory yang melandasi penelitian ini adalah teori-teori besar dalam perilaku elektoral. Beberapa teori klasik seperti Michigan Model menekankan peran identifikasi partai sebagai determinan utama pilihan politik. Teori ini berangkat dari pandangan bahwa keterikatan emosional jangka panjang terhadap partai politik akan sangat memengaruhi perilaku memilih. Dalam konteks ini, pemilih dianggap tidak sepenuhnya rasional, melainkan dipengaruhi oleh loyalitas historis dan ikatan psikologis dengan partai tertentu.

Selain itu, terdapat pula teori pilihan rasional (rational choice theory) yang berasumsi bahwa pemilih bertindak layaknya konsumen yang menimbang biaya dan manfaat sebelum menjatuhkan pilihan. Pemilih akan cenderung memilih kandidat atau partai yang diyakini memberikan manfaat paling besar, baik secara individu maupun kolektif. Teori ini melihat perilaku memilih sebagai keputusan yang logis dan berbasis kalkulasi untung rugi, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian.

Di sisi lain, teori voting emosional menegaskan bahwa keputusan elektoral sering kali didorong oleh faktor afektif seperti emosi, harapan, dan ketakutan. Hal ini sangat relevan dalam konteks Peru yang sarat dengan ketidakpuasan publik terhadap pemerintah serta polarisasi politik yang tajam. Ketiga pendekatan grand theory ini – Michigan Model, rational choice, dan emotional voting – memberikan kerangka dasar untuk memahami perilaku pemilih yang kompleks.

Pemasaran Politik (Political Marketing Theory)

Middle theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pemasaran politik (political marketing theory). Teori ini meminjam kerangka marketing mix dari ilmu pemasaran bisnis, khususnya konsep 4P (Product, Price, Place, Promotion) yang kemudian diperluas menjadi 7P dengan menambahkan dimensi People, Physical Evidence, dan Process. Dalam konteks politik, kandidat dianggap sebagai “produk”, partai sebagai “merek”, dan pemilih sebagai “konsumen” yang membuat keputusan pembelian berupa pemberian suara.

Political marketing theory memandang kampanye sebagai upaya strategis untuk memengaruhi pemilih dengan menyusun citra, pesan, dan simbol politik yang relevan. Faktor-faktor seperti citra kandidat, janji kebijakan, biaya psikologis dari memilih, serta interaksi sosial menjadi elemen penting dalam membentuk preferensi pemilih. Dalam kerangka ini, pemasaran politik tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga membangun hubungan emosional dan identitas antara kandidat dengan pemilih.

Relevansi middle theory ini terlihat dalam bagaimana elemen pemasaran politik diuji dalam penelitian: produk, harga, promosi, bukti fisik, orang, dan proses terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan elektoral. Teori ini juga memungkinkan penelitian untuk menilai apakah strategi pemasaran tertentu justru memperbesar konflik keputusan yang dialami pemilih, terutama ketika pesan politik berlebihan atau kontradiktif.

Pendekatan Integratif – Marketing & Perilaku Politik

Selain grand theory dan middle theory yang berdiri sendiri, penelitian ini juga menggunakan pendekatan integratif yang menggabungkan teori pemasaran dengan teori perilaku politik. Model integratif seperti Integrated Political Marketing Model (Lees-Marchment, 2019) dan pendekatan Relationship Marketing dalam politik (Henneberg, 2012) menjadi rujukan. Teori-teori ini menekankan pentingnya komunikasi strategis, segmentasi pemilih, serta pembangunan relasi jangka panjang melalui media sosial dan strategi digital.

Pendekatan integratif ini memperlakukan pemilih bukan hanya sebagai objek pasif yang menerima pesan, tetapi juga sebagai aktor aktif yang menafsirkan informasi berdasarkan emosi, identitas, dan nilai-nilai pribadi. Oleh karena itu, keputusan elektoral dipahami sebagai hasil interaksi antara pesan pemasaran politik dengan kerangka psikologis dan sosial pemilih.

Integrasi ini juga memungkinkan penelitian menjelaskan fenomena konflik keputusan. Dengan menggunakan Decisional Conflict Scale (DCS), penelitian ini berupaya memahami bagaimana paparan berlebihan terhadap pemasaran politik justru menimbulkan ambiguitas dan kebingungan dalam diri pemilih. Teori ini memberi gambaran bahwa strategi pemasaran politik bisa efektif dalam memengaruhi keputusan, tetapi juga berpotensi memperparah ketidakpastian jika tidak dikelola dengan baik.

Kerangka Penelitian

Pengaruh Political Marketing Terhadap Keputusan Elektoral dan Skala Konflik Keputusan

Pengaruh Political Marketing Terhadap Keputusan Elektoral dan Skala Konflik Keputusan

Adapun Hipotesis Utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • H1: Pemasaran politik berpengaruh signifikan terhadap keputusan elektoral dalam kampanye.

  • H2: Pemasaran politik berpengaruh signifikan terhadap konflik pengambilan keputusan (Decisional Conflict Scale).

  • H3: Konstruk pemasaran politik (produk, harga, tempat, promosi, bukti fisik, orang, dan proses) berpengaruh signifikan terhadap keputusan elektoral.

  • H4: Konstruk pemasaran politik (produk, harga, tempat, promosi, bukti fisik, orang, dan proses) berpengaruh signifikan terhadap konflik keputusan.

  • H5: Keputusan elektoral dalam kampanye berpengaruh signifikan terhadap konflik keputusan.

 

  • Sampel: pemilih usia 18–69 tahun dari berbagai wilayah.

  • Metode: Non-probability convenience sampling dengan kuota berdasarkan wilayah, gender, dan usia untuk memastikan keberagaman responden.

 

Teknik Analisis Data

  • Jenis penelitian: Kuantitatif, non-eksperimental, desain potong lintang (cross-sectional).

  • Instrumen: Tiga kuesioner (pemasaran politik, keputusan elektoral, konflik keputusan).

  • Skala: Likert 5 poin.

  • Analisis:

    • Uji validitas & reliabilitas (Cronbach’s Alpha, Composite Reliability, AVE).

    • Analisis data menggunakan Partial Least Squares – Structural Equation Modeling (PLS-SEM) dengan software SmartPLS .

    • Bootstrapping dilakukan dengan 5000 subsampel untuk menguji signifikansi hipotesis