Latar Belakang
Peran vital UMKM dalam perekonomian Indonesia
UMKM merupakan tulang punggung ekonomi nasional dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) serta penyerapan tenaga kerja yang dominan. Keberadaan UMKM tidak hanya penting bagi pembangunan ekonomi, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dengan menciptakan lapangan kerja dan mendukung ekonomi lokal. Namun, dalam era transformasi digital, posisi UMKM sering kali berada di persimpangan: di satu sisi memiliki peluang pasar yang sangat luas, namun di sisi lain menghadapi tantangan untuk beradaptasi dengan cepat.
Transformasi digital belum merata
Meskipun pemerintah meluncurkan program Making Indonesia 4.0 dan mendorong digitalisasi UMKM melalui berbagai kebijakan serta insentif, adopsi teknologi digital di lapangan belum optimal. Data BPS mencatat hanya sekitar 63% UMKM yang sudah memanfaatkan teknologi digital untuk mendukung operasional. Banyak pelaku UMKM masih lebih nyaman dengan transaksi konvensional karena keterbatasan literasi digital, biaya implementasi, dan minimnya sumber daya manusia terampil. Akibatnya, meskipun banyak UMKM sudah “masuk platform”, hasil yang diperoleh belum signifikan dalam peningkatan kinerja.
Dinamika platform digital yang cepat berubah
Di Indonesia, ekosistem platform digital sangat dinamis. Sebelum pandemi, media sosial seperti Instagram dan Facebook menjadi kanal utama pemasaran UMKM. Saat pandemi COVID-19, marketplace seperti Shopee dan Tokopedia mendominasi. Kini, pasca-pandemi, muncul fenomena live-commerce seperti TikTok Shop yang menggabungkan sosial media dan e-commerce. Pergeseran cepat ini memaksa UMKM untuk terus beradaptasi. Banyak pelaku yang gagal mengikuti perubahan platform mengalami penurunan penjualan hingga gulung tikar. Hal ini menunjukkan pentingnya kapabilitas TI digital untuk mengintegrasikan, menyesuaikan, dan mengonfigurasi ulang alat digital sesuai perubahan pasar.
Kebutuhan kapabilitas inovasi sebagai pembeda
Selain kemampuan digital, UMKM juga dituntut untuk memiliki kapabilitas inovasi agar tidak terjebak dalam persaingan harga murah. Inovasi produk, kemasan, layanan, maupun model bisnis menjadi strategi diferensiasi yang memungkinkan UMKM bertahan dan tumbuh. Namun kenyataannya, banyak UMKM masih mengandalkan cara lama tanpa upaya inovasi yang terstruktur. Kondisi ini membuat mereka rentan kalah bersaing dengan pelaku usaha lain, baik dari dalam negeri maupun pemain global yang masuk melalui platform digital.
Kesenjangan riset di Indonesia
Penelitian di Indonesia selama ini lebih banyak menyoroti apa saja teknologi yang diadopsi UMKM, seperti e-commerce, mobile payment, atau media sosial. Namun, masih sedikit studi yang menjelaskan bagaimana kapabilitas internal—khususnya kapabilitas inovasi dan kapabilitas TI digital—berperan sebagai penghubung antara strategi bisnis dengan peningkatan kinerja. Padahal, di tengah cepatnya perubahan lanskap digital, pemahaman tentang peran kedua kapabilitas ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan UMKM.
Tinjauan Teori
Resource-Based View (RBV)
Teori Resource-Based View (RBV) dikembangkan oleh Wernerfelt (1984) dan Barney (1991) dengan asumsi bahwa keunggulan bersaing perusahaan tidak hanya bergantung pada kondisi eksternal, tetapi juga pada sumber daya internal yang dimiliki. Menurut RBV, sumber daya yang bernilai (valuable), langka (rare), sulit ditiru (inimitable), dan tidak tergantikan (non-substitutable)—yang dikenal dengan kriteria VRIN—dapat menciptakan keunggulan bersaing berkelanjutan. Dalam konteks UMKM di Indonesia, sumber daya internal tersebut bisa berupa keterampilan unik pemilik/manajer, jaringan sosial lokal, pengetahuan pasar tradisional, serta kemampuan adaptasi cepat terhadap perubahan. Dengan demikian, RBV memberikan kerangka teoritis bahwa strategi bisnis berbasis diferensiasi hanya dapat berhasil jika UMKM mampu mengoptimalkan sumber daya internalnya.
RBV menekankan bahwa strategi yang sukses tidak cukup hanya mengikuti tren eksternal atau meniru pesaing, tetapi harus berakar pada kekuatan internal yang khas. Pada UMKM Indonesia, misalnya, penggunaan motif budaya lokal pada produk fesyen, cita rasa otentik dalam kuliner, atau kerajinan tangan berbasis kearifan lokal, merupakan bentuk pengungkitan sumber daya unik yang tidak mudah ditiru. Namun, RBV juga mengingatkan bahwa kepemilikan sumber daya saja tidak menjamin keunggulan. Sumber daya tersebut harus dikombinasikan dan dikelola secara efektif untuk menjadi kapabilitas yang mampu menghasilkan kinerja.
Dalam penelitian ini, RBV dipakai untuk menjelaskan bagaimana strategi bisnis yang berbasis diferensiasi bisa meningkatkan kinerja UMKM jika ditopang oleh sumber daya internal yang relevan. Akan tetapi, penelitian juga menunjukkan bahwa sumber daya tradisional UMKM sering kali tidak cukup dalam menghadapi perubahan digital yang cepat. Oleh karena itu, RBV dipadukan dengan teori lain (Dynamic Capability Theory) untuk melengkapi penjelasan, karena adaptasi dan re-konfigurasi sumber daya menjadi kunci dalam era digitalisasi yang dinamis.
Dynamic Capability Theory (DCT)
Dynamic Capability Theory (DCT) pertama kali diperkenalkan oleh Teece, Pisano, & Shuen (1997) sebagai pengembangan dari RBV. DCT menyoroti bahwa keunggulan bersaing tidak hanya bergantung pada kepemilikan sumber daya, tetapi juga pada kemampuan organisasi untuk sense (merasakan peluang dan ancaman), seize (menangkap peluang), dan transform (mentransformasi serta merekonfigurasi sumber daya). Dalam konteks UMKM Indonesia, DCT menjelaskan mengapa sekadar memiliki akun e-commerce atau media sosial tidak cukup. UMKM dituntut mampu merasakan tren baru (misalnya peralihan ke TikTok Shop), mengambil peluang melalui strategi pemasaran digital, dan mengubah cara kerja internal agar sesuai dengan tuntutan teknologi baru.
DCT lebih menekankan pada kapabilitas daripada sekadar resource stock. Kapabilitas inovasi, misalnya, membuat UMKM mampu menciptakan produk baru atau memodifikasi layanan sesuai perubahan selera konsumen. Sementara itu, kapabilitas TI digital memungkinkan UMKM untuk mengintegrasikan sistem pembayaran online, memanfaatkan data pelanggan untuk analitik, serta menyesuaikan operasi ketika platform dominan berubah. Hal ini penting di Indonesia, di mana dinamika platform digital sangat cepat dan setiap gelombang perubahan membawa pola kompetisi yang berbeda.
Penelitian ini menggunakan DCT untuk menjelaskan mekanisme mediasi: bagaimana strategi bisnis berdiferensiasi dapat diterjemahkan menjadi kinerja melalui kapabilitas inovasi dan kapabilitas TI digital. Dengan kata lain, DCT berfungsi sebagai jembatan antara RBV yang menekankan pentingnya sumber daya internal dengan kondisi riil UMKM di lapangan yang menghadapi dinamika digital. Integrasi RBV dan DCT ini memberikan penjelasan lebih komprehensif—bahwa sumber daya memang penting, tetapi kapabilitas adaptasi yang dinamis jauh lebih menentukan dalam memastikan strategi benar-benar menghasilkan kinerja yang berkelanjutan.
Kerangka Penelitian

Pengaruh Strategi Bisnis terhadap Kinerja UMKM dengan Kapabilitas Inovasi dan Kapabilitas TI digital sebagai Variabel Mediasi
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka RBV dan DCT, serta model konseptual yang diuji, hipotesis yang diajukan adalah:
-
H1: Strategi bisnis berpengaruh positif terhadap kinerja UMKM.
-
H2: Strategi bisnis berpengaruh positif terhadap kapabilitas inovasi.
-
H3: Strategi bisnis berpengaruh positif terhadap kapabilitas TI digital.
-
H4: Kapabilitas inovasi berpengaruh positif terhadap kinerja UMKM.
-
H5: Kapabilitas TI digital berpengaruh positif terhadap kinerja UMKM.
-
H6: Kapabilitas inovasi memediasi hubungan antara strategi bisnis dengan kinerja UMKM.
-
H7: Kapabilitas TI digital memediasi hubungan antara strategi bisnis dengan kinerja UMKM.
Metode Penelitian
Teknik Pengambilan Sampel
-
Populasi: Pemilik/manajer UMKM di Indonesia.
-
Kriteria inklusi:
-
UMKM sudah pernah/aktif menggunakan teknologi digital (media sosial, e-commerce, pembayaran digital).
-
Usaha sudah beroperasi minimal 1 tahun.
-
Responden terlibat dalam pengambilan keputusan strategis.
-
-
Metode sampling: Purposive sampling (non-probability).
-
Jumlah sampel aktual: 257 responden valid (setelah seleksi dari 402 kuesioner, 287 respon, 30 dieliminasi karena tidak lengkap/straight-lining).
-
Distribusi responden: Mayoritas berada di Jawa (44%), sektor dominan makanan & minuman (32%) dan fesyen (23%).
-
Alasan ukuran sampel: Sesuai rekomendasi Hair dkk. (2014) untuk SEM-PLS (?10 kali jumlah jalur struktural terbanyak), juga sesuai rentang 160–300 responden yang dianjurkan Memon dkk. (2020) untuk analisis multivariat.
Teknik Analisis Data
-
Metode utama: Structural Equation Modeling – Partial Least Squares (SEM-PLS) berbasis varians.
-
Alasan penggunaan:
-
Cocok untuk model dengan variabel laten dan hubungan mediasi.
-
Tidak membutuhkan asumsi normalitas multivariat yang ketat.
-
Lebih sesuai untuk sampel menengah (200–300).
-
-
Tahapan analisis:
-
Uji kualitas data:
-
Uji common method bias (VIF < 3.3).
-
Uji non-response bias (early vs late respondents).
-
-
Measurement model (outer model):
-
Validitas konvergen (loading >0.70; AVE >0.50).
-
Reliabilitas (Cronbach’s Alpha >0.70; Composite Reliability >0.80).
-
Validitas diskriminan (Fornell-Larcker, HTMT <0.90).
-
-
Structural model (inner model):
-
Koefisien determinasi (R²).
-
Nilai f² (efek kecil, sedang, besar).
-
Signifikansi jalur (?, t-value, p-value, CI 95%).
-
Uji mediasi (perbandingan efek langsung vs tidak langsung).
-
-
Goodness of Fit:
-
SRMR = 0.062 (baik), NFI = 0.814 (cukup baik untuk model eksploratori).
-
-






![Pengaruh Teknologi (X1), Organisasi (X2) dan Lingkungan terhadap Kinerja Organisasi Berkelanjutan dengan Digital Transformation dan Sustainable Innovation Capability sebagai Mediasi [1]](https://idtesis.com/wp-content/uploads/Pengaruh-Teknologi-X1-Organisasi-X2-dan-Lingkungan-terhadap-Kinerja-Organisasi-Berkelanjutan-dengan-Digital-Transformation-dan-Sustainable-Innovation-Capability-sebagai-Mediasi-1-60x60_c.jpg)








