Latar Belakang Masalah
Transformasi Digital masih dipahami sebagai proyek teknologi, bukan perubahan kapabilitas. Banyak organisasi di Indonesia—dari BUMN, korporasi keluarga, hingga startup—menyamakan transformasi digital (DT) dengan belanja aplikasi, cloud, atau AI. Praktiknya, implementasi berhenti pada adopsi alat tanpa penyelarasan strategi digital–keterampilan–proses bisnis, sehingga dampak pada produk/jasa tidak berkelanjutan. Akibatnya, proyek jadi “technology-led” alih-alih “business-led”, dan gagal mendorong inovasi produk yang nyata.
Keragaman budaya organisasi memengaruhi kecepatan dan kualitas DT. Ekosistem Indonesia memperlihatkan kombinasi budaya adhokrasi, klan, pasar, dan hierarki dalam satu perusahaan: BUMN dan instansi cenderung hierarkis, perusahaan keluarga kuat pada kultur klan, startup lebih adhokratis, dan unit komersial berorientasi pasar. Tanpa desain budaya yang selaras dengan agenda DT, organisasi kesulitan melakukan sensing–seizing–transforming (dynamic capabilities) secara efektif. Ini menjelaskan mengapa inisiatif digital sering mandek pada pilot, sulit di-scale, atau tidak menetes ke kinerja produk.
Kesenjangan keterampilan digital dan silo organisasi masih lebar. Permintaan akan talenta data/produk/AI tumbuh lebih cepat daripada suplai, sementara program upskilling internal belum merata di luar sektor teknologi. Di banyak perusahaan, strategi digital berada di kantor pusat, tetapi eksekusi terfragmentasi di fungsi/fili—marketing, operasi, dan IT berjalan silo. Kesenjangan ini menurunkan kapabilitas transformasi digital (strategi jelas, skill memadai, dan penggunaan teknologi yang terintegrasi).
Pasar Indonesia menuntut “kebermaknaan”, bukan sekadar kebaruan. Konsumen dan pelaku B2B lokal sangat peka pada kemudahan, relevansi lokal, harga terjangkau, kepercayaan, dan layanan purna jual. Banyak produk digital “baru” gagal retensi karena tidak cukup bermakna bagi konteks penggunaan di Indonesia—misalnya antarmuka tidak ramah, proses pembayaran/logistik tidak sesuai, atau tidak terintegrasi dengan ekosistem mitra. Ini menegaskan bahwa dalam inovasi produk, meaningfulness sering lebih menentukan kinerja daripada novelty semata.
Kompleksitas regulasi dan disparitas infrastruktur menambah tantangan. Kepatuhan data, keamanan, serta integrasi dengan sistem eksternal (perbankan, logistik, pemerintah) menuntut proses yang rapi dan budaya yang mendukung koordinasi lintas fungsi. Di saat yang sama, disparitas literasi digital dan infrastruktur antarwilayah membuat desain produk perlu mengakomodasi konektivitas bervariasi dan kesederhanaan proses. Organisasi yang hanya mengejar teknologi baru tanpa menguatkan proses, people, dan budaya sulit mencapai dampak DT yang merata.
Landasan Teori
Dynamic Capabilities Theory
Teori Dynamic Capabilities (DC) menjadi dasar utama penelitian ini. DC menjelaskan kemampuan organisasi untuk sensing (mengidentifikasi peluang dan ancaman), seizing (memanfaatkan peluang melalui strategi), dan transforming (mengkonfigurasi ulang sumber daya) dalam menghadapi perubahan lingkungan. Dalam konteks transformasi digital, DC memandang teknologi digital bukan sekadar alat, tetapi sebagai katalis yang harus diintegrasikan dengan strategi dan keterampilan agar menghasilkan perubahan organisasi yang berkelanjutan.
DT di Indonesia seringkali terjebak dalam pendekatan teknosentris, yakni sekadar mengadopsi aplikasi baru tanpa memperhatikan bagaimana teknologi tersebut dihubungkan dengan strategi bisnis dan pengembangan keterampilan SDM. DC theory memberi kerangka untuk memahami mengapa banyak proyek DT gagal—karena organisasi tidak memiliki kemampuan sensing, seizing, dan transforming yang seimbang. Dengan kata lain, DC menekankan bahwa keunggulan kompetitif di era digital bukan hanya soal memiliki teknologi, melainkan soal bagaimana mengkombinasikan teknologi dengan strategi dan kapabilitas organisasi.
Relevansi DC bagi perusahaan di Indonesia semakin besar ketika pasar menuntut produk yang meaningful, bukan sekadar novel. Untuk menghasilkan inovasi produk yang bermakna, perusahaan harus mampu sensing kebutuhan lokal, seizing peluang teknologi untuk menjawab kebutuhan itu, dan transforming proses bisnis agar selaras. Dengan kerangka DC, penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan DT tidak bisa dipisahkan dari kemampuan dinamis organisasi dalam mengorkestrasi strategi, keterampilan, dan teknologi digital secara simultan.
Competing Values Framework (CVF)
Sebagai teori tingkat menengah, penelitian ini menggunakan kerangka Competing Values Framework (CVF) untuk menganalisis budaya organisasi. CVF membagi budaya menjadi empat tipe: adhokrasi, klan, pasar, dan hierarki. Masing-masing tipe memiliki karakteristik berbeda—adhokrasi menekankan inovasi dan fleksibilitas; klan fokus pada kolaborasi; pasar pada kompetisi dan hasil; sementara hierarki pada stabilitas dan kontrol. CVF relevan digunakan karena mampu menjelaskan bagaimana keempat tipe budaya ini dapat mempengaruhi kapabilitas transformasi digital organisasi.
Dalam konteks Indonesia, variasi budaya organisasi ini tampak jelas. Perusahaan rintisan cenderung adhokratis, BUMN lebih hierarkis, perusahaan keluarga berakar pada klan, sementara sektor retail dan teknologi digital lebih berorientasi pasar. CVF membantu memetakan bagaimana kombinasi budaya tersebut berinteraksi dalam mendukung atau menghambat proses DT. Misalnya, kultur adhokrasi lebih cepat dalam adopsi teknologi baru, sedangkan kultur hierarki bisa menghambat inovasi bila terlalu birokratis, namun berguna untuk menjaga konsistensi implementasi.
Kerangka CVF menegaskan bahwa organisasi jarang memiliki satu jenis budaya yang dominan saja, melainkan kombinasi dari beberapa tipe. Oleh karena itu, penelitian ini penting karena menyoroti bahwa keberhasilan DT di Indonesia membutuhkan dominant culture yang inovatif (adhokrasi), didukung oleh budaya lain yang menjaga keseimbangan (klan untuk kolaborasi, pasar untuk orientasi hasil, hierarki untuk kontrol). Dengan pendekatan CVF, penelitian ini memberi pemahaman lebih mendalam tentang peran spesifik masing-masing budaya organisasi dalam memperkuat kapabilitas transformasi digital.
Innovation Theory (Product Newness & Meaningfulness)
Selain DC dan CVF, penelitian ini juga berlandaskan pada teori inovasi produk, khususnya dimensi newness (kebaruan) dan meaningfulness (kebermaknaan). Teori ini menjelaskan bahwa keberhasilan inovasi produk tidak hanya bergantung pada seberapa baru sebuah produk, tetapi juga seberapa relevan dan berguna produk tersebut bagi pelanggan. Dalam konteks pasar Indonesia, kebermaknaan memiliki bobot lebih besar karena konsumen sering menilai produk digital dari sisi kegunaan praktis, kepercayaan, dan harga yang sesuai daya beli.
Integrasi teori inovasi produk dengan konsep DT menghasilkan pemahaman bahwa transformasi digital yang efektif harus mampu menghubungkan teknologi dengan nilai tambah nyata bagi pelanggan. Perusahaan tidak cukup hanya meluncurkan produk “baru”, tetapi harus memastikan bahwa produk tersebut memberi solusi yang sesuai kebutuhan pasar lokal, seperti integrasi pembayaran digital, layanan purna jual, atau aksesibilitas di daerah dengan infrastruktur terbatas.
Dengan menempatkan kebaruan dan kebermaknaan sebagai mediator, penelitian ini menegaskan bahwa kapabilitas transformasi digital yang kuat berkontribusi pada inovasi produk yang sukses. Produk yang baru sekaligus bermakna akan meningkatkan kinerja pasar, memperkuat loyalitas pelanggan, dan membangun daya saing jangka panjang. Teori inovasi produk ini melengkapi kerangka DC dan CVF, sehingga memberi landasan yang lebih komprehensif dalam menjelaskan hubungan antara budaya organisasi, transformasi digital, dan hasil inovasi produk.

Metode Penelitian
Hipotesis Penelitian
H1 – Budaya organisasi Kemampuan Transformasi Digital (DTC)
-
H1a: Budaya adhokrasi berpengaruh positif terhadap DTC.
-
H1b: Budaya klan berpengaruh positif terhadap DTC.
-
H1c: Budaya pasar berpengaruh positif terhadap DTC.
-
H1d: Budaya hierarki berpengaruh positif terhadap DTC.
(dengan urutan pengaruh menurun: adhokrasi > klan > pasar > hierarki)
H2 – Kemampuan transformasi digital ? Kinerja produk baru
-
DTC berpengaruh positif terhadap kinerja produk baru.
H3 – Mediasi kebermaknaan produk baru
-
Kebermaknaan produk baru memediasi secara positif hubungan antara DTC dan kinerja produk baru.
H4 – Mediasi kebaruan produk baru
-
Kebaruan produk baru memediasi secara positif hubungan antara DTC dan kinerja produk baru.

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kemampuan Transformasi Digital dan Dampaknya pada Inovasi Produk di Indonesia
Teknik Pengambilan Sampel
-
Jenis sampel: Nonprobability sampling dengan pendekatan purposive sampling.
-
Responden kunci: Manajer menengah dan senior (middle & senior managers) yang memiliki pengalaman dalam transformasi digital dan pengembangan produk baru.
-
Jumlah responden: 250, dianggap sudah memenuhi syarat minimum menurut aturan Hair et al. (untuk model dengan R² minimum 0,15 dan jumlah panah terbanyak = 4).
-
Konteks asli penelitian: Data dikumpulkan di Amerika Serikat.
Teknik Analisis Data
-
Metode utama: PLS-SEM (Partial Least Squares Structural Equation Modeling) menggunakan software SmartPLS 4.
-
Alasan pemilihan:
-
Model penelitian kompleks (ada konstruk reflektif dan formatif).
-
Cocok untuk theory building dan hubungan baru.
-
Memungkinkan analisis mediation (partial mediation).
-
-
Tahapan analisis:
-
Evaluasi outer model : validitas & reliabilitas (CR, AVE, HTMT, VIF).
-
Evaluasi inner model : R², Q², predictive relevance, koefisien jalur (?), dan bootstrapping 5000 sampel untuk uji signifikansi.
-
Uji mediasi : indirect effect melalui kebaruan & kebermaknaan.
-






![Pengaruh Teknologi (X1), Organisasi (X2) dan Lingkungan terhadap Kinerja Organisasi Berkelanjutan dengan Digital Transformation dan Sustainable Innovation Capability sebagai Mediasi [1]](https://idtesis.com/wp-content/uploads/Pengaruh-Teknologi-X1-Organisasi-X2-dan-Lingkungan-terhadap-Kinerja-Organisasi-Berkelanjutan-dengan-Digital-Transformation-dan-Sustainable-Innovation-Capability-sebagai-Mediasi-1-60x60_c.jpg)








