HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Tesis Reformasi Pelayanan Perizinan di Kabupaten Purworejo (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Pelaksanaan Reformasi Pelayanan Perizinan Melalui Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (One Stop Service) di Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan Kabupaten Purworejo)

Tesis Reformasi Pelayanan Perizinan – Judul : Studi Deskriptif Kualitatif tentang Pelaksanaan Reformasi Pelayanan Perizinan Melalui Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (One Stop Service) di Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan Kabupaten Purworejo)

 

 

Abstrak – Pelayanan perizinan terpadu satu pintu (OSS) adalah sistem pelayanan di mana proses pengelolaan dimulai dari tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan dokumen izin dilakukan secara terpadu dalam satu tempat. OSS merupakan upaya Pemkab Purworejo dalam memperbaiki sistem pelayanan di bidang perizinan setelah sebelumnya menerapankan sistem pelayanan terpadu satu atap (UPTSA) yang dinilai masih belum mampu memberikan kemudahan dan kepastian pelayanan kepada masyarakat pemohon izin.

Penelitian ini menggambarkan tentang pelaksanaan reformasi pelayanan perizinan di KPAP Kabupaten Purworejo dalam pemberian pelayanan sesuai standar pelayanan (SPM), serta melihat berbagai hambatan yang timbul dalam pelaksanaan OSS.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian diuji validitasnya dengan menggunakan teknik triangulasi data. Selanjutnya analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam sistem pelayanan dengan dilaksanakannya OSS, sehingga mekanisme perizinan menjadi lebih sederhana. Sumber daya manusia di KPAP diambil dari instansi sebelumnya berdasarkan kemampuannya menangani perizinan. Kultur pelayanan yang ditanamkan adalah memandang masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani tanpa diskriminasi. Selain itu, adanya mekanisme “voice” memperlihatkan partisipasi masyarakat untuk menilai baik buruknya pelayanan yang telah diberikan dan dapat dijadikan pembelajaran oleh KPAP. Penerapan SPM di KPAP digunakan sebagai dasar pelayanan kepada masyarakat, meliputi: dasar hukum, persyaratan, prosedur, waktu penyelesaian, dan biaya. Dalam pelaksanaan OSS masih dijumpai hambatan mulai dari keterbatasan dana, sarana prasarana, kemampuan pegawai yang belum optimal, maupun masih rendahnya kesadaran masyarakat mengurus izin.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan reformasi pelayanan perizinan di KPAP Kabupaten Purworejo yang dilakukan melalui sistem pelayanan terpadu satu pintu dapat dikatakan telah memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengurus perizinan. Hal ini diperkuat dengan penerapan SPM sebagai jaminan dan kepastian pelayanan sehingga dapat tercipta pelayanan yang mudah, cepat, dan transparan. Meskipun masih terdapat hambatan dalam pelaksanaannya. Adapun saran untuk sosialisasi dengan format baru dapat dilaksanakan.

 

A. Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintahsejak tahun 2001 telah membawa banyak perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah perubahan pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Melalui otonomi, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki kewenangan mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Proses kebijakan menjadi lebih responsif dan partisipatif karena kendali dari proses kebijakan dan alokasi anggaran sepenuhnya ada di tangan Pemda.

Berbagai perubahan dalam bidang pelayanan publik telah berlangsung di era reformasi dan otonomi meskipun tidak sebaik yang diharapkan. Namun efisiensi dan efektivitas pelayanan telah menunjukkan sedikit peningkatan, baik dalam hal perizinan, pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih, dan pelayanan publik lainnya. Dari hasil survei yang dilakukan UGM pada tahun 2002, diketahui bahwa :

Dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan, namun secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah.” (www.lan.go.id)

Pemda harus menyadari bahwa hakekat pemberian otonomi adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat di sini sebagai pihak yang ingin memperoleh pelayanan yang baik dan memuaskan. Pelayanan yang didambakan oleh masyarakat harus mencakup ciri-ciri :

  1. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadang kala dibuat-buat.
  2. Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa gerutu, sindiran, atau untaian kata lain untuk dinas atau alasan untuk kesejahteraan.
  3. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib dan tanpa pandang bulu.
  4. Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena sesuatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan, sehingga orang tidak menunggu sesuatu yang tidak menentu. (H.A.S. Moenir, 2006 : 41)

Meskipun telah terjadi pergeseran sistem dari sentralistik ke desentralistik yang memungkinkan kualitas pelayanan publik meningkat, namun hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perizinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli) yang merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia.

Beberapa masalah lain yang sering menjadi keluhan pelanggan terkait pelayanan publik oleh aparat, di antaranya dapat disebutkan:

  1. Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin.
  2. Mencari berbagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih-dalih lain yang sejenis.
  3. Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain.
  4. Senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang diproses”
  5. Sulit dihubungi. (Lijan Poltak Sinambela, 2007:36).

Berdasarkan masalah di atas dapat dikatakan bahwa prosedur perizinan masih kental dengan nuansa birokratisnya. Banyak energi dan biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk mengurus berbagai perizinan. Waktu menunggu yang cukup lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati, gaya pelayanan pegawai yang diskriminatif dan tidak berorientasi pelanggan, adanya oknum yang menjadi calo atau pembebanan biaya untuk pengurusan hal tertentu ( baik legal cost maupun ilegal cost), semuanya terasa amat menghambat produktivitas masyarakat. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya serta pengelolaan pelayanan dengan sikap menjadi pelayan yang melayani dan bukannya dilayani. Ini mengidentifikasi para birokrat dan pegawai pemerintah masih belum mengalami perubahan mendasar dan belum mengubah konsep pikir mereka tentang paradigma pelayanan.

Upaya Pemda meningkatkan pelayanan sebenarnya telah sering dilakukan lewat kegiatan orientasi manajemen kinerja pelayanan bagi para staf dinas atau unit kerja instansi terkait dalam bentuk pelatihan, diskusi, atau seminar. Namun, upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah tersebut tampaknya belum optimal. Keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik pun tidak berkurang karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya.

 

 

Kegagalan birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang menghargai hak dan martabat warga negara sebagai pengguna pelayanan tidak hanya melemahkan legitimasi pemerintah di mata publik. Namun, hal itu juga berdampak pada hal yang lebih luas, yaitu ketidakpercayaan pihak swasta dan pihak asing untuk menanamkan investasinya di suatu daerah karena ketidakpastian dalam pemberikan pelayanan publik. Efek negatifnya tentu saja adalah pada ketidakmampuan daerah untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) apabila investasi tidak jadi dilakukan oleh suatu instansi yang merasa tidak mendapat iklim berinvestasi yang baik.
Laporan-laporan The Asia Foundation menunjukkan bahwa masih banyak kebijakan yang bermasalah dalam bidang perizinan. Temuan-temuan dari laporan tersebut meliputi:

  1. Prosedur perizinan yang kompleks menghambat pendirian, formalisasi, dan ekspansi perusahaan baru di Indonesia. Begitu bertele-telenya prosedur birokratik ini menyebabkan hampir 80% sektor swasta dalam negeri masih bersifat informal dan tidak terdaftar. Reformasi perizinanpun menjadi suatu bidang yang dapat memicu perkembangan usaha dengan cepat.
  2. Sebagian besar Pusat Pelayanan Perizinan Terpadu di kabupaten/kota belum mencapai potensi maksimal mereka. Studi yang dilakukan The Asia Foundation menunjukkan bahwa banyak dari pusat pelayanan terpadu tersebut sejauh ini belum memangkas waktu maupun mengurangi persyaratan-persyaratan perizinan. Namun terdapat cakupan kinerja yang sangat luas, di mana pusat-pusat pelayanan terpadu terbaik menunjukkan peningkatan yang besar dalam pemberian layanan mereka.
  3. Peningkatan kinerja pusat-pusat pelayanan perizinan terpadu di Indonesia memerlukan reformasi di tingkat daerah maupun pusat. Pemerintah daerah perlu mengurangi perhatian pada bentuk kelembagaan dan lebih memfokuskan untuk memastikan agar pusat-pusat pelayanan perizinan terpadu memiliki kewenangan yang mereka perlukan. Pemerintah pusat perlu menyederhanakan perizinan dengan menjadikan pendaftaran usaha sebagai langkah pertama dan bukan yang terakhir dalam proses perizinan usaha secara umum, serta menghapuskan perizinan-perizinan yang tidak perlu atau yang berlebihan. (www.google.com)

Atas dasar kondisi tersebut dan untuk menjawab tantangan zaman yang bergerak ke arah globalisasi, maka perlu dilakukan suatu reformasi pelayanan perizinan. Oleh karena itu, langkah awal yang dilakukan pemerintah adalah dengan pembentukan dan pengembangan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di seluruh kabupaten atau kota di Indonesia untuk menyederhanakan proses perizinan usaha, mengurangi biaya, dan menggabungkan persyaratan-persyaratan perizinan usaha. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi bahwa:

”Sistem pelayanan terpadu merupakan langkah strategis untuk menjadi langkah awal meningkatkan pelayanan pemerintah secara keseluruhan dan mendorong kinerja birokrasi pemerintah”. (dalam Majalah Tempo, tanggal 3 Agustus 2007)

Dasar hukum pelayanan terpadu awalnya diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kepmen PAN) Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yang merupakan pengganti dari Kepmen PAN Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.

Keberhasilan penerapan sistem pelayanan terpadu satu pintu atau One Stop Service (OSS) dapat dilihat salah satunya saat Kabupaten Kudus meraih KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) Award 2004 berskala nasional untuk kategori kabupaten yang berhasil meningkatkan peringkat daya tarik investasinya. Kabupaten ini berhasil mendapatkan gelar the most progressive dan mengalahkan kabupaten lainnya. PAD Kabupaten Kudus meningkat setelah melaksanakan OSS. Tahun 2003 sebelum OSS dana masuk Rp 571.833.700 (24,6%), setelah OSS naik menjadi Rp 1.737.509.450 (75,2%). Sementara jumlah perizinan sebelum pelaksanaan OSS 2.218 izin, setelah OSS sebanyak 3.565 izin. Bupati Kudus, Ir. H. Tamzil mengatakan:

“Setelah menerapkan OSS perubahan dalam pengurusan perizinan sangat terasa. Penghargaan ini merupakan penghargaan bagi seluruh aparat yang telah sadar meningkatkan kinerjanya dan telah memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya untuk investasi. Para pemilik modal yang akan berinvestasi akan memperoleh pelayanan yang cepat, tepat, dan nyaman.” (Suara Merdeka, Jumat, 25 Februari 2005)

Hal serupa juga dapat dilihat di Kabupaten Wonosobo dalam dua tahun terakhir setelah melaksanakan OSS. SK atau perizinan yang dikeluarkan Dinas Pelayanan Terpadu (Disyandu) Wonosobo mengalami lonjakan tajam. PAD yang diperoleh pun meningkat. Pada tahun 2003, SK perizinan yang dikeluarkan 627 buah dengan PAD Rp 572,8 juta. Tahun 2004, SK perizinan yang dikeluarkan melonjak lebih dari 100%. SK perizinan yang dikeluarkan mencapai 1.446 buah, sedangkan SK dengan pemasukan PAD Rp 987 juta. (Suara Merdeka, Rabu, 23 Februari 2005)

Tag : Ringkasan Tesis Reformasi Pelayanan Perizinan

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?