HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Hubungan Bilateral RI-Timor Timur Pasca Kemerdekaan Timor Timur

ABSTRAK

Persoalan Timor Timur sejak berintegrasi sampai berpisah dengan NKRI melalui jajak pendapat yang diselenggarakan oleh UNAMET selalu menjadi fokus internasional. Banyak pihak luar yang melakukan intervensi dan campur tangan dalam persoalan ini sehingga memperlemah Politik Luar Negeri RI. Setelah Timor Timur merdeka dan berdaulat, maka penting bagi Pemerintah RI untuk membina hubungan bilateral dan kerjasama yang baik dengan negara tersebut untuk memperbaiki posisi dan citranya yang buruk di forum internasional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Hubungan bilateral antara RI-Timor Timur pasca kemerdekaan Timor Timur,2) Kebijakan politik luar negeri RI dalam membina hubungan bilateral dengan Timor Timur, 3) Permasalahan yang dihadapi oleh RI dalam membina hubungan bilateral dengan Timor Timur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi dokumen/arsip, studi pustaka, dan wawancara. Data yang di dapatkan dikritik, baik secara intern maupun ekstern sehingga menghasilkan fakta-fakta sejarah. Fakta sejarah tersebut kemudian di interpretasikan dan di susun dalam sebuah historiografi. Integrasi Timor Timur ke dalam NKRI sejak awal tidak diakui oleh PBB dan Portugal serta ditolak oleh Fretilin. Hal ini secara tidak langsung mendorong keinginan rakyat Timor Timur untuk berpisah dari NKRI. Selain itu juga juga didorong oleh banyaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer dan “ketidakadilan” yang mereka rasakan. Keinginan mereka untuk berpisah dari NKRI semakin kuat setelah Presiden B.J.Habibie pada tanggal 27 Januari 1999 mengeluarkan Keputusan secara mendadak tentang Opsi II untuk menyelesaikan persoalan Timor Timur dengan jajak pendapat menyusul Opsi I tanggal 9 Juni 1998. Hasil Jajak Pendapat yang diumumkan oleh PBB tanggal 4 September 1999 menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur menolak tawaran status khusus dengan otonomi luas dan lebih memilih untuk berpisah.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data dapat diperoleh kesimpulan: 1) Pemerintah RI berusaha membina hubungan bilateral dan kerjasama yang baik dengan Pemerintah Timor Timur, menghormati kemerdekaan dan kedaulatan negara tersebut, dan berusaha bersikap forget and forgive atas semua peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu; 2) Hubungan yang dibina dengan Timor Timur sama halnya dengan yang dilakukan oleh Pemerintah RI terhadap negara-negara lain, berdasarkan pada Politik Luar Negeri Bebas Aktif; 3) Dalam usaha membina hubungan dan kerjasama yang baik, terdapat beberapa masalah yang merupakan sisa masalah atau residual matter masa lalu, yaitu tentang aset Pemerintah RI di Timor Timur, batas wilayah, dan pengungsi. Banyak usaha yang telah dilakukan oleh Pemerintah RI untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, antara lain dengan melakukan registrasi dan repatriasi para pengungsi, menanamkan modal, serta menetapkan batas wilayah antara kedua negara bertetangga dengan melibatkan pemangku adat yang tinggal diperbatasan kedua negara.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan Politik luar negeri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam berbagai event bilateral, regional, dan multilateral, khususnya sebelum terjadi krisis multidimensional dipandang oleh banyak negara telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan stabilitas regional dan internasional. Akan tetapi keberhasilan-keberhasilan tersebut ternyata tidak membebaskan Indonesia sepenuhnya dari tekanan-tekanan masyarakat internasional khususnya dalam isu-isu yang masih mengalami banyak kendala dalam penanganannya didalam negeri, seperti : masalah Timor Timur, Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, lingkungan hidup, dan lain-lain1.

Timor Timur meskipun relatif singkat berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi telah menorehkan sejarah yang tidak sedikit bagi sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Daerah dengan luas sekitar 14.989.375 Km2 ini adalah daerah yang tandus dan sebagian besar dari wilayahnya berupa pegunungan yang tidak vulkanis. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah berladang (shifting cultivation), yaitu bercocok tanam secara tradisional atau bahkan masih primitif dan berpindah-pindah dari hutan yang satu kehutan yang lain2.

Proses sejarah yang panjang dan sering diwarnai dengan pertentangan antar partai yang berkuasa dialami oleh rakyat Timor Timur sebelum menetapkan kesepakatan untuk berintegrasi dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Partai Apodeti, Fretilin, KOTA, Trabalhista, dan UDT sering berbeda pendapat mengenai kelangsungan hidup rakyat dan bangsa Timor Timur selanjutnya. Keempat partai (Apodeti, KOTA, Trabalhista, dan UDT) pada akhirnya berkoalisi dan menghendaki bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun pada awalnya partai UDT menentang rencana dan usulan untuk berintegrasi dengan NKRI. Adapun Fretilin dari awal menentang usulan tersebut dan sebagai puncaknya pada tanggal 28 November 1975 partai ini berhasil mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan (Declaration of Independence).

Berawal dari Proklamasi Kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Fretilin, maka keempat partai lainnya terdorong untuk melakukan suatu tindakan. Tepat pada tanggal 30 November 1975, keempat pemimpin partai atas nama rakyat Timor Timur menyatukan kehendak dan hasrat mereka untuk bersatu dan menjadi bagian dari negara Indonesia. Peristiwa itu dilakukan di Balibo sehingga dikenal dengan “Deklarasi Balibo”. Sebagai tindak-lanjut dari peristiwa itu maka kemudian dibentuk Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) dengan sebuah deklarasi pada tanggal 17 Desember 1975 yang ditandatangani oleh keempat pemimpin partai tersebut. Dengan adanya Proklamasi atau deklarasi Balibo yang kemudian diikuti dengan deklarasi PSTT itu maka secara defacto dan dejure Pemerintah Portugal sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi atas Timor Timur.

Keinginan rakyat Timor Timur untuk berintegrasi dengan Indonesia yang kuat menjadi pendorong bagi dikeluarkannya Petisi Rakyat Timor Timur tanggal 31 Mei 1976. Adapun isi dari Petisi tersebut adalah : “Mendesak kepada pemerintah RI agar dalam waktu sesingkat-singkatnya menerima dan mengesahkan integrasi rakyat serta wilayah Timor Timur ke Negara Kesatuan Republik Indonesia sepenuhnya tanpa referendum”3. Petisi tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden dan diterima oleh Presiden Soeharto pada tanggal 17 Juni 1976. Atas petisi tersebut maka Presiden kemudian menindaklanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Presiden RI No.113/LN tahun 1976 yang diikuti dengan dibentuknya Delegasi Pemerintah RI ke Timor Timur. Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1976 wilayah Timor Timur secara resmi dan sah berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi Propinsi yang ke-27. Hal ini diperkuat dengan UU No.7 tahun 1976 dan Tap MPR No.VI/MPR/1978.

Keinginan rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya dengan berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya apabila kita kaji adalah tidak bertentangan dengan Piagam Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) yang dideklarasikan PBB pada tahun 1948 dan sesuai dengan konstitusi negara Indonesia4 meskipun sejak awal hal itu tidak diakui secara sah oleh PBB.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, integrasi Timor Timur ke Negara Kesatuan RI tidak menguntungkan Indonesia karena seperti telah dijelaskan didepan bahwa wilayah Timor Timur berupa pegunungan dan merupakan daerah yang miskin, tandus, penduduknya terbelakang dan bodoh dibandingkan dengan penduduk daerah lain (khususnya Jawa). Akan tetapi bagaimanapun keadaan Timor Timur pada saat itu Pemerintah Republik Indonesia menerima secara terbuka keinginan rakyat Timor Timur untuk berintegrasi dengan Indonesia. Penerimaan itu tentunya dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang mendasari. Pertama adalah bahwa dari perspektif sejarah ada persaman nasib antara keduanya sebagai bangsa yang terjajah dan tertindas. Alasan kedua adalah dilihat dari segi geografis letak keduanya saling berdekatan, bahkan ada bagianwilayah Timor Timur yang masuk kedalam wilayah Indonesia di Propinsi NusaTenggara Timur (NTT), ketiga dan merupakan alasan utama adalah dari segi politis untuk memperluas wilayahnya.

Sangat disayangkan bahwa kembalinya “si anak hilang” kepangkuan ibunya hanya berlangsung dalam waktu yang singkat (23 tahun). Pada masa Pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999) yang singkat sebagai pengganti penguasa Orde Baru ( Soeharto ), cakrawala baru bagi penyelesaian kasus Timor Timur semakin terbuka. Usaha dan keinginan rakyat Timor Timur untuk merdeka mendapatkan tanggapan positif dari Pemerintah (dalam hal ini adalah Habibie). 4 Sesuai dengan alinea pertama pembukaan UUD 1945. Dalam masa pemerintahan yang singkat itu, Habibie melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas menawarkan dua pilihan atau Opsi bagi rakyat Timor Timur pada tanggal 27 januari 1999. Opsi pertama adalah pemberian status khusus dengan otonomi luas sebagai penyelesaian akhir persoalan Timor Timur. Opsi kedua adalah jika Opsi pertama tersebut gagal dan ditolak oleh rakyat Timor Timur, maka pemerintah Indonesia akan memerintahkan para wakil rakyat hasil pemilu 1999 untuk mempertimbangkan kemungkinan pelepasan Timor Timur melalui Sidang Umum MPR 1999.

Dua Opsi yang ditawarkan oleh pemerintah Habibie tersebut merupakan kebijakan yang tidak terduga dan sangat mengejutkan, baik bagi masyarakat domestik maupun internasional. Ditingkat lokal Timor Timur, keluarnya Opsi dari pemerintah tersebut disambut secara antusias oleh kelompok pro-kemerdekaan yang sering disebut sebagai kelompok pro-referendum atau anti-integrasi karena kebijakan tersebut membuka peluang bagi terwujudnya suatu Timor Leste yang merdeka, berdaulat, dan terlepas dari kekuasaan Indonesia ataupun Portugal. Bagi rakyat pro-integrasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya Opsi kedua dirasa sangat mengecewakan dan merupakan langkah yang terburu-buru. Akan tetapi dalam suatu Jajak Pendapat yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur lebih memillih Opsi kedua yang ditawarkan oleh pemerintah sehingga terbentuk negara Timor Timur merdeka sampai sekarang.

Proses integrasi Timor Timur ke Indonesia sebenarnya membawa dilema bagi Pemerintah Republik Indonesia. Pada satu sisi Pemerintah Republik Indonesia menyambut baik dan menerima keinginan rakyat Timor Timur untuk bergabung dengan NKRI, tetapi pada sisi lainnya Pemerintah Republik Indonesia mendapat sikap tidak bersahabat dan kecaman dari dunia internasional. Kecaman keras dan kritik pedas dilontarkan oleh Portugal. Bahkan atas peristiwa tersebut pemerintah Portugal membekukan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Republik Indonesia secara sepihak pada tanggal 7 Desember 1975. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tidak pernah mengakui secara sah integrasi Timor Timur ke Indonesia itu. Mereka beranggapan bahwa proses integrasi itu dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan paksaan dan menggunakan cara kekerasan serta banyak melakukan pelanggaran HAM. Disamping itu Indonesia dinilai memiliki tujuan tertentu dalam usaha pencaplokan wilayah Timor Timur sehingga dapat membahayakan proses perdamaian dunia. Menanggapi kecurigaan dan kecaman dari internasional itu, Pemerintah Republik Indonesia berusaha melakukan pendekatan-pendekatan secara personal dengan negara yang menentang keputusan Indonesia atas Timor Timur, bahkan usaha diplomasi juga dilakukan oleh Indonesia di forum internasional dalam Sidang Umum PBB sejak tahun 1976. Akan tetapi karena kelemahan dan kegagalan diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui wakil-wakilnya di forum internasional, serta perkembangan global yang menyoroti masalah HAM, demokratisasi, dan kemanusiaan menyebabkan banyak pihak luar yang melakukan tekanan dan ikut campur dalam persoalan Timor Timur. Hal ini antara lain yang ikut mendorong lepasnya Timor Timur dari NKRI, disamping karena konflik danperang saudara yang berkepanjangan di Timor Timur.

Pasca Timor Timur berpisah dari NKRI melalui Jajak Pendapat yang diselenggarakan oleh UNAMET (30 Agustus 1999) dan resmi merdeka (20 Mei 2002), Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional berkepentingan untuk membina hubungan bilateral dengan Timor Timur. Sesuai dengan perkembangan zaman, hubungan bilateral tidak hanya berfokus pada bidang formal tetapi juga dalam bidang non formal, seperti bidang ekonomi, perdagangan, kemanusiaan, dan sosial. Oleh karena itu kedua negara tidak dapat mengesampingkan sejarah yang terjadi pada masa lalu.

Kemerdekaan Timor Timur meninggalkan permasalahan bagi Pemerintah Republik Indonesia yang memerlukan penyelesaian secara serius karena hal ini berpengaruh terhadap hubungan antara kedua negara di masa depan. Permasalahan-permasalahan yang muncul antara lain adalah mengenai pengungsi, status kewarganegaraan, batas wilayah, dan aset Pemerintah RI di Timor Timur. Sampai saat ini banyak pengungsi yang berasal dari bekas Propinsi Timor Timur yang masih bertahan dalam kamp-kamp pengungsian di wilayah perbatasan antara Timor Timur dan Timor Barat. Keberadaan mereka menjadi beban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang bersangkutan disamping menjadi masalah bagi Pemerintah Pusat.

Alasan penulis tertarik untuk mempelajari dan mengkaji masalah Timor Timur didasari pada keinginan untuk melihat sejauh mana masalah Timor Timur yang pernah berintegrasi dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mempengaruhi hubungan bilateral antara kedua negara karena secara defacto Timor Timur sudah melepaskan diri dari negara Indonesia pada tahun 1999 dan menjadi negara merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Secara khusus masalah Timor Timur menarik untuk dikaji dengan beberapa alasan sebagai berikut : pertama, setelah Timor Timur dinyatakan secara resmi telah berintegrasi dengan Indonesia, masalah ini lebih banyak menjadi sorotan negara luar dan dunia internasional dibanding oleh masyarakat dalam negeri sendiri. Masalah ini lebih dikarenakan adanya suara-suara sumbang dan kecaman-kecaman didalam menanggapi masalah tersebut. Kedua, masalah ini juga tergolong masalah internasional karena masalah tersebut cukup menyita perhatian Pemerintah Indonesia dengan waktu yang relatif panjang serta masih ditambah dengan Portugal sebagai bekas penjajah atau penguasa memasukkan persoalan Timor Timur kedalam suatu agenda PBB untuk dapat diperdebatkan sebagai masalah dekolonisasi.

Alasan lain yang mendorong penulis untuk mengkaji permasalahan ini adalah karena studi berkaitan dengan hubungan bilateral antara Pemerintah RITimor Timur Pasca Kemerdekaan Timor Timur belum ada yang meneliti, sehingga skripsi ini merupakan suatu karya asli. Disamping itu, banyak studi penelitian sejarah yang ditulis oleh sejarawan lebih cenderung mengkaji permasalahan sosial, ekonomi, politik, budaya ataupun religi masyarakat Jawa atau bersifat Java Centris. Bertolak dari hal-hal tersebut diatas maka studi ini mencoba untuk lebih menggali masalah Timor Timur dari aspek historis yang berhubungan dengan peristiwa kemerdekaan dan lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia serta hubungan bilateral antara kedua negara pasca kemerdekaan Timor Timur.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?