HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Tesis S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara (UNTAR)

  1. Kedudukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Mkdki) Dan Konsil Kedokteran Indonesia (Kki) Dalam Penegakan Disiplin Kedokteran Di Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 298k/Tun/2012)
  2. Kebijakan Kriminal Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Tindak Pidana Penambangan Tanpa Izin Di Indonesia
  3. Tinjauan Terhadap Kasus Pencabulan Anak Dibawah Umur (Pedofilia) Sesama Jenis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 (Studi Putusan 90/Pid.Sus/2016/Pn Bms)
  4. Penegakan Hukum Tindak Pidana Insubordinasi Dalam Militer (Studi Kasus Putusan Pm Nomor: 94-K/Pm.Iii- 12/Ad/Vi/2015)
  5. Efektivitas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 9/ Pojk.04/2015 Tahun 2015 Tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement Bagi Lembaga Jasa Keuangan (Studi Kasus Transaksi Repo Saham Benny Tjokrosaputro Tahun 2016)
  6. Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara (Minerba) Di Kabupaten Pandeglang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
  7. Kedudukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Mkdki) Dan Konsil Kedokteran Indonesia (Kki) Dalam Penegakan Disiplin Kedokteran Di Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor: 298k/Tun/2012)
  8. Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Pejabat Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961 (Contoh Kasus Penyerangan Duta Besar Rusia Di Turki)
  9. Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Pejabat Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961 (Contoh Kasus Penyerangan Duta Besar Rusia Di Turki)
  10. Tanggung Jawab Hukum Terhadap Pemberi Informasi Palsu Yang Mengancam Keselamtan Penerbangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
  11. Kebijakan Kriminal Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Tindak Pidana Penambangan Tanpa Izin Di Indonesia

Kedudukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Mkdki) Dan Konsil Kedokteran Indonesia (Kki) Dalam Penegakan Disiplin Kedokteran Di Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 298k/Tun/2012)

Kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia dan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Pemerintah sebagai pengelola Republik Indonesia, berkewajiban melindungi dan menjamin hak atas perawatan kesehatan bagi semua warga negara tanpa kecuali. Salah satunya melalui pemberian layanan dari menteri kesehatan oleh dokter. Sebagai elemen kunci dalam administrasi praktik medis, maka pentingnya peran dokter dan sering mengarah pada anggapan bahwa dokter adalah “Dewa” yang tidak pernah melakukan kesalahan / pelanggaran dalam tindakan medis. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, maka mulai mengorganisir praktik medis ke era baru. Ini diikuti oleh pembentukan Dewan Displinery Medis Indonesia (IMDB) dan Dewan Medis Indonesia (INAMC) sebagai badan / lembaga pengawas yang menyelenggarakan praktik medis di Indonesia. Namun sejauh ini, posisi kedua institusi masih memunculkan masalah hukum. Salah satunya dalam hal disiplin oleh IMDB sering menjadi tidak produktif karena kendala dari INAMC. Bahkan terkadang disiplin yang dilakukan oleh IMDB bahkan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini menyebabkan disiplin kedokteran digantung tanpa kepastian. Ketika dinyatakan dengan jelas bahwa penegakan disiplin medis yang dilakukan oleh IMDB bersifat final dan mengikat para pihak. Tetapi fakta menunjukkan bahwa IMDB tidak berdaya untuk menegakkan disiplin medis dari mandatnya.

 

Kebijakan Kriminal Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Tindak Pidana Penambangan Tanpa Izin Di Indonesia

PETI merupakan salah satu jenis tindak pidana yang marak terjadi, mengancam keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup. Dengan perkataan lain, tindak pidana tersebut mendatangkan bahaya bagi lingkungan hidup beserta unsur-unsur di dalamnya (ruang, benda, daya, keadaan, dan makluk hidup). Mempertimbangkan hal tersebut, dan sejalan dengan konsensus global penanggulangan PETI harus ditempuh melalui kebijakan kriminal yang memadukan antara kebijakan non-penal dan penal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kebijakan non-penal dan penal yang dapat digunakan untuk mencegah dan menanggulangi PETI. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal. Hasil penelitian menunjukan kebijakan non-penal berorientasi mengatasi sebab-sebab munculnya PETI, antara lain melalui reformasi kesadaran hukum, penciptaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan keterampilan masyarakat, dan meningkatkan fungsi pengawasan pemerintah. Sementara itu, kebijakan penal dilakukan dengan berorientasi pada usaha menanggulangi PETI dengan mengandalkan sanksi pidana. Sehingga rekomendasi yang diajukan adalah PETI harus ditanggulangi dengan sarana non-penal dan penal.

Tinjauan Terhadap Kasus Pencabulan Anak Dibawah Umur (Pedofilia) Sesama Jenis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 (Studi Putusan 90/Pid.Sus/2016/Pn Bms)

Anak-anak adalah manusia yang memiliki kemampuan fisik dan mental yang dianggap lebih lemah untuk mengatasi berbagai risiko dan bahaya yang mereka hadapi dan secara otomatis masih bergantung pada pihak lain, terutama anggota keluarga, tetapi sampai sekarang penganiayaan dalam masalah seksual masih menghantui anak-anak, terutama pedofil. Salah satu kasus yang terjadi adalah kasus penganiayaan anak sesama jenis yang dilakukan oleh laki-laki dengan inisial BM, terhadap beberapa anak laki-laki di bawah umur, yang karena tindakannya Hakim Pengadilan Negeri Banyumas menetapkan hukuman pidana 17 (tujuh belas) tahun. Namun dalam kasus ini, vonis yang dijatuhkan masih jauh dari kata maksimal dan tidak berdampak pada pelaku. Jadi, bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pedofil sesama jenis dalam putusan 90 / Pid.Sus / 2016 / Pn. Bms sesuai dengan peraturan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Berdasarkan penelitian beberapa ahli dan penelitian mengenai peraturan terkait, mengenai keputusan itu, sebenarnya cukup bagus, tetapi dianggap kurang optimal mengingat pedofil memiliki gangguan kejiwaan, sehingga diperlukan rehabilitasi psikologis dan hukuman harus diperburuk. sehingga tidak ada lagi korban lain untuk kasus serupa. Lebih baik, di masa depan, hakim dalam menentukan keputusan dapat mempertimbangkan dari semua aspek, terutama dari segi korban, dan aspek psikologis dari pelaku, sehingga di masa depan kasus pelecehan anak dapat dikurangi jumlahnya.

Penegakan Hukum Tindak Pidana Insubordinasi Dalam Militer (Studi Kasus Putusan Pm Nomor: 94-K/PM.III- 12/AD/VI/2015)

Pembangkangan adalah tindakan kriminal terhadap atasan yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI, selama masa jabatan jam atau di luar jam kantor dengan syarat atasan mendapat perintah resmi untuk melaksanakannya tugas atau mewakili unit perusahaan. Kejahatan pembangkangan adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan militer, karena dianggap telah melanggar Sapta Marga dan sumpah prajurit yang adalah dasar dari pola kepribadian sebagai prajurit TNI. Dalam penelitian ini, ada beberapa masalah, pertama tentang apa itu kejahatan pembangkangan, dan yang kedua adalah bagaimana penegakan hukum dan hakim pertimbangan dalam memutuskan kasus pembangkangan. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menemukan bahwa penegakan hukum prajurit TNI melakukan tindak pidana pembangkangan sama dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana lainnya dilakukan oleh anggota militer, yang membedakannya adalah kekuatan pengadilan dalam hal penuntutan di tingkat pertama, jika terdakwa adalah Kapten turun untuk diadili melalui Militer Pengadilan. Sementara itu, para terdakwa dengan pangkat Mayor dan di atas diadili melalui High Pengadilan Militer. Pertimbangan hakim dalam memutuskan kasus pembangkangan ini dipandu oleh Pasal 103 hingga 109 KUHP Militer Indonesia, serta bukti yang terkumpul di dalam persidangan, di samping itu, ketelitian, kehati-hatian, dan kebijaksanaan hakim juga sangat diprioritaskan, untuk hindari membuat kesalahan dalam keputusan.

Efektivitas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 9/ Pojk.04/2015 Tahun 2015 Tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement Bagi Lembaga Jasa Keuangan (Studi Kasus Transaksi Repo Saham Benny Tjokrosaputro Tahun 2016)

Efektivitas adalah situasi yang menunjukkan bagaimana pencapaian sesuatu dengan waktu dan hasil yang baik. Efektivitas peraturan pemerintah berarti bahwa regulator telah berhasil mengimplementasikan dan menerapkan peraturan tersebut di masyarakat. Efektivitas peraturan pemerintah juga terlihat dari apakah tujuan dari peraturan tersebut cukup atau tidak. Otoritas Jasa Keuangan telah membuat Peraturan Transaksi Perjanjian Pembelian Kembali pada tahun 2015, yang dikenal sebagai Jasa Keuangan Peraturan Otoritas No. 9 / POJK.04 / 2015 Tentang Pedoman Perjanjian Pembelian Kembali Transaksi untuk Lembaga Jasa Keuangan. Transaksi Perjanjian Pembelian Kembali yang selanjutnya disebut untuk sebagai Transaksi Repo adalah kontrak penjualan atau pembelian Efek dengan komitmen untuk menjual atau membeli mereka kembali pada waktu dan harga yang ditentukan. Transaksi Repo adalah salah satu transaksi di Indonesia Pasar modal. Transaksi Repo pada dasarnya adalah jenis transaksi yang dapat dianggap sebagai penjualan dan membeli Efek, tetapi sebenarnya Transaksi Repo tidak sama dengan menjual dan membeli Efek di Indonesia umum. Perbedaan antara Transaksi Repo dan menjual dan membeli Efek juga terlihat pada efeknya dari Transaksi Repo itu sendiri, masing-masing Transaksi Repo akan mengakibatkan perubahan kepemilikan Efek. Terjadi perselisihan di tahun 2016 terkait Transaksi Repo antara Benny Tjokrosaputro dan seorang Bank Investasi Goldman Sachs International, dalam tuduhannya Benny menentang transaksi tersebut antara Goldman dan Platinum melakukan tindakan ilegal dari Transaksi Repo, dan itu merupakan perbuatan melawan hukum. ini diharapkan peraturan ini dapat memberikan perlindungan dan legal standing terkait dengan Transaksi Repo di Indonesia Indonesia.

Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara (Minerba) Di Kabupaten Pandeglang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Otoritas Bangsa dipegang oleh Pemerintah. Kewenangan itu terbagi menjadi beberapa wilayah di Indonesia. Wilayah-wilayah itu dibagi berdasarkan pasal 18, Bab (1) UUD 1945, menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap provinsi dibagi menjadi wilayah dan kota, yang di setiap provinsi, Kabupaten, dan Kota memiliki peraturan sendiri yang telah ditetapkan. lanjutan diatur pada Pasal 18 Bab (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap pemerintah yang ditunjuk di setiap provinsi, kabupaten, dan kota memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola pemerintahan mereka sendiri sesuai dengan tugas otonomi dan tugas penolong. Hal ini memiliki hubungan yang erat dengan tujuan bangsa untuk melindungi, untuk makmur dan untuk terlibat dalam tatanan dunia. Dan untuk alasan itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dibuat yang menyatakan tentang lebih jelas tentang distribusi tenaga pemerintahan yang dipegang oleh negara. Tetapi tentang eksploitasi sumber daya alam yang melimpah, terutama di sektor pertambangan, tindakan 4 – 2009 dibuat untuk mengatur operasi pertambangan mineral dan batubara. Dalam UU 4- 2009 mengatur provinsi, kabupaten, dan kota yurisdiksi pemerintah untuk membuat surat perintah untuk operasi pertambangan. Namun dalam praktiknya sering muncul isu tentang yurisdiksi antara provinsi, kabupaten, dan pemerintah kota. Yang pada waktunya, tindakan 32-2004 diganti dengan tindakan 23 – 2014. Penulisan tesis ini akan membahas situasi ini dalam informasi lebih lanjut tentang pelaksanaan dalam pemberian lisensi untuk dan kendala yang dihadapi semua yang ada dalam penerbitan bisnis lisensi setelah berlakunya tambang negara dalam tindakan solidaritas 23 – 2014 yang terbaru. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif yang merupakan metode deskriptif dan penulis juga menggunakan pendekatan tindakan.

Kedudukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Mkdki) Dan Konsil Kedokteran Indonesia (Kki) Dalam Penegakan Disiplin Kedokteran Di Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor: 298k/Tun/2012)

 

Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Pejabat Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961 (Contoh Kasus Penyerangan Duta Besar Rusia Di Turki)

Pembentukan hubungan diplomatik bertujuan untuk memperkuat hubungan antar negara. Pembentukan hubungan diplomatik didasarkan pada kesepakatan bersama antara dua negara. Setelah persetujuan tercapai, setiap negara bagian dapat mengirim anggota misi. Fungsi anggota misi adalah untuk mewakili negara pengirim, untuk melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya, untuk bernegosiasi, memastikan dengan segala cara yang sah kondisi dan perkembangan di Negara penerima, dan untuk mempromosikan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima. Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik memberikan kekebalan dan hak istimewa kepada anggota misi dalam menjalankan fungsi diplomatik. Kekebalan dan hak istimewa semacam itu diberikan bukan untuk keuntungan pribadi, itu diberikan untuk memfasilitasi anggota misi dalam melakukan fungsi diplomatik. Salah satu bentuk kekebalan adalah Inviolability. Tidak dapat diganggu gugat anggota misi diatur oleh Pasal 29 Konvensi Wina 1961. Pasal 29 menyatakan bahwa negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah serangan terhadap anggota misi. Tetapi jika negara penerima gagal melindungi anggota misi, apakah ada konsekuensi hukum dan tanggung jawab negara? Penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi tesis.

Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Pejabat Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961 (Contoh Kasus Penyerangan Duta Besar Rusia Di Turki)

Pembentukan hubungan diplomatik bertujuan untuk memperkuat hubungan antar negara. Pembentukan hubungan diplomatik didasarkan pada kesepakatan bersama antara dua negara. Setelah persetujuan tercapai, setiap negara bagian dapat mengirim anggota misi. Fungsi anggota misi adalah untuk mewakili negara pengirim, untuk melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya, untuk bernegosiasi, memastikan dengan segala cara yang sah kondisi dan perkembangan di Negara penerima, dan untuk mempromosikan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima. Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik memberikan kekebalan dan hak istimewa kepada anggota misi dalam menjalankan fungsi diplomatik. Kekebalan dan hak istimewa semacam itu diberikan bukan untuk keuntungan pribadi, itu diberikan untuk memfasilitasi anggota misi dalam melakukan fungsi diplomatik. Salah satu bentuk kekebalan adalah Inviolability. Tidak dapat diganggu gugat anggota misi diatur oleh Pasal 29 Konvensi Wina 1961. Pasal 29 menyatakan bahwa negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah serangan terhadap anggota misi. Tetapi jika negara penerima gagal melindungi anggota misi, apakah ada konsekuensi hukum dan tanggung jawab negara? Penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi tesis.

Tanggung Jawab Hukum Terhadap Pemberi Informasi Palsu Yang Mengancam Keselamtan Penerbangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

Transportasi udara adalah sesuatu yang saat ini sangat dicintai oleh hampir setiap masyarakat, ini karena transportasi udara memiliki mobilisasi yang cepat, terkini dan efisien, tetapi transportasi dengan mode pesawat ini jika tidak disertai dengan aturan keselamatan yang berkualitas akan memiliki dampak negatif pada setiap individu yang menggunakannya. maka dari itu masyarakat dan pemerintah harus lebih bijak dalam menegakkan aturan hukum yang ada demi menciptakan keamanan dan keselamatan dalam penerbangan itu sendiri, karena penerbangan adalah salah satu transportasi teraman menurut data yang ada, oleh karena itu untuk menjaga nama baik transportasi udara, terutama penerbangan, ada kebutuhan untuk mematuhi peraturan yang ada yang telah ditentukan oleh pemerintah, tidak dapat sewenang-wenang. dalam penerbangan itu menjunjung tinggi arti keselamatan dan keamanan untuk setiap penumpang dan awak kabin, karena itu adalah prioritas setiap maskapai keselamatan adalah harga mati untuk setiap moda transportasi. sehingga moda transportasi udara, terutama maskapai penerbangan, menjadi lebih baik, maka kita perlu bekerja dari diri kita sendiri dalam menjaga setiap kata dan perilaku yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?