Judul Lengkap Skripsi Hukum : Implementasi Pemidanaan Terhadap Pelaku Pelanggaran Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Proses Persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta
ABSTRAK
Penelitian skripsi hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggar pasal 506 KUHP tentang penarikan keuntungan atas perbuatan cabul dan apa saja hambatan yang dihadapi dalam penerapan sanksi pidana terhadappelaku pelanggar pasal 506 KUHP.
Penelitian skripsi hukum ini termasuk jenis penelitian empirik yang bersifat deskriptif. Data penelitian yang digunakan di dalam skripsi hukum ini meliputi data primer dan data sekunder. Adapun data primer dari skripsi hukum ini merupakan data utama dalam penelitian ini. Sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer. Data primer dikumpulkan dengan tehnik wawancara terstruktur (interview guide). Wawancara dalam skripsi hukum ini dilakukan secara mendalam (in depht interviewing). Untuk mengumpulkan data sekunder digunakan teknik mencatat dokumen. Tehnik analisis yang digunakan dalam skripsi hukum ini bersifat kualitatif interaktif. Sifat dasar analisis ini bersifat induktif, yaitu cara-cara menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus kearah hal-hal yang bersifat umum.
Kesimpulan dalam skripsi hukum ini adalah bahwa dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggar Pasal 506 KUHP tentang penarikan keuntungan atas perbuatan cabul dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta adalah bahwa Hakim menerapkan sanksi pidana tidak sesuai peraturan yang terdapat dalam Pasal 506 KUHP, dimana sanksi pidana dalam Pasal 506 KUHP berupa kurungan selama 1 (satu) tahun, tanpa adanya pidana tambahan maupun denda. Sedangkan Hakim menerapkan sanksi pidana selama 3 bulan kurungan. Adapun hambatan yang dihadapi dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggar Pasal 506 KUHP tentang penarikan keuntungan atas perbuatan cabul dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta adalah terletak pada Aparat Penegak Hukum yang melakukan penangkapan terhadap pelaku pelanggar Pasal 506 KUHP, apakah Penegak Hukum mampu mengumpulkan saksi maupun barang bukti, dimana apabila penegak hukum tidak menemukan atau menghadirkan saksi maupun barang bukti yang cukup dalam pemeriksaan di Pengadilan maka hal tersebut akan menghambat Hakim dalam menerapkan sanksi pidana dan tidak adanya kewenangan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan lebih dari pemidanaan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum.
Kata kunci : Skripsi Hukum, Pelaku Pelanggaran,
Untuk mendapatkan daftar lengkap contoh skripsi hukum lengkap / tesis hukum lengkap, dalam format PDF, Ms Word, dan Hardcopy, silahkan memilih salah satu link yang tersedia berikut :
Contoh Tesis
- Daftar Contoh Tesis Hukum Tata Negara
- Daftar Contoh Tesis Hukum Internasional
- Daftar Contoh Tesis Kriminologi
- Daftar Contoh Tesis Kepolisian
- Daftar Contoh Tesis Hukum Agraria
- Daftar Contoh Tesis Hukum Perdata
- Daftar Contoh Tesis Hukum Pidana
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Skripsi Hukum
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, negara Indonesia membutuhkan adanya hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan adanya berbagai bentuk pelanggaran maupun kejahatan dengan seadil-adilnya. Usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan atau yang disebut juga dengan istilah pembangunan nasional, dilakukan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Salah satu aspek kehidupan bangsa Indonesia yang menjadi sasaran pembangunan di bidang hukum yang merupakan suatu konsekuensi dari predikat bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Sasarannya adalah terbentuk dan berfungsinya sistem hukum yang mantap, yang bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan memperhatikan kemajemukan tatanan perlindungan hukum yang bertumpu kepada kebenaran dan keadilan. Perkembangan peradaban di dunia barat dan timur yang semula tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarkis telah terkikis dengan meninggalkan dampak negatif di berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta telah menciptakan ketimpangan gender.
Dalam era reformasi ini terbuka lebar bagi setiap Warga Negara Indonesia baik pria maupun wanita untuk memperoleh kedudukan yang sama dalam hukum. Kebudayaan global tengah mendesak kepentingan kesetaraan gender keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Tidaklah mungkin diingkari, kita telah melepaskan pemahaman kuno yang memandang perempuan secara kodrati hanyalah sebagai ibu rumah tangga yang sebatas melakukan pekerjaan rumah tangga belaka, tetapi masih diharapkan “kewajiban domestik†dapat tertanggulangi bersama secara kemitrasejajaran serta dengan berbagai peran dalam keluarga yang sejahtera. Perempuan dan anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan, harus segera dihentikan tanpa kecuali. Di dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya telah memperlakukan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis, yakni melalui trafiking. Trafiking terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan sperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan berisko kematian. Gejala ini berkembang dan berubah dalam bentuk kompleksitasnya namun tetap merupakan perbudakan dan perhambaan. Selama ini trafiking hanya dianggap terbatas pada bentuk prostitusi, padahal dalam kenyataannya mencakup banyak bentuk dari kerja paksa.
Di Indonesia, korban-korban trafiking sering kali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran dan poedophilia, serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti di perkebunan, di jermal, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, buruh anak, pengemis jalanan, selain peran sebagai pelacur. Korban trafiking biasanya anak dan perempuan berusia muda dan belum menikah, anak perempuan korban perceraian, serta mereka yang pernah bekerja di pusat kota atau luar negeri. Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga. Anak korban trafiking sering kali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga. Salah satu hal yang paling sulit dalam menghadapi manusia yang diperdagangkan sebagai pekerja paksa, perbudakan adalah kecenderungan pemerintah-pemerintah di seluruh dunia memperlakukan manusia yang diperdagangkan sebagai penjahat atau pekerja tanpa dokumen yang tidak dikehendaki kehadirannya, daripada sebagai umat manusia yang dijamin hak-haknya. Respon yang memadai, berupa penghormatan terhadap hak asasi dalam hukum, kebijakan dan praktek adalah sangat tidak memadai di seluruh dunia. Terkadang seorang korban berusaha sendiri untuk membebaskan dirinya atau dibebaskan oleh rekannya dari para penyekap. Mereka sering mengalami reviktimisasi oleh pemerintah di negara tujuannya. Di negaranegara yang melakukan aksi memerangi trafficking, fokus utamanya adalah mengenai penuntutan, pengawasan perbatasan dan kerjasama di lintas batas, suatu langkah yang dilakukan sendirian, tidak akan menahan laju kejahatan ini. Tampaknya masalah kondisi psikologi korban yang mengalami trauma akibat trafficking kurang dipedulikan. Para Pedagang merekrut para korban melalui iklan, perkenalan biasa dan sebagainya. Ketika mereka tiba di tempat tujuan, dokumendokumen para korban biasanya diambil dan mengakhirinya dengan eksploitasi, dipaksa untuk membayar kembali hutang-hutang tanpa bukti di bawah ancaman kekerasan. Beberapa dari mereka bahkan dipaksa bekerja di bawah sekapan termasuk eksploitasi sex. Sementara itu keluarga mereka juga diancam jika mereka tidak mau bekerja sama. Wanita dan gadis yang dipaksa bekerja sebagai pelacur dijebak dengan ancaman bahwa akan diberitahukan kepada keluarganya tentang pekerjaan mereka yang sebenarnya. Anak-anak yang diperdagangkan sangat bergantung kepada pedagangnya dalam hal makan, tempat berteduh dan kebutuhan dasar lainnya. Para pedagang juga menakut-nakuti para korbannya bahwa penguasa di negara asingnya akan mengadili atau memulangkannya, jika mereka minta bantuan.
Data-data awal yang digunakan dalam skripsi hukum ini adalah sbb. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Indonesia sebagai negara pengirim mempunyai catatan kasus cukup tinggi, yaitu 7000 kasus dan diperkirakan hanya merupakan ujung dari persoalan yang lebih besar (Kompas, 2002). Peringkat pertama dan kedua diduduki oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Malaysia menduduki peringkat yang sama dengan Indonesia, akan tetapi Malaysia sebagai negara penerima. Beberapa daerah yang dicatat sebagai daerah-daerah asal adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Riau, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Papua dan Sumatera Utara. Pola yang digunakan sangat bervariasi, akan tetapi mayoritas dikemas dalam bentuk pengiriman tenaga kerja. Ada juga kasus lain, yang baru-baru ini terjadi, yaitu pengiriman duta kesenian dari Bali, yang ternyata dipekerjakan di klub malam. Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP) yang sekarang berlaku belum mengatur perlindungan hukum pada perempuan terhadap tindak kekerasan, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Contohnya dalam kasus pemerkosaan memang ditentukan sebagai tindak pidana dan ada sanksi hukumnya, tetapi ketentuan yang mengharuskan adanya “bukti†mempersulit seorang perempuan untuk menyeret pelakunya ke Pengadilan. Biasanya tidak ada saksi saat pemerkosaan terjadi dan membuktikan pemerkosaan melalui visum et repertum dokter belum tentu berhasil apabila peristiwa sudah lama terjadi. Memaksa istri untuk berhubungan badan belum diakui sebagai “pemerkosa†(marital rape) menurut hukum. Dengan demikian KUHP belum sepenuhnya menampung kepentingan perempuan atas perlindungan terhadap kekerasan seksual karena peraturan-peraturan tersebut tidak memadai dan tepat guna. Pengertian “kekerasan†dalam Pasal 89 KUHP mempunyai pengertian yang sempit yaitu mengurung seseorang dalam ruang tertutup termasuk perbuatan kekerasan. Pengertian kekerasan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Majelis Umum PBB 1993), diperluas termasuk kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, masyarakat dan dilakukan serta dibenarkan oleh negara. Penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354 KUHP apabila dilakukan terhadap ibunya, istrinya, hukumannya ditambah dengan 1/3 nya (Pasal 356 KUHP), namun oleh penegak hukum jarang diterapkan.
Dalam hal ini peraturannya memadai tetapi tergantung dari para pelaksana dan para penegak hukum, karena bilamana tidak didakwakan oleh jaksa, maka hakim tidak dapat memutuskan atas dasar pemberatan berdasarkan Pasal tersebut. Dengan kondisi yang demikian para penegak hukumlah yang belum sensitif gender. Kota Surakarta mulai dikenal sejak perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi 2 (dua) yaitu Keraton Kasunanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta. Kota Surakarta mencatat banyak sekali menyumbangkan sejarah bagi Bangsa Indonesia salah satunya PON I 1948 yang diadakan di Kota Solo, Kota ini juga terkenal dengan kebudayaannya, batiknya dan terdapat Keraton Kasunanan Surakarta yang banyak dikunjungi para turis akan tetapi dibalik ini semua Kota Surakarta juga terdapat fenomena tentang maraknya Tindak Pidana Mucikari dimana seseorang menampung para PSK disuatu penampungan dan mempekerjakannya sebagai pelacur atau melakukan perbuatan cabul untuk mendapat keuntungan. Pengaturan tentang Mucikari (germo) dalam KUHP Pasal 506 termasuk kualifikasi pelanggaran terhadap ketertiban umum dengan hukuman maksimum 3 bulan, benar-benar dirasakan tidak memadai dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukannya. Kekejaman lahir maupun batin yang dilakukan terhadap korban, sebaliknya besarnya keuntungan yang diterima oleh mucikari terhadap penderitaan korban. Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi hukum dengan judul : “IMPLEMENTASI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU PELANGGARAN PASAL 506 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PENARIKAN KEUNTUNGAN ATAS PERBUATAN CABUL (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)
Leave a Reply