BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap daerah pasti memiliki kebudayaan, adat istiadat dan nilai –nilai luhur yang bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat (KBBI, 1996: 6) Dua antropolog, A . L . Kroeber dan C Kluckhohn, telah mengumpulkan kurang lebih 160 definisi kebudayaan yang disampaikan pakar antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat, pengarang besar dan lain-lain.pendapat mereka terkumpul dalam sebuah buku Culture, a Critical Revrew of Concepts and Definition, yang dilengkapi dengan analisis, kesimpulan-kesimpulan mereka berdua tentang kebudayaan sebagai berikut:
“Kebudayaan terdiri dari beberapa pola-pola yang nyata maupun tersembunyi dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan dengan simbol-simbol yang menjadi hasil-hasil yang tegas dari kelompok-kelompok manusia inti pokok dari kebudayaan adalah gagasan-gagasan tradisional (yaitu yang diperoleh dan dipilih secara histories), khususnya nilai-nilai yang tergabung, dipilih lain sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi tindakan selanjutnya.”(dalam Budiono Herusatoto; 2000: 4)
Unsur kebudayaan Jawa yang termasuk sistem religi adalah upacara adat mencakup tindakan-tindakan keagaman dalam hal ini dikategorikan sebagai wilujengan (Krami) atau Slametan (ngoko) dengan orientasi mencapai suatu tujuan yang lebih luas sifatnya, yaitu untuk menghilangkan kesusahan, mendapatkan keteguhan iman, keselamatan dan menyempatkan diri kepada Tuhan atau kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Slametan atau wilujangan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritual dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dihadiri anggota keluarga, tetangga–tetangga dan kerabat (Koentjaraningrat, 1994: 343-344).
Ada berbagai macam upacara adat yang sudah mendarah daging dimasyarakat Jawa khususnya seperti halnya sejak manusia dalam kandungan, sudah diperkenalkan dengan upacara sepasaran, selapanan, puputan, tedhak siten, dan ruwatan dengan berbagai macam perlengkapannya, dan terus berlanjut hingga anak itu menjadi dewasa. Setelah dewasa, manusia akan tertarik dengan lawan jenis, yang berujung pada keinginan untuk membangun keluarga dan meneruskan keturunan. Upacara adat perkawinan tradisional, mencerminkan pandangan hidup masyarakat terhadap makna hakiki suatu perkawinan antara dua insan, pria dan wanita yang menjamin kelestarian hidup manusia, turun-temurun dari generasi ke generasi. Dalam penyelenggaraan upacara terkandung nilai-nilai luhur yang diungkapkan secara simbolis sebagai amanat dan pesan-pesan untuk dijadikan acuan dan pedoman hidup bagi mempelai berdua, dan juga bagi keluarga dan masyarakat lingkungan (Moeryati Soedibyo, 2001: IX ). Tahap akhir dari kehidupan adalah setiap manusia akan meninggalkan dunia dan kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada saat itu keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan upacara sebagai penghormatan yang terakhir, sebagai ungkapan iman secara religius dengan mendoakan arwah tersebut supaya dapat diterima di sisi-Nya.
Beberapa macam upacara atau juga disebut Slametan (bahasa Jawa artinya ungkapan rasa syukur) yang diadakan setelah pemakaman antara lain peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun dan setelah seribu hari atau tiga tahun Slametan sudah selesai. Orang Jawa, terutama masyarakat Solo dan sekitarnya memang telah mengenal berbagai upacara adat yang selalu menggunakan kain batik dalam setiap kegiatannya. Upacara ini sering dilakukan dari manusia sejak dalam kandungan hingga meninggal. Mereka biasa menyebut upacara adat itu sebagai Slametan, artinya mengadakan upacara adat untuk memperoleh keselamatan hidup sejak sejak dari kandungan hingga saat kematiannya. Dari sekian banyak upacara yang ada dalam Karaton, ada satu upacara yang dilakukan dengan maksud untuk penghormatan terakhir pada arwah yang meninggal, yakni lurub layon Upacara lurub layon menggunakan kain sebagai penutup jenazah, kain yang biasa digunakan dalam upacara lurub layon adat Keraton Kasunanan Surakarta adalah kain batik latar ireng dan dodot/ kampuh kecuali latar putih dan batik truntum. Lurub layon terbentuk atas dua suku kata yaitu lurub yang berarti penutup dan layon berarti jenasah. Lurub layon berasal dari bahasa Jawa yang berarti penutup jenasah.
Masyarakat awam belum banyak mengetahui secara jelas simbolisme yang terkandung dalam kain batik yang digunakan pada lurub layon tersebut. Pemaparan tentang makna batik dari setiap ragam hiasnya perlu diperkenalkan pada masyarakat luas, sehingga batik tidak dipandang sebatas bentuk fisiknya saja. Setiap motif batik mempunyai makna ajaran yang sebaiknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Motif tersebut menjadi salah satu tuntunan perilaku. Untuk mengetahui berbagai simbol yang terdapat pada batik, khususnya yang dipakai dalam upacara lurub layon diperlukan suatu kajian teoritik maupun empiris.
Leave a Reply