Peraturan-Peraturan Dalam Undang-Undang PPN DAN PPn BM Tahun 2000 Yang Mempengaruhi Wajib Pajak Orang Pribadi Tidak Mematuhi Kewajiban Perpajakan
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, negara Indonesia tidak lagi hanya mengandalkan penerimaan dari sektor minyak dan gas. Penerimaan negara dari sektor ini sendiri tidak bisa terus diharapkan sebagai sumber penerimaan negara yang utama karena sektor tersebut mempunyai sumber yang terbatas dan tidak dapat diperbarui sehingga pemerintah harus mencari sumber penerimaan negara yang lain sebagai alternatif. Salah satu sumber penerimaan yang bisa dioptimalkan adalah melalui pajak.
Salah satu jenis pajak yang memberikan kontribusi cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam APBN tahun 2006, total penerimaan negara adalah Rp 647 trilyun, sedangkan penerimaan dari pajak sebesar Rp 399,29 trilyun atau sekitar 62% dari total penerimaan APBN. Dari jumlah terseebut, pajak dari PPN dan PPn BM adalah sebesar Rp 128,30 trilyun. PPN merupakan pajak yang dipungut atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam negeri. PPN merupakan pajak tidak langsung, artinya beban pajak dapat dialihkan kepada pihak lain. Dasar hukum pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang- Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPn BM sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Motivasi perubahan yang kedua ini disebabkan karena dalam undangundang sebelumnya masih mengandung kelemahan-kelemahan yaitu,
1. belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan,
2. kurang memberikan hak-hak wajib pajak,
3. kurang memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya,
4. kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana.
Meskipun telah diadakan perubahan, kelemahan-kelemahan tersebut nampaknya masih belum bisa tertutupi, hal ini ditunjukkan dengan adanya wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai peraturan. Ketaatan yang rendah tersebut bisa disebabkan oleh kesadaran membayar pajak yang masih rendah dari anggota masyarakat maupun oleh faktor lain seperti peraturan-peraturan perpajakan yang kurang memudahkan masyarakat dalam membayar pajak. Untuk meningkatkan penerimaan sektor pajak, diperlukan usaha-usaha yang intensif dan peran serta masyarakat sebagai wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Peran serta masyarakat dalam membayar pajak dapat ditingkatkan dengan membuat sistem maupun peraturan perpajakan yang mampu mendorong masyarakat melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Isi peraturan yang sulit untuk dilaksanakan atau bahkan bisa mengancam kelangsungan usaha wajib pajak dapat mendorong ketidaktertiban dalam masyarakat dan memaksa para pelakunya untuk melakukan pelanggaran dan penyelewengan. Sistem self assessment yang dianut PPN dapat memperbesar kemungkinan tersebut. Survey pendahuluan dilakukan terhadap beberapa pedagang di Pasar Klewer yang beromset lebih dari Rp 600 juta. Hasilnya menunjukkan bahwa para pedagang tersebut belum menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga mereka tidak memungut atau membayar PPN sesuai undang-undang. Beberapa alasan yang dikemukakan para pedagang adalah pesaing yang tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak, jika harus memungut PPN maka harga jual mereka menjadi lebih tinggi sehingga sulit bersaing serta bagi Pengusaha Kena Pajak diwajibkan untuk melakukan pembukuan yang menurut mereka terlalu rumit karena tanpa pembukuan yang memadai pun usaha mereka masih bisa berjalan. Hal tersebut menunjukkan kesulitan para pengusaha untuk mematuhi peraturan yang berlaku.
Penelitian tentang kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak masih jarang dilakukan oleh para peneliti. Hal ini bisa dilihat dalam Simposium Nasional Akuntansi VIII di Surakarta. Dari keseluruhan peserta yaitu 69 artikel yang diseminarkan, hanya terdapat 2 artikel tentang perpajakan. Hal ini mungkin disebabkan karena kesulitan untuk mendapat data langsung dari Wajib Pajak serta adanya peraturan perpajakan yang berbeda di berbagai negara sehingga penelitian perpajakan dari luar Indonesia sulit untuk direplikasi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Boylan dan Sprinkle (2001) dalam Hananto et al. (2005) menyimpulkan bahwa bagi orang yang mendapatkan penghasilan yang bersifat endowed, peningkatan tarif pajak akan menurunkan tingkat kepatuhan. Sebaliknya bagi orang yang mendapatkan penghasilan yang bersifat earned, maka peningkatan tarif pajak akan menunjukkan peningkatan kepatuhan. Komalasari (2005) menyimpulkan bahwa ketika wajib pajak menerima endowed income, tidak terdapat perbedaan tingkat kepatuhan wajib pajak baik dalam kondisi tarif pajak yang berlaku tinggi maupun rendah. Sedangkan untuk earned income, peningkatan tarif pajak akan menunjukkan peningkatan kepatuhan.
Radianto (2004) melakukan penelitian tentang efisiensi perusahaan bank yang terdaftar di BEJ sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang- Undang Perpajakan tahun 2000. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberlakuan Undang-Undang Perpajakan yang baru belum dapat meningkarkan tingkat efisiensi perusahaan perbankan yang terdaftar di BEJ. Jackson dan McKee (1992) dalam Komalasari (2005) telah melakukan studi eksperimental yang bertujuan untuk menentukan determinan-determinan kepatuhan wajib pajak. Hasilnya menunjukkan bahwa pelaporan wajib pajak meningkat seiring dengan semakin besarnya probabilitas audit dan penalti. Namun peningkatan ini tidak terlalu besar. Compliance juga lebih besar ketika individu menghadapi tarif pajak yang lebih rendah dan ketika mereka menerima sesuatu atas pajak yang mereka bayarkan. Beberapa penelitian mengenai penghindaran pajak (tax evasion) telah menemukan hubungan yang signifikan antara sikap kepatuhan seorang wajib pajak dengan tingkat kepatuhan wajib pajak yang lain (Webley, Robben, dan Morris, 1998 dalam Komalasari 2005).
Hasil penelitian Ali, Cecil dan Knoblett (2001) dalam Hananto et al. (2005) menunjukkan bahwa baik audit rate maupun besarnya penalti merupakan sarana yang efektif untuk mencegah noncompliance. Keefektivan kedua instrumen ini tergantung pada tingkat pendapatan individual. Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatannya, instrumen ini menjadi lebih efektif. Secara umum kepatuhan wajib pajak meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan, tetapi hal ini terjadi pada kondisi tarif pajak menurun. Ditemukan juga bahwa individu cenderung kurang patuh jika marginal tax rate meningkat. Hananto et al. (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan semua variabel independen yang meliputi kesadaran hukum wajib pajak, pelayanan yang diberikan fiskus, tingkat pendidikan wajib pajak, dan omset usaha wajib pajak tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak restoran.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa frekwensi pemeriksaan, sanksi hukuman yang tegas, tarif yang rendah, tingkat kepatuhan wajib pajak yang lain, dan banyaknya fasilitas umum yang bisa dinikmati merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan kewajiban perpajakan. Perbedaan hasil penelitian di Indonesia dengan di luar negeri bisa juga disebabkan adanya perbedaan peraturan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti berusaha mengetahui penyebab ketidakpatuhan individu dalam memenuhi kewajiban perpajakannya terutama untuk PPN apabila dilihat dari segi undang-undang karena penelitian yang dilakukan selama ini lebih banyak fokus pada individu wajib pajak bukan pada regulasi yang berlaku. Untuk itulah penelitian ini mengambil judul “PERATURAN-PERATURAN DALAM UNDANG-UNDANG PPN DAN PPn BM TAHUN 2000 YANG MEMPENGARUHI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI TIDAK MEMATUHI KEWAJIBAN PERPAJAKAN”.
Contoh Tesis
- Daftar Contoh Tesis Ilmu Ekonomi
- Daftar Contoh Tesis Ekonomika Pembangunan
- Daftar Contoh Tesis Ilmu-Ilmu Sosial
Contoh Skripsi
Leave a Reply