HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Peranan Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Daerah

Otonomi Daerah merupakan keputusan politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan Otda, yang meletakkan otonomi penuh, luas, dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Di sisi lain, ekonomi Islam Indonesia yang dimotori oleh entitas perbankan syariah seperti menemukan momentumnya pasca terjadi krisis ekonomi 1998. Industri keuangan syariah mengalami percepatan pertumbuhan. Bahkan lembaga-lembaga keuangan syariah juga berkembang hingga ke daerah-daerah.Tulisan ini hendak mencoba menjelaskan bagaimana peranan ekonomi syariah dalam pembangunan daerah khususnya dalam bidang ekonomi-sosial. Tulisan ini juga mencoba menguraikan perkembangan ekonomi syariah Indonesia baik dari sisi keuangan dan non-keuangan, faktor pendorong, hingga implikasinya terhadap perkembangan ekonomi Nasional secara makro.

Kata Kunci: Ekonomi Islam, Bank Syariah, Otonomi Daerah

A.      Pendahuluan

Krisis moneter yang mengguncang Indonesia sepuluh tahun yang lalu semakin menyardarkan banyak pihak tentang pentingnya fundamental ekonomi yang kuat dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Sector moneter yang tidak ditopang oleh sektor riil yang kuat ditengarai menyimpan bom waktu yang menunggu momen untuk meruntuhkan capaian-capaian pembangunan ekonomi nasional. Krisis moneter itu juga menyadarkan kita tentang pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigm pembangunan yang tidak menyerahkan sepenuhnya pertumbuhan ekonomi pada peran pengusaha-pengusaha besar, melainkan pada semua pihak terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).Salah satu pesan reformasi adalah mengurangi hegemoni pusat terhadap daerah lewat sentralisasi kebijakan di berbagai bidang. Reformasi mengamanatkan perlunya desentralisasi pembangungan dengan memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada daerah. Oleh karena itu lah, sejak tanggal 1 Januari 2001 dimulai pemberlakuan Otonomi Daerah (OTDA).

Otonomi Daerah merupakan keputusan politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik birokratis ke hara desntralistik partisipatoris. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan Otda, yang meletakkan otonomi penuh, luas, dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan itu dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.Di sini lain, setelah krisis moneter 1997-1998 gerakan ekonomi syariah seperti mendapat blessing in disguise.

Ekonomi syariah di Indonesia meskipun telah dimulai sejak awal 1990-an, namun berjalan lambat hingga menjelang terjadinya krisis tersebut. Ekonomi syariah nasional seperti menemukan momentum sejak tahun 1999 hingga sekarang. Pengetahuan masyarakat tentang ekonomi syariah juga semakin berkembang termasuk di daerah. Seiring dengan itu industri keuangan syariah mengalami percepatan pertumbuhan. Lembaga-lembaga keuangan syariah juga berkembang ke daerah-daerah.Pertanyaannya adalah, bagaimana peranan ekonomi syariah dalam pembangunan daerah? Apakah kontribusinya sudah signifikan seperti yang diharapkan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, berikut adalah sejenak perkembangannya di tanah air.

B.       Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Secara sederhana, perkembangan itu dikelompokkan menjadi perkembangan industri keuangan syariah dan perkembangan ekonomi syariah non keuangan. Industri keuangan syariah relatif dapat dilihat dan diukur perkembangannya melalui data-data keuangan yang ada, sedangkan yang non keuangan perlu penelitian yang lebih dalam untuk mengetahuinya.  

Penggunaan istilah ekonomi islam digunakan bergantian dan memiliki makna yang sama dengan ekonomi syariah. Oleh karena itu, pengertian ekonomi islam juga semakna dengan pengertian ekonomi syariah.
Perbedaan pandangan para tokoh ekonomi Islam menyangkut pengertian ekonomi islam atau pengertian ekonomi syariah pada dasarnya berakar pada tiga masalah utama yakni : Pertama, metodologi yang di pakai dalam membangun ekonomi Islam dan sistem ekonomi Islam. Kedua, perbedaan penafsiran konsep ekonomi seperti penafsiran makna khilafah dan implikasi kepemilikan. Dan ketiga, perbedaan tafsiran bangunan sistem ekonomi.

Sistem adalah sesuatu yang memiliki bagian-bagian yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu melalui tiga tahapan, yaitu Input, proses dan output. Dalam arti luas ungkapan “sistem” telah disamakan maknanya dengan ungkapan “cara”. Pada dasarnya sesuatu dapat disebut sistem apabila memenuhi dua syarat. Pertama adalah memiliki bagian-bagian yang saling berinteraksi dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Syarat yang kedua adalah bahwa suatu sistem harus memiliki tiga unsur, yaitu input, proses dan output (Nugroho Widjajanto, Sistem Informasi Akuntansi, Jakarta: Erlangga, 2001, hlm. 2)

Kata ekonomi diambil dari bahasa Yunani kuno (greek), yang berarti “mengatur urusan rumah tangga”, dimana anggota keluarga yang mampu, ikut terlibat dalam menghasilkan barang-barang berharga dan membantu memberikan jasa (Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif;Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 47). 

Meskipun ilmu ekonomi dan sistem ekonomi sama-sama membahas ekonomi, kedua hal ini sangat berbeda. Ilmu ekonomi pembahasannya meliputi kegiatan yang mengatur untuk memperbanyak kekayaan. Sedangkan, sistem ekonomi tidak dibedakan berdasarkan banyak sedikitnya kekayaan, bahkan sama sekali tidak terpengaruh oleh kekayaan. Sistem ekonomi masing masing mempunyai hal corak, bentuk dan tujuannya yang berbeda-beda. Sistem ekonomi sendiri terbagi menjadi tiga yaitu sistem kapitalis, sosialis dan Islam. 

Ekonomi Islam merupakan kumpulan dari dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari Al-Qur?an dan sunnah Rasulullah serta dari tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar tersebut. Dari kedua dasar tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap, tetapi pada praktiknya untuk hal-hal dan situasi serta kondisi tertentu bisa saja berlaku luwes ada pula yang bisa mengalami perubahan (Ahmad Izzan, Syahril Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2006, hlm. 32). 

Yang dimaksud sistem ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-hari dalam rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan perundang-undangan Islam. Dengan demikian, peraturan perundangan perekonomian Islam adalah Al-Qur?an dan Sunnah (Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h. 14). 

Sistem ekonomi Islam yang berlandaskan pada Al-Qur?an dan sunnah dalam semua uraiannya selalu memandang manusia secara utuh, sehingga Al-Qur?an dalam memaparkan ajarannya dengan memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat. Individu dilihatnya secara utuh, fisik, akal, dan kalbu, dan masyarakatdihadapinya dengan menekankan adanya kelompok lemah dan kuat, tetapi tidak menjadikan mereka dalam kelas-kelas yang saling bertentangan sebagaimana halnya komunis, namun mendorong mereka semua untuk bekerja sama guna meraih kemaslahatan individu tanpa mengkorbankan masyarakat atau sebaliknya (M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Illahi Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 194). 

Sistem ekonomi Islam lahir sebagai sistem yang mampu memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Karena Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis yang memberikan kebebasan serta hak pemilikan kepada individu dan menggalakkan usaha secara perorangan. Tidak pula dari sudut pandangsosialis yang ingin menghapuskan semua hak individu dan menjadikan mereka seperti budak ekonomi yang dikendalikan oleh negara. Tetapi Islam membenarkan sikap mementingkan diri sendiri tanpa membiarkannya merusak masyarakat (Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, Jakarta: PT. DanaBhakti Wakaf, 1995, h. 10). 

Di bawah sistem ekonomi Islam, penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang dihindarkan dan langkah-langkah dilakukan secara otomatis untuk memindahkan aliran kekayaan kepada anggota masyarakat yang belum bernasib baik. 

Keberhasilan sistem ekonomi Islam terletak pada sejauh mana keselarasan atau keseimbangan dapat dilakukan diantara kebutuhan dan kebutuhan etika manusia. Sistem ekonomi berfungsi atau bekerja untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu yang memiliki nilai. Sistem ekonomi harus tersusun dari seperangkat nilai-nilai yang dapat membangun kerangka organisasi kegiatan organisasi kegiatan ekonomi menurut kerangka referensi tertentu. Sehingga dapat diungkapkan tiga komponen penting yang menyusun eksistensinya suatu ekonomi yaitu filsafat sistem, nilai-nilai dasar sistem dan nilai instrumental sistem (Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam, Cet. 1, Jakarta: Media Dakwah, 1984, h. 15). 

Filasafat sistem ekonomi yang Islami merupakan alternatif jalur keluar bagi ahli pikir yang memiliki sikap jujur dalam mencari kebenaran. Filsafat dari ilmu ekonomi yang paradigmanya relevan dengan nilai-nilai logik, etik dan estetik sehingga dapat difungsionalkan pada tingkah laku ekonomi manusia. 

Tujuan Ekonomi Islam 

Menurut As-Shatibi tujuan utama syariat Islam adalah mencapai kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan terhadap lima kemashlahah-an, yaitu keimanan (ad-dien), ilmu (al-‘ilm), kehidupan (an-nafs), harta (al-maal), dan kelangsungan keturunan (an-nasl). (Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, h.79-104). 

Mashlahah dicapai hanya jika kehidupan manusia hidup dalam keseimbangan, diantaranya mencakup keseimbangan antara moral dan spiritual sehingga terciptanya kesejahteraan yang hakiki. Tujuan ekonomi Islam lainnya menggunakan pendekatan antara lain : 

(a) konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, (b) alat pemuas kebutuhan manusia seimbang dengan tingkat kualitas manusia agar ia mampu meningkatkan kecerdasan dan kemampuan teknologinya guna menggali sumber-sumber yang masih terpendam, (c) dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai moral harus diterapkan, (d) pemerataan pendapatan dilakukan dengan mengingat sumber kekayaan seseorang yang diperoleh dari usaha halal, maka zakat sebagai sarana distribusi pendapatan merupakan sarana yang ampuh (Halide, Majalah, Mimbar Ummi, 1982, hlm. 15) 

Secara umum tujuan ekonomi dalam Islam adalah untuk menciptakan al-falah atau kemenangan, keselamatan dan kebahagian dunia dan akhirat. Untuk mencapai hal demikian maka manusia harus bekerja keras mencari rezeki dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya baik yang bersifat materi maupun non material (rohaniah), serta berbuat baik dengan harta yang dimilikinya dengan memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam, berupa pelaksanaan perintahnya dan menjauhkan larangannya agar tercipta kemashlahatan yang sesungguhnya baik untuk dirinya sendiri dan orang lain (Anwar Abbas, Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum, Uin Syahid, 2009, h. 14) 

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam 

Salah satu bukti ketidakmampuan manusia membagi rezeki duniawi adalah keinginan semua manusia untuk meraih sebanyak mungkin untuk diri dan keluargnya. Tetapi ternyata, banyak yang tidak memperoleh dambaannya, bahkan manusia durhaka tidak pernah merasa puas dengan perolehanya. Karena itu Allah yang membaginya dengan cara dan kadar yang dapat mengantar terjalinnya hubungan timbal balik antara anggota masyarakat. 

Pada umumnya nilai-nilai Islam termasuk dalam bidang ekonomi terangkum dalam empat prinsip, yaitu tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i, Bandung: Mizan,1998, h. 402.). 

a. Tauhid 

Prinsip pertama dalam sistem ekonomi Islam adalah tauhid. Dari sinilah lahir prinsip-prinsip yang bukan saja dalam bidang ekonomi, tetapi juga menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akhirat (M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Illahi Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 198). 

Tauhid dapat diibaratkan sebagai matahari sebagai sumber kehidupan di bumi dan planet sekelilingnya. Tauhid mengantarkan manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. (M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Illahi Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 402). 

b. Keadilan dan Keseimbangan 

Prinsip ekonomi islam yang kedua ini dimaksudkan bahwa seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan, yakni menimbulkan dampak positif bagi pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan keseimbangan adalah suatu keadaan yang mencerminkan kesetaraan antara pendapatan dan pengeluaran, pertumbuhan dan pendistribusian dan antara pendapatan kaum yang mampu kurang mampu (Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, h. 415). 

c. Kehendak bebas 

Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim menyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak, namun manusia juga mendapatkan anugerah kebebasan untuk memilih jalan yang terbentang dihadapannya baik dan buruk. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan keseimbangan. (M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Illahi Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 403). 

Setiap orang dapat menikmati kebebasan sepenuhnya untuk berbuat sesuatu atau mengambil pekerjaan apapun atau memanfaatkan kekayaan dengan cara yang ia sukai. (Afzalur Rahman, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, terj. H. M. Arifin, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000, h. 194). 

d. Tanggung Jawab 

Menurut Islam, bahwa sungguh manusia diberikan kebebasan untuk menentukan jalan hidup dan memilih bidang usaha ekonomi yang akan dilakukan, namun kebebasannya ini harus bertanggungjawab. (Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, h. 419). 

Konsepsi tanggung jawab dalam Islam secara komprehensif ditentukan. Ada dua aspek dari konsep ini yang harus dicatat sejak awal. Pertama, tanggung jawab menyatu dengan status kekhalifahan manusia keberadaannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Kedua, konsep tanggung jawab dalam Islam pada dasarnyabersifat sukarela dan tidak harus dicampuradukkan dengan ‘pemaksaan’ yang ditolak sepenuhnya oleh Islam. 

Untuk melengkapi pemahaman tentang ekonomi islam, berikut ini kami mengidentifikasi pengertian ekonomi islam atau pengertian ekonomi syariah menurut para ahli.

  1. Yusuf Qardhawi. Pengertian Ekonomi Syariah merupakan ekonomi yang berdasarkan pada ketuhanan. Esensi sistem ekonomi ini bertitik tolak dari Allah, tujuan akhirnya kepada Allah, dan memanfaatkan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.
  2. Umer Chapra. Menurutnya, ekonomi islam merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang membantu manusia dalam mewujudkan kesejahteraannya melalui alokasi dan distribusi berbagai sumber daya langka sesuai dengan tujuan yang ditetapkan berdasarkan syariah (al–‘iqtisad al–syariah) tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta ikatan moral yang terjalin di masyarakat.
  3. Muh. Nejatullah ash-Shiddiqi. Pengertian ekonomi islam adalah tanggapan atau respon para pemikir muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada masa tertentu. Dalam hal ini mereka dituntun oleh Al-Qur’an dan sunnah serta akal (pengalaman dan ijtihad).
  4. M.M. Metwally. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al Qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas.
  5. Ziauddin Ahmad. Ekonom yang berasal dari Pakistan ini merumuskan pengertian ekonomi islam merupakan upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa sesuai petunjuk Allah SWT untuk memperoleh ridha-Nya.
  6. M. Syauqi Al-Faujani. Ekonomi syariah merupakan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi.
  7. S.M. Hasanuzzaman. Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”
  8. Muh. Abdul Mannan. Ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan social yang mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai Islam.”
  9. Khursid Ahmad. Ilmu ekonomi Islam merupakan suatu upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.”
  10. M. Akram Khan. Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.”
  11. Veithzal Rivai dan Andi Buchari. Diuraikan pengertian ekonomi Islam sebagai suatu ilmu multidimensi atau interdisiplin, komprehensif dan saling terintegrasi, mencakup ilmu Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah serta ilmu-ilmu rasional. Dengan ilmu tersebut, manusia dapat mengatasi keterbatasan sumber daya untuk mencapai kebahagiaan.
  12. Louis Cantori, Ekonomi Islam adalah upaya merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.”

Dari sejumlah pengertian ekonomi Islam tersebut, dapat diambil beberapa kesimpulan :

  • Ekonomi Islam merupakan suatu ilmu dan praktek kegiatan ekonomi berdasarkan pada ajaran Islam yakni ajaran yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi (Hadits) dengan esensi tujuan ekonomi islam adalah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.
  • Pemenuhan kebutuhan yang bervariasi melahirkan berbagai macam sistem kehidupan termasuk sistem ekonomi. Dalam perspektif ekonomi ekonomi syariah, kebebasan disini dibatasi aturan main (the rule of game) yang jelas dan kebutuhan (need) terbatas dengan sumber daya yang tidak terbatas, yang tidak terbatas bukan kebutuhan tetapi keinginan (want).

B.1. Sisi Keuangan

Di sektor perbankan, hingga bulan Mei 2007 sudah ada tiga Bank Umum Syariah (BUS), 23 unit usaha syariah bank konvensional, 532 kantor cabang (termasuk Kantor Cabang Pembantu (KCP), Unit Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK)), dan 106 Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Aset perbankan syariah per Mei 2007 lebih dari Rp. 29 triliun dengan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 22,5 Triliun. Meskipun asset perbankan syariah baru mencapai 1,63 persen dan dana pihak ketiga yang dihimpun baru mencapai 1,69% dari total asset perbankan nasional (per April 2007), namun pertumbuhannya cukup pesat dan menjanjikan.

Diproyeksikan, pada tahun 2008, shareindustri perbankan syariah diharapkan mencapai 5 persen dari total industri perbankan nasional.Di sektor pasar modal, produk keuangan syariah seperti reksa dana dan obligasi syariah juga terus meningkat. Sekarang ini terdapat lebih dari 20 reksa dana syariah dengan jumlah dana kelola mencapai 638,8 miliar rupiah.  Jumlah obligasi syariah sekarang ini mencapai 17 buah dengan nilai emisi mencapai 2,209 triliun rupiah. Di sektor saham, pada tanggal 3 Juli 2000 BEJ meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII). JII yang merupakan indeksharga saham yang berbasis syariah terdiri dari 30 sahamemiten yang dianggap telah memenuhi prinsip-prinsipsyariah. Data pada akhir Juni 2005 tercatat nilaikapitalisasi pasar sebesar Rp325,90 triliun atau 43% daritotal nilai kapitalisasi pasar di BEJ. Sementara itu, volumeperdagangan saham JII sebesar 348,9 juta lembar sahamatau 39% dari total volume perdagangan saham dan nilaiperdagangan saham JII sebesar Rp322,3 miliar atau 42%dari total nilai perdagangan saham.  

Peranan pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku keuangan syariah di Indonesia adalah penerbitan Undang-undang Perbankan Syariah dan Undang-undang Surat Berharga Negara Syariah (SBSN).Di sektor asuransi, hingga Agustus 2006 ini sudah lebih 30 perusahaan yang menawarkan produk asuransi dan reasuransi syariah.  Namun, market share asuransi syariah belum baru sekitar 1% dari pasar asuransi nasional. Di bidang multifinance  pun semakin berkembang dengan meningkatnya minat beberapa perusahaan multifinance dengan pembiayaan secara syariah. Angka-angka ini diharapkan semakin meningkat seiiring dengan meningkatnya permintaan dan tingkat imbalan (rate of return) dari masing-masing produk keuangan syariah.Di sektor mikro, perkembangannya cukup menggembirakan. Lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) terus bertambah, demikian juga dengan aset dan pembiayaan yang disalurkan.  Sekarang sedang dikembangkan produk-produk keuangan mikro lain semisal micro-insurance dan mungkin micro-mutual-fund (reksa dana mikro).

B.2. Sisi Non-Keuangan

Industri keuangan syariah adalah salah satu bagian dari bangunan ekonomi syariah. Sama halnya dengan ekonomi konvensional, bangunan ekonomi syariah juga mengenal aspek makro maupun mikro ekonomi. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana masyarakat dapat berperilaku ekonomi secara syariah seperti dalam hal perilaku konsumsi,giving behavior (kedermawanan)dan sebagainya. Perilaku bisnis dari para pengusaha Muslim pun termasuk dalam sasaran gerakan ekonomi syariah di Indonesia.Walau terlihat agak lambat, namun sisi non-keuangan dalam kegiatan ekonomi ini juga semakin berkembang. Hal ini ditandai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku konsumsi yang Islami, tingkat kedermawanan yang semakin meningkat ditandai oleh meningkatnya dana zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang berhasil dihimpun oleh badan dan lembaga pengelola dana-dana tersebut. Di samping itu juga muncul displin-disiplin kesyariahan baru seperti marketing syariah dan manajemen syariah.

C.      Faktor Pendorong

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor pendorong. Secara sederhana, faktor-faktor itu dkelompokkan menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah penyebab yang datang dari luar negeri, berupa perkembangan ekonomi syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun tidak. Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah timbulnya kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam perekonomian mereka. Kesadaran ini kemudian ’mewabah’ ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.  Sedangkan faktor internal antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.

Fakta ini menimbulkan kesadaran di sebagian cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dijalankan oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Tentu saja, faktor bisnis juga turut mendorong. Pasar Muslim yang sedemikian besar menarik perhatian kalangan pebisnis terutama di sektor keuangan untuk menawarkan produk-produk keuangan syariah. Di samping itu, faktor politis juga turut bermain. Membaiknya ”hubungan” Islam dan negara menjelang akhir milineum lalu membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan prinsip syariah.  Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia.

Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan yang terdidik dan relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri keuangan syariah. Mereka mempunyai kesadaran bahwa   agama bukan sekedar shalat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdah lainnya saja. Tetapi, agama harus diterapkan secara kafah (holistik) dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berekonomi.    Faktor berikutnya adalah pengalaman bahwa sistem keuangan syariah tampak cukup kuat menghadapi krisis moneter tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh ketika ”badai” itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia.  Di samping itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan ekonomi syariah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak cukup dapat menerima sistem keuangan syariah berdasarkan ikatan emosi (personal attachment) terhadap Islam, faktor keuntungan menjadi pendorong mereka untuk terjun ke bisnis syariah.

D.      Implikasi Bagi Perkembangan Ekonomi Nasional

Setidaknya ada tiga (3) hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. 

Pertamaekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.  

Keduaekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.

Ketigagerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti  sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).

E.       Industri Perbankan dan Pembangunan Ekonomi Daerah

Persoalan yang seringkali dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit atau pembiayaan dari Bank. Ada banyak alas an mengapa bank “agak pelit” menyalurkan kredit seperti prinsip kehati-hatian (prudential) yang harus dipegang oleh bank sehingga para pebisnis dibagi menjadi dua, bankable dan non-bankable. Celakanya, sebagian besar UMKM masuk kategori yang kedua ini.Di samping persoalan itu, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan tingkat bunga yang menarik  selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha.

Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI. Hingga tidak heran, dana-dana pembangunan daerah yang seharusnya digunakan untuk pengembangan ekonomi daerah ikut ditanam di SBI karena ketidakkreatifan pemerintah daerah dan para bankernya mencari dan merangsang potensi-potensi ekonomi di daerahnya. menurut suatu sumber, dana desentralisasi yang ditanam di SBI jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sekitar Rp43 triliun atau mencapai 19,5 persen dari total dana yang dibagikan ke daerah dalam bentuk dana desentralisasi senilai total Rp220,07 triliun.

Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.

F.       Perbankan Syariah sebagai Alternatif

Sebagaimana jamak diketahui, keuangan syariah adalah yang tidak mengenal rezim bunga. Sebagai gantinya, ekonomi Islam menawarkan kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik modal (shahibul mal) dengan pengusaha (mudharib) melalui skema mudharabah atau musyarakah.

Di samping itu, kelahiran ekonomi syariah antara lain ditujukan untuk menggerakkan ekonomi umat yang sebagian besar berada di kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, perbankan syariah sebagai bentuk implementasi konsep ekonomi syariah juga mempunyai spirit yang sama yaitu keberpihakan kepada sektor riil terutama usaha menengah ke bawah.Mengingat bank syariah adalah bank tanpa bunga, maka ia tidak dapat mengharapkan bunga SBI sebagaimana bank-bank konvensional lainnya. Demikian juga, dana nganggur (idle money) di bank-bank syariah tidak dapat diinvestasikan pada instrumen-insturmen keuangan berbasis bunga lainnya.

Oleh karena itu, bank syariah harus berpikir keras untuk menyalurkan dana yang dipegangnya ke sektor non-bunga yang berbasis bagi hasil, margin, atau fee. Kinerja perbankan syariah selama ini menunjukkan tersalurnya dana yang dihimpun dari masyarakat ke usaha yang membutuhkan dana. Data yang dirilis Bank Indonesia selalu menunjukkan bahwa rasio pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau FDR selalu berkisar di angka 100 persen bahkan lebih.

Hal ini berarti, fungsi intermediasi yang dijalankan perbankan syariah berjalan dengan baik. Persoalannya, dana yang dihimpun oleh industri keuangan syariah masih sangat sedikit dibanding dengan total asset perbankan nasional. Hingga saat ini rasio asset perbankan syariah terhadap perbankan  total asset perbankan nasioal belum berhasil menembus angka 2 persen. Artinya, meskipun  FDRnya tinggi namun karena angkanya masih sangat kecil, maka pengaruhnya terhadap ekonomi nasional belum begitu terasa, meski banyak bukti di lapangan yang membuat kita sedikit bernafas lega.

Semangat kelahiran industri keuangan syariah di samping untuk memenuhi dahaga masyarakat terhadap produk keuangan syariah, juga untuk ikut mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat dengan mengangkat taraf ekonomi rakyat ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu lah, di dalam keuangan syariah di kenal lembaga keuangan mikro syariah (BMT) yang merupakan ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan pebisnis dan wirausaha kecil. Bank-bank syariah yang tidak dapat menyentuh level bisnis terendah ini karena berbagai peraturan yang harus ditaati dapat bermitra dengan BMT-BMT dan BPRS yang telah ada dalam penyaluran pembiayaan dan penghimpunan dana masyarakat.  

Pengembangan Bank Syariah di Indonesia jelas bertujuan menerapkan perbankan etik yaitu tidak sekedar menjual jasa atau produk perbankan dengan mengenakan bunga, tetapi ”bekerjasama dengan klien” untuk memperbaiki kesejahteraan atau meningkatkan kehidupan ekonomi klien. Di Indonesia Bank-bank desa seperti BKK di Jawa Tengah atau Lumbung Piteh Nagari di Sumatera Barat, yang dibentuk dari bawah bersama klien, adalah Bank-bank etik yang dimaksud.

Namun sayangnya sejak liberalisasi perbankan 1983, 1988, dan 1992, Bank-bank yang demikian telah ”dimatikan” atau “dikerdilkan”. Pengalaman krisis perbankan 1997/1998 yang sampai kini belum teratasi telah memberikan pelajaran pahit, mudah-mudahan berharga, bagi dunia perbankan Indonesia. Pelajaran berharga itu adalah tidak lagi mengembangkan sistem perbankan kapitalistik yang mendahulukan kepentingan bisnis pemilik Bank, bukan kepetingan klien dan masyarakat luas.

G.      Implikasi Ekonomi Syariah terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah

Industri keuangan syariah di tanah air mendekati usia 20 tahun. Sudah banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat ekonomi syariah Indonesia untuk mengembangkan sistem ekonomi alternatif ini yang diyakini lebih adil dan mensejahterakan. Lembaga-lembaga pendukung pun semakin berkembang termasuk lembaga-lembaga pendidikan ekonomi syariah yang sudah ada hampir di semua provinsi. Lembaga-lembaga keuangan syariah pun juga sudah hampir merata di seluruh nusantara. Tinggal sekarang mengembangkan industri keuangan syariah dan lembaga-lembaga pendukungnya berikut peraturan perundang-undangan yang memberikan rambu-rambu bagi pelaku ekonomi syariah.Jika demikian halnya, bagaimana pengaruh ekonomi syariah terhadap pembangunan ekonomi daerah?

Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam. Yang dapat kita kemukakan di sini adalah beberapa indikator yang dapat menunjukkan adanya peranan ekonomi syariah terhadap pembangunan daerah.Indikator pertama yaitu semakin banyaknya bank-bank syariah nasional yang membuka cabang di daerah-daerah. Pembukaan kantor-kantor cabang ini tentu membawa implikasi bagi pembangunan ekonomi setempat karena adanya aktivitas intermediasi yang dilakukan perbankan syariah yaitu menyalurkan dana dari pihak yang surplus ke pada pihak yang shortage.Di samping bank-bank syariah  nasional, baik bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS), bank-bank pembangunan daerah juga ramai-ramai membuka unit usaha syariahnya.

Saat ini sudah ada 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang membuka UUS dan akan disusul oleh BPD-BPD lainnya. Perkembangan ini diharapkan akan meningkatkan geliat pembangunan ekonomi daerah melalui sistem keuangan syariah.Hal selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan mikro dan kecil syariah seperti BMT, Koperasi Syariah, dan BPRS yang juga hampir merata sebarannya di seluruh tanah air. Tentu sudah banyak perananan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah ini dan sudah banyak pula pengaruhnya bagi perbaikan ekonomi daerah.Lembaga-lembaga ini rajin  melakukan sosialisasi ekonomi syariah kepada masyarakat. Ekonomi syariah adalah suatu konsep ekonomi yang mengajarkan kewirausahaan dan investasi yang etis kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dididik untuk menjadi entreprenur-entreprenur sejati yang berjuang mengangkat taraf hidupnya dan masyarakat lainnya ke arah yang lebih baik.

Yang kurang sekarang adalah dukungan dari pemerintah terhadap ekonomi syariah itu sendiri. Ekonomi syariah masih dipandang sebelah mata dan tidak dijadkan sebagai hal yang utama. Padahal sudah banyak bukti yang menunjukkan peranan ekonomi syariah dalam mengangkat ekonomi rakyat. Untuk itu, kita membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi dari pemerintah bagi pengembangan ekonomi syariah di tanah air.Mungkin kita perlu belajar banyak dari pemerintah Malaysia yang memberikan dukungan yang besar bagi ekonomi syariah di sana. Sehingga tidak heran, kita masih jauh tertinggal dari negeri jiran itu dalam bidang keuangan syariah.

H.      Penutup

Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Sejalan dengan  itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global.

Ekonomi syariah telah membuktikan sumbangannya bagi pengembangan ekonomi daerah. Meski masih relatif kecil namun bukan tidak berharga sama sekali. Ekonomi syariah telah mengajarkan pentingnya kemandirian, kerja keras, semangat entrepreneurship, good governance, dan penerapan nilai-nilai syariah dalam berekonomi. Semua hal ini diperlukan bagi tercapainya cita-cita Proklamasi 1945 untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Daftar Pustaka

Amri, Puspa Delima, 2000, “Dampak Ekonomi-Politik UU No 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah”, CSIS Working Paper Series.

Antonio, Muhammad Syafii, 2000, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press: Jakarta.

Antonio, Muhammad Syafii, 2009, “What is The Future Outlook of Shariah Harmonization?”, Kertas Kerja.Landiyanto,

Erlangga Agustino, 2005, “Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah”, CURES Working Paper.

Outlook Perbankan Syariah Bank Indonesia 2009.

Statistika Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPS BI) Tahun 2008.

Statistika Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPS BI) Tahun 2009.

Susamto, Akhmad Akbar dan Malik Cahyadin, 2008, “Praktik Ekonomi Islam di Indonesia dan Implikasinya terhadap Perekonomian”, Makalah.
(Ditulis bersama Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, dan telah dimuat dalam Jurnal Harmoni Puslitbang Kementerian Agama RI, Vol IX No 33, Januari-Maret 2010) 

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?