Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negaranegara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan Pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis saling merupakan “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others. Dalam arti bahwa Pemilu dimaknai sebagai prosedur untuk mencapai demokrasi atau merupakan prosedur untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik (Veri Junaidi, 2009: 106).

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
Pemilu menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan dipercayakan demi kepentingan rakyat, dan bahwa kepada rakyatlah para pejabat bertanggungjawab atas tindakantindakannya (David Bentham dan Kevin Boyle, 2000). Selanjutnya Moh. Mahfud mengatakan bahwa kedaulatan rakyat mengandung pengertian adanya pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, menunjukkan bahwa pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate government) di mata rakyat (Moh. Mahfud MD, 1999).
Pemerintahan yang sah dan diakui berarti suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan yang diberikan oleh rakyat. Legitimasi bagi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003).
Pemerintahan dari rakyat memberikan gambaran bahwa pemerintah yang sedang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui pemilihan dari rakyat bukan dari pemberian wangsit atau kekuasaan supranatural. Pemilu yang adil dan bebas adalah pemilu-pemilu yang kompetitif adalah piranti utama membuat pejabat-pejabat pemerintah bertanggungjawab dan tunduk pada pengawasan rakyat. Pemilu juga merupakan arena penting untuk menjamin kesetaraan politis antara warga Negara, baik dalam akses terhadap jabatan pemerintahan maupun dalam nilai suara serta kebebasan dalam hak politik (David Bentham dan Kevin Boyle, 2000).
Pilihan untuk melangsungkan pemilihan kepala daerah secara langsung tidak terlepas dari norma yang termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghendaki pemilihan secara demokratis. Mengkhidmati kata demokratis, tidak ada indikator yang mampu mendefinisikan apakah pemilihan langsung dapat dikatakan demokratis sedangkan pemiihan yang dilakukan secara tidak langsung dikatakan tidak demokratis. Namun, pilihan makna demokrasi yang ditetapkan oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya di parlemen menjatuhkan pilihan makna demokratis pada proses pemilihan secara langsung dengan pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dengan diberlakukannya UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dengan alasan untuk mewujudkan penataan sistem pemilihan umum yang lebih baik lagi, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait uji materiil UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, memutuskan bahwa pemilihan umum legislatif dan ekdekutif dilakukan secara serentak pada tahun 2019. Pemilihan pada aras lokal juga termasuk didalam ranah pemilihan umum dan oleh sebab itu KPU menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak guna memberikan makna tersendiri bagi reformasi kepemiluan di Indonesia.
Demi terwujdunya proses pemilu serentak, pelaksanaan pemilihan kepaladaerah (pilkada) dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015 untuk kepala daerah dan wakil kepaladaerah yang memasuki akhir masa jabatan (AMJ) 2015 dan semester pertama 2016. Tahap kedua dilaksanakan pada Februari 2016 untuk AMJ semester kedua tahun 2016dan 2017.tahap ketiga dilaksanakan pada Juni 2008 untuk daerah yang AMJ tahun 2018dan 2019. Secara bertahap, pilkada serentak ini akan digunakan sebagai model pilkada serentak pada tahun 2027 (KPU, 2015:4). Pada tahapan pertama pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2015 diikuti oleh 9 provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten di seluruh Indonesia.
Munculnya polemik calon tunggal pada pilkada serentak 2015 diyakini lantaran sejumlah partai politik enggan mengusung jagoannya dalam kontestasi pesta demokrasi. Karenanya parpol dianggap telah abai menjalankan fungsinya dalam rekrutmen dan mencalonkan kader (Sri Budi, 2015: 14). Menganggapi permasalahan mengenai calon tunggal yang semakin memanas dan tidak ditemukan pemecahannya, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas uji materiil UU Nomor 8 Tahun 2015 melalui Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015. Melalui putusan tersebut, MK membuka jalan untuk beberapa daerah yang memiliki satu pasang calon kepala daerah untuk tetap menyelenggarakan pilkada pada tahun 2015 tanpa harus ditunda sampai periode berikutnya.
Menariknya, MK menolak permohonan pemohon yang meminta MK memaknai calon tunggal dapat diterima dengan mekanisme kotak kosong. MK memaknai calon pasangan tunggal dengan pemilihan melalui kolom “setuju”dan “tidak-setuju” dengan tujuan untuk memberikan hak pilih masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi (Suhartoyo, Kompas: 2015)
Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan Umum dilaksanakan di Indonesia untuk memilih anggota lembaga perwakilan, presiden dan wakil presiden. Konstitusi dalam Pasal 22E UUD 1945 mengatur ketentuan tentang Pemilu secara jelas dan detail, sebagai berikut:
1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali;
2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik
4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Ketentuan Pasal 22E UUD 1945 dijabarkan kedalam beberapa undang-undang, yaitu: Undangundang No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan Undang-undang No.42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.15 Tahun 2011 disebutkan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 Undang-undang No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mengatur mengenai asas penyelenggara pemilu sebagai pedoman pada asas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Efisiensi Anggaran Pemilu
Pemilu nasional serentak tidak hanya memberikan implikasi pada ranah hukum tata negara atau politik ketatanegaraan saja, tetapi memiliki implikasi yang besar dalam kajian ilmu politik. Dalam perspektif ilmu politik, pemilu nasional serentak memiliki sejumlah keuntungan yang bersifat hipotetik dilihat dari sisi pelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia, meliputi:
- Pemilu nasional serentak bertujuan menciptakan hasil pemilu yang kongruen
Secara akademis konsep pemilu serentak ini hanya memungkinkan berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial. Inti konsep ini adalah menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dalam satu hari yang sama, sehingga kemungkinan terciptanya pemerintahan yang kongruen, maksudnya terpilihnya pejabat eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang mendapat dukungan legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif. Kongruensi pemerintahan yang tercipta ini diasumsikan akan berkorelasi secara signifikan terhadap stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Pemerintahan diharapkan akan efektif dalam pengambilan keputusan karena mayoritas kursi parlemen dipegang oleh partai yang mengusung presiden terpilih. Inilah yang sering diasumsikan bahwa pemilu serentak berkorelasi positif terhadap penguatan presidensialisme di Indonesia.
- Pemilu nasional serentak ini mendorong terciptanya koalisi berbasis kebijakan
Pemilu nasional serentak ini mendorong terciptanya koalisi berbasis kebijakan, sebab pemilu juga membutuhkan partai politik yang kuat dan daya tahan memadai dalam mewakili kepentingan masyarakat dan menawarkan pilihan-pilihan kebijakan untuk menunjukkan kemampuannya dalam menuju kebaikan umum (bonum publicum) (A.Ahsin Tohari, 2012: 580), dan sekaligus meminimalkan pragmatisme politik yang kerap menjadi acuan aktor-aktor dan partai-partai politik dalam berkoalisi. Sebagaimana yang terjadi saat ini, pemilu model serial/ tidak serentak sangat rawan pragmatisme politik karena parpol bergabung dalam sebuah koalisi cenderung untuk mendapatkan kekuasaan (office-oriented approach), bukan karena memperjuangkan kebijakan (policyoriented approach).
- Pemilu nasional serentak mendorong kualitas Parpol yang lebih demokratis
Kehadiran dan peran partai politik saat ini menjadi prasyarat penting bagi praktik demokrasi modern, bahkan demokrasi modern adalah demokrasi partai (Richard S Katz, 1980). Literatur studi demokrasi umumnya menyebut adanya partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif merupakan conditio sine quo non bagi praktik demokrasi. Sistem politik demokratis diyakini mampu memfasilitasi kehidupan partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif, maka demokratisasi partai politik mensyaratkan demokratisasi sistem politik terlebih dulu. Tanpa sistem politik demokratis, sulit muncul partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif. Dalam sistem politik non-demokratis, kehidupan partai politik umumnya tidak bebas, tidak otonom, dan tidak kompetitif (Munafrizal Manan, 2012).
- Pemilu nasional serentak potensial meminimalkan konflik antar partai atau pendukung partai.
Konflik tak lagi berkepanjangan sepanjang tahun, sehingga dari sisi manajemen konflik jadi lebih mudah untuk ditangani. Energi pendukung partai dapat diarahkan untuk kegiatan positif lain yang mengarah pada pelembagaan partai politik. Bahkan pemilu nasional serentak lebih efisien, hemat waktu dan hemat biaya. Efisiensi dalam konteks pemilu serentak ini bisa dilihat dari beberapa aspek, antara lain efisiensi waktu dan biaya pemilu. Trilyunan uang negara dapat dialihkan untuk memenuhi hak konstitusional lain yang tidak kalah penting, sebab dalam tahapan pemilu legislatif dan presiden yang bersamaan/ serentak banyak hal yang bisa diringkas dalam satu paket pekerjaan.
Partai Politik dan Demokrasi
Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat, sebagai wujud bekerjanya demokrasi diperlukan adanya partai politik. Sistem demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya mungkin dilakukan jika ada pengorganisasi berdasarkan tujuantujuan kenegaraan. Tugas partai politik adalah untuk menata aspirasi rakyat untuk dijadikan public opinion yang lebih sistematis sehingga dapat menjadi dasar pembuatan keputusan yang teratur.
Dalam negara modern, jumlah pemilih sangat besar dan kepentingannya bervariasi sehingga perlu mengelolanya untuk menjadi keputusan. Dengan demikian partai politik berperan besar dalam proses seleksi baik pejabat maupun substansi kebijakan Dalam sistem representative democracy, biasa dimengerti bahwa partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap dengan sendirinya efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan dan peranan partai politik dianggap dominan.
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana:
(i) komunikasi politik,
(ii) sosialisasi politik (political socialization),
(iii) rekruitmen politik (political recruitment), dan
(iv) pengatur konflik (conflict management).
Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi
(i) mobilisasi dan integrasi;
(ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns);
(iii) sarana rekruitmen politik; dan
(iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Calon Tunggal dalam Pemilihan Umum dan Konsep Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat (Georg Sorensen, 2003:1). Jika dirunut secara historis, konsep demokrasi awalnya dikemukakan oleh Socrates. Kemudian, Plato memberikan kritik terhadap demokrasi di Athena yang dipandangnya sebagai sebuah kemerosotan akibat kekalahan kota dalam perang melawan Sparta dan pembusukan korlaitas kepemimpinan.
Di Athena, demokrasi berarti pemerintahan oleh mayoritas kaum miskin. Plato mengungkapkan bahwa hukum tidak akan dihormati, tetapi akan dilihat sebagai serangan terhadap kebebasan rakyat, menimbulkan tirani, kekacauan dan memberi jalan bagi pemerintahan yang diktator. Solusi yang ditawarkan oleh Plato adalah menganjurkan pemerintahan oleh orang yang bijak, terlatih dan terpelajar (David Held, 1987:2). Pemikiran Plato kemudian dikembangkan oleh muridnya, Aristoteles mengembangkan pendapat Plato dengan memperdebatkan ruang bagi pengaruh rakyat misalnya dalam pembuatan undangundang. Aliran pemikiran baru tentang demokrasi yang berdasarkan pada masyarakat modern tidak pernah muncul hinggga abad ke-19 sampai pada masa Rennaisance. Pada jaman Rennaisance tersebut kemudian mulai terbentuk konteks pembangunan masyarakat industrialis-kapitalis-modern. Di jaman tersebut mulai terdapat sumbangan pemikiran dalam perdebatan tentang demokrasi yang tujuan pokoknya adalah gambaran mengenai wajah demokrasi dalam konteks modern.
Pengertian demokrasi secara sempit dirumuskan oleh Joseph Schumpeter yang menyatakan bahwa demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Di antara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemampuan untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut dengan demokrasi. Singkatnya, Schumpeter hendak menjelaskan bahwa metode demokratis adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik di mana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melaluiperjuangan kompetitif untuk meraih suara. (Joseph Schumpeter, 1942: 260).
Bebeda dengan Held yang menggabungkan pemahaman pandangan antara liberal dengan tradisi Marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi. Held menyebutkan bahwa otonomi demokrasi membutuhkan akuntabilitas negara dalam derajat yang tinggi dan partisipasi substansial secara langsung pada komunitas lembaga lokal dan manajemen diri yang dinyatakan melalui pemberian kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menemukan preferensi pribadi serta pengawasan oleh warga negara terhadap agenda politik. Perbedaan dua pendapat tersebut membuka pintu perdebatan mengenai makna sesungguhnya tentang demokrasi. Cara pandang mengenai demokrasi inilah yang akhirnya mempengaruhi pemahaman kita bersama bahwa demokrasi merupakan sebuah entitas yang dinamis yang terhadapnya diberikan definisi yang berbeda-beda dan tetap menjadi perdebatan. Dari dua pemikiran yang dikemukakan tersebut kemudian menunjukkan wajah demokrasi yang dalam arti sempit, demokrasi terfokus sebagai jenis sistem politik tertentu dan dalam pengertian luas, demokrasi tidak hanya terbatas dalam sistem politik, tetapi juga sistem sosial dan ekonomi.
Demokrasi dalam arti sempit juga dijelaskan oleh Dahl yang mengemukakan bahwa dalam berbagai perbedaan pemaknaan mengenai demokrasi, terdapat beberapa kriteria yang perlu dipenuhi oleh proses pemerintahan supaya seluruh anggota memiliji hak yang sama untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan. Dahl menjelaskan paling tidak terdapat lima kriteria, diantaranya adalah:
- partisipasi efektif;
- persamaan suara;
- pemahaman yang cerah;
- pengawasan agenda;
- pencakupan orang dewasa. Demokrasi memberikan berbagai kesempatan untuk hal tersebut (Dahl, 2001: 53).
Langkah pertama dalam menentukan demokratis tidaknya suatu negara adalah mencari elemen-elemen kompertisi, partisipasi dan kebebasan di negara tersebut, tidak hanya tataran formal tetapi juga pada praktik yang sesungguhnya. Namun langkah ini menjadi rumit karena banyaknegara yang memenuhi kondisi dari ketiga dimensi tersebut dalam derajat yang berbeda-beda. Jadi, suatu negara perlu menentukan sejumlah nilai minimum yang harus dipenuhi pada masing-masing dimensi agara dapat disebutdengan negara yang demokratis. Ketika demokrasi diartikan sebagai kompetensi, partisipasi dan kebebasan, jelas bahwa proses demokratisasi perubahan sistem politik dari bentuk non-demokratis ke bentuk yang lebih demokratis. Dahl mengidentifikasi dua jalan penting menuju demokrasi yakni jalan yang terfokus pada kompetisi dan jalan yang terfokus pada partisipasi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pilkada Semakin Demokratis Tapi Partisipasi Cenderung Menurun, Selasa, 10 November 2015, dalam http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-semakin-demokratis-tapi-partisipasi-cenderung-menurun. Diunduh pada 1 Mei 2016.
BBC Indonesia, Pilkada serentak, sejumlah calon petahana unggul, dalam http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210_indonesia_pilkada_petahana. Diunduh pada 1 Mei 2016.
Camille Burnet, Henry Minis, dan Jerry VanSant, Democratic Decentralization, dalam http://www.rti.org/pubs/Democr_Decen.PDF. Diakses 10 Januari 2008.
Dedy Priatmojo, Lima Faktor Calon Petahana Unggul di Pilkada Serentak, dalam http://politik.news.viva.co.id/news/read/709835-lima-faktor-calon-petahana-unggul-di-pilkada-serentak. Diunduh pada 5 Mei 2016.
De Tocqueville, A. (2003). Democracy in america (Vol. 10). Regnery Publishing.
Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward consolidation. JHU Press. Dwiyanto, A. (2006). Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Easton, D. (1957). An approach to the analysis of political systems. World politics, 9(03), 383-400.
Fatkhurohman, F. (2010). Pilkada Dan Masa Depan Penguatan Demokrasi di Daerah. Jurnal Konstitusi, 3(2).
Fitriyah, F. (2013). Meninjau Ulang Sistem Pilkada Langsung: Masukan Untuk Pilkada Langsung Berkualitas.
Frerks, G. E., Otto, J. M., & Asmerom, H. K. (1996). Decentralization and Development: A Review of Development Administration Literature: In Commemoration of Dr Haile K. Asmerom. Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non-Western Countries.
Hijri, Y. S. (2016). KPUD, Pilkada Langsung dan Demokrasi Lokal. Jurnal Bestari, 1(37).
Kompas, Petahana Tetap Kuat di Pilkada 2015, dalam http://nasional.kompas .com/read/2016/01/07/02205431/Petahana.Tetap.Kuat.di.Pilkada.2015. Di unduh pada 5 Mei 2016.
MacAndrews, C., & Mas?ud, M. (1991). Perbandingan Sistem Politik. Gadjah Mada University Press.
Manor, J., & World Bank. (1999). The political economy of democratic decentralization.
Pratikno (2005). Demokrasi dalam Pilkada Langsung, Makalah, Sarasehan Menyongsong Pilkada Langsung, IRCOS-FNSt, Hotel Saphir, Yogyakarta, 25-26 Januari 2005.
Puskapik, Musim Bergugurannya Calon Incumbent (Petahana) dalam Pilkada, bagaimana dengan Pemalang? dalam http://www.puskapik.com/ musim-bergugurannya-calon-petahana-incumbent-dalam-pilkada-bagaimana-dengan-pemalang/. Diunduh pada 5 Mei 2016.
Putnam, R. D., Leonardi, R., & Nanetti, R. Y. (1994). Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton university press.
Rondinelli, DA. (1998). “What is Decentralization?” Note prepared for the PREM Knowledge Management System, World Bank, Washington, DC.
Rumesten, I. (2014). Korelasi Perilaku Korupsi Kepala Daerah dengan Pilkada Langsung. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2).
Saraswati, R. (2014). Reorientasi Hukum Pemilukada yang Mensejahterakan Rakyatnya. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2).
Simamora, J. (2011). Eksistensi Pemilukada Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Demokratis. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 23(1), 221-236.
Siri Gloppen, Lise Rakner and Arne Tostensen, Responsiveness to the Concerns of the Poor and Accountability to the Commitment to Poverty Reduction, dalam http://www.undp.org/oslocentre/PAR_Bergen_2002/concerns-poor-issues-paper.pdf. (20 Januari 2015).
Sisk, T. D., Ballington, J., Subiyanto, A., & Maxim, S. (2002). Demokrasi di tingkat lokal: buku panduan International IDEA mengenai keterlibatan, keterwakilan, pengelolaan konflik, dan kepemerintahan. International IDEA.
Smith, B. C., & Smith, B. C. (1985). Decentralization: the territorial dimension of the state (pp. 1-52). London: Allen & Unwin.
Soebagio, H. (2008). Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi di Indonesia. Sumber, 21(8).
Sutoro, E. (2006). Voice, Akses, dan Kawalan Masyarakat, makalah dalam www.ireyogya.org/sutoro/voice_dan_akses_masyarakat.pdf. (2 Pebruari 2006)
Suyatno (2011). Dinamika Demokrasi Tempatan di Indonesia: Kajian Demokrasi Tempatan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Jembrana, Bali, Tesis PhD Universiti Sains Malaysa.
Tempo, Ini Penyebab Kekalahan Bupati Petahana Bengkalis Riau, dalam https://m.tempo.co/read/news/2015/12/18/058728852/ini-penyebab-kekalahan-bupati-petahana-bengkalis-riau. Diunduh pada 5 Mei 2016.
Asshiddiqie, Jimly, 2005. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly, 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI.
Asshiddiqie, Jimly, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.
Asshiddiqie, Jimly, 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan dalam simposium yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM.
Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Clark, Alistair, 2003. Parties And Political Linkage: Towards a Comprehensive Framework for Analysis, Paper prepared for PSA Annual Conference, University of Leicester, 15th – 17th April 2003.
Corry, J. A., 1960. Democratic Government and Poli-tics. Toronto: University of Toronto Press.
Hogan, James, 1945. Election and Representation, Cork University Press.
Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State, New York: Russell & Russell.
Kranenburg, R, dan Tk. B. Sabaroedin, 1989. Ilmu Negara Umum, Cetakan Kesebelas, Jakarta: Pradnya Paramita.
Leca, J. and M. Grawitz (eds.), 1985. Traite de Science Politique, iii, Paris: PUF.
MacIver, RM, 1955. The Modern State, First Edition, London: Oxford University Press.
Meny, Yves and Andrew Knapp, 1968. Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, Third Edition, Oxford University Press.
Milan, Michael T, 2003. Constitutional Law: The Machinery of Government, 4th edition, London: Old Bailey Press.
Oliver, Dawn, 2003. Constitutional Reform in the UK, London: Oxford University Press, hal. 35.
Schattschneider, E.E, 1975. The Semisovereign People: A realist’s view of democracy in America, Illionis: The Dryden Press Hinsdale.
Soemantri, Sri, 1968. Sistim Dua Partai, Jakarta: Bina Tjipta. Soemodiredjo, Soegondo, 1952. Sistim Pemilihan Umum, Jakarta: Nasional.
Wolhoff, G.J., 1955. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Timun Mas N.V.
Leave a Reply