Ica WulansariMahasiswa S3 Sosiologi Universitas Padjadjaran, peneliti dan penulis lepas
Paradigma Ekologi baru berawal tahun 1970-an, ketika masih sedikit sosiolog yang memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan hidup. William Catton dan Riley Dunlap melahirkan paradigmaNew Environmental Paradigm (NEP) dengan perhatian terhadap pemikiran hijau yang berawal dari keprihatinan terhadap tingginya paham antroposentris (berorientasi pada manusia) dibandingkan paham ekosentris (manusia tidak hanya menjadi satu spesies yang mendiami bumi). (Hannigan, 1995). Paradigma Lingkungan Hidup Baru ini muncul untuk menandingi disiplin studi yang didominasi pendekatan antroposentris yang dikenal dengan Human Exemptionalist Paradigm (HEP). Paradigma ini menyediakan pengamatan sosial untuk analisis fakta sosial (dengan menolak keterkaitan studi lain seperti psikologi, biologi dan fisik) dan kemudian disiplin yang dihadirkan mengabaikan hubungan yang melekat antara masyarakat dan lingkungan biofisiknya, terutama dampak sosial dalam sistem alam dan menghasilkan pengaruh seperti perubahan ekologi dalam masyarakat (Catton & Dunlap, 1978; Dunlap & Brulle, 2015).
Dunlap dan Catton (1978) tidak sepakat dengan HEP karena baginya perbedaan level baik simbolik maupun non simbolik dan jenis kognitif, behavioral dan psikologi mempengaruhi interaksi yang berlangsung antara manusia dan lingkungannya. NEP berupaya mendorong wacana mengenai bagaimana kualitas lingkungan hidup terkonstruksi secara sosial sebagai permasalahan sosial dengan melihat hubungan manusia dan lingkungan hidup. Menurut Dunlap terdapat tiga orientasi nilai yang melatar belakangi NEP yaitu: nilai altruistik (terdiri dari kesetaraan, kedamaian, keadilan sosial, saling membantu); nilai egoistik (kekuatan sosial, kemakmuran, kewenangan, pengaruh dan ambisius); dan nilai biosferik (menghargai bumi, mencegah polusi, bersatu dengan alam dan melindungi lingkungan hidup). Maka, untuk melihat New Environmental Paradigm tidak dapat dipisahkan dengan Human Ecology Studies yang melihat sistem sosial memiliki keterkaitan dengan ekologi.
Ekologi Manusia
Dunlap dan Catton (1978) mengajukan NEP dengan mengedepankan dalil bahwa alam memiliki keterbatasan, dalil tersebut adalah :
- manusia hanya satu spesies yang terdiri dari banyak spesies yang memiliki ketergantungan dalam komunitas biotik yang membentuk kehidupan sosial;
- Keterkaitan yang rumit menyebabkan dampak dan memberi umpan balik pada jaringan alam yang memunculkan konsekuensi yang tidak diinginkan yang berbeda dengan aksi manusia yang disengaja;
- Potensi keterbatasan fisik dan biologis menghambat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan fenomena kemasyarakatan lainnya. Lebih lanjut, Dunlap kemudian memberi definisi sosiologi lingkungan hidup adalah studi interaksi masyarakat dan lingkungan hidup yang memasukkan variabel lingkungan hidup dalam analisa sosiologi.
Lebih lanjut, perspektif ekologi Dunlap berfokus pada: pertama, perhatian bahwa paradigma ‘Exemptionalist (HEP)’ mendasari teori sosiologi tradisional dan diperbaharui dengan sebutan NEP; Kedua, perhatian mengenai upaya untuk memahami kesatuan POET (Population, Social-Organization, Environment dan Technology) sebagai permasalahan lingkungan hidup yang utama dan kompleks dan ketiga, menggunakan perspektif ‘realis’ untuk menganalisis masalah-masalah lingkungan hidup (Vaillancourt, 2010; Dunlap & Marshal, 2007).
Micklin dan Poston (1998) memberikan terobosan mengenai ruang lingkup bidang kajian ekologi manusia. Terdapat empat bidang utama dalam komplek studi ekologi manusia (Human-Ecological Complex) yang dikenal dengan Population, Social-Organization, Environment and Technology (POET).
Kemudian sistem ekologi manusia menjadi analisa dalam studi sosiologi dengan pembagian sebagai berikut: people (mengenai tata kehidupan dan dinamika dalam konteks biologis); society (tata kehidupan dan dinamika manusia dan alam yang terbentuk dalam sistem) dan nature (tata lingkungan yang menjadi tempat hidup dan menyediakan fasilitas bagi kehidupan manusia). Merujuk pada studi ekologi manusia menurut Rambo dan Sajise (1984) bahwa esensi ekologi manusia terjadi pertukaran energi, materi dan informasi antara dua sistem yaitu sistem manusia dan sistem ekologi. Sistem manusia terdiri dari populasi, organisasi sosial, pengetahuan, nilai-norma, dan teknologi. Sedangkan sistem ekologi terdiri dari tanah, air, udara; tanaman; hewan; organisme mikro; dan infrastruktur.
Perspektif ekologi manusia menurut Rambo dan Sajise (1978) dengan konsep sebagai berikut:
- Perspektif yang memperlihatkan sistem sudut pandang dari dua bagian masyarakat dan alam;
- menjelaskan dua perilaku internal dari ekosistem dan sistem sosial dan interaksinya antara gerakan atau aliran energi, materi dan informasi;
- memahami sistem organisasi dalam jaringan dan hierarkis dan
- dinamika perubahan sistem. Sistem sosial dalam POET memiliki kaitan satu sama lain.
Salah satu, contohnya dalam sistem tata surya atau komponen fisik dan biotik dari ekosistem. Kemudian sistem sosial manusia menggunakan pengaruh dari setiap komponen dan juga dipengaruhi dari perilaku dari komponen-komponen lainnya. Komponen lainnya seperti agama, aspek ideologi dan ritual dipengaruhi oleh karakter dari struktur sosial dan bekerja untuk memperkuat struktur sosial.Ekologi manusia didasarkan pada sistem sosial POET sebagai unit analisa utama dalam populasi manusia dengan asumsi bahwa populasi memiliki unit karakter dan integritas.
Selain itu, populasi memiliki kepemilikan dan menghubungkan manusia yang tidak hanya terpaku pada jumlah dari bagian komponen. Yang terpenting menurut Poston dan Frisbie (dalam Micklin & Poston, 1998) adalah keberadaan populasi secara kolektif dan kemampuan beradaptasi terhadap pergantian kondisi yang menghadapi populasi termasuk penggunaan teknologi, ukuran, komposisi dan distribusi populasi dengan perhatian ekologi manusia tidak sebagai ruang melainkan sebagai organisasi.
Tiga dimensi terdiri dari materi, informasi dan energi yaitu:
- materi meliputi alat, kapital, perlengkapan, mesin;
- informasi meliputi pengetahuan, teknik, penemuan ilmiah dan
- energi.
Permasalahan dalam tingkat masyarakat petani mengenai konsep teknologi secara kritis meliputi penggunaan teknologi mengolah lahan untuk produksi intensif maupun pupuk untuk pertanian. Sementara untuk pertanian skala besar penggunaan teknologi seperti mesin untuk menggarap lahan.Penggunaan teknologi menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan hidup yang seringkali digunakan manusia untuk memanipulasi pengelolaan ekosistem. Pemahaman ekologis perlu terkonstruksi secara sosial menurut Dunlap (2002) karena terdapat tiga latar belakang yaitu altruistik (kesetaraan; keadilan sosial dan kedamaian), egoistik (kekuatan sosial, kemakmuran, kewenangan dan ambisi) dan biosferik (menghargai bumi, mencegah polusi, bersatu dengan alam dan melindungi lingkungan hidup). Penggunaan teknologi yang memanipulasi pengelolaan ekosistem bersandar pada latar belakang egoistik yang menempatkan manusia yang memiliki kuasa terhadap alam. Pada titik ini, NEP berupaya mencari penekanan dimensi ekologis dalam masyarakat, yang kemudian membentuk paradigma ekologi manusia. Dunlap (2002) meyakini NEP dapat memimpin pembangunan teori ekologi untuk masyarakat dengan membentuk tingkat pada masyarakat sebagai pengukuran pandangan ekologis untuk memunculkan environmentalisme. Pengukuran keadaan lingkungan hidup sebagai variabel yang kemudian dikenal dengan Environmental Attitude.
Paradigma Ekologi Baru
Dunlap dalam sebuah kuliah umum yang peneliti kutip dalam laman Youtube menyatakan perkembangan sosiologi lingkungan hidup tertinggal dibandingkan dengan studi lingkungan hidup dan studi terkait, namun terdapat dua faktor penting mengapa sosiologi memerlukan NEP yaitu
Pertama, sosiologi hadir pada masa dimulainya industri yang dipengaruhi oleh Dominant Western Worldview(DWW) bahwa manusia ditempatkan sebagai ‘penakluk alam’.
Kedua, diktum anti reduksionisme Emile Durkheim yang mengabaikan kondisi ekologis. Dunlap berupaya mempertahankan NEP untuk pemahaman mengenai bagaimana masyarakat modern memiliki ketergantungan ekologi (Vaillancourt, 2010). Orientasi ekologi yang membuat Dunlap menggunakan perspektif konstruksionis yang moderat dengan catatan Dunlap tidak berharap NEP menggantikan sosiologi klasik seperti Marxist, Weberian, fungsionalis atau perspektif teori lainnya, tetapi berupaya untuk merangsang pembangunan teori versi hijau dari teori-teori tersebut (Dunlap, 2002).
Skala NEP dirumuskan Dunlap dan Liere pada tahun 1976 untuk membangun validitas mengenai nilai fundamental, sistem kepercayaan terhadap lingkungan hidup, dan menemukan konfirmasi penemuan empiris. NEP terdiri dari tiga dimensi yang berbeda yaitu: balance of nature, limits to growth, dan dominasi manusia terhadap alam. Konseptualisasi yang disebut NEP (New Environmental Paradigm) fokus pada kepercayaan kemampuan manusia untuk mengacaukan kesimbangan alam, terbatasnya kemampuan masyarakat dan hak manusia untuk mengatur alam.
Selain itu, NEP dilengkapi dengan telaah tiga perilaku lingkungan hidup (seperti egoistik, sosial altruistik dan biosferik) menjadi ukuran kepercayaan konsekuensi dari kondisi lingkungan untuk individu (terdiri dari dua hal), semua orang (terdiri dari dua hal) atau tanaman dan hewan (terdiri dari empat hal). Sedangkan empat hal lainnya fokus terhadap perilaku antroposentrisme (Dunlap et al., 2000). Namun dalam perkembangannya, kepercayaan dan nilai yang harus dibuktikan dan skala perilaku lingkungan hidup menjadi ukuran meluas dengan ukuran terhadap lingkungan hidup, kemudian mendorong penamaan lingkungan hidup diganti dengan nama New Ecological Paradigm.
Perilaku lingkungan hidup ditujukan untuk mengukur perhatian publik terhadap kualitas lingkungan hidup atau perhatian terhadap lingkungan hidup. Tidak hanya permasalahan lingkungan hidup yang signifikan seperti polusi, sampah, dan permasalahan lingkungan hidup terkait geografis, tetapi juga membahas permasalahan seperti penipisan ozon, deforestasi, kepunahan aneka ragam hayati dan perubahan iklim. Maka, kemudian muncul upaya untuk meneliti permasalahan lingkungan hidup dan perilaku terhadap lingkungan hidup (Stern, 2000; Dunlap et al., 2000).
Skala NEP ditujukan sebagai pengukuran dukungan paradigma fundamental atau sudut pandang mengenai perilaku, kepercayaan dan nilai lingkungan hidup. Dalam studi lingkungan hidup mengenai nilai dan kepercayaan terdapat tiga aspek yang teridentifikasi: pertama, terbatasnya kepentingan memberikan variabel dari situasi alam dalam penentuan perilaku lingkungan hidup; kedua, tingkat pengukuran perilaku lingkungan hidup, secara umum terlihat abstrak atau karakter hipotesis, digunakan dalam studi dan ketiga, sebagai hasil, persentasi yang rendah yang menjelaskan perbedaan prediksi model perilaku lingkungan (Coraliza & Berenguer, 2000).
Permasalahan analisa NEP dimulai dari pengukuran perilaku, adapun skala NEP muncul karena keterbatasan pengukuran perilaku terhadap lingkungan hidup. Namun skala NEP karya Dunlap dan Liere diyakini dapat mewakili pendekatan yang digunakan terhadap perilaku lingkungan hidup (Schultz & Zelezny, 1999).
Perilaku Lingkungan Hidup (Environmental Attitude)
Studi mengenai perilaku lingkungan hidup mendapatkan pengaruh dari studi psikologi sosial yang menelaah pola yang berbeda dari teori Value, belief and Norms (VBN). Psikologi sosial melihat kepercayaan sebagai hal yang mempengaruhi perilaku skala besar mengenai masalah lingkungan hidup tertentu (Fernandez-Manzanal et al., 2007). Dalam telaah psikologi, komponen perilaku lingkungan hidup yang sangat berpengaruh yaitu pengetahuan (kognisi) dan niat yang digunakan secara paralel untuk memprediksikan perilaku secara ekologis. Perilaku tidak hanya evaluasi dari beberapa hasil perkiraan dari kemungkinan yang ada, informasi yang menonjol atau pengetahuan faktual berpengaruh terhadap pra kondisi NEP merupakan tradisi penelitian perilaku lingkungan hidup yang banyak digunakan untuk mengamati perilaku terhadap lingkungan hidup (Kaiser et al., 1999).
Menurut Stern (2000) bahwa teori VBN menawarkan pengukuran pembentukan objek perilaku dan bagaimana perhatian lingkungan hidup dan masalah lingkungan hidup secara sosial terkonstruksi. Studi mengenai perilaku lingkungan hidup telah ditandai oleh studi yang lengkap dari perbedaan faktor kebudayaan (nilai) dan psikologi (kepercayaan) yang menjelaskan hubungan antara lingkungan hidup dan manusia.
Berdasarkan kontribusinya, Coraliza dan Berenguer (2000) menegaskan bahwa dalam setiap budaya terdapat nilai yang tertata yang memiliki dua dimensi bersama yaitu: yang pertama, memperluas peningkatan kutub kepentingan diri (egoisme) terhadap kutub transedensi diri (altruisme); kedua, dimensi kontras nilai diasosiasikan dengan keterbukaan terhadap perubahan nilai-nilai konservatif.Dalam pandangan Stern bahwa altruistik (termasuk perilaku pro lingkungan hidup) terjadi sebagai respon moral individu pada individu yang aktif yang mempercayai kondisi tertentu memunculkan ancaman tertentu bagi yang lainnya (kesadaran dari konsekuensi yang merugikan atau Adverse Consequences-AC) dan aksi yang dapat diinisiasi dengan mencegah konsekuensi (penentuan tanggung jawab sendiri atau Ascription of Responsibility to self-AR).
Kemudian hubungan teori nilai, nilai aktivasi norma dan perspektif NEP saling berhubungan dari lima variabel yang berpengaruh terhadap perilaku yaitu: nilai pribadi (terutama nilai altruistik); NEP; AC; kepercayaan AR mengenai kondisi umum dalam lingkungan biofisik dan norma pribadi dalam aksi pro lingkungan hidup.Teori nilai, kepercayaan dan norma dengan teori nilai untuk menggerakkan aktivasi norma dengan mengaktifkan norma pribadi yang memiliki kesadaran akan konsekuensi merugikan kepada nilai individu yang lain. Manusia yang memiliki nilai tinggi terhadap spesies lain dipusatkan oleh kondisi lingkungan hidup yang mengancam nilai objek, seperti altruistik yang peduli terhadap manusia lain dengan perhatian kondisi lingkungan hidup yang mengancam manusia lainnya.
Keterkaitan teori nilai, kepercayaan dan norma dengan NEP adalah mengenai aktivasi norma, menurut Stern (2000) bahwa NEP merupakan jenis teori ekologi dengan konsekuensi merugikan (AC) dari perubahan lingkungan. Sedangkan norma pribadi terhadap aksi pro lingkungan hidup diaktifkan oleh kepercayaan bahwa kondisi lingkungan hidup mengancam nilai individual dan individu dapat bertindak mengurangi ancaman (AR). Teori nilai, kepercayaan dan norma menjadi landasan kecenderungan individu bergerak ke aksi mendukung lingkungan hidup.Aksi yang mendukung lingkungan hidup diidentifikasi menjadi perilaku lingkungan hidup.
Perilaku lingkungan hidup secara signifikan beralasan untuk didefinisikan oleh Stern (2000) berdasar dampaknya yaitu keberlanjutan perubahan ketersediaan material atau energi dari lingkungan hidup atau mengubah struktur dan dinamika dari ekosistem atau biosfer. Perilaku lingkungan hidup menyediakan pemahaman yang baik terhadap seperangkat kepercayaan, kepentingan atau aturan yang mempengaruhi environmentalisme atau aksi pro lingkungan hidup (Fernandez-Manzanal et al., 2007).
Beberapa perilaku lingkungan hidup yang signifikan diantaranya: aktivisme lingkungan hidup; perilaku non aktivis dalam ruang publik dan environmentalisme ruang privat.Dalam perkembangannya, indicator New Ecological Paradigm yang disempurnakan berbentukEnvironmental Attitude yang terdiri dari: limits to growth; penolakan dominasi manusia pada alam; keseimbangan alam; resiko ekokrisis dan penolakan dari human exemptionalism (Dunlap et al., 2000).
Adapun penjelasan utuhnya di bawah ini:
1. Limits to Growth.
Kami mendekati batas jumlah manusia di bumi yang dapat mendukung.. Bumi memiliki banyak sumber daya alam jika kita mencoba mendalaminya.. Bumi seperti ruang angkasa hanya memiliki ruang dan sumber daya terbatas.
2. Anti-anthropocentrism.
Manusia memiliki hak untuk mengubah alam sesuai kebutuhannya.. Tanaman dan hewan memiliki hak sebagaimana manusia berad.. Manusia memiliki aturan mengatur alam.
3. Balance of Nature.
Ketika manusia ikut campur terhadap alam maka hal ini memproduksi konsekuensi bencana alam. Keseimbangan alam lebih kuat untuk mengatasi dampak bangsa industrial modern.. Keseimbangan alam rumit dan mengecewakan.
4. Rejection of Exemptionalism.
Kecerdikan manusia akan memastikan kami tidak membuat bumi tidak layak huni. . Walaupun kemampuan special manusia masih menjadi subjek mengatur alam. . Manusia pada akhirnya akan belajar cukup mengenai bagaimana alam bekerja untuk mengawasinya.
5. Possibility of an Eco-crisis.
Manusia cenderung menyalahgunakan lingkungan. . Disebut ‘krisis ekologi’ dihadapi umat manusia cenderung dibesar-besarkan. . Jika hal ini berlanjut saat ini, kami akan menghadapi pengalaman bencana ekologi segera.
Pertarungan Paradigma Ekologi Baru
Umumnya studi sosiologi dipengaruhi pemilikiran Barat yang menonjolkan industrialisme yang meminggirkan pertanian yang memiliki ketergantungan pada lingkungan biofisik (Dunlap, 2002). Sosiologi lingkungan hidup berangkat dari kritisi terhadap pemikiran Durkheim mengenai fakta sosial yang kemudian menyebabkan struktur sosial dan aktor yang dibebaskan dari ketergantungannya pada alam (Dunlap & Catton, 1994).
Landasan tersebut membentuk HEP (Human Exemptionalism Paradigm) yang cenderung pada perilaku manusia berdasar aspek material dengan landasan:
- manusia unik karena menciptakan budaya;
- variasi budaya hampir bervariasi pada waktu dan ruang dan berkembang lebih cepat daripada kemampuan biologi;
- kemudian banyak orang yang berbeda warisan genetisnya;
- konsekuensinya, akumulasi kebudayaan berarti peningkatan dapat berlanjut tanpa batas, membuat semua masalah sosial teratasi (Vaillancourt, 2010).
Pandangan HEP terkait erat dengan DSP (Dominant Social Paradigm) merupakan gagasan Pirages dan Ehrlich (1974) didefinisikan sebagai tujuan untuk pengejaran diri (ekonomi), pengaturan diri (politis) dan efisiensi (teknologi) atau sebagai tujuan dari hal baik untuk masyarakat (etis). (Lundmark, 2007) DSP menunjukkan kepercayaan bahwa kemajuan manusia seharusnya dilihat utamanya dalam ranah material (produksi dan konsumsi) yang mana menurunkan legitimasi dominasi manusia terhadap alam (Buttel, 2010). Kemajuan manusia berawal dari kepercayaan bahwa teknologi merupakan solusi dari masalah sosial atau fisik yang dapat muncul dalam masyarakat (Kilbourne & Carlson, 2008). DSP kemudian mendapatkan penolakan dari New Environmental Paradigm oleh Dunlap dan Van Lierre (1978) dan kemudian diperbaharui oleh New Ecological Paradigm (NEP) oleh Dunlap, Van Lierre, Mertig dan Jones (2000) yang menolak keberadaan alam semata hanya untuk melayani kebutuhan manusia. NEP diakui oleh Dunlap et al. (2000) sebagai kepercayaan primitif mengenai hubungan alam dan manusia.Dalil NEP terdiri dari:
- manusia merupakan satu spesies di antara banyak komunitas biotik dan tergantung pada komunitas biotik untuk membentuk kehidupan sosial;
- keterhubungan rumit menjadi penyebab, dampak dan umpan balik dalam jaring alam memproduksi banyak konsekuensi yang berasal dari tujuan aksi manusia yang berbeda;
- dunia merupakan satu, maka fisik potensial dan keterbatasan biologi menghambat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan fenomena sosial lainnya (Vaillancourt, 2010).
NEP menekankan dimensi ekologi masyarakat sebagai ukuran pandangan ekologi yang muncul dari environmentalisme dan memiliki ukuran sikap lingkungan hidup dengan seperangkat kepercayaan, pola pandang mengenai alam dan fungsi biosfer yang disebut environmental attitude melalui lima nilai yaitu limits to growth, anti antroposentrisme (dominasi manusia terhadap alam), keseimbangan alam, penolakan exemptionalisme (manusia dibebaskan dari alam) dan resiko eko krisis (Dunlap &Van Lierre, 1978, Dunlap et al., 2000; Stets & Biga, 2003). Dunlap et al. (2000) menyatakan bahwa environmental attitude yang memperkuat NEP sebagai perspektif yang menekankan ketergantungan manusia terhadap alam.
Leave a Reply